• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi Serangga Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dari bulan September 2010 hingga Februari 2011.

Bahan dan Metode

Perbanyakan Serangga Uji

Serangga uji C. formicarius diperoleh dari umbi yang memiliki gejala terserang hama tersebut. Umbi ini kemudian dimasukan ke dalam wadah plastik dengan garis tengah 13 cm, dan tinggi 20 cm. Tutup wadah plastik dibuang sebagian dan diganti dengan kain kasa (Gambar 1). Wadah plastik ditempatkan dalam laboratorium (suhu kamar) dan kemunculan serangga diamati setiap hari.

Gambar 1 Wadah plastik sebagai tempat pemeliharaan serangga uji C. formicarius

Umbi yang sudah memiliki gejala serangan yang cukup banyak dipisahkan ke dalam wadah lain untuk memisahkan imago yang baru muncul. Pengamatan

imago yang baru keluar dilakukan setiap hari untuk mendapatkan imago yang berumur homogen. Imago yang digunakan sebagai serangga uji berumur 2-10 hari.

Perbanyakan Isolat dan Penyiapan Suspensi Cendawan

Isolat Beauveria bassiana dan Metarizhium brunneum yang digunakan berasal dari biakan murni koleksi Laboratorium Patologi Serangga Departemen Proteksi Tanaman IPB. Isolat diperbanyak dengan menggunakan media PDA pada cawan petri berukuran 100 mm x 20 mm. Komposisi media PDA adalah kentang, agar, dextrose, dan chloramphenicol. Setelah inokulasi, cendawan ditumbuhkan dalam inkubator (suhu 25o).

Isolat B. bassiana dan M. brunneum yang telah berumur 21 HSI (hari setelah inokulasi) diambil konidianya dengan cara mengambil area pertumbuhan cendawan pada agar dengan menggunakan spatula steril. Cendawan (dengan media) digerus dengan menggunakan mortar. Gerusan dicampur dengan air aquades steril yang telah ditambahkan Tween20 sebanyak 0,025 ml per 50 ml air lalu disaring untuk mendapatkan suspensi konidia yang jernih. Kerapatan konidia dihitung dengan menggunakan hemasitometer Neubauer improved. Kerapatan yang digunakan adalah 106, 107, 108, dan 109 konidia/ml.

Perlakuan Serangga Uji

Imago C. formicarius yang berumur 2-18 hari dipisahkan sebanyak 20 ekor ke dalam masing-masing cawan yang berukuran 150 mm x 25 mm (Gambar 2). Di dasar cawan ditaruh kertas tisu yang dibasahi agar ruangan cawan memiliki kelembaban untuk pertumbuhan cendawan. Suspensi konidia yang telah dibuat disemprotkan terhadap serangga yang berada dalam cawan sebanyak 1 ml volume semprot. Masing-masing perlakuan diulang empat kali. Perlakuan kontrol dilakukan dengan menyemprotkan air steril yang telah ditambahkan Tween20. Setelah disemprot, serangga dimasukkan ke dalam cawan petri dan diberi makan potongan umbi segar.

Gambar 2 Cawan Petri dengan alas kertas tisu yang berisi C. formicarius. Pengamatan dilakukan setiap hari selama 10 hari dengan mencatat jumlah imago yang mati pada masing-masing kosentrasi. Untuk menjaga kelembaban dalam cawan, secara periodik tiap hari diteteskan air steril di kertas tisu. Imago yang terinfeksi pada umumnya akan memperlihatkan miselia putih yang tumbuh keluar tubuh imago.

Analisis data

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Data diolah dengan menggunakan progam Statistic Analysis System (SAS) versi 9.1 dan Analisis Probit. Bila terdapat perbedaan di antara perlakuan yang diuji maka dilakukkan dengan uji selang ganda Duncan  = 0,05.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Mortalitas imago C. formicarius oleh M. brunneum dan B. bassiana

Secara umum data yang diperoleh menunjukan bahwa semakin banyak atau rapat konidia yang digunakan, maka semakin cepat cendawan tersebut menginfeksi dan mematikan C. formicarius (Tabel 1).

Tabel 1 Mortalitas kumulatif C. formicarius pada hari ke-10 setelah perlakuan cendawan M. brunneum dan B. bassiana.

Kerapatan konidia/ml Mortalitas (%)

1 M. brunneum B. bassiana 0 3.12e 3.12e 106 50.00c 6.25e 107 65.00bc 28.75d 108 82.50ba 48.75c 109 95.00a 76.25ba 1

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan =0,05

Perbedaan kerapatan konidia masing-masing cendawan M. brunneum dan

B. bassiana berpengaruh terhadap tingkat mortalitas C. formicarius. Mortalitas tertinggi didapat oleh M. brunneum dengan kerapatan konidia 109/ml sebesar 95.00%. Nilai mortalitas C. formicarius setelah perlakuan B. bassiana pada kerapatan konidia 109/ml sebesar 76.25% berbeda nyata dengan kerapatan konidia

M. brunneum 109/ml namun memiliki nilai tak berbeda nyata dengan

M. brunneum pada kerapatan konidia108/ml sebesar 82.50%. Mortalitas juga tak berbeda nyata antara perlakuan M. brunneum kerapatan konidia 106/ml yaitu sebesar 50.00% dengan mortalitas perlakuan B. bassiana pada kerapatan konidia 108/ml sebesar 48.75%. Nilai mortalitas pada kontrol sebesar 3.12%, nilai ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan B. bassiana pada kerapatan konidia 106/ml sebesar 6.25%.

Bari (2006) melaporkan tingkat kematian C. fomicarius yang disebabkan oleh B. bassiana pada kerapatan konida 108/ml pada hari ke-6 sampai ke-10

mencapai hampir 100%. Capinera (1998) menyatakan bahwa B. bassiana mampu menyebabkan kematian yang besar pada kondisi kelembaban tinggi dan kepadatan

C. formicarius yang juga tinggi. Perbedaan data yang diperoleh kemungkinan diakibatkan oleh beberapa faktor seperti penurunan virulensi cendawan, masalah perkecambahan konidia, dan kondisi lingkungan.

Gambar 3 Mortalitas kumulatif C. formicarius yang terinfeksi cendawan

M. brunneum selama 10 hari setelah perlakuan kerapatan konidia: A) 106, B)107, C) 108, dan D) 109 konidia/ml.

Gambar 4 Mortalitas kumulatif C. formicarius yang terinfeksi cendawan

B. bassiana selama 10 hari setelah perlakuan kerapatan konidia: A) 106, B)107, C) 108, dan D) 109 konidia/ml.

Pada awal perlakuan serangga menunjukan keadaan yang mulai menunjukan ciri-ciri terinfeksi dengan 1-6% tingkat kematian (Gambar 3 dan 4). Kematian oleh cendawan M. brunneum mulai meningkat pada hari ke-4 dan mengalami penurunan pada hari ke-6, sedangkan kematian oleh cendawan

B. bassiana mengalami peningkatan pada hari ke-4 dan turun pada hari ke-7 dan ke-8 (Gambar 3 dan 4). C. formicarius yang terinfeksi cendawan M. brunneum

mengalami mortalitas lebih cepat dan peningkatan yang lebih stabil pada setiap kerapatan konidianya dibandingkan dengan B. bassiana yang perlahan dan memiliki perbedaan yang nyata pada setiap kerapatan konidia yang digunakan. Pengaruh jumlah konidia mempengaruhi kecepatan dalam menginfeksi dan membunuh serangga. Menurut Riyatno dan Santoso (1991) gerakan serangga yang terinfeksi lamban, nafsu makan berkurang bahkan berhenti, lama kelamaan diam dan mati dengan tubuh terselimuti oleh hifa cendawan (Gambar 5).

C. formicarius yang terinfeksi cendawan masih dapat melakukan kopulasi. Selama pengamatan ditemukan imago C. formicarius yang menunjukkan gejala terinfeksi pada waktu sedang kopulasi. Pada prosesnya, cendawan tidak selalu tumbuh keluar menembus integumen serangga, apabila keadaan kurang mendukung, perkembangan cendawan hanya berlangsung di dalam tubuh serangga (Santoso 1993). Agar hifa tumbuh dan keluar dari tubuh serangga dibutuhkan kelembaban yang tinggi.

Gambar 5 Serangga terinfeksi cendawan dengan tubuh kaku dan diselimuti oleh hifa cendawan (tanda panah), A) Serangga terinfeksi M. brunneum, B) Serangga terinfeksi B. bassiana.

0 20 40 60 80 100 6 7 8 9 10 % k e m a ti a n

log kerapatan (konidia/ml)

B. bassiana

Perbandingan virulensi antara cendawan M. brunneum dan B. bassiana

Konsentrasi cendawan entomopatogen harus ditentukan secara tepat untuk mendapatkan hasil pengendalian yang optimal (Prayogo 2006). Keberhasilan pengendalian hama dengan cendawan entomopatogen juga ditentukan oleh konsentrasi cendawan yang diaplikasikan yaitu kerapatan konidia dalam setiap mililiter air (Hall 1980).

Lethal concentration (LC) adalah nilai yang menunjukkan jumlah racun per satuan berat yang dapat mematikan populasi hewan yang digunakan dalam

percobaan (Prijono 1985). Dalam pengujian menggunakan cendawan

M. brunneum diperoleh hasil LC50 sebesar 4.2x106 konidia/ml dan LC95 sebesar 5.7x109 konidia/ml sedangkan pengujian menggunakan B. bassiana diperoleh LC50 sebesar 2.0x108 konidia/ml dan LC95 sebesar 4.3x1010 konidia/ml (Gambar 6). Hal ini menunjukkan bahwa M. brunneum memiliki nilai LC yang rendah. Nilai LC yang rendah mempunyai arti cendawan M. brunneum memiliki daya virulensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan B. bassiana.

Gambar 6 Hubungan antara kerapatan konidia dengan mortalitas C. formicarius

akibat perlakuan cendawan M. brunneum dan B. bassiana pada hari ke-10 setelah perlakuan.

Lethal Time (LT) adalah waktu yang diperlukan untuk mematikan populasi hewan uji pada dosis atau kosentrasi tertentu (Prijono 1985). Cendawan

M. brunneum pada kerapatan konidia 109/mlmempunyai nilai LT50 sebesar 3.73 hari dan LT95 sebesar 7.82 hari, yang berarti bahwa untuk mendapatkan kematian

y = 15.4x + 34.8

sebesar 50% dibutuhkan waktu selama 3.73 hari dan kematian sebesar 95% dibutuhkan waktu 7.82 hari (Tabel 2). Hal ini membuktikan bahwa kerapatan ini memberikan hasil yang efektif dan cepat dalam mengendalikan C. formicarius. Pada cendawan B. bassiana kerapatan konidia 109/ml mempunyai nilai LT50 sebesar 6.0 hari dan nilai LT95 sebesar 23.16 hari. Dalam hal ini, isolat cendawan

B. bassiana yang digunakan dianggap tidak efektif karena lama mematikan hama (Gambar 7, Tabel 2). Cendawan B. basssiana pada kerapatan konidia 106/ml memiliki nilai LT50 dan LT95 yang sangat tinggi sehingga nilai tidak ada pada probit (Tabel 2).

Gambar 7 Hubungan antara waktu dengan mortalitas C. formicarius akibat perlakuan cendawan M. brunneum dan B. bassiana pada kerapatan konidia 109/ml selama 10 hari.

Data LT B. bassiana pada penelitian ini berbeda dengan pengujian

sebelumnya. Bari (2006) menyatakan bahwa nilai LT50 pada perlakuan

B. bassiana terhadap C. formicarius sebesar 5.40 hari menggunakan isolat Bb-Cf

y = 11.6x + 0.6

dalam membunuh C. formicarius pada kerapatan konidia 108 konidia/ml. Perbedaan nilai LT50 pada B. bassiana dalam menginfeksi C. formicarius diduga karena cendawan B. bassiana yang digunakan, telah mengalami penurunan tingkat virulensinya akibat terlalu lama dibiakkan dalam media. Soenartiningsih et al. (1999) mengungkapkan bahwa cendawan B. bassiana yang disimpan pada suhu kamar selama 3 bulan menyebabkan penurunan virulensi akibat terjadinya penurunan daya kecambah. Penggunaan cendawan yang telah lama seharusnya dilakukan proses reinfeksi atau infeksi ulang terhadap serangga uji kemudian di isolasi kembali.

Selain itu, ketidakefektifan dalam menginfeksi C. formicarius disebabkan masalah perkecambahan konidia yang tergantung pada kelembaban, suhu, cahaya, dan nutrisi (Tanada dan Kaya 1993). Menurut Junianto dan Sukamto (1995) perkecambahan konidia memerlukan kelembaban relatif diatas 90% dan suhu optimum antara 20-30oC sedangkan kelembaban pada cawan berubah-ubah selama pengamatan.

Tabel 2 Nilai lethal time (LT) M. brunneum dan B. bassiana terhadap

C. formicarius selama 10 hari. Kerapatan

konidia/ml

M. brunneum B. bassiana

LT50 (hari) LT95 (hari) LT50 (hari) LT95 (hari)

106 9.31 40.36 - -

107 7.19 21.48 19.24 106.80

108 4.65 13.73 10.84 65.25

109 3.73 7.82 6.00 23.16

Dalam percobaan ini B. bassiana memiliki nilai keefektifan lebih rendah dibandingkan dengan M. brunneum. Perbandingan keefektifan antara kedua

cendawan terlihat jelas daya virulensinya terhadap tingkat mortalitas

C. formicarius. Perlakuan yang memiliki kefektifan yang baik untuk pengendalian adalah M. brunneum dengan kerapatan konidia 109 konidia/ml sedangkan pada

kerapatan 108 konidia/ml, keefektifannya sebanding dengan cendawan

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Semakin tinggi kerapatan konidia cendawan M. brunneum yang digunakan semakin tinggi pula tingkat kematian imago Cylas formicarius.

2. Cendawan M. brunneum efektif mengendalikan C. formicarius dengan kematian hingga 95% pada kerapatan 109 konidia/ml.

3. Pada hari ke-10 setelah perlakuan, nilai LC50 cendawan M. brunneum

sebesar 4.2x106 konidia/ml dan LC95 sebesar 5.7x109 konidia/ml. 4. Nilai LT50 cendawan M. brunneum dengan kerapatan konidia 109/ml

sebesar 3.73 hari.

Saran

Perlu dikaji viabilitas cendawan entomopatogen yang digunakan agar memiliki pengaruh yang lebih efektif terhadap serangga uji. Perlu diadakan penelitian lanjut dilapang sehingga diketahui tingkat keefektifan sebenarnya dalam pengendalian hama.

DAFTAR PUSTAKA

Alexopoulos CJ, CW Mims, M Blackwell. 1996. Introductory Mycology. 4th ed. New York (USA): John Wiley and Sons Inc.

AVRDC 2004. Integrated Pest Management of Sweet Potato Weevil. http://www.AVRDC. org/LC/Sweet Potato/Weevil.

Bari D. 2006. Keefektifan beberapa isolat cendawan entomopatogen Beauveria

bassiana (BALSAMO) Vuillemin Terhadap Hama Boleng Cylas

formicarius (Fabr.) (COLEOPTERA: Curculionidae) di Laboratorium [skripsi] .Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Insitut Pertanian Bogor.

Barnett HL, Hunter BB. 1972. Ilustrated Genera of Imperfect Fungi. 4th ed. Minnesota: APS Press.

Boucias DG, Pendland JC. 1998. Principles of Insect Pathology. London: Kluwer Academic Publishers.

CABI. 2001. Crop Protection Compendium. (CD-ROM), CABI, Rome.

Capinera JL. 1998. Sweet Potato Weevil, Cylas formicarius (Fabricius). Institute of Food and Agricultural Sciences.University of Florida.

CIP. 1991. Annual Report. Worldwide Potato and Sweet Potato Improvement. CIP, Peru. hlm 130-132.

Desyanti 2007. Kajian Pengendalian Rayap Tanah Captotermes Spp. (Isoptera: Rhinotermitidae) dengan menggunakan Cendawan Entomopatogen Isolat Lokal [disertasi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Insitut Pertanian Bogor.

Desyanti, Hadi YS, Yusuf S, Santoso T. 2007. Keefektifan Beberapa Spesies Cendawan Entomopatogen untuk Mengendalikan Rayap Tanah

Coptotermes gestroi WASMANN (Isoptera: Rhinotermitidae) dengan Metode Kontak dan Umpan. J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis 5(2):68-77. Domsch KH, W Gams, TH Anderson. 1993. Compendium of Soil Fungi, vol 1,

IHW-Verlag, Eching.

FAO. 1990. FAO Yearbook Production. Vol 42, 1989. Food and agricultural Organization of the United nations. Rome.

Fardiaz S. 1996. Food Control Policy, WHO national Consultant Report. Directorate General of Drug and Food Control, Ministry of Health. Jakarta.

Ginting S. 2008. Patogenisitas Beberapa Isolat Cendawan Entomopatogen Terhadap Rayap Tanah Captotermes curviganatus Holmgren dan

Schedorhinotermes javanicus Kemmer (Isoptera: Rhinotermitidae) [Thesis]. Bogor (ID). Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Hall RA. 1980. Control of aphids by the fungus Verticillium lecanii: Effect of

spore concentration. Entomology Experimental Application. (27): 1−5.

Hansen LS, T Steenberg. 2007. Combining larval parasitoids and an entomopathogenic fungus for biological control of Sitophilus granarius

(Coleoptera: Curculionidae) in stored grain. Biological Control. 40: 237- 242.

Inglis GD, Goettel MS, Butt TM, Strasser H. 2001. Use of Hypomyceteous Fungi for Managing Insect Pests. Di dalam: Butt TM, Jackson CW, Magan N, editor. Fungi as biocontrol Agents: progress, problems, and potential. London: CABI publishing.

Inglis GD, Goettel MS, Johnson DL. 1993. Persistence of the entomopathogenic fungus, Beauveria bassiana, on phylloplanes of crested wheatgrass and alfalfa. BiologicalControl 3: 258-270.

Jansson R.K, HH Bryan, KA Sorensen. 1987. Within-vine distribution and damage of sweet potato weevil, Cylas formicarius elegentulus

(Coleoptera: Curculionidae), on four cultivars of sweet potato in Southern Florida. Florida Entomologist. 70(4): 523-526.

Junianto YD, S Sukamto. 1995. Pengaruh suhu dan kelembaban relatif terhadap perkecambahan, pertumbuhan, dan sporulasi beberapa isolat B. Bassiana. Pelita Perkebunan 11(2): 64-75.

Kaku K, M Yonena, H Yoshimura, N Ho. 1999. Movement behavior of adults of

Cylasformicarius on host plant. Research Bulletin of the Plant Protection Service, Japan. 35: 81.

Lacey LA, MS Goettel. 1995. Current developments in microbial control of insect pests and prospects for the early 21st century. Entomophaga (40): 3−27. Neves PMOJ, Alves SB. 2004. External events related to the infection process of

Cornitermes cumulans (Kollar) (Isoptera: Termitidae) by the entomopathogenic fungi Beauveria bassiana and Metarhiziumanisopliae. Neutropical Entomopogy 33(1): 51-56.

Prayogo Y. 2006. Upaya Mempertahankan Keefektifan Cendawan Entomopatogen Untuk Mengendalikan Hama Tanaman Pangan. J Litbang Pertanian. [internet]. [diunduh 2011 feb 19]; 25(2): 47−54. Tersedia pada: http://www.pustaka.litbang.deptan.go.id /publikasi/p3252062.pdf.

Prijono D. 1985. Penuntun Praktikum Pestisida dan Alat Aplikasi Bagian Insektisida. Bogor: IPB.

Riyatno, Santoso T. 1991. Cendawan Beauveria bassiana dan cara pengembangannya guna mengendalikan hama bubuk buah kopi. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Perkebunan. Ditjen Perkebunan. Jakarta. Roddam LF, AD Rath. 1997. Isolation and characterisation of Metarhizium

anisopliae and Beauveria bassiana from subantarctic Macquarie Island. J. Invertebrata Pathology. (69): 285-288.

Santoso T. 1993. Dasar-dasar patologi serangga. Di dalam: E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, dan Y. Trisetyawati, editor. Simposium Patologi

Serangga I; 1993 Oktober 12-13;Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. hlm 1-15.

Sato K, I Uritani, T Saito. 1982. Properties of terpene-inducing factor extracted from adults of the sweet potato weevil, Cylas formicarius Fabricius (Coleoptera: Brethidae). Appl. Entomol. Zool. 17(3): 368−374.

Situmorang J. 1990. Petunjuk Praktikum Patologi Serangga PAV Bioteknologi. Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada.

Soenartiningsih, D Baco, M Yasin. 1999. Pengendalian penggerek batang jagung dan penggerek tongkol dengan cendawan entomopatogenik B. bassiana.

hlm 25.Makalah disampaikan pada Temu Teknologi Hasil Pengendalian Hama Terpadu. Program Nasional PHT, Departemen Pertanian Jakarta. Cisarua, 30 Juni 1999.

St. Leger R. 1993. Biology and mechanisms of insect cuticle invasions by Deuteromycete fungal pathogens. Di dalam : Beckage NE, Thompson SN dan Federici BA, Editor. Parasites and Phatogens of insects Vol 2:

Pathogens. San Diego: Academic Press, Inc. hlm 211-229.

Strack BH. 2003. Biological control of termites by the fungal entomopathogen

Metarhizium anisopliae. www.utoronto.ca/forest/termite/metani_1.htm [24 Febuari 2011].

Sudarmadji D. 1997. Optimasi pemanfaatan Beauveria bassiana Bals.(vuill) untuk Pengendalian Hama. Pertemuan Teknis Perlindungan Tanaman. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman, Ditjen Perkebunan. Cipayung, 16- 18 Juni 1997.

Supriyatin 2001. Hama boleng pada ubi jalar dan cara pengendaliannya. Palawija

2: 22−29.

Sutopo D, Indriyani IGAA. 2007. Status, Teknologi, dan Prospek B. Bassiana

Untuk Pengendalian Serangga Hama. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Malang.

Tanada Y, Kaya HK. 1993. Insect Pathology. San Diago: Academic Press, INC. Harcourt Brace Jovanovich, Publisher.

Widodo Y, Supriyatin, AR Braun. 1994. Rapid assessment of IPM needs for sweet potato in some commercial production areas of Indonesia. International Potato Center, Bogor, Indonesia and Malang Research Institute for Food Crops. Malang.

Dokumen terkait