• Tidak ada hasil yang ditemukan

Waktu dan Tempat

Penelitian lapang dilaksanakan mulai bulan Desember 2009 sampai dengan Juni 2010 di rumah kaca Departemen Biologi (sekitar gedung Fakultas Peternakan) dan Unit kebun Babakan blok E University Farm Babakan Sawah Baru Dramaga

10

Asystasia gangetica, Impatiens balsamina dan Mirabilis jalapa didapatkan dari SEAMEO Biotrop. Tanah yang digunakan berasal dari daerah Babakan Sawah Baru Dramaga Bogor. Pupuk organik yang digunakan bermerk dagang Bioplus organik. Bahan kimia yang digunakan dalam pembuatan preparat anatomi diantaranya adalah FAA (formaldehid; asam asetat glasial; alkohol 70% = 5; 5; 90), alkohol 70%, asam nitrat 25%-30%, akuades, kloroks, pewarna safranin 2%, pewarna fastgreen 1%, seri larutan Johansen, parafin murni, xilol dan entelan.

Metode

Analisis Kualitas Udara, Tanah dan Kompos. Analisis kualitas udara bekerjasama dengan Laboratorium Departemen Teknik Industri Pertanian IPB dan dilaksanakan pada tanggal 29 Desember 2009 di Unit kebun Babakan blok E University Farm Babakan Sawah Baru Dramaga - Bogor (lapangan) dan rumah kaca Departemen Biologi. Parameter kualitas udara yang diukur dan metode yang digunakan ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Parameter dan metode kualitas udara yang diukur Parameter Metode NO2 Gries Saltzman SO2 Pararosaniline O3 Chemiluminescent CO Gas Chromatography TSP (debu) Gravimetric Timbal (Pb) AAS Suhu Termometer Kelembaban Higrometer Kec. Angin Anemometer

Analisis tanah dan kompos bekerjasama dengan laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB. Parameter yang diukur pada tanah meliputi pH, C, N-Total, P, Ca, Mg, K, Na, Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan tekstur. Metode yang digunakan diantaranya Walkley & Black untuk analisis C, Kjeldhal untuk N- total dan Bray I untuk analisis P. Parameter yang diukur pada analisis kompos meliputi C, N, P, K, Ca, Mg, Fe, Cu, Zn dan Mn.

Pembibitan dan Pemeliharaan. Benih tanaman A. gangetica, I. balsamina dan M. jalapa ditempatkan pada tray yang berisi tanah dan kompos dengan perbandingan 3:1.

Pembibitan merupakan tahap ketika benih mulai berkecambah hingga tumbuh secara seragam. Asystasia gangetica tumbuh secara seragam selama ± 11 hari, I. balsamina ± 1 minggu, dan M. jalapa ± 2 minggu. Bibit tanaman yang telah seragam, selanjutnya dipindahkan ke dalam polybag kecil berukuran 10 x 15 cm yang berisi tanah dan kompos dengan perbandingan 3:1 untuk proses adaptasi selama 1 minggu. Tanaman yang telah teradaptasi, selanjutnya dipindahkan ke dalam polybag berukuran 2 kg yang berisi tanah dan kompos dengan perbandingan 3:1. Pemeliharaan dilakukan dengan cara penyiraman setiap hari atau hingga tanah menjadi lembab.

Pengamatan Pertumbuhan Tanaman.

Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah daun, umur fisiologis daun dan luas daun. Pengamatan tinggi tanaman dan jumlah daun dilakukan setiap 5 hari sekali, sedangkan luas daun dilakukan setiap 10 hari sekali. Seluruh pengamatan dilakukan selama 90 hari. Data tinggi digunakan untuk mendapatkan pertambahan tinggi relatif (PTR), sedangkan jumlah daun digunakan untuk memperoleh pertambahan jumlah daun relatif (PJR) dengan menggunakan rumus menurut Pugnaire & Valladares (2007):

pertambahan luas daun relatif (PLD) dengan rumus menurut Pugnaire & Valladares (2007):

Ld = Lk x Bd Bk Ld = Ld(1) + Ld(2)...Ld(n) n LD = Ld x JDt n PLD = Ln LD(max)

12

jam agar pita parafin melekat. Pewarnaan preparat dilakukan menggunakan pewarna ganda safranin (48 jam) - fastgreen (3-5 menit) dan ditutup dengan media entelan. Pengamatan Preparat Sayatan Transversal. Parameter yang diamati diantaranya adalah tebal kutikula adaksial dan abaksial, tebal daun, palisade, bunga karang serta epidermis bagian adaksial dan abaksial. Pengamatan preparat sayatan transversal daun menggunakan mikroskop Olympus CH12 dengan perbesaran 100 x 10 untuk pengamatan kutikula dan perbesaran 40 x 10 untuk pengamatan lainnya. Pengamatan dilakukan pada 2 bidang pandang yang berbeda untuk 3 ulangan tanaman.

Rancangan Percobaan. Percobaan menggunakan rancangan acak faktorial dengan dua faktor, yaitu lokasi dan jenis tanaman. Terdapat 6 perlakuan, yaitu 2 lokasi dengan 3 jenis tanaman. Lokasi pertama adalah rumah kaca (kontrol) dan Unit kebun Babakan sebagai lokasi ke-2 (terpolusi). Jenis tanaman yang digunakan adalah Asystasia gangetica, Impatiens balsamina, dan Mirabilis jalapa. Terdapat 10 ulangan untuk data pertumbuhan, dan 3 kali ulangan untuk pengamatan anatomi. Data yang diperoleh, diolah menggunakan program SAS 9.1.3 Portable, jika hasil berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan.

HASIL

Analisis Udara, Tanah dan Kompos

Hasil analisis kualitas udara di kedua lokasi menunjukkan bahwa hasil keduanya masih berada dibawah baku mutu. Parameter yang paling mendekati baku mutu adalah TSP (total suspended partikel) di lapangan yaitu sebesar 223 µg/Nm3 dari 230 µg/Nm3. Hasil analisis NO2, SO2, CO, partikel (debu) dan O3

di lapangan lebih tinggi dibandingkan dengan di rumah kaca, hal ini dapat diasumsikan bahwa di lapangan merupakan daerah yang terpolusi dan di rumah kaca sebagai kontrol (Tabel 2).

Hasil analisis tanah memperlihatkan bahwa tekstur tanah yang digunakan cenderung liat berdebu, dengan komposisi liat sebesar 46,33% dan debu 34,93% (Lampiran 3). Derajat keasaman (pH) tanah relatif netral yaitu 6,4. Kalsium (Ca) merupakan unsur hara paling tinggi diantara hara lainnya, yakni 9,64 me/100gr. Hasil analisis kompos menunjukkan bahwa kompos Bioplus organik

yang digunakan kaya akan Karbon (C), yakni sebesar 21,2% dan diikuti Nitrogen (N) sebesar 1,27%. Hara mikro paling besar terlihat pada Fe yaitu 12150 ppm (Lampiran 4).

Pengamatan Pertumbuhan Tanaman.

Umur fisiologis daun dari setiap jenis tanaman berbeda. Perbedaan umur fisiologis juga terlihat seiring bertambahnya waktu pengamatan. Pada awal pertumbuhan di rumah kaca, A. gangetica mulai gugur ketika daun berumur ± 30 hari, M. jalapa ± 20 hari dan I. balsamina ± 35 hari. Umur fisiologis daun jenis I. balsamina di lapangan lebih pendek yaitu ± 20 hari, sedangkan untuk jenis lainnya memiliki umur yang sama dengan lokasi di rumah kaca. Semakin bertambahnya waktu pengamatan, umur fisiologis daun menjadi relatif lebih lama, jenis A. gangetica menjadi ± 55 hari, I. balsamina ± 49 hari, dan M. jalapa ± 34 hari.

Hasil analisis ragam menunjukkan pertambahan tinggi relatif dan bobot basah akar dipengaruhi oleh lokasi dan jenis tanaman (p < 0,05). Nilai pertambahan tinggi relatif di lapangan lebih rendah dibandingkan di rumah kaca dan jenis A. gangetica yang memiliki pertambahan terbesar. Hal sebaliknya terlihat pada bobot basah akar, bobot basah akar di lapangan lebih besar dibandingkan di rumah kaca dan jenis I. balsamina yang memiliki bobot terbesar (Tabel 3-4). Pertambahan luas daun relatif, bobot kering akar dan tajuk dipengaruhi oleh jenis tanaman (p < 0.05). Pertambahan luas daun relatif terbesar tampak pada jenis A. gangetica, sedangkan bobot kering tanaman terbesar terlihat pada jenis I. balsamina (Tabel 4). Interaksi lokasi dan jenis tanaman mempengaruhi pertambahan jumlah daun relatif dan bobot basah tajuk (p = 0.01 dan p = 0.0071). Pertambahan jumlah daun relatif terbesar ditunjukkan oleh jenis A. gangetica sedangkan bobot basah tajuk pada jenis I. balsamina di rumah kaca(Tabel 5).

Tabel 2 Hasil analisis kualitas udara di lapangan dan rumah kaca Departemen Biologi (29 Desember 2009)

Pengukuran Lapangan Rumah kaca Baku mutu* Unit

NO2 14 6 400 µg/Nm³ SO2 43 16 900 µg/Nm³ O3 27 4 235 µg/Nm³ CO 247 229 30000 µg/Nm³ TSP (debu) 223 52 230 µg/Nm³ Timbal (Pb) <0.030 <0.030 2 µg/Nm³ Suhu 33.4 34.1 - °C Kelembaban 61.8 58.4 - % Kec. Angin 0.3 - - m/s

*Baku mutu udara ambien, PP No. 41/1999

Tabel 3 Pertambahan tinggi relatif dan bobot basah akar di lokasi berbeda

Lokasi Pertambahan tinggi relatif Bobot basah akar (g)

Lapangan 0.12a 59.69a

Rumah kaca 0.13b 46.15b

* Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT).

Tabel 4 Pertambahan tinggi relatif, pertambahan luas daun relatif, bobot basah akar, bobot kering akar dan tajuk pada jenis tanaman berbeda

Jenis tanaman Pertambahan tinggi relatif Pertambahan luas daun relatif Bobot (g)

basah akar kering akar kering tajuk

A. gangetica 0.15a 0.95a 19.98b 7.87b 42.47a

I. balsamina 0.12b 0.67b 104.46a 47.36a 55.40a

M. jalapa 0.09c 0.29c 34.34b 18.66b 16.37b

* Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT).

Tabel 5 Pertambahan jumlah daun relatif dan bobot basah tajuk pada lokasi dan jenis tanaman berbeda

Interaksi

Pertambahan jumlah daun relatif Bobot basah tajuk (g)

R L R L

A. gangetica 0.23a 0.22a 180.60c 165.58de

I. balsamina 0.18b 0.16b 551.60a 421.61b

M. jalapa 0.08c 0.03d 112.66de 94.65e

* Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT)

Ket: (R) : Rumah kaca (L) : Lapangan

Pengamatan Sayatan Paradermal

Pengamatan paradermal menunjukkan adanya variasi bentuk sel epidermis dan trikoma kelenjar. Variasi ukuran stomata tidak terlalu signifikan, karena hampir seluruh

stomata yang teramati dari ketiga jenis tanaman memiliki kisaran panjang stomata yang sama yaitu 24,7- 32 µm dan 15,1-24 µm untuk lebar stomata. Asystasia gangetica dan M. jalapa memiliki trikoma kelenjar dan

14

trikoma non kelenjar, I. balsamina hanya memiliki trikoma kelenjar dan pada M. jalapa juga ditemukan kristal berbentuk rafid (Gambar 1).

Indeks stomata adaksial, abaksial, kerapatan stomata adaksial dan kerapatan trikoma kelenjar adaksial dipengaruhi oleh lokasi dan jenis tanaman (Tabel 6-7). Nilai indeks stomata adaksial, abaksial, kerapatan stomata dan kerapatan trikoma kelenjar adaksial yang lebih tinggi terlihat di lapangan. Indeks stomata dan kerapatan stomata adaksial tertinggi terlihat pada I. balsamina (Gambar 2), sedangkan kerapatan trikoma kelenjar adaksial terbesar pada A. gangetica yaitu 3,60 jumlah/mm2. Interaksi antara lokasi dan jenis tanaman terlihat pada kerapatan stomata abaksial (p = 0.035). Uji lanjut menunjukkan kerapatan stomata abaksial terbesar pada jenis I. balsamina di lapangan yaitu sebesar 301,97 jumlah/mm2 (Gambar 3, Tabel 8).

Gambar 1 Hasil sayatan paradermal: (a) trikoma kelenjar pada I. balsamina, (b-d) trikoma kelenjar, trikoma non-kelenjar dan kristal pada M. jalapa, (e-f) trikoma kelenjar dan trikoma non-kelenjar pada A. gangetica (skala: 50µm)

Gambar 2 Sayatan paradermal epidermis adaksial di lapangan (L) dan rumah kaca (R): (A-B) A. gangetica, (C-D) I. balsamina, (E-F) M. jalapa (skala: 50µm)

a

e

c

b

f

d

(L) (L) (L)

(R) (R) (R)

A C E

B D F

6

Gambar 3 Sayatan paradermal epidermis abaksial di lapangan (L) dan rumah kaca (R): (A-B) A. gangetica, (C-D) I. balsamina, (E-F) M. jalapa (skala: 50 µm)

Tabel 6 Indeks stomata adaksial dan abaksial, kerapatan stomata adaksial, kerapatan trikoma kelenjar adaksial dan abaksial di lokasi berbeda

Lokasi Adaksial Abaksial Indeks stomata Kerapatan stomata (jumlah/mm2) Kerapatan trikoma kelenjar (jumlah/mm2) Indeks stomata

Lapangan 13.60a 72.82a 2.43a 34.87a

Rumah kaca 9.64b 40.44b 1.56b 27.68b

* Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT)

Tabel 7 Indeks stomata adaksial dan abaksial, kerapatan stomata adaksial, kerapatan trikoma kelenjar adaksial dan abaksial pada jenis tanaman berbeda

Jenis tanaman Adaksial Abaksial Indeks stomata Kerapatan stomata (jumlah/mm2) Kerapatan trikoma kelenjar (jumlah/mm2) Indeks stomata Kerapatan trikoma kelenjar (jumlah/mm2)

A. gangetica 12.13a 53.78b 3.60a 32.43a 6.65a

I. balsamina 17.92b 86.08a 0.28c 32.10a 0b

M. jalapa 4.80c 30.03b 2.10b 29.28b 0.55b

* Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT)

Tabel 8 Kerapatan stomata abaksial pada lokasi dan jenis tanaman berbeda

Interaksi Kerapatan stomata abaksial

R L

A. gangetica 158.67c 236.27b

I. balsamina 167.77c 301.97a

M. jalapa 182.47c 240.53b

* Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT)

(L) (L) (L)

(R)

(R)

(R)

F

D

B

E

C

A

16

Pengamatan Sayatan Transversal.

Analisis ragam menunjukkan tebal daun, tebal palisade dan tebal bunga karang dipengaruhi oleh lokasi (Tabel 9). Tebal daun, palisade dan bunga karang di lapangan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan

dengan lokasi rumah kaca (Gambar 4). Tebal daun dan bunga karang dipengaruhi oleh jenis tanaman, dengan nilai terbesar terlihat pada jenis M. jalapa. Tebal kutikula abaksial, epidermis adaksial dan abaksial juga dipengaruhi oleh jenis tanaman dengan nilai terbesar pada jenis A. gangetica (Tabel 10). Tabel 9 Tebal daun, kutikula adaksial dan abaksial, epidermis adaksial dan abaksial, palisade dan

bunga karang di lokasi berbeda

Lokasi Tebal daun (µm) Tebal palisade (µm) Tebal bunga karang (µm)

Lapangan 219.77a 100.83a 84.12a

Rumah kaca 167.64b 78.06b 59.21b

* Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT)

Tabel 10 Tebal daun, kutikula adaksial dan abaksial, epidermis adaksial dan abaksial, palisade dan bunga karang pada jenis tanaman berbeda

Jenis tanaman Tebal daun (µm) Tebal bunga karang (µm) Adaksial Abaksial Epidermis (µm) Kutikula (µm) Epidermis (µm)

A. gangetica 170.07b 39.93b 25.35a 1.61a 15.90a

I. balsamina 202.50a 86.46a 13.40b 1.39ab 9.93b

M. jalapa 208.54a 88.61a 13.55b 1.20b 13.33c

* Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT).

Gambar 4 Sayatan transversal daun: A. gangetica di lapangan (A) dan rumah kaca (B), I. balsamina di lapangan (C) dan rumah kaca (D), dan M. jalapa di lapangan (E) dan rumah kaca (F); (a) palisade, (b) bunga karang, (c) trikoma kelenjar, (d) kristal berbentuk rafid (skala: 50 µm)

A B

C D

E F

a a a a a a b b b b b b c d 8

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengukuran beberapa parameter kimia, kualitas udara di kedua lokasi masih baik, karena nilai yang masih dibawah baku mutu (Tabel 2). Nilai NO2, SO2, CO, partikel dan O3 di lapangan lebih tinggi dibandingkan di rumah kaca, sehingga diasumsikan bahwa di lapangan sebagai lokasi terpolusi. Parameter yang menunjukkan nilai paling mendekati baku mutu adalah partikel di lapangan, yaitu 223 µg/Nm3 dari 230 µg/Nm3. Salah satu sumber utama penghasil partikel adalah emisi kendaraan bermotor, lokasi lapangan yang berada di tepi jalan menyebabkan jumlah partikel lebih besar dan mendekati baku mutu.

Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa tanah yang digunakan bertekstur liat berdebu, dengan nilai proporsi liat sebesar 46.33 % dan debu 34,93 % (Lampiran 3). Tekstur tanah merupakan salah satu faktor penting yang menentukan kemampuan tanah untuk menunjang pertumbuhan suatu tanaman. Tanah dengan nilai liat yang tinggi menyebabkan akar tidak dapat berkembang dengan baik, porositas tinggi, pori berukuran kecil dan aerasi yang kurang baik (Islami & Utomo 1995). Akar yang tidak berkembang dengan baik akan menyebabkan penyerapan air dan hara terhambat sehingga mengakibatkan pertumbuhan tanaman terganggu. Derajat keasaman tanah cenderung netral dengan nilai 6,4. Diduga tanah sudah sering digunakan untuk menanam berbagai jenis tanaman sehingga pH tanah cenderung netral. Berdasarkan hasil analisis kompos, terlihat bahwa kompos yang digunakan kaya akan C dan Fe, dimana C merupakan hara makro yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan dan Fe sebagai bagian protein penting pembawa elektron pada fase terang fotosintesis (Lakitan 2007).

Pertumbuhan tanaman. Hasil menunjukkan bahwa pertambahan tinggi relatif di lapangan lebih rendah dibandingkan di rumah kaca (Tabel 3). Hal senada dilaporkan oleh Sulistijorini et al (2008) yang menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman di lokasi terpolusi lebih rendah dibandingkan kontrol. Pertumbuhan tanaman di lapangan yang lebih rendah (Lampiran 5) diduga terganggu akibat adanya polutan seperti partikel yang cukup tinggi di lapangan. Hal ini didukung dengan data kecepatan angin rata-rata di lapangan yang cukup tinggi selama pengamatan berlangsung (Lampiran 6). Banyaknya partikel dipengaruhi oleh kecepatan angin, dimana partikel seperti debu

akan lebih banyak terakumulasi jika kecepatan angin meningkat (Scorer 1968). Partikel akan menutupi atau memblok, bahkan masuk ke dalam stomata dan mengganggu proses pertukaran gas (Mudd & Kozlowski 1975). Pertukaran gas baik CO2 dan O2 yang terganggu akan menyebabkan proses fotosintesis terhambat dan berakibat penurunan pertumbuhan pada tanaman (Bell & Treshow 2002).

Pertambahan jumlah dan luas daun relatif terbesar terlihat pada A. gangetica. Jenis ini memiliki umur fisiologis daun yang lebih lama dibandingkan 2 jenis tanaman lainnya. Daun dengan umur fisiologis yang lama dan diikuti dengan pembentukan daun baru yang cepat, akan meningkatkan pertambahan jumlah dan luas daun relatif. Luas daun digunakan sebagai salah satu variabel analisis pertumbuhan yang bergantung pada lingkungan dan genotipe (Lambers 1988). Berdasarkan hasil, diketahui bahwa pertambahan luas daun tidak dipengaruhi oleh lokasi, tertapi dipengaruhi oleh jenis tanaman. Setiap jenis tanaman memiliki genotipe yang berbeda, sehingga menunjukkan pertambahan luas daun yang berbeda. Hal ini bertolak belakang dengan hasil yang dilaporkan oleh Verma dan Singh (2006) yang mengatakan bahwa luas daun pada F. religiosa menurun pada daerah yang terpolusi gas kendaraan bermotor.

Variabel pertumbuhan lain yang diamati adalah bobot tanaman (Pugnaire & Valladares 2007). Bobot basah akar di lapangan lebih besar dibandingkan di rumah kaca (Tabel 3). Hal sebaliknya terlihat pada bobot basah tajuk di lapangan yang lebih rendah dibandingkan di rumah kaca. Bobot basah akar yang lebih besar di lapangan diduga berkaitan dengan efisiensi penyerapan air dan unsur hara secara optimum oleh akar. Pada kondisi cekaman seperti polusi, tanaman memodifikasi dirinya dengan cara meningkatkan sistem perakaran agar dapat memaksimalkan proses fotosintesis untuk pertumbuhan. Optimalisasi fotosintesis oleh akar ini ternyata tidak meningkatkan bobot basah tajuk di lapangan. Bobot kering tanaman (akar dan tajuk) di lapangan dan rumah kaca tidak menunjukkan adanya beda nyata. Diduga polutan di lapangan tidak mempengaruhi efisiensi fotosintesis. Hal ini bertolak belakang dengan hasil yang dilaporkan oleh Crittenden & Read (1979), yang menyatakan bahwa penurunan bobot kering tajuk dipengaruhi oleh polusi udara. Impatiens balsamina merupakan jenis tanaman yang memiliki bobot basah dan

18

bobot kering tanaman terbesar. Berdasarkan pengamatan, jenis ini memiliki jumlah cabang dan daun terbanyak sehingga memiliki nilai bobot terbesar diantara jenis lainnya. Bobot basah yang besar juga didukung oleh Backer dan Brink (1968) yang mengatakan bahwa I. balsamina merupakan tanaman herba yang mengandung banyak air.

Anatomi jaringan daun. Asystasia gangetica, I. balsamina, dan M. jalapa memiliki bentuk trikoma kelenjar yang berbeda satu sama lain (Gambar 1). Kerapatan trikoma kelenjar adaksial di lapangan lebih tinggi dibandingkan di rumah kaca, dan jenis A. gangetica memiliki nilai kerapatan terbesar yaitu 3,60 jumlah/mm2. Kerapatan trikoma abaksial dipengaruhi oleh jenis tanaman, dengan A. gangetica sebagai jenis yang memiliki kerapatan terbesar yaitu 6,65 jumlah/mm2. Trikoma kelenjar merupakan sel sekretori yang dapat berfungsi mengeluarkan metabolit sekunder (Cutter 1978; Fahn 1979). Metabolit sekunder seperti senyawa terpenoid dapat berperan sebagai agen penolak serangga (Salisbury & Ross 1995). Meningkatnya kerapatan trikoma kelenjar di lapangan dan pada jenis A. gangetica diduga merupakan mekanisme pertahanan tanaman terhadap herbivora seperti ulat dan bukan sebagai respon terhadap polutan. Selama pengamatan, tanaman yang berada di lapangan lebih rentan dan sering terserang oleh ulat, sehingga tanaman meningkatkan jumlah trikoma kelenjar sebagai bentuk pertahanan diri. Asystasia gangetica dan M. jalapa memiliki trikoma non-kelenjar pada bagian epidermis (Gambar 1). Trikoma non-kelenjar merupakan derivat epidermis yang memiliki banyak fungsi, diantaranya adalah mencegah kehilangan air, pertahanan fisik terhadap serangga, dan sebagai biomonitoring lingkungan terhadap kontaminasi Pb (Cutter 1978; Azmat et al 2009).

Karakteristik stomata yang meliputi ukuran, kerapatan dan indeks stomata banyak digunakan sebagai parameter kualitas udara (biomonitoring udara) (Balasooriya et al 2008; Wuytack et al 2010). Meningkatnya indeks stomata adaksial, abaksial, kerapatan stomata adaksial dan abaksial pada ketiga jenis tanaman di lapangan merupakan salah satu respon adaptasi dan pertahanan hidup tanaman pada saat cekaman lingkungan seperti polusi udara (Tabel 6). Kenaikan jumlah dan indeks stomata diduga merupakan modifikasi tanaman untuk mengoptimumkan penangkapan gas CO2 yang akan digunakan dalam proses fotosintesis. Perubahan struktur

paradermal meliputi kenaikan indeks stomata pada Tithonia diversifolia dan Pennisetum purpureum yang terjadi karena adanya cekaman lingkungan dari emisi kendaraan bermotor juga dilaporkan oleh Doldulao & Gomez (2008). Hal senada juga disampaikan oleh Gostin (2009), salah satu respon tanaman Trifolium montanum dan Trifolium repens terhadap cekaman polusi udara adalah dengan meningkatnya indeks stomata. Indeks stomata adaksial, kerapatan stomata adaksial dan abaksial tertinggi terlihat pada jenis I. balsamina (Gambar 2-3). Banyaknya stomata pada bagian adaksial dan abaksial daun, menyebabkan I. balsamina mudah layu dibandingkan M. jalapa dan A. gangetica karena laju transpirasi yang meningkat akibat jumlah stomata yang bertambah.

Sayatan transversal daun yang dapat diamati diantaranya adalah tebal kutikula, epidermis (adaksial dan abaksial), dan jaringan mesofil. Tebal palisade dan bunga karang dipengaruhi oleh lokasi dengan ketebalan di lapangan yang lebih besar dibandingkan di rumah kaca (Tabel 9). Meningkatnya ketebalan palisade dan bunga karang merupakan salah satu respon anatomi daun terhadap polusi udara. Ribas et al (2005) juga melaporkan kenaikan O3 sebagai polutan mengakibatkan meningkatnya ketebalan bunga karang pada Olea europea. Respon sebaliknya, seperti palisade yang anomali terlihat pada Phlomis fruticosa (Psaras & Christodoulakis 1987), rusaknya bunga karang pada Delonix regia akibat SO2 (Juntawong & Suwanwaree 1994) dan tebal bunga karang yang signifikan menurun pada Ficus bangalensis dan Tanacetum vulgare saat cekaman polutan gas kendaraan bermotor (Jahan & Iqbal 1992; Stevovic 2010). Tebal jaringan palisade dan bunga karang yang meningkat di lapangan, diduga merupakan respon tanaman untuk meningkatkan jumlah kloroplas yang terdapat pada kedua jaringan tersebut guna optimumisasi fotosintesis (Fahn 1982).

Tebal daun di lapangan juga menunjukkan nilai yang lebih besar dibandingkan di rumah kaca (Tabel 9). Tebal daun yang lebih besar diduga akibat meningkatnya juga tebal palisade dan bunga karang di lapangan. Hasil berbeda dilaporkan oleh Stevovic (2010) yang menyatakan bahwa tebal daun T. vulgare pada keadaan terpolusi lebih rendah dibandingkan kontrol, hal tersebut dilakukan sebagai respon tanaman terhadap polusi udara.

Jenis tanaman mempengaruhi tebal kutikula abaksial, epidermis adaksial dan 10

abaksial, dengan nilai terbesar pada jenis A. gangetica. Ketebalan epidermis adaksial, abaksial dan kutikula abaksial diduga tidak dipengaruhi oleh polusi udara, karena di lokasi yang berbeda tidak menunjukkan adanya beda nyata (p > 0,05) dan diduga lebih dipengaruhi oleh faktor genotipe. Tebal kutikula adaksial tidak dipengaruhi lokasi maupun jenis tanaman, tetapi terlihat bahwa kutikula pada bagian adaksial lebih tebal dibandingkan kutikula abaksial. Kutikula tersusun atas polimer struktural dan kutin yang berasosiasi menjadi lapisan lilin yang sangat hidrophobik. Kutikula pada bagian adaksial yang lebih tebal berfungsi untuk mengurangi hilangnya air yang berlebih pada saat stomata membuka untuk pertukaran gas (Hall 1976).

Secara umum, terlihat adanya hubungan antara pertumbuhan dan perubahan anatomi. Pertambahan tinggi relatif di lapangan lebih rendah dibandingkan di rumah kaca, hal ini diduga disebabkan oleh polutan seperti partikel (debu). Partikel (debu) menutupi permukaan daun dan menghambat pertukaran gas di daun. Tanaman memodifikasi dirinya dengan meningkatkan indeks dan kerapatan stomata guna memaksimalkan penangkapan CO2. Hal ini diikuti dengan tebal kutikula adaksial yang lebih besar sebagai mekanisme mengurangi laju transpirasi. Tebal palisade dan bunga karang juga terlihat meningkat di lapangan, ini berhubungan dengan jumlah kloroplas yang terkandung pada dua jaringan tersebut. Hal ini berkaitan dengan penangkapan energi cahaya oleh pigmen klorofil untuk proses fotosintesis (Larcher 1980). Polutan seperti partikel dapat menghambat pertumbuhan suatu tanaman, tetapi tanaman memiliki mekanisme adaptasi

Dokumen terkait