• Tidak ada hasil yang ditemukan

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni hingga November 2005 bertempat di Laboratorium Bioteknologi Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan adalah biji tanaman Anthurium andreanum, media dasar MS, agar-agar, gula, air steril dan spirtus. ZPT berupa IAA, BAP dan air kelapa 15%(v/v). Deterjen, Alkohol 70%, Bethadine, Dithane, Agreep dan Clorox 10%, 20% dan 30% sebagai desinfektan.

Peralatan yang digunakan adalah timbangan analitik, pH meter, cawan petri, erlenmeyer, gelas ukur, pipet, pengaduk gelas, hand sprayer, autoklaf, Laminar Airflow Cabinet (LAC), alat-alat tanam (gunting dan pinset), botol kultur, plastik, karet gelang, lampu UV, rak kultur dan alat tulis.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan perlakuan faktorial dengan dua faktor yang disusun dalam Rancangan Lingkungan Acak Lengkap. Faktor pertama adalah pemberian IAA dengan 5 taraf konsentrasi, yaitu 0.0 ppm (A0), 0.1 ppm (A1), 0.2 ppm (A2), 0.3 ppm (A3) dan 0.4 ppm (A4). Faktor kedua adalah pemberian BAP dengan 4 taraf konsentrasi, yaitu 0.0 ppm (B0), 1.0 ppm (B1), 2.0 ppm (B2) dan 3.0 ppm (B3). Kombinasi dua faktor tersebut akan menghasilkan 20 perlakuan yang masing-masing diulang sebanyak 10 kali, sehingga terdapat 200 satuan percobaan. Setiap ulangan terdiri dari 1 botol yang berisi 1 eksplan.

Model matematika yang digunakan adalah : Yijk = µ + ai + ßj + (aß)ij + eijk

Dimana :

Yijk = Respon perlakuan

µ = Rataan umum

ai = Pengaruh perlakuan IAA ke-i

ßj = Pengaruh perlakuan BAP ke-j

(aß)ij = Pengaruh interaksi perlakuan IAA ke-i dan BAP ke-j

eijk = Galat percobaan

Data yang diperoleh diuji dengan uji F. Jika dalam sidik ragam perlakuan berpengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut DMRT taraf 5%.

Pelaksanaan Penelitian Persiapan dan Sterilisasi Alat

Alat-alat yang digunakan untuk kegiatan penanaman harus dalam keadaan steril. Botol kultur, cawan petri, alat-alat tanam (gunting dan pinset) dicuci terlebih dahulu kemudian dikeringkan. Setelah itu peralatan-peralatan tersebut dibungkus dengan kertas lalu disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121oC dan pada tekanan 17.5 psi (pound per square inch) selama satu jam. Penghitungan waktu sterilisasi dimulai setelah tekanan yang diinginkan tercapai.

Persiapan Air Kelapa

Air kelapa diperoleh dari buah kelapa yang masih muda dan segar yang kemudian disaring dengan saringan dan disimpan didalam lemari es selama satu malam. Air kelapa kemudian ditambahkan kedalam media MS sebanyak 15% (v/v) untuk semua perlakuan.

Pembuatan Media

Media dibuat dengan mencampur larutan stok makro, mikro A, mikro B, CaCl2, Myo-inositol, stok Fe dan vitamin. Campur larutan stok tersebut dengan air kelapa yang telah disaring sebanyak 15%(v/v) serta IAA dan BAP sesuai dengan perlakuan kemudian tambah air aquades hingga volume menjadi 1 liter.

Tambahkan KOH/NaOH atau HCl hingga diperoleh pH 5.7. Masukan 30 g/l gula dan 7 g/l agar-agar, aduk dan didihkan. Setelah mendidih tuang 25 ml larutan kedalam botol kultur yang telah disterilisasi, tutup botol dengan plastik dan karet gelang. Botol-botol yang berisi media disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121°C dan bertekanan 17.5 psi selama 30 menit. Penghitungan waktu sterilisasi dimulai setelah tekanan yang diinginkan tercapai.

Sterilisasi dan Penanaman Bahan Tanaman

Sterilisasi bahan tanaman dilakukan diluar dan didalam Laminar Airflow Cabinet (LAC). Biji-biji Anthurium yang diperoleh dilapang dicuci terlebih dahulu dengan deterjen dibawah air mengalir kemudian direndam dalam larutan Dithane dan Agreep selama 2 jam. Biji yang telah direndam kemudian dicuci kembali dibawah air mengalir untuk menghilangkan sisa-sisa Dithane dan Agreep. Setelah dibersihkan, biji direndam dan dikocok dalam alkohol 70% selama 1 menit, angkat serta tiriskan kemudian dimasukkan kedalam LAC untuk proses sterilisasi selanjutnya. Biji direndam dan dikocok dalam larutan clorox 30% selama 10 menit, kemudian bilas dengan air steril sebanyak tiga kali. Biji direndam kembali dalam larutan clorox 20% dan dikocok selama 15 menit, bilas dengan air steril sebanyak tiga kali. Rendam kembali biji dalam larutan clorox 10% dan kocok selama 20 menit, bilas dengan air steril sebanyak tiga kali. Biji yang sudah disterilisasi ditaruh pada cawan petri berisi air steril yang telah ditambah tiga tetes betadine dan siap dikecambahkan pada media MS0 (tanpa penambahan ZPT dan bahan organik). Botol kultur yang telah berisi biji disimpan di rak kultur selama 12 minggu untuk proses perkecambahan.

Penanaman Eksplan

Penanaman eksplan dilakukan didalam LAC yang telah disterilkan dengan alkohol 70%. Pada saat kegiatan penanaman akan dilakukan, peralatan-peralatan yang akan dimasukan kedalam LAC disemprot terlebih dahulu dengan alkohol 70%. Gunting dan pinset yang digunakan untuk memindahkan bahan tanaman dibakar dahulu kemudian dimasukan kedalam air steril. Eksplan yang digunakan adalah potongan batang Anthurium dengan panjang 0.5 cm dan memiliki satu

buku yang diperoleh dari proses perkecambahan secara kultur in vitro. Batang yang telah dipotong dikeluarkan dari botol kultur kemudian diletakan pada cawan petri yang berisi air steril dan telah ditambahkan betadine sebanyak 3 tetes. Eksplan kemudian ditanam pada media yang telah diberi penambahan ZPT sesuai dengan perlakuan dan pada setiap botol kultur terdapat 1 eksplan. Setelah eksplan ditanam, botol ditutup dengan plastik dan ikat rapat dengan karet gelang. Botol kultur siap dipindah ke ruang kultur.

Pengamatan

Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah tinggi tanaman, jumlah tunas, jumlah daun, jumlah akar serta panjang akar terpanjang. Kegiatan pengamatan dilakukan pada saat 1 MST hingga 12 MST.

Tinggi tanaman

Tinggi tanaman diukur mulai dari minggu pertama setelah eksplan ditanam pada media perlakuan hingga 12 MST. Proses pengukuran menggunakan penggaris yang ditempel pada dinding botol kultur, dimana tanaman tidak dikeluarkan dari botol kultur. Diukur mulai dari batas media hingga permukaan atas tanaman.

Jumlah tunas

Jumlah tunas dihitung mulai dari tunas yang telah terbentuk muncul pertama kali, dihitung setiap minggu hingga 12 MST.

Jumlah daun

Jumlah daun dihitung mulai dari daun yang telah terbuka penuh muncul pertama kali, dihitung setiap minggu hingga 12 MST.

Jumlah akar

Jumlah akar dihitung mulai dari akar yang muncul pertama kali, dihitung setiap minggu hingga 12 MST.

Panjang akar Terpanjang

Panjang akar diukur pada akhir pengamatan (12 MST). Proses pengukuran menggunakan penggaris, dimana tanaman tidak dikeluarkan dari botol kultur.

HASIL dan PEMBAHASAN

Keadaan Umum

Eksplan yang ditanam pada setiap kombinasi IAA dan BAP disertai penambahan 15% (v/v) air kelapa untuk semua perlakuan menunjukkan kemampuan beregenerasi. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya pertambahan tinggi tanaman, jumlah tunas, jumlah daun dan jumlah akar pada setiap minggunya serta kondisi perakaran berupa panjang akar terpanjang yang hanya diamati pada minggu akhir pengamatan.

Kondisi bahan tanaman, sterilisasi alat tanam dan lingkungan pada saat proses penanaman dilakukan sangat mempengaruhi tahap pertumbuhan dan perkembangan hingga tanaman siap dipindahkan ke lapang. Selama proses percobaan berlangsung, kontaminasi hanya disebabkan oleh cendawan sebesar 3% dari total populasi yang pada akhirnya menyebabkan kematian eksplan. Selain kontaminasi oleh cendawan, kematian eksplan juga disebabkan oleh proses pencokelatan (browning) sebesar 3.5 % dari total populasi. Tidak terjadi kontaminasi oleh bakteri, diduga bahwa eksplan yang ditanam pada media perlakuan steril karena eksplan berasal dari proses perkecambahan secara in vitro terlebih dahulu.

Serangan cendawan mulai terlihat pada 2 MST, cendawan bukan berasal dari bahan tanam melainkan muncul pada media yang kontak langsung dengan tepi botol kultur (Gambar 1). Hal ini diduga bahwa cendawan berasal dari botol kultur yang tidak bersih pada saat proses pencucian, alat tanam yang tidak bersih atau terbawa oleh sirkulasi udara didalam laminar pada saat proses penanaman dilakukan.

Browning mulai terlihat pada 6 MST yang ditandai dengan perubahan warna pada eksplan dari hijau menjadi cokelat dimulai dari tepi yang mengalami pelukaan hingga akhirnya menyebar keseluruh bagian eksplan. Hal ini diakibatkan oleh senyawa fenolik yang berasal dari bagian tanaman yang luka dan dapat menyebabkan kematian. Menurut Wetherell (1982), browning merupakan terjadinya warna cokelat pada jaringan yang baru dipotong. Hal ini disebabkan karena terjadinya reaksi antara senyawa fenolik yang diproduksi jaringan dengan oksigen. Collin dan Edwards (1998) menambahkan bahwa senyawa fenolik diproduksi sebagai respon atas kondisi stress yang dialami oleh tanaman. Senyawa ini bersifat racun dan dapat menyebabkan kematian pada jaringan tanaman.

Selama 12 minggu pengamatan, terdapat eksplan yang belum menunjukkan respon pertumbuhan berupa pembentukan kalus dan organ-organ tanaman. Meskipun demikian eksplan masih tetap berwarna hijau seperti pada saat penanaman dilakukan. Hal ini diduga bahwa walaupun eksplan belum menunjukkan respon pertumbuhan, sel-sel jaringan tanaman masih memiliki kemampuan untuk berorganogenesis pada waktu selanjutnya.

Menurut Conger (1980), terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan perbanyakan dengan eksplan yaitu genotip eksplan, ukuran eksplan, jaringan asal eksplan dan umur fisiologi eksplan. Tidak semua jaringan tanaman memiliki kemampuan yang sama untuk berdiferensiasi. Wetherell (1982) menambahkan bahwa tanaman yang memiliki hubungan kekerabatan yang dekat pun belum tentu menunjukkan respon in vitro yang sama.

Interaksi antara IAA dan BAP pada beberapa kultur menunjukkan pertumbuhan kalus. Pertumbuhan kalus mulai terlihat pada pengamatan minggu ke-2 setelah tanam. Pada awal kemunculannya, kalus berwarna hijau kekuningan yang kemudian berubah menjadi hijau tua. Hal ini diduga bahwa sitokinin secara efektif mampu mempertahankan warna hijau butir-butir klorofil. Wattimena (1988) menyatakan bahwa sitokinin memiliki kemampuan memperlambat proses penghancuran butir-butir klorofil.

Terlihat pada gambar 2 bahwa kalus yang dihasilkan oleh kultur berwarna hijau. Jika sel-sel jaringan tanaman mulai berdiferensiasi, maka pada permukaan

kalus akan muncul tunas-tunas kecil dengan ujung berwarna kemerahan. Ukuran diameter kalus mengalami penambahan tiap minggunya. Umumnya kalus berdiameter 0.5-2.5 cm pada akhir pengamatan.

Gambar 2. Kondisi Pertumbuhan Kalus

Selama masa pengamatan, kombinasi air kelapa 15%(v/v) + 0.2 ppm IAA + 2.0 ppm BAP cenderung membentuk kalus lebih cepat. Diduga bahwa interaksi antara 0.2 ppm IAA, 2.0 ppm BAP disertai penambahan air kelapa 15%(v/v) cenderung mampu mendorong sel-sel membelah dan membesar sehingga membentuk kalus lebih cepat. Menurut Steward dan Krikorian (1971), pembelahan sel selalu diikuti oleh pembesaran sel. Wetherell (1982) menambahkan bahwa sel-sel pada jaringan tanaman mengalami proses pembelahan dan pembesaran karena adanya pengaruh dari auksin. Penambahan auksin dalam jumlah yang lebih cenderung menyebabkan terjadinya pertumbuhan kalus dari eksplan.

Tinggi Tanaman

Interaksi antara IAA dan BAP tidak memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman namun perlakuan IAA sendiri mulai memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada minggu akhir pengamatan (12 MST). Terlihat pada gambar 3 bahwa 0.3 ppm IAA cenderung menghasilkan tinggi tanaman tertinggi yaitu 1.02 cm dan media tanpa pemberian IAA menghasilkan tinggi tanaman terendah (0.69 cm). Pada minggu ke-9 hingga ke-12, eksplan mengalami peningkatan tinggi tanaman untuk setiap taraf konsentrasi IAA namun pada konsentrasi yang lebih tinggi (0.4 ppm) terjadi penurunan tinggi tanaman.

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 3 6 9 12

Minggu Setelah Tanam (MST)

Tinggi Tanaman (cm) 0.0 ppm 0.1 ppm 0.2 ppm 0.3 ppm 0.4 ppm

Gambar 3. Tinggi Planlet Pada Beberapa Taraf Konsentrasi IAA

Perlakuan BAP memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman hingga minggu akhir pengamatan. Dapat terlihat pada gambar 4 bahwa 0.0 ppm BAP cenderung menghasilkan tinggi tanaman terendah dan BAP 2.0 ppm menghasilkan tinggi tanaman tertinggi pada tiap minggunya. Pada 12 MST, 2.0 ppm BAP menghasilkan tinggi tanaman tertinggi yaitu 1.03 cm dan 0.0 ppm menghasilkan tinggi tanaman terendah yaitu 0.89 cm. Hal ini diduga bahwa auksin dan sitokinin secara efektif mampu mendorong pembesaran dan pembelahan sel-sel jaringan sehingga terjadi penambahan ukuran eksplan.

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 3 6 9 12

Minggu Setelah Tanam (MST)

Tinggi Tanaman (cm)

0.0 ppm 1.0 ppm 2.0 ppm 3.0 ppm

Menurut Wattimena (1988), sitokinin mempengaruhi berbagai proses fisiologi di dalam tanaman, salah satunya adalah mendorong pembelahan sel. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Mirzada (1994) yang menemukan bahwa penggunaan BAP pada konsentrasi yang lebih tinggi (4.0 mg/l) pada perbanyakan calla lily menyebabkan pemanjangan tunas-tunas tertekan.

Pada gambar 5 dan 6 terlihat bahwa terjadi perbedaan tinggi tanaman pada akhir pengamatan. Secara keseluruhan dari kombinasi yang ada, perlakuan air kelapa 15%(v/v) + 0.2 ppm IAA + 2.0 ppm BAP menunjukkan tinggi tanaman tertinggi dan perlakuan air kelapa 15%(v/v) + 0.0 ppm IAA + 0.0 ppm BAP menunjukkan tinggi tanaman terendah.

Gambar 5. Kultur dengan perlakuan air Gambar 6. Kultur dengan perlakuan air

kelapa 15%+0.2 ppm IAA+ ke1apa 15%+0.0 ppm IAA+

2.0 pm BAP 0.0 ppm BAP

Jumlah Tunas

Pada 12 MST, interaksi antara IAA dan BAP memberikan pengaruh nyata terhadap peubah jumlah tunas. Pada tabel 1 dapat terlihat bahwa kombinasi antara 0.2 ppm IAA dan 2.0 ppm BAP berbeda nyata dengan seluruh kombinasi IAA dan BAP. Pada kombinasi tersebut menghasilkan jumlah tunas terbanyak yaitu 2.66. Jumlah tunas pada media tanpa penambahan IAA dan BAP hanya menghasilkan jumlah tunas sebanyak 1.29. Diduga bahwa kombinasi tersebut secara efektif mampu meningkatkan kemampuan sel-sel berdiferensiasi membentuk tunas-tunas baru, sedangkan pada media tanpa penambahan IAA dan BAP eksplan masih memiliki kemampuan membentuk tunas karena adanya pengaruh sitokinin endogen yang terkandung dalam air kelapa.

Tabel 1. Pengaruh Interaksi IAA dan BAP Terhadap Jumlah Tunas Pada 12 MST IAA (ppm) BAP (ppm) 0.0 1.0 2.0 3.0 0.0 1.29c 1.37bc 1.77bc 1.55bc 0.1 1.50bc 1.72bc 1.88bc 2.01b 0.2 1.39bc 1.81bc 2.66a 2.00b 0.3 1.98b 1.89bc 1.65bc 1.69c 0.4 1.38bc 1.98b 1.94bc 1.99b

Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama berbeda nyata pada DMRT 5%.

Hasil penelitian De Guzman (1983) pada beberapa varietas padi menunjukkan bahwa terjadi perbanyakan tunas pada media MS yang hanya ditambah dengan air kelapa. Selanjutnya Nurwahyuni (1993) menemukan bahwa sitokinin yang terkandung dalam air kelapa mampu mendorong proliferasi sel-sel kalus.

Wareing dan Phillips (1981) menyatakan bahwa sitokinin yang dikombinasikan dengan auksin mampu menstimulasi pembelahan sel tanaman dan interaksinya dengan auksin mendorong sel-sel untuk berdiferensiasi. Hartmann et al (1997) menambahkan bahwa penggunaan sitokinin dengan konsentrasi yang tinggi dan auksin yang rendah sangat penting dalam pembentukan tunas. Peningkatan konsentrasi sitokinin selain mampu merangsang prolifaerasi tunas lateral ternyata dapat menghambat pemanjangan tunas.

Jumlah Daun

Perlakuan IAA, BAP dan interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah daun selama 12 minggu pengamatan. Meskipun IAA tidak memberikan pengaruh nyata namun pada gambar 7 dapat terlihat bahwa terjadi peningkatan jumlah daun tiap minggunya hingga akhir pengamatan. Umumnya cenderung terjadi peningkatan jumlah daun mulai dari 0.0 ppm hingga 0.3 ppm dan pada konsentrasi IAA yang lebih tinggi (0.4 ppm) terjadi penurunan jumlah daun.

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 3 6 9 12

Minggu Setelah Tanam (MST)

Jumlah Daun (helai)

0.0 ppm 0.1 ppm 0.2 ppm 0.3 ppm 0.4 ppm

Gambar 7. Jumlah Daun Pada Beberapa Taraf Konsentrasi IAA

Eksplan mengalami peningkatan jumlah daun seiring dengan semakin tingginya konsentrasi BAP, namun pada konsentrasi yang lebih tinggi (3.0 ppm) cenderung mengalami penurunan jumlah daun. Berdasarkan hasil penelitian Mirzada (1994), perlakuan BAP 1.0 mg/l pada calla lilly membentuk persentase daun terbanyak sebesar 83.33% sedangkan terendah 33.33% pada perlakuan BAP 3.0 mg/l. 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 3 6 9 12

Minggu Setelah Tanam (MST)

Jumlah Daun (helai)

0.0 ppm 1.0 ppm 2.0 ppm 3.0 ppm

Selama pengamatan, terjadi peningkatan jumlah daun pada tiap minggunya namun ada pula beberapa kultur yang tidak mengalami penambahan jumlah daun. Hal ini diduga adanya pengaruh auksin endogen yang diproduksi secara alami oleh pucuk-pucuk tanaman sehingga mempengaruhi pembentukan daun-daun baru. Meskipun tidak terjadi interaksi yang nyata antara IAA dan BAP, namun kombinasi antara 0.2 ppm IAA dan 2.0 ppm BAP cenderung menghasilkan jumlah daun terbanyak dibandingkan seluruh kombinasi dan media tanpa penambahan IAA dan BAP menghasilkan jumlah daun terendah. Wareing dan Phillips (1970) menyatakan bahwa konsentrasi dari auksin dan sitokinin pada media kultur menunjukkan bahwa hormon-hormon tersebut memiliki peranan penting dalam pembentukan organ.

Jumlah Akar

Pertumbuhan akar mulai terlihat pada 2 MST. Perlakuan IAA serta interaksi antara IAA dan BAP tidak memberikan pengaruh nyata pada setiap minggunya hingga akhir pengamatan. Terjadi peningkatan jumlah akar yang dihasilkan dengan semakin tingginya taraf konsentrasi IAA, namun pada taraf yang lebih tinggi (0.4 ppm) eksplan cenderung mengalami penurunan jumlah akar. Diduga bahwa meskipun auksin berperan dalam pembentukan akar namun pada konsentrasi yang tinggi justru dapat menghambat sel-sel dalam membentuk akar. Menurut Moore (1979), auksin aktif pada konsentrasi yang rendah. Wetherell (1982) menambahkan bahwa auksin dalam konsentrasi yang lebih tinggi cenderung meyebabkan terjadinya pertumbuhan kalus dari eksplan.

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 3 6 9 12

Minggu Setelah Tanam (MST)

Jumlah Akar 0.0 ppm 0.1 ppm 0.2 ppm 0.3 ppm 0.4 ppm

Gambar 9 . Jumlah Akar Pada Beberapa Taraf Konsentrasi IAA

BAP mulai memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah akar pada 7-12 MST. Pada minggu ke-12, BAP memberikan pengaruh nyata dengan menghasilkan jumlah akar terbanyak yaitu 1.06 dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanpa BAP (0.99). Jumlah akar terendah diperoleh pada taraf 3.0 ppm, yaitu 0.75. Pada media tanpa penambahan BAP, eksplan masih memiliki kemampuan membentuk akar. Diduga bahwa sel-sel jaringan masih memiliki kemampuan berdiferensiasi membentuk akar karena adanya pengaruh auksin endogen. Hal ini didukung oleh pernyataan Wetherell (1982) yang menyatakan bahwa akar dapat tumbuh pada media tanpa penambahan hormon apabila pucuk tanaman tumbuh dengan baik sehingga mampu memproduksi auksin alami yang cukup banyak.

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 3 6 9 12

Minggu Setelah Tanam (MST)

Jumlah Akar

0.0 ppm 1.0 ppm 2.0 ppm 3.0 ppm

Gambar 10 . Jumlah Akar Pada Beberapa Taraf Konsentrasi BAP

Selama 12 minggu pengamatan, dari seluruh kombinasi perlakuan terdapat beberapa kultur yang belum menghasilkan akar, yaitu air kelapa 15%(v/v) + 0.2 ppm IAA + 3.0 pp BAP dan air kelapa 15%(v/v) + 0.3 ppm IAA + 3.0 ppm BAP. Namun jika daun-daun pada planlet tumbuh dengan baik, maka ada kemungkinan akan terbentuk akar karena adanya auksin yang diproduksi alami oleh pucuk-pucuk tanaman. Menurut Salisbury dan Ross (1992), cara kalus membentuk tumbuhan baru cukup beragam. Jika nisbah sitokinin-auksin cukup tinggi, sering hanya sistem tajuk yang mula-mula berkembang kemudian akar-akar liar terbentuk secara spontan dari batang. Altman (1998) menambahkan bahwa pada proses organogenesis, eksplan akan menghasilkan tunas dan akar. Namun keduanya tidak akan muncul bersamaan, biasanya tunas yang akan terbentuk pertama kali.

Menurut Wetherell (1982), auksin sering digunakan dalam propagasi secara in vitro karena selain memiliki kemampuan untuk merangsang pertumbuhan eksplan juga mempengaruhi pertumbuhan akar. Agar terjadi pertumbuhan akar komposisi hormon dalam media kultur harus dirubah, hormon sitokinin harus dikurangi kadarnya atau bahkan dihilangkan sama sekali.

Panjang Akar Terpanjang

Interaksi antara IAA dan BAP menunjukkan pengaruh nyata pada panjang akar terpanjang. Pada tabel 2 terlihat bahwa panjang akar terpanjang tertinggi dihasilkan oleh interaksi antara 0.4 ppm IAA+1.0 ppm BAP yaitu 2.09 mm. Pada interaksi antara air kelapa 0.2 ppm IAA+3.0 ppm BAP dan 0.3 ppm IAA +3.0 ppm BAP menghasilkan panjang akar terpanjang terendah yang sama yaitu 1.22 mm.

Interaksi antara 0.2 ppm IAA+3.0 ppm BAP dan 0.3 ppm IAA+3.0 ppm BAP menghasilkan panjang akar terpanjang terendah. Diduga bahwa auksin yang terkandung pada jaringan tanaman tidak hanya berasal dari auksin sintetik tapi juga berasal dari auksin yang diproduksi alami oleh tanaman. Hal ini menyebabkan konsentrasi auksin menjadi terlalu tinggi sehingga menghambat proses pemanjangan akar. Leopold (1964) menyatakan bahwa akar sangat dipengaruhi oleh auksin. Wetherell (1982) menamb ahkan bahwa kadar auksin yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan berupa pemanjangan akar itu sendiri. Kedua pernyataan tersebut didukung oleh Beyl (2000) yang menyatakan bahwa auksin berperan dalam proses-proses perkembangan, salah satunya adalah pemanjangan akar.

Tabel 2. Pengaruh Interaksi IAA dan BAP Terhadap Panjang Akar Terpanjang Pada 12 MST IAA (ppm) BAP (ppm) 0.0 1.0 2.0 3.0 … mm … 0.0 1.35d 1.50bcd 1.45bcd 1.41bcd 0.1 1.33d 1.66abcd 1.41bcd 1.28d 0.2 1.43bcd 1.39bcd 1.96ab 1.22d 0.3 1.72abcd 1.93abc 1.42bcd 1.22d 0.4 1.65abcd 2.09a 1.36cd 1.29d

Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama berbeda nyata pada DMRT 5%.

Dokumen terkait