• Tidak ada hasil yang ditemukan

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, dari bulan Juni sampai bulan Oktober 2011.

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian yaitu ajir, peralatan tanam, alat ukur, pompa sawah irigasi model GX120T1 (Gambar 1), selang dengan ukuran diameter 2 inci (5.08 cm) dan timbangan digital. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini benih kedelai varietas Tanggamus, abu jerami, dan insektisida, dan kapur dolomit. Pupuk yang digunakan adalah pupuk Urea, pupuk KCl, dan pupuk SP-36.

Gambar 1. Pompa Sawah Irigasi model GX120T1

Metode Penelitian

Penelitian menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan 3 ulangan dan satu faktor yaitu dosis abu jerami. Penelitian menggunakan 4 perlakuan dosis abu jerami yaitu tanpa pemupukan (kontrol), 1 000 kg/ha, 2 000 kg/ha, dan 3 000 kg/ha dengan perlakuan pembanding 100 kg KCl/ha, 2 000 kg Kapur/ha, serta campuran antara 100 kg KCl/ha dan 2 000 kg Kapur/ha. Tiap ulangan terdiri dari 7 petak yang diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 21 unit satuan percobaan. Tiap petak diambil 5 tanaman contoh sehingga terdapat 105 tanaman contoh yang akan diamati pada setiap petak. Jarak tanam

yang digunakan yaitu 20 cm x 25 cm dengan jumlah benih per lubang tanam yaitu 2 benih.

Model rancangan yang digunakan adalah: Yij= µ + αi+ βj+ εij

Keterangan :

Yij : nilai pengamatan pada perlakuan ke - i, dan kelompok ke - j µ : nilai rata-rata umum

αi : pengaruh perlakuan pemupukan ke - i

βj : pengaruh ulangan k ke - j

εij : pengaruh galat percobaan pemupukan taraf ke - i, dan ulangan ke - k i : dosis abu jerami (P0 - P3) dan dosis pemupukan sebagai pembanding

(P4 - P6) ke - i (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7). j : kelompok (1, 2,3)

Data yang diperoleh dianalisis dengan uji F, dengan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf kesalahan 5 % (Gomez dan Gomez, 2007).

Pelaksanaan Penelitian

Lahan yang belum diolah ditumbuhi oleh gulma (Gambar 3). Pengolahan lahan dilakukan dengan cara membuat saluran sehingga terbentuk bedengan dan digenangi air sehingga kondisi bedengan selalu basah (Gambar 4). Setiap petak percobaan memiliki ukuran 2 m x 2 m dengan jarak antar petak percobaan 30 cm, saluran memiliki kedalaman 25 cm dan lebar 30 cm (Lampiran 6). Pemberian air irigasi dilakukan sejak penanaman hingga panen dengan kedalaman muka air 15 cm di bawah permukaan tanah (DPT) (Gambar 2). Sumber air berasal dari saluran sekunder maupun saluran tersier yang terpengaruh oleh pasang yang dialiri melalui saluran drainase. Kelebihan air hujan dibuang melalui saluran pembuangan agar kondisi tanah tidak terlalu jenuh.

16

Gambar 2. Ukuran Saluran Drainase dan Kedalaman Tinggi Muka Air 15 cm Pemberian perlakuan dilakukan pada satu minggu sebelum penanaman yaitu pada saat pengolahan tanah. Setiap petak percobaan diberikan pupuk sebanyak 200 kg SP-36/ha. Penanaman dilakukan satu minggu setelah pengolahan lahan. Setiap lubang tanam diberikan 3 benih kedelai dengan kedalaman lubang 1 - 2 cm. Insektisida berbahan aktif Karbosulfan 25.53 % diberikan pada saat benih ditanam sebanyak 15 g/kg benih untuk mengatasi lalat bibit. Penjarangan dilakukan pada 2 Minggu Setelah Tanam (MST) untuk menghindari kompetisi

antar tanaman dalam menyerap unsur hara dan radiasi matahari menjadi 2 benih/lubang tanam (populasi tanaman 400 000 tanaman/ha). Kedelai diberikan

pupuk daun N pada 3, 4, 5, dan 6 MST dengan konsentrasi 10 g Urea/l air dengan menggunakan volume semprot 400 l air/ha.

Gambar 3. Lahan Belum Diolah Gambar 4. Lahan Sudah Diolah

Pengendalian terhadap gulma dilakukan secara manual pada 8 MST karena telah mengganggu kondisi tanaman. Pengendalian hama dilakukan dengan menggunakan pestisida berbahan aktif Cypermethrin 113 g/l, Klorantraniliprol 50 g/l, Fipronil 50 g/l dan BPMC 500 g/l. Pengairan dalam saluran dipertahankan ketinggiannya sejak penanaman hingga panen.

Kriteria tanaman yang telah siap dipanen adalah pada saat kira-kira 90 % dari populasi tanaman sudah luruh daunnya, warna polong sudah berubah dari hijau berwarna kuning kecoklatan, polong dan biji sudah berkembang penuh, kriteria penentuan saat panen seperti itu merupakan cara yang paling mudah untuk menentukan saat masak fisiologis benih kedelai yang tepat. Panen dilakukan pada tanaman kedelai di dalam ubinan dengan ukuran 1 m x 1 m (Gambar 5).

Gambar 5. Contoh Denah Panen dalam 1 Petak Percobaan

Pengamatan

Pengamatan dilakukan pada 5 tanaman contoh di 21 unit satuan percobaan. a. Pengamatan vegetatif

Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang sampai dengan titik tumbuh, akan dilakukan pada 4, 8 MST, dan Saat Panen.

Jumlah daun telah terbentuk secara sempurna (terbuka), dilakukan pada 4 , dan 8 MST.

Bobot bintil akar, akar, batang dan daun umur 8 MST b. Analisis hara tanah sebelum tanam.

18

d. Pengamatan Komponen Produksi (saat panen) 1. Tinggi tanaman yang dipanen

Pengukuran dilakukan pada saat panen pada 5 tanaman contoh tiap petak percobaan.

2. Jumlah cabang per tanaman

Penghitungan dilakukan pada saat panen pada 5 tanaman contoh tiap petak percobaan.

3. Jumlah buku produktif dan tidak produktif per tanaman

Penghitungan dilakukan pada saat panen pada 5 tanaman contoh tiap petak percobaan.

4. Jumlah polong isi per tanaman 5. Jumlah polong hampa per tanaman 6. Bobot biji kering/m²(g)

Dilakukan dengan cara menimbang seluruh biji hasil panen pada setiap petak percobaan.

7. Bobot kering 100 biji (g) 8. Produksi biji (ton/ha)

Kondisi Umum

Penelitian dilakukan di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan dari bulan Juni sampai Oktober 2011. Menurut Banyuasin (2010) wilayah Kabupaten Banyuasin sebagian besar merupakan dataran rendah pesisir yang terletak di bagian hilir aliran Sungai Musi dan Sungai Banyuasin. Wilayahnya pada umumnya berupa lahan basah yang terpengaruh pasang surut, sehingga sebagian besar lahan tersebut dimanfaatkan untuk pertanian pangan lahan basah, khususnya persawahan pasang surut. Berdasarkan alat Global Positioning System (GPS) lokasi penelitian berada pada ketinggian 28 meter di atas permukaan laut dengan letak lintang selatan 2 39’32”

dan bujur timur 104 43’618” merupakan wilayah pasang surut tipe luapan C.

Berdasarkan data klimatologi dari bulan Mei hingga bulan September 2011, suhu di daerah penelitian penelitian berkisar antara 25.1 - 29.4 C (Lampiran 2), kelembaban udara 62 – 90 % (Lampiran 3), dan lama penyinaran 0 – 100 % (Lampiran 4).

Lahan pasang surut memiliki beberapa jaringan drainase. Lokasi penelitian terdapat saluran primer (Gambar 6), saluran sekunder (Gambar 7), saluran tersier (Gambar 8), dan saluran kuarter (Gambar 9). Semua saluran ini bermuara dari sungai Musi. Air dari saluran ini terkena pengaruh pasang dari laut sehingga terdapat kation dan anion dalam air yang didominasi oleh Na dan Cl. Hasil penelitian Sahuri (2010) menyatakan kandungan kation dan anion dalam air yang didominasi oleh Na dan Cl, namun daya hantar listrik rendah 0.488 mmhos/cm. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) kelas kesesuaian lahan untuk

tanaman kedelai yang sangat sesuai (S1) memiliki salinitas kurang dari 2.5 mmhos/cm.

Hasil analisis tanah sebelum penanaman menunjukkan tanah bersifat masam yaitu pH H O 4.94. Kandungan bahan organik tanah tergolong tinggi dengan C/N sebesar 23 %. Tekstur tanah di lokasi penelitian tergolong liat dengan kandungan pasir 1 %, debu 38 %, dan liat 61 %. Nilai Kapasitas Tukar Kation

20

(KTK) sebesar 25.33 cmol/kg dan Kejenuhan Basa (KB) sebesar 66 % tergolong tinggi. Kadar pirit (FeS ) di lokasi penelitian 140 ppm dengan Al 0.84 cmol/kg (Lampiran 5).

Gambar 6. Saluran Primer Gambar 7. Saluran Sekunder

Gambar 8. Saluran Tersier Gambar 9. Saluran Kuarter

Kecambah kedelai mulai muncul ke permukaan pada umur 5 hari setelah tanam (HST) dan tumbuh rata pada umur 7 HST (Gambar 10). Serangan ulat grayak (Gambar 13) dan belalang (Gambar 12) mulai terlihat pada umur 10 HST, oleh karena itu dilakukan penyemprotan insektisida. Penyemprotan insektisida ini dapat mengurangi serangan dari ulat dan belalang tersebut. Penjarangan dan transplanting dilakukan pada umur 14 HST untuk mengurangi persaingan antar tanaman dalam menyerap unsur hara dan radiasi matahari.

Gambar 10. Kedelai Berumur 7 HST Gambar 11. Kedelai Berumur 21 HST

Gambar 12. Belalang Hijau Gambar 13. Ulat grayak

Daun trifoliat pertama terbentuk sempurna pada umur 14 HST. Tanaman kedelai mulai kuning warna daunnya pada umur 21 HST (Gambar 11). Menurut Ghulamahdi (1999) hal ini karena kedelai beraklimatisasi dan selanjutnya tanaman memperbaiki pertumbuhannya. Menurut Puspitasari (2011) pada tahap aklimatisasi banyak akar tanaman yang mati akibat kondisi jenuh. Kemudian tanaman memperbaiki pertumbuhannya dengan membentuk akar dan bintil akar yang baru. Penyemprotan N melalui daun dilakukan pada umur 21 HST. Gejala penguningan daun mulai berangsur berkurang pada umur 30 HST, semua daun sudah mulai hijau kembali.

Tanaman kedelai mulai terlihat berbunga pada umur 35 HST. Polong mulai muncul pada umur 50 HST dan polong mulai mengisi sekitar umur 9 MST. Umur 10 MST daun sudah mulai rontok hal ini diduga translokasi hara ke fase pengisian polong sehingga pada saat itu air masih tetap diperlukan. Umur 11 MST polong pada tanaman kedelai sudai terlihat terisi (Lampiran 13). Umur 13 MST daun sudah seluruhnya rontok dan warna polong sebagian besar sudah coklat. Kedelai dipanen pada umur 13 MST.

22

Hasil

Perlakuan yang digunakan adalah abu jerami yaitu jerami padi hasil panen padi dibakar yang selanjutnya untuk dijadikan abu. Abu jerami yang digunakan berwarna hitam (Gambar 14). Berdasarkan analisis, abu jerami yang digunakan memiliki pH sebesar 10.60. Unsur hara yang terkandung pada abu jerami terdiri dari unsur hara makro dan unsur hara mikro yaitu C, N, P΍Oΐ, Mg, Ca, K, Na, S, Mn, Cu, dan Zn. Unsur K memiliki kandungan yang lebih tinggi dibanding unsur hara lainnya dalam abu jerami yang dianalisis yaitu 3.79 g/100 g (Tabel 1).

Gambar 14. Abu jerami

Tabel 1. Data Analisis Abu jerami

No. Peubah Analisis Hasil Analisis

1 pH H΍O 10.60

2 Wakley & Black

C 1.37%

3 Kjedahl

N 0.22%

4 Eks. Total (HNO Ύ + HClOΏ)

P΍Oΐ 0.54 g/100g Ca 1.04 g/100g Mg 0.61 g/100g K 3.79 g/100g Na 0.07 g/100g S 0.53 g/100g Fe - Mn 1418 ppm Cu 5.31 ppm Zn 87.24 ppm

Tabel 2. Dosis Abu jerami terhadap Tinggi Tanaman, dan Jumlah Daun Tanaman Kedelai

Perlakuan

Peubah Analisis

Tinggi Tanaman Jumlah Daun

4 MST 8 MST 13 MST

(Saat Panen) 4 MST 8 MST Dosis Abu Jerami

P0 20.50 59.26 76.32 6.6 12.1 P1 21.25 60.88 75.93 6.8 14.0 P2 20.46 59.20 74.60 6.5 15.2 P3 22.35 58.93 74.52 6.2 12.6 Pembanding P4 21.33 61.13 74.27 6.8 13.4 P5 21.51 63.01 76.58 6.7 13.1 P6 20.64 62.41 76.43 6.3 12.7

Keterangan : P0 (tanpa abu sebagai kontrol), P1 (1 ton/ha), P2 (2 ton/ha), P3 (3 ton/ha), P4 (100 kg KCl/ha), P5 ( 2 ton Kapur/ha), P6 (100 kg KCl/ha dan 2 ton Kapur/ha)

Tabel 3. Dosis Abu Jerami terhadap Bobot Bintil Akar, Akar, Batang, dan Daun Kedelai pada Umur 8 MST

Perlakuan Peubah Analisis Bobot Bintil Akar (g) Bobot Akar (g) Bobot Batang (g) Bobot Daun (g) Dosis Abu Jerami

P0 0.63 0.87 2.30 4.11 P1 1.47 1.09 7.18 9.16 P2 1.02 1.22 4.99 5.91 P3 0.74 1.55 7.53 9.15 Pembanding P4 1.01 1.24 6.84 8.59 P5 1.33 1.30 6.71 8.67 P6 1.12 1.63 5.32 7.62

Keterangan : P0 (tanpa abu sebagai kontrol), P1 (1 ton/ha), P2 (2 ton/ha), P3 (3 ton/ha), P4 (100 kg KCl/ha), P5 ( 2 ton Kapur/ha), P6 (100 kg KCl/ha dan 2 ton Kapur/ha)

Analisis ragam menunjukkan bahwa pengaruh dosis pemupukan abu jerami tidak berbeda nyata pada komponen pertumbuhan (Tabel 2). Tinggi tanaman saat panen pada dosis abu jerami berkisar antara 74.52 - 76.32 cm sedangkan tinggi tanaman pada pembanding berkisar antara 74.27 - 76.58 cm. Jumlah daun pada umur 8 MST pada dosis abu jerami berkisar antara 12.1 - 15.2 sedangkan jumlah daun pada pembanding berkisar antara 12.7 - 13.4 (Tabel 2).

24

Bobot bintil akar, batang, dan daun pada dosis abu jerami 1 ton/ha cenderung lebih tinggi dibandingkan yang lainnya walaupun secara statistik tidak berbeda nyata (Tabel 3). Perlakuan abu jerami 1 ton/ha memiliki bobot bintil akar 1.47 g, bobot batang 7.18 g, dan bobot daun 9.16 g. Perlakuan kontrol memiliki bobot bintil akar 0.63 g, bobot batang 2.30 g, dan bobot daun 4.11 g.

Tabel 4. Dosis Abu Jerami terhadap Komponen Pertumbuhan Saat Panen.

Perlakuan Peubah Analisis Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Cabang Buku Produktif Buku Tidak Produktif Dosis Abu Jerami

P0 76.32 3.7 23.9 4.9 P1 75.93 4.3 25.8 5.2 P2 74.60 4.8 25.2 4.9 P3 74.52 4.4 23.9 5.4 Pembanding P4 74.27 4.7 22.2 4.7 P5 76.58 3.5 20.3 4.9 P6 76.43 4.1 20.8 4.7

Keterangan : P0 (tanpa abu sebagai kontrol), P1 (1 ton/ha), P2 (2 ton/ha), P3 (3 ton/ha), P4 (100 kg KCl/ha), P5 ( 2 ton Kapur/ha), P6 (100 kg KCl/ha dan 2 ton Kapur/ha)

Tabel 5. Dosis Abu Jerami terhadap Komponen Produksi Saat Panen.

Perlakuan Peubah Analisis Polong Isi Polong Isi/Buku Produktif Bobot Biji/m² (g) Produksi Biji (ton/ha) Bobot 100 Biji (g) Dosis Abu Jerami

P0 54.1b 2.3c 353.23b 3.53b 9.83

P1 83.8a 3.2a 516.89a 5.17a 10.00

P2 69.3ab 2.7bc 344.79b 3.45b 10.33 P3 75.7ab 3.1ab 354.63b 3.55b 10.00 Pembanding P4 56.6b 2.6c 364.95b 3.65b 10.50 P5 49.4b 2.5c 307.39b 3.07b 10.50 P6 48.8b 2.4c 313.51b 3.14b 10.17

Keterangan: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata

dengan uji jarak uji berganda Duncan 5%. P0 (tanpa abu sebagai kontrol), P1 (1 ton/ha), P2 (2 ton/ha), P3 (3 ton/ha), P4 (100 kg KCl/ha), P5 ( 2 ton Kapur/ha),

Analisis ragam menunjukkan dosis abu jerami tidak berbeda nyata pada tinggi tanaman, jumlah cabang, buku produktif, buku tidak produktif, dan bobot 100 biji tetapi berbeda nyata pada jumlah polong isi, polong isi/buku produktif, bobot biji per m2 dan produksi biji (Tabel 4, dan 5). Jumlah polong isi tertinggi pada perlakuan abu jerami 1 ton/ha yaitu 83.8, sedangkan jumlah polong isi tertinggi pada perlakuan pembanding yaitu perlakuan 100 kg KCl/ha sebanyak 56.6. Jumlah polong isi dari kontrol sebanyak 54.1. Perlakuan abu jerami 1 ton/ha memiliki jumlah polong isi tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Perlakuan abu jerami 1 ton/ha memiliki jumlah polong isi per buku produktif tertinggi yaitu 3.22, jumlah polong isi per buku produktif terendah pada kontrol yaitu 2.3 sedangkan pada perlakuan pembanding jumlah polong isi per buku produktif tertinggi pada perlakuan 100 kg KCl/ha sebanyak 2.6 (Tabel 5). Pemberian abu jerami 1 ton/ha mempengaruhi jumlah polong isi dan jumlah polong isi per buku produktif diduga karena adanya akumulasi perbaikan peningkatan dari komponen pertumbuhan. Produksi biji pada perlakuan abu jerami 1 ton/ha sebesar 5.17 ton/ha tertinggi dibanding perlakuan yang lainnya maupun dari kontrol.

Pembahasan

Penerapan budidaya jenuh air (BJA) pada lahan pasang surut dapat dilakukan pada tipe manapun. Berdasarkan tipe luapan, lahan pasang surut dibagi ke dalam 4 macam yaitu tipe luapan A, B, C, dan D. Lahan pasang surut pada lokasi penelitian yaitu tipe luapan C dimana tipe luapan C ini tidak mengalami air pasang besar maupun pasang kecil namun permukaan air tanahnya cukup dangkal yaitu kurang dari 50 cm. Pengelolaan air yang baik pada lahan pasang surut merupakan salah satu faktor untuk memberikan peningkatan pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai dibandingkan budidaya kering. Hasil penelitian Sahuri (2010) menunjukkan pengelolaan tata air yang tepat merupakan kunci keberhasilan budidaya kedelai di lahan pasang surut. Interaksi tinggi muka air dan lebar bedengan berpengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah cabang, hasil biji, jumlah buku produktif, jumlah polong isi, produksi biji, dan bobot 100 biji

26

kedelai. Potensi hasil biji kedelai tertinggi pada perlakuan tinggi muka air 20 cm di bawah permukaan tanah dengan lebar bedengan 2 m mencapai 4.15 ton/ha.

Permasalahan yang ada di lahan pasang surut yaitu rendahnya pH tanah akibat pirit (FeS2) yang mengalami oksidasi akibat terangkatnya ke permukaan tanah pada saat pengolahan tanah. Pirit yang dalam keadaan oksidasi akan menghasilkan besi bervalensi tiga, ion asam sulfat, dan melimpahnya ion hidrogen. Menurut Ghulamahdi (2009) usaha penurunan kadar pirit di lahan pasang surut dapat dilakukan dengan cara pengaturan tinggi muka air agar kondisi tanah lebih reduktif. Adanya “Teknologi Budidaya Jenuh Air” memberikan

peluang untuk menurunkan kadar pirit. Penurunan kadar pirit juga dapat dilakukan

melalui “Tanpa Olah Tanah” atau “Pengolahan Tanah Ringan”, sehingga pirit

tidak terangkat ke permukaan, serta pemberian kapur dan pupuk kandang.

Hasil panen padi menghasilkan limbah organik berupa jerami padi dan sekam padi. Kedua limbah ini dapat digunakan kembali sebagai pupuk terhadap tanaman. Hasil penelitian Indrayati dan Jumberi (2001) pada tanaman padi menunjukkan pemberian bahan organik berasal dari jerami padi yang potensinya cukup banyak memberikan pengaruh baik, selain dapat mensuplai kebutuhan unsur-unsur hara bagi tanaman padi juga dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara dalam tanah dan dapat meningkatkan hasil padi serta dapat memperbaiki sifat kimia tanah ditandai dengan menurunnya konsentrasi Al, Fe, dan SO4.

Hasil penelitian Rianawati (2007) menunjukkan bahwa perlakuan residu abu sekam mampu menurunkan intensitas serangan hama dan keparahan penyakit. Hal ini diduga karena adanya kandungan unsur silikat yang salah satu fungsinya untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap hama dan penyakit melalui pengerasan jaringan, di dalam abu sekam padi menurut Soepardi (1983) sebesar 87.82 %. Pengembalian sekam padi ke tanah yang berkadar Si tinggi dapat mengurangi intensitas serangan hama dan keparahan penyakit. Mineralisasi sekam padi akan melepaskan hara secara lambat dan kontinyu sehingga hara akan tersedia dalam jangka waktu yang panjang. Hasil analisis yang dilakukan oleh Soepardi et al. (1982) diperoleh data bahwa sekam padi mengandung 0.46 % N-total, 0.04 % P, 0.37 % K, 0.26 % Ca, 0.05 % Mg, dan 17.80 % Si. Abu

sekam mengandung 0.30 % N, 0.13 % P, 0.88 % K, 0.28 % Ca, 0.02 % Mg, dan 87.28 % Si.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian abu jerami dengan takaran 54 gram per tanaman pada tanaman ubi jalar merupakan takaran abu jerami yang terbaik untuk pertumbuhan dan hasil urnbi tanaman ubi jalar. Dianjurkan untuk melakukan pemberian abu jerami sebagai sumber hara kalium untuk menaikkan produksi umbi tanaman ubi jalar dengan takaran 54 gram per tanaman (Djalil et al., 2004). Hasil penelitian menunjukkan pengaruh interaksi antara cara penggunaan dan dosis abu mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap variabel pertumbuhan dan hasil tanaman dibanding faktor tersebut secara tunggal. Ini berarti bahwa pengaruh abu tersebut bergantung kepada jumlah yang diberikan dan bagaimana cara pemberiannya (Sudadi dan Atmaka, 2000).

Dosis abu jerami berpengaruh nyata pada polong isi, dan produksi biji, hal ini diduga pH tanah menjadi mendekati netral karena adanya kandungan silikat (Si) pada abu jerami. Menurut Soepardi et al. (1982) silikat dapat diperoleh dari beberapa surnber antara lain dari garam-garam silikat (Ca-silikat, K-metasilikat, Na-metasilikat, K-silikofosfat), asam silikat, terak baja, semen, serta sekam padi dan abu sekam. Menurut Sumner dan Farina (1986) bahwa reaksi silikat (Si) dalam tanah sama seperti pada proses pengapuran dapat meningkatkan pH tanah.

Gambar 15. Hubungan pH Tanah terhadap Ketersedaiaan Unsur Hara (Christenson et al., 1993)

28

Meningkatnya pH tanah akan menyebabkan unsur hara menjadi tersedia. Gambar 15 menunjukkan hubungan pH tanah terhadap ketersediaan unsur hara bagi tanaman. Derajat kemasaman (pH) yang relatif normal menyebabkan unsur hara yang dibutuhkan tanaman lebih tersedia jika dibandingkan pada pH yang rendah maupun pH yang tinggi. Unsur hara makro seperti N, P, K tersedia pada kisaran pH antara 5.5-7.5.

Ketersediaan unsur hara K, Cu, dan Zn relatif mencukupi untuk tanaman. Kandungan unsur hara K pada abu jerami sebesar 3.79 %, unsur hara Cu sebesar 5.31 ppm dan unsur hara Zn sebesar 87.24 ppm. Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002) ketersediaan Cu pada tanah yang normal 0.1 - 4 ppm dan kebutuhan normal tanaman berkisar antara 5 - 20 ppm. Menurut Lindsay (1979), kandungan unsur hara seng (Zn) di dalam tanah berkisar antara 10 - 300 ppm, sedangkan kebutuhan normal tanaman 25 - 125 ppm (Kurniawan, 2010). Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002) unsur hara Cu berperan dalam metabolisme protein dan karbohidrat. Tanaman kekurangan Cu, sintesis protein terganggu maka protein yang ada jadi larut. Pembungaan dan pembuahan sangat terganggu bila tanaman kekurangan Cu. Cu lebih berperan terhadap perkembangan tanaman generatif jika dibandingkan dengan organ vegetatif.

Menurut Munawar (2011) unsur Zn penting bagi metabolisme karbohidrat, sintesis protein, dan pertumbuhan batang. Kekahatan Zn biasanya terjadi jika konsentrasinya di dalam tanaman kurang dari 10 – 20 ppm (Havlin et al., 2005). Daun-daun tanaman yang baru terbentuk mengalami klorosis dengan warna hijau pada tulang-tulang daun, buku batang pendek, dan daun-daun berukuran kecul, pertumbuhan terhambat, keriting, dan mengelompok pada bagian atas tanaman (Jones, 1998). Penggunaan dosis abu jerami berlebih akan menyebabkan produksi menjadi turun. Diduga tanaman mengalami kelebihan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman akibatnya tanaman mengalami kekahatan.

Dosis abu jerami 1 ton/ha mempengaruhi peningkatan komponen produksi pada saat panen diduga berasal dari akumulasi perbaikan peningkatan komponen pertumbuhan (vegetatif) walaupun berdasarkan analisis statistik menunjukkan tidak berpengaruh nyata. Tanaman kontrol yang tidak diberi bahan amelioran dan pupuk KCl memberikan hasil yang lebih rendah hal ini diduga tidak cukup

tersedianya unsur hara yang dibutuhkan tanaman selain karena pH tanah yang tergolong masam. Pemberian pupuk KCl pada perlakuan pembanding lebih baik dibanding pemberian kapur atau kapur yang dicampur pupuk KCl. Pemberian abu jerami nyata mempengaruhi produksi biji di lahan rawa pasang surut. Kandungan unsur hara pada abu jerami lebih banyak sehingga lebih tersedia dibandingkan kandungan unsur hara yang ada pada bahan amelioran (kapur dolomit) maupun pupuk tunggal (pupuk KCl). Abu jerami 1 ton/ha mempengaruhi peningkatan pada jumlah polong isi/buku produktif. Jumlah polong isi/buku produktif pada tanaman kontrol hanya 2.3 sedangkan pada pemberian abu jerami 1 ton/ha jumlah polong isi/buku produktif sebesar 3.2.

Hasil analisis regresi pada dosis abu jerami menunjukkan persamaan sebagai berikut : Y= -0.384x2 + 0.985x + 3.791dengan R2 = 35.3 %. Berdasarkan persamaan tersebut diperoleh dosis abu jerami optimum yaitu 1.3 ton/ha dengan produktivitas 4.42 ton/ha (Gambar 16). Hasil analisis regresi pada dosis abu jerami menunjukkan persamaan sebagai berikut : Y = -5.810x2 + 22.47x + 57.35 dengan R2 = 55.3 %. Dari persamaan tersebut diperoleh dosis abu jerami optimum yaitu 1.9 ton/ha dengan jumlah polong isi sebanyak 79.1 (Gambar 17).

Gambar 16. Hubungan Dosis Abu jerami Terhadap Produktivitas Kedelai y = -0.384x2 + 0.985x + 3.791 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 0 1 2 3 4 P rod u k tivitas (t on /h a )

Dosis Abu Jerami (ton/ha)

30

Gambar 17. Hubungan Dosis Abu jerami Terhadap Polong Isi Kedelai

Gambar 18. Kondisi Curah Hujan di Lokasi Penelitian

Curah hujan di lokasi penelitian tertinggi pada bulan Maret yaitu 27 mm dan terus menurun hingga 5 mm pada bulan Juli dan Agustus, kemudian mulai naik kembali bulan September. (Gambar 18). Kondisi curah hujan ini tidak berada pada rentang syarat tumbuh kedelai, menurut Ristek (2010) syarat tumbuh kedelai

y = -5.810x2 + 22.47x + 57.35 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00 0 1 2 3 4 Ju m lah P olon g Isi

DosisAbu Jerami (ton/ha)

Polong Isi 0 5 10 15 20 25 30 Curah H u jan (m m ) Bulan tahun 2011

berada pada curah bulan antara 100 - 400 mm/bulan. Tingkat curah hujan pada lokasi penelitian tergolong rendah dan termasuk bulan kering, menurut metode Oldman yang termasuk bulan kering yaitu curah hujan kurang dari 100 mm. Kondisi ini dapat teratasi dengan teknik budidaya jenuh air dimana air akan selalu tersedia di saluran drainase. Ketika air yang berada pada saluran drainase mulai berkurang (kurang dari 15 cm DPT) maka dilakukan pengisian air. Air yang digunakan berasal dari saluran sekunder. Pengisian air ke saluran menggunakan pompa dengan model GX120T1 yang memiliki diameter selang 2 inci (5.08 cm).

Luas areal panen kedelai di Indonesia tahun 2010 sebesar 660 823 ha

lebih rendah dibandingkan luas areal panen padi di Indonesia tahun 2010 sebesar 13 253 450 ha (BPS, 2011). Penggunaan abu jerami pada penanaman kedelai

diduga akan tercukupi hal ini karena luas areal kedelai lebih rendah dibandingkan luas areal padi. Berdasarkan wawancara terhadap petani di lokasi penelitian, mereka menanam padi antara bulan Oktober dan November, dipanen antara bulan Februari/Maret. Tanaman padi yang ada dibiarkan selama kurang lebih 1 bulan setelah itu dilakukan pemanenan kembali. Lahan yang telah dipanen kemudian dibiarkan/dibera hingga menunggu musim tanam berikutnya (bulan

Dokumen terkait