• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahan

Pada penelitian ini digunakan sapi-sapi lokal atau adaptip Indonesia yang secara purposif sampel keseluruhannya berjenis kelamin jantan, yaitu :

1. Sapi Aceh, berasal dari Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) sapi Aceh, berlokasi di Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar, Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Sapi-sapi Aceh tersebut sehari-hari dipelihara secara bebas dalam ranch atau tidak secara intensif dalam kandang. Sumber pakan terbanyak berasal dari rumput-rumput yang ditanam disekitar lokasi BPTU. Sapi-sapi yang dipelihara di BPTU Sapi Aceh ini berasal dari seleksi sapi beberapa daerah di sekitar wilayah Propinsi NAD. Pada Gambar 3 berikut adalah peta letak geografis dari Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar, Propinsi Nangroe Aceh Darussalam.

2. Sapi Pesisir berasal dari sapi-sapi yang dipelihara pada Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak (BPT-HMT) Dinas Peternakan Kabupaten Pesisir Selatan, Propinsi Sumatra Barat yang berada di kota Painan. Sapi Pesisir sebagian dipelihara secara terbatas dalam kandang individu dan sebagian lainnya dibiarkan secara bebas dalam ranch. Sumber pakan terbanyak berasal pula dari rumput yang dipelihara disekitar wilayah UPT BPT-HMT tersebut. Sapi yang dipelihara juga berasal dari hasil seleksi beberapa sapi yang dipelihara oleh masyarakat Kabupaten Pesisir Selatan. Pada Gambar 4 ditunjukkan peta geografis posisi dari Kecamatan Painan, Kabupaten Pesisir Selatan, Propinsi Sumatera Barat.

3. Sapi Madura, berasal dari peternakan rakyat berlokasi di Kecamatan Jrengik, Kabupaten Sampang – Madura, Propinsi Jawa Timur. Sapi Madura yang berada di Kecamatan Jrengik, berasal dari sapi-sapi yang dipelihara oleh masyarakat. Umumnya karena sampel sapi adalah pejantan, maka sapi Madura ini dipelihara secara terbatas dalam kandang individu untuk tujuan pejantan, penggemukan

(fattening) bahkan adapula untuk tujuan kontes ternak (lomba karapan atau lomba performans). Sumber pakan terbanyak berasal dari rumput yang dipelihara disekitar wilayah pemeliharaan sapi tersebut, kecuali konsentrat umumnya membeli dari pedagang. Pada Gambar 5 ditunjukkan peta geografis posisi Kecamatan Jrengik, Kabupaten Sampang - Madura, Propinsi Jawa Timur.

4. Sapi Bali-Bali, berasal dari peternakan rakyat berlokasi di Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, Propinsi Bali. Sapi Bali (Bali-Bali) berasal dari sapi-sapi yang dipelihara oleh masyarakat di Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, Propinsi Bali. Umumnya karena sampel sapi adalah pejantan, maka sapi Bali-Bali ini dipelihara secara terbatas dalam kandang individu untuk tujuan penggemukan

(fattening). Sumber pakan terbanyak berasal dari rumput yang dipelihara disekitar wilayah pemeliharaan sapi tersebut, kecuali konsentrat membeli dari pedagang. Sapi yang dipelihara berasal dari beberapa daerah disekitar Kabupaten Tabanan, bahkan ada yang dibeli dari kabupaten lain di Bali, seperti Kabupaten Singaraja dan Jembrana. Pada Gambar 6 ditunjukkan peta geografis posisi Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, Propinsi Bali.

5. Sapi Bali-Lombok, berasal dari peternakan rakyat berlokasi di Kecamatan Lingsar dan Gunungsari, Kabupaten Lombok Barat, Propinsi Nusa Tenggara Barat. Sapi umumnya juga dipelihara dalam kandang individu dengan tujuan penggemukan (fattening) (terutama di Lingsar milik perorangan dengan kapasitas 25 ekor) yang menggunakan areal milik Fakultas Peternakan, Universitas Mataram. Pada peternakan sapi Bali yang berlokasi di Gunungsari merupakan sapi rakyat anggota suatu kelompok tani ternak. Secara geografis letak kedua kecamatan lokasi penelitian untuk sampel sapi Bali asal Lombok sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 7 di bawah ini.

6. Sapi Peranakan Ongole (PO), berasal dari peternakan rakyat berlokasi di Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur. Sapi PO dipelihara dalam kandang individu maupun massal, karena sapi pejantan yang dipelihara oleh penduduk di Kecamatan Wongsorejo umumnya digunakan sebagai ternak kerja. Meskipun pada akhirnya akan dijual sebagai ternak pedaging, tetapi ternak tidak diperlakukan khusus untuk pengggemukkan, misal dengan pakan yang terukur. Sumber pakan hijauan sebagian besar berasal dari sekitar wilayah peternakan. Di Kecamatan Wongsorejo curah hujan relatif lebih tinggi dibanding wilayah lain di Kabupaten Banyuwangi, sehingga ketersediaan hijauan cukup memadai bagi peternakan rakyat. Pada Gambar 8 berikut ditunjukkan peta lokasi pengambilan sampel darah sapi PO di Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur.

7. Sapi Peranakan Fries Holland (PFH), berasal dari peternakan rakyat anggota KUD Sapi Perah KOPSAE di Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Propinsi Jawa Timur. Ternak sapi jantan tidak bisa dimanfaatkan susunya, sehingga sapi jantan PFH milik anggota kelompok KOPSAE umumnya dipelihara untuk tujuan penggemukan sebagai ternak pedaging. Adapun ketersediaan pakan untuk daerah Pujon biasanya kurang mencukupi, karena sapi perah memerlukan hijauan yang cukup agar produktifitasnya terjaga. Selain dari daerah Pujon sendiri, peternak juga mendatangkan pakan hijauan dari daerah lain, misal dari Kediri. Sedangkan konsentrat disediakan oleh koperasi susu dengan cara membeli dari hasil penjualan susu sapi. Secara geografis letak Kecamatan Pujon sebagai lokasi penelitian untuk sampel darah sapi Peranakan Friesien Holland (FH) sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 9 berikut ini.

Pengambilan sampel darah berupa sel darah total sejumlah 10 ml diambil dari vena jugularis sapi, kemudian diawetkan dalam 10 % larutan EDTA yang dikoleksi pada beberapa lokasi dimana terdapat sapi-sapi lokal tersebut, yang selanjutnya diekstraksi dengan metode standart fenol-kloroform untuk digunakan sebagai sumber DNA genom.

Penciri DNA mikrosatelit memanfaatkan sejumlah penciri DNA mikrosatelit dari sapi (bovine microsatellite) yang telah ada sebelumnya, terutama pada kromosom Y dengan harapan dapat teridentifikasi alel-alel lain yang muncul pada sapi-sapi lokal Indonesia. Adapun DNA mikrosatelit yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 7 lokus sebagaimana tercantum pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 1 Nama lokus, urutan primer, rata-rata ukuran alel dan referensi mikrosatelit pada kromosom Y yang digunakan dalam penelitian

No. Nama Lokus

Urutan Primer (5’- 3’) Rata-rata

Ukuran Alel

Referensi

01. DYS3 (INRA008)

GAG CCT GTG TGT GTA TAC AC GGC ACT TTC CTC TCC TGT CGC G

140 Vaiman et al.

(1994) 02. DYS4

(INRA057)

CCT AGC GAC TGT CCA AGC G CAC GGG CTG AGA ATT CAA AAC

125 Vaiman et al. (1994) 03. DYS5 (INRA062) TGT GCA GCA CCT TGT CTC C ACA TGC ATG TGC TTG TGT CG 150 Vaiman et al. (1994) 04. DYS6 (INRA124) GAT CTT TGC AAC TGG TTT G CAG GAC ACA GGT CTG ACA TG

130-132 Vaiman et al.

(1994) 05. DYS7

(INRA126)

TCT AGA GGA TCA AGG ATT TGT G AAT CCA TGG AAA GAT GCA CTG

182-186 Vaiman et al.

(1994) 06. DYS199

(M3)

AAT AGG TTG ACC TGA CAA TGG TCA TTT TAG GTA CCA GCT CTT

113 Underhill et

al. (1996) 07. INRA189 TAC ACG CAT GTC CTT GTT TCG G

CTC TGC ATC TGT CCT GGA CTG G

68-124 Kappes et al.

(1997)

Demikian pula untuk deteksi urutan DNA mitokondria didasarkan pada sekuen yang ada sebelumnya, baik dari data hasil penelitian dalam jurnal maupun data yang terdapat dalam GenBank. Dalam hal daerah mitokondria yang digunakan sebagai

Segmen Target Amplifikasi

daerah target adalah daerah gen cyt b dari mtDNA sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 10, sedangkan primer gen cyt b sebanyak dua primer dengan urutan oligonukleotida F = 5'- TCG CTC CCA GCC CCA TCC AAC ATC TCA GCA TGA TGA AACT -3' R = 5'- TTG TGA ATT ACT GTA GCA CCT CAA AAT GAT ATT TGT CCTCA - 3' yang mengapit gen cyt b dari mtDNA sapi domestikasi (Verkaar et al. 2002).

Gambar 10 Daerah gen cytochrome b sebagai target amplifikasi PCR

Hasil penelitian ini diharapkan akan mendapatkan data-data dasar tentang penciri DNA lebih banyak, sehingga dapat memberikan sumbangan informasi untuk melengkapi peta genom sapi yang sudah ada. Selain itu, uji kemurnian bangsa sapi dapat dilakukan berdasarkan penciri DNA yang digunakan, dengan harapan bahwa

kemurnian genetik masih tetap terjaga. Hal ini penting karena dapat digunakan sebagai upaya konservasi plasma nutfah yang ada.

Tahapan Penelitian

Pada penelitian dibagi menjadi tiga tahap, yaitu : 1) deteksi polimorfisme alel- alel mikrosatelit kromosom Y pada sapi-sapi lokal sampel (Aceh, Pesisir, Madura, Bali-Bali, Bali-Lombok, PO, dan PFH; 2) deteksi variasi urutan nukleotida dari mtDNA (haplotipe) pada gen cyt b sapi-sapi lokal sampel (Aceh, Pesisir, Madura, Bali-Bali, Bali-Lombok, PO, dan PFH; dan 3) mencari pola variasi genetik dan hubungan genetik (filogenetik) antar sapi-sapi lokal berdasarkan alel-alel DNA mikrosatelit pada kromosom Y dan haplotipe mtDNApada gen cyt b.

Analisis polimorfisme alel-alel DNA mikrosatelit dan haplotipe gen cyt b pada mtDNA didasarkan pada jumlah dan frekuensi serta distribusi alel dari produk PCR dengan primer sekuen pengapit DNA mikrosatelit dan mtDNA pada daerah gen cyt b. Penentuan jarak genetik (filogenetik) antara sapi-sapi lokal berdasarkan alel-alel DNA mikrosatelit ditetapkan dengan Metode Unweighted Pair-Group Method with Arithmetic Mean (UPGMA) (Sneath & Sokal 1973), sedangkan konstruksi pohon genetik digunakan perangkat lunak MEGA (Molecular Evolutionary Genetics Analysis) version 4.0. (Tamura et al. 2007). Penggunaan penciri DNA mikrosatelit dengan pertimbangan bahwa DNA mikrosatelit merupakan penciri molekuler yang memiliki keunggulan dibandingkan penciri molekuler lainnya, antara lain tersebar sangat banyak di genom, polimorfisme tinggi, diskriminasi tinggi hingga perbedaan satu basa dan dapat dengan mudah diamplifikasi dengan reaksi PCR. Penggunaan penciri mtDNA diantaranya untuk mengetahui pola evolusi molekuler (molecular clock) pada individu berdasarkan perubahan yang terjadi pada urutan basanya atau mutasi, sehingga dapat pula digunakan sebagai alat penduga terjadi perubahan struktur genetik suatu spesies.

Metode

Koleksi dan Ekstraksi DNA Genom Sapi

DNA genom sapi diisolasi dari sel darah utuh (whole blood). Darah ditampung menggunakan tabung vaccutainer dari vena jugularis (+ 10 ml) dengan pengawet larutan EDTA 10 %. Prosedur ekstraksi DNA darah didasarkan pada metode standar fenol-kloroform (Sambrook et al. 1989) dengan modifikasi waktu inkubasi sampel lebih pendek. Secara ringkas prosedur ekstraksi yakni sampel darah 250-500 µl ditambah larutan penyangga pelisis (lysis buffer), vortex secukupnya dan sentrifugasi untuk mendapatkan pelet. Selanjutnya, ditambahkan larutan pencuci (rinse buffer) dan dilakukan vortex sampai endapan larut. Kemudian ditambahkan larutan digesti (digestion buffer), enzim Proteinase K dan RNAse dan diinkubasikan

overninght pada suhu 55ºC. Setelah sampel tercerna semua, ditambahkan fenol dan dilakukan vortex atau digunakan rotary mixer agar larutan tercampur sempurna. Larutan disentrifugasi pada kecepatan 13 000 rpm selama 2 menit, kemudian supernatan dipindahkan ke tabung eppendorf baru. Supernatan diberi fenol- klorofom (1:1) dengan volume yang sama, kemudian divortex dan disentrifugasi dengan kecepatan 13 000 rpm selama 20 menit. Supernatan diambil dan ditambahkan etanol absolut (100%) untuk presipitasi DNA, kemudian dilakukan sentrifugasi untuk mengendapkan pelet DNA tersebut. Selanjutnya etanol absolut dibuang dan pelet dicuci dengan 70% etanol. Kembali pelet diendapkan dengan sentrifugasi 13000 rpm. Setelah sentrifugasi ethanol secara hati-hati dibuang agar pelet DNA tidak ikut terbuang. Material/pelet DNA yang mengendap dalam tabung dikeringkan dengan bantuan aspirator. Setelah kering, pelet DNA ditambahkan larutan TE dan disimpan dalam freezer untuk proses selanjutnya.

Setelah DNA hasil isolasi dimurnikan dan diketahui konsentrasinya, maka dipreservasikan untuk disiapkan sebagai cetakan (template) pada reaksi PCR. Adapun prosedur purifikasi dilakukan sebagaimana pada proses ekstraksi DNA.

Reaksi Polimerase Chain Reaction (PCR)

Pada reaksi amplifikasi DNA (reaksi PCR), DNA genom sapi digunakan sebagai cetakan (template) dengan pasangan primer (mix) sekuen pengapit (flanking sequence) nukleotida DNA mikrosatelit (Forward dan Reverse).

Amplifikasi daerah target DNA mitokondria digunakan primer yang mengapit daerah gen cyt b (Anderson et al. 1982). Primer DNA mikrosatelit yang digunakan sebanyak 7 buah, merupakan primer yang dirancang dan telah diaplikasikan pada bangsa sapi (bovine microsatellite). Berdasarkan informasi ini diharapkan dapat diperoleh pula informasi khusus untuk sapi-sapi lokal di Indonesia. Primer DNA mitokondria pada gen cyt b menggunakan sebanyak dua primer dengan urutan oligonukleotida F = 5'- TCG CTC CCA GCC CCA TCC AAC ATC TCA GCA TGA TGA AACT -3' R = 5'- TTG TGA ATT ACT GTA GCA CCT CAA AAT GAT ATT TGT CCTCA - 3' yang mengapit gen cyt b dari DNA mitokondria sapi domestikasi (Verkaar et al. 2002).

Reaksi PCR untuk DNA mikrosatelit dilakukan dengan volume total 25μl dari campuran larutan yang terdiri atas DNA Taq Polimerase dan 10 X buffer Taq

Polimerase (100 mM Tris-Cl, pH 8.3; 500 mM KCl; 15 mM MgCl2; 0.01 % gelatin);

dNTP’S mix (dGTP, dATP, dTTP dan dCTP) (Pharmacia); dan dH2O steril.

Kondisi untuk reaksi PCR dalam mesin thermocycler dirancang dengan suhu pra- denaturasi 95o C, denaturasi 95o C, annealing 58-60o C, perpanjangan 72o C dan pasca PCR 4o C. Perbanyakan siklus diulang sebanyak 35-40 kali. Untuk reaksi PCR amplifikasi dari DNA mitokondria gen cyt b dilakukan seperti yang dijelaskan oleh Nijmann et al. (2003), yang terdiri atas suhu denaturasi 95o C selama 45 detik, suhu annealing 58o C selama 45 detik dan suhu perpanjangan (extension) 74o C selama 45 detik. Verifikasi produk PCR sebelum dilakukan sekuensing melalui separasi dengan elektroforesis gel agarosa 1.5 %. Sekuensing purifikasi produk digunakan kit produk dari Qiagen.

Penentuan Polimorfisme Alel-alel DNA Mikrosatelit Kromosom Y Pada Genom Sapi

Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran pola polimorfisme DNA yang diperoleh dari polimorfisme alel-alel DNA mikrosatelit hasil produk PCR dengan DNA cetakan (template) berasal dari genom sapi dan primer merupakan sekuen DNA pengapit daerah mikrosatelit. Produk PCR dipisahkan dengan Elektroforesis Gel Poliakrilamid (PAGE) yang dilanjutkan dengan pewarnaan perak

(silver staining) untuk memperoleh pola pita DNA. Pola pita inilah yang digunakan untuk deteksi polimorfisme alel DNA mikrosatelit secara manual.

Fragmen DNA produk PCR dideteksi dari pola pita yang berbeda hasil elektroforesis setelah diwarnai dengan pewarnaan perak (silver staining) menurut petunjuk Guillemet & Lewis (Tegelström 1986) dengan modifikasi pengurangan waktu perendaman masing-masing larutan yang digunakan. Metode pewarnaan perak cukup efektif dalam mengurangi back ground dan meningkatkan sensitivitas. Penentuan posisi pita DNA dilakukan secara manual (Leung et al. 1993). Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memudahkan pengamatan :

1. Semua pita DNA dengan laju migrasi yang sama, diasumsikan sebagai lokus yang homologus.

2. Masing-masing pita DNA ditandai (dapat menggunakan tinta berwarna), setiap tanda mewakili satu posisi pita DNA tertentu. Hal ini dimungkinkan dengan menempelkan plastik transparan pada membran nilon atau film X-ray / foto gel. 3. Bila lane (jalur) DNA yang dibandingkan terpisah satu sama lain dapat digunakan alat tertentu (misal mistar) untuk membantu menentukan posisi pita DNA. 4. Data profil DNA merupakan data alel yang teramati dengan ketentuan ada dan tidaknya pita DNA berdasarkan ukuran produk PCR pada satu posisi yang sama dari beberapa individu yang dibandingkan. Pita alel DNA yang muncul merupakan karakter haplotipe karena mikrosatelit merupakan kromosom Y

Pita yang muncul pada gel poliakrilamid dengan pewarnaan perak pada masing-masing lokus diasumsikan sebagai alel DNA mikrosatelit. Keragaman alel mikrosatelit ditentukan dari perbedaan migrasi alel pada gel dari masing-masing individu sampel. Frekuensi masing-masing alel setiap lokus mikrosatelit dihitung berdasarkan rumus :

x i = (2nij + Σ nij) /(2n)

j≠1

dengan :

xi = frekuensi alel ke i

nij = jumlah individu untuk genotip ij n = jumlah alel

Keragaman genetik diukur dengan nilai rataan heterosigositas (H) pada semua lokus, baik lokus yang polimorfik maupun monomorfik. Lokus polimorfik apabila frekuensi alel yang diperoleh adalah sama atau kurang dari 0.99 (Nei 1987). Adapun formulasi untuk memperoleh nilai heterosigositas (h) untuk setiap lokus adalah :

(

)

(

2 1

)

1 2 2 − − =

n Xi n h dengan : h = heterosigositas lokus xi = frekuensi alel lokus ke-i

n = jumlah individu sampel

Rataan heterosigositas (H) untuk keseluruhan lokus dalam populasi dihitung dengan formula :

r H = hj / r j = 1

dengan :

H = rataan heterosigositas seluruh lokus hj = heterosigositas lokus ke-j

r = jumlah lokus

Ragam heterosigositas dari setiap lokus dapat diperoleh dengan formulasi : 2

V, 1(h) = --- {2(2n - 2) {∑ xi3 - (∑ xi2)2} + ∑ xi2 - (∑ xi2)2}

2n(2n - 1) dengan :

V (h) = ragam heterosigositas setiap lokus xi = frekuensi alel lokus ke-i

PIC (Polymorphic Information Content)

Frekuensi alel digunakan pula untuk menentukan nilai PIC, yakni suatu nilai yang dapat digunakan sebagai penentu derajat informasi tingkat polimorfik dari suatu marker yang digunakan (Botstein et al. 1980). Formulanya adalah :

dengan :

PIC =Polymorphic Information Content K = jumlah alel

i

P dan Pj = frekuensi alel ke i dan ke j Penentuan Variasi Urutan Gen Cytochrome b

Kegiatan ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran variasi urutan DNA yang diperoleh dari hasil perunutan (sekuensing) produk PCR dengan DNA cetakan

(template) berasal dari genom sapi dan primer merupakan sekuen DNA pengapit daerah gen cyt b dari mtDNA sapi. Proses sekuensing produk PCR gen cyt b

menggunakan mesin perunut otomatis ABI PRISM 377 (Applied Biosystems, Foster City, CA, USA). Kegiatan perunutan (sequencing) nukleotida gen cyt b dilaksanakan di 1st BASE Laboratories Sdn.Bhd., Malaysia.

Produk PCR dirunut dengan mesin sequencer untuk mengetahui adanya perbedaan urutan gen cyt b,Urutan DNA yang muncul dari hasil runutan ini yang digunakan untuk deteksi variasi gen cyt b. Kemiripan susunan urutan nukleotida gen

cyt b ditentukan menggunakan metode alignment (pensejajaran) dengan perangkat lunak ClustalW (Thompson et al. 1997).

Jarak genetik standar (Ds) Nei (1972) digunakan untuk membandingkan jarak genetik setiap individu dari populasi sampel. Konstruksi topologi pohon genetik ditentukan dengan metode UPGMA (Unweighted Pair-Group Method with Arithmatic mean) (Nei 1991) menggunakan perangkat lunak MEGA ver. 4 (Tamura

et al. 2007), nilai boostrap dihitung dengan ulangan sebanyak 1 000 kali. 2 1 1 1 2 1 2

2

1

j k i k i j i k i i

P

P

P

PIC

∑ ∑

− = =+ =

=

Dokumen terkait