Keberadaan Bangsa (Breed) Sapi Lokal Indonesia
Indonesia merupakan negara kepulauan di Asia Tenggara, dan memiliki banyak bangsa sapi sebagaimana hewan-hewan lainnya. Sapi Bali, sangat dipercaya sebagai sapi lokal hasil domestikasi dari Banteng (Bos /Bibos banteng), yang merupakan hewan klas bovidae primitif dengan habitat di beberapa hutan wilayah Asia Tenggara (Namikawa et al. 1980). Berdasarkan sejarah diketahui juga bahwa sapi zebu India secara berulangkali telah diintroduksi ke wilayah Indonesia pada awal abad 19. Tampaknya komposisi genetik berbagai bangsa sapi yang ada di Indonesia menjadi cukup sulit untuk diklarifikasi filogeninya. Namun, justru adanya variasi genetik yang cukup besar pada sapi-sapi lokal Indonesia ini menjadi bahan studi yang menarik, karena bisa jadi sapi-sapi lokal Indonesia menjadi salah satu kumpulan gen terbesar terkait dengan asal usul sapi-sapi yang rumit tersebut dan deferensiasi genetik menjadi masalah yang sangat penting untuk dikaji (Namikawa et al. 1980)
Antara tahun 1870 – 1890, sapi Jawa merupakan sapi idaman untuk mengolah lahan pertanian. Namun dilaporkan tahun 1907 – 1910 bahwa sapi Jawa menurun kualitas genetiknya, seperti berkurangnya kemampuan konsumsi pakan dan tenaga. Kemampuan reproduksinya juga menjadi rendah sehingga banyak yang diafkir. Maka pemerintah yang berkuasa saat itu (Belanda) memutuskan tahun 1905 untuk memasukkan sapi zebu ke Indonesia. Kegiatan ini berlangsung hingga tahun 1920- an. Kegiatan pemurnian genetik sapi-sapi lokal di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak dikeluarkan Peraturan Pemerintah Belanda tahun 1913, yang menetapkan pulau Madura sebagai tempat pemurnian sapi Madura dan pulau Bali dan pulau Lombok sebagai tempat pemurnian sapi Bali, sedangkan sebelumnya tahun 1912, pulau Sumba telah ditetapkan sebagai tempat pemurnian sapi Ongole yang diimport dari Nellore, India dan kegiatan ini dilakukan dengan ketat di bawah pengawasan pemerintah Belanda saat itu (Soeratmo 1923 dalam Talib 1988).
Diantara sapi-sapi lokal Indonesia, maka sapi Bali memang memiliki potensi genetik yang besar (Ditjenak 2008), terutama sebagai ternak pedaging. Namun, keberadaan sapi-sapi lokal di Indonesia pada beberapa dekade terakhir ini kurang
m te lin de po A G se te ba pe de ta se D un 9500 10000 10500 11000 11500 12000 Eko r mendapat per erbukti bahw ngkungan s engan masy opulasi sapi Australia) di I Gambar 1 Pe (D 200 Dari G empat menga endensi kena agi pemerin edaging gun engan berba ahun 2010, p ehingga dipe Dalam upaya ntuk mempe 2000 20 rhatian seriu wa ternak lok setempat ma yarakat. Pa potong loka Indonesia da erkembangan Direktorat Jen 09) Gambar 1 di alami penuru aikan popula ntah untuk na mencuku agai dalih ya pemerintah t erlukan strat meningkatk ercepat pen 01 2002 us dari pem kal lebih ma aupun secar ada Gambar al maupun im ari tahun 200 n Populasi Sa nderal Produ atas tampak unan popula asi. Hal ini mengemban upi kebutuha ang sebenarn telah mencan tegi tepat un kan jumlah p nyebaran dan 2003 200 Tahu merintah ma ampu bertah ra sosial da r 1 berikut mport (teruta 00-2008. api Potong T uksi Ternak d k bahwa me asi, tetapi aw jika dicerm ngkan sapi- an dalam n nya merupak nangkan unt ntuk memper populasi sapi n peningkat 04 2005 un aupun masy han dan bera an budaya t ditampilkan ama sapi Br Tahun 2000 dalam Badan eskipun peri wal tahun 200 mati sebenarn -sapi lokal, negeri, buka kan alasan p tuk pencapai rcepat jumla i, peran sapi tan kualitas 2006 2007 yarakat. Pa adaptasi den telah lama n grafik pe rahman Cros - 2008 (X 10 n Pusat Stati iode tahun 2 05 mulai tam nya merupa khususnya annya kebija politis dagan ian swasemb ah populasi pejantan sa s populasiny 7 2008 adahal telah ngan kondisi berinteraksi erkembangan ss / BX asal 000 ekor) istik [BPS] 2003 – 2004 mpak adanya akan peluang a sapi lokal akan import ng. Apalagi bada daging sapi potong ngat penting ya. Karena h i i n l 4 a g l t i , . g a
kenyataannya sampai saat ini teknologi yang tepat untuk sistem perkawinan ternak sapi di Indonesia adalah teknologi Inseminasi Buatan (IB), maka sistem seleksi untuk mendapatkan pejantan yang unggul, terutama untuk penyediaan sperma yang berkualitas harus mendapatkan perhatian, sehingga akan mampu meningkatkan pula kualitas sapi-sapi potong yang dihasilkan dari teknologi Inseminasi Buatan tersebut. Bangsa-bangsa (breed) sapi yang ada di dunia saat ini sebenarnya terbentuk selama berabad-abad melalui proses seleksi alam maupun seleksi yang dilakukan oleh manusia. Breed sapi diseleksi terutama untuk ketahanan terhadap kondisi lingkungan dan kebutuhan manusia (Maudet et al. 2002). Menurut beberapa buku catatan seleksi ternak, bahwa pada 200 tahun terakhir, seleksi mengarah pada isolasi genetik beberapa breed sapi, dan seleksi yang ketat untuk produktivitas tinggi telah menyebabkan turunnya sejumlah populasi breed. Variasi genetik yang ditemukan pada breed dikembangkan ke arah karakter baru, seperti respon terhadap perubahan lingkungan, penyakit atau kondisi pasar. Namun, sapi-sapi lokal (indigenous) justru memiliki banyak kombinasi gen dan karakter spesifik untuk adaptasi terhadap berbagai kondisi, seperti ketahanan penyakit, adaptasi kondisi pakan terbatas atau kualitas pakan yang rendah dan sebagainya, yang tidak ditemukan pada breed-breed
terseleksi. Namun, karena tidak adanya perhatian yang serius, maka beberapa breed
lokal ini terancam punah (Maudet et al. 2002).
Upaya untuk mempertahankan keragaman genetik ternak-ternak lokal perlu dijaga bahkan ditingkatkan, terutama untuk tujuan seleksi maupun pemanfaatan gen- gen tertentu yang seringkali tidak dimiliki oleh breed modern hasil seleksi ketat. Sehingga, hal ini seolah-olah merupakan suatu tindakan kontroversi, antara upaya meningkatkan produktivitas ternak (pola pemuliaan) yang berakibat pada turunnya keragaman genetik dengan kepentingan pelestarian plasma nutfah yang mengharapkan keragaman genetik. Jadi, konsep konservasi adalah pertimbangan pembangunan masa kini jangan sampai merusak kemungkinan masa depan. Masih banyak potensi ternak lokal yang belum tergali atau diketahui, sehingga konservasi merupakan usaha yang rasional untuk menjaga mutu genetik ternak-ternak lokal tersebut (Setiadi & Diwyanto 1997).
Contoh kasus pada sapi Bali, dalam sejarah panjang domestikasi Banteng menjadi sapi Bali, diketahui bahwa sapi Bali pada masa lampau justru memiliki
potensi genetik lebih baik jika dibandingkan sapi Bali saat ini. Hal ini berarti telah terjadi penurunan mutu genetik (Darmadja 1980; Pane 1991). Demikian pula hasil studi Noor et al. (2000), dengan menggunakan metode analisis lebih baru bahwa berdasarkan data hasil analisis polimorfisme iso-electrical focussing (IEF) protein darah, analisis DNA mikrosatelit, analisis struktur kromosom dan analisis struktur bulu dengan menggunakan scanning electron microscope(SEM), diduga bahwa sapi Bali pejantan di Balai Inseminasi Buatan, Singosari, Malang, Jawa Timur dan pulau Bali telah terkontaminasi oleh breed sapi lain. Meskipun hasil ini masih menggunakan sampel terbatas dan belum mengarah pada kesimpulan menyeluruh, tetapi merupakan indikasi telah terjadi introduksi genetik pada sapi ini.
Pembahasan tentang kepentingan dan peluang pengembangan manajemen sumber genetik ternak bagi kepentingan nasional maupun global dimulai di Amerika Serikat tahun 1984 (CAST 1984; OTA 1987; NRC 1993). Secara umum diskusi membahas tentang strategi mempertahankan breed-breed ternak yang populasinya telah langka, termasuk diskusi tentang masalah yang kritis dan peluang ke depan serta program konservasi yang luas untuk breed-breed ternak langka. Untuk manajemen sumber genetik peternakan, difokuskan pada negara-negara sedang berkembang dari sudut pandang kepentingan global. Karena, hampir sebagian besar ternak domestikasi terdapat di wilayah negara-negara ini dan karakter genetik lokal ternak di wilayah ini telah menurun akibat seleksi terarah yang sangat ketat (Mason & Crawford 1993). Namun, peluang dan kesempatan untuk manajemen sumber genetik ternak di negara-negara berkembang justru cenderung tidak diperhatikan. Padahal saat ini variasi sumber genetik ternak diperlukan untuk keperluan produktifitas ternak pada berbagai kondisi lingkungan, juga kemungkinan mempertahankan sumber genetik ternak dan memberikan fasilitas yang cepat untuk adaptasi terhadap perubahan tujuan pemuliaan ternak (Notter 1999).
Program manajemen sumber genetik ternak dalam jangka panjang sebaiknya diarahkan untuk pencapaian potensi maksimal spesies dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Jadi, tindakan saat ini jangan sampai mengurangi upaya kita untuk mempertahankan tingkat kemampuan genetik dalam produksi maupun performans ternak. Memang seringkali terjadi perbedaan informasi yang besar terhadap program manajemen sumber genetik pada hewan-hewan yang hampir
punah. Studi umumnya difokuskan pada ukuran populasi dan struktur populasi yang diperlukan untuk mencegah inbreeding dan menerimanya untuk tujuan menjaga tingkat heterosigositas dan potensi adaptasi, yang seolah-olah hal ini mencukupi untuk menambah variasi genetik. Padahal sesuai dengan petunjuk manajemen konservasi spesies langka, studi tidak hanya selalu tentang pemeliharaan variasi genetik dalam breed itu sendiri tetapi lebih dari itu, yakni manajemen strategi yang sesuai untuk populasi secara keseluruhan (Notter 1999).
Keragaman Alel DNA dan Variasi Genetik pada Ternak
Manajemen yang menekankan pada pemeliharaan heterosigositas individu mungkin sedikit berguna jika dibandingkan manajemen yang langsung bertujuan untuk memelihara adanya keragaman alel-alel dalam genom suatu individu atau spesies. Keragaman alel disini didefinisikan sebagai suatu nukleotida yang memiliki urutan / sekuens unik yang dapat menghasilkan kemampuan individu dalam produktivitas atau mampu mengeluarkan efek spesifik regulator lain dari sekuens unik tersebut. (Notter 1999). Denniston (1977) menggambarkan bahwa ukuran populasi yang efektif diperlukan untuk memelihara beberapa alel pada lokus dalam suatu perkawinan tunggal secara random dan kepentingan ini lebih besar daripada keperluan untuk mempertahankan nilai inbreeding yang telah ditetapkan pada populasi. Notter & Foose (1986) juga menunjukkan bahwa memelihara keragaman alel dalam suatu spesies lebih efisien untuk pencapaian subdivisi spesies daripada populasi utuh, sehingga subpopulasi sangat cukup untuk menjaga akumulasi efek
inbreeding atau menjaga kemungkinan untuk melakukan strategi crossing pada subpopulasi guna mendapatkan heterosigositas.
Diperkirakan jumlah breed ternak mamalia sekitar 4 000, sangat kecil dibandingkan seluruh spesies mamalia yang sudah dikenal, dan sekitar 1 000 spesies dalam kondisi mengkawatirkan (Loftus & Scherf 1993). Sehingga, dalam jangka panjang menjaga 4000 breed dengan suatu pendekatan ukuran populasi yang sesuai bagi spesies yang dilindungi menjadi tidak cocok dan tidak perlu untuk menjaga potensi adaptif spesies tersebut. Akan tetapi, diperlukan dukungan untuk program pemeliharaan spesies secara luas dan menyeluruh serta contoh breed secara global untuk setiap spesies yang kritis dan perlu penanganan segera (Notter 1999). Dalam
daftar FAO (1996) terdapat 783 breed sapi secara global. Pertanyaan yang harus diperhatikan adalah seberapa besar potensi nilai keragaman alel yang dimiliki dan mungkinkah secara langsung memiliki nilai komersial. Jawaban dari pertanyaan ini adalah bagaimana kita dapat menemukan alel-alel spesifik yang berkorelasi dengan sifat-sifat kuantitatif tertentu yang memiliki nilai komersial atau lokus sifat kuantitatif (quantitative trait loci/QTL). Oleh karenanya memelihara keragaman alel pada suatu spesies sapi yang memiliki potensi tertentu akan sangat berguna sebagai suatu cara untuk memfasilitasi akses ke depan dalam memanfaatkan suatu peluang.
DNA genom eukariot yang jauh lebih panjang dibandingkan dengan DNA genom prokariot, sebagian besar mengandung sekuen berulang. Walaupun fungsinya belum diketahui secara pasti, sekuen tersebut diduga memiliki struktur yang berperan dalam arsitek interfase nukleus, meiosis kromatin dan atau metafase kromosom.
Sejumlah besar informasi telah dikumpulkan mengenai elemen berulang dan organisasinya dalam genom ternak. Konsekuensinya adalah sesuatu yang harus dipertimbangkan berkenaan arti yang ada, yakni tentang kegunaan klasifikasi sekuen berulang berdasarkan struktur, distribusi dan frekuensi pengulangannya. Beberapa genom eukariotik mengandung beberapa macam repetitif DNA, mulai dari yang sederhana berupa suatu nukleotida tunggal hingga tingkatan-tingkatan satelit DNA (Tautz et al. 1984; Ellegren et al. 1992), dan beberapa repetitif DNA ini memiliki polimorfik tinggi.
Beberapa studi menunjukkan bahwa sekuen berulang DNA (mikrosatelit) dapat digunakan untuk mengidentifikasi asal usul individu dari suatu populasi (Bradley et al. 1998; Edwards et al. 2000; Maudet et al. 2002). Analisis variasi genetik menggunakan penciri mikrosatelit adalah analog dengan metode lama yakni elektroforesis protein. Sejumlah mikrosatelit diaplikasikan, setiap penciri dideteksi sejumlah alternatif alel pada lokus genetik spesifik. Alel-alel individu mencerminkan frekuensi yang berbeda antar populasi yang berbeda. Perbedaan yang besar pada alel ini memungkinkan ketersediaan data dasar untuk pendugaan jarak genetik (Bradley
et al. 1998). Bagaimanapun juga penciri mikrosatelit berbeda dengan protein. Mikrosatelit lebih variatif (lebih banyak alel per lokus) dan tingkat informasinya menjadi lebih bervariasi dalam hubungan evolusinya antar alel dalam lokus yang ada. Alel-alel yang sama dalam satu garis keturunan akan lebih mirip pada ukuran
alelnya. Gambaran ini dijelaskan hasil studi bahwa distribusi ukuran alel yang berbeda sering ditemukan antar populasi Bos indicus dan Bos taurus. Oleh karena alel breed zebu juga terdapat pada hewan yang tetuanya campuran, maka frekuensi alelnya dapat digunakan untuk mengestimasi kontribusi relatif dari breed zebu dan
Bos taurus dalam genom inti keturunannya.
Mitokondria DNA (mtDNA) merupakan satu diantara penciri DNA yang sangat popular digunakan sebagai penciri genetik pada populasi hewan (Avise et al.,
1987). Alasannya, karena penciri ini memiliki tipikal tingkatan variabilitas tinggi, merupakan jalur turunan maternal (induk), dan lebih mendekati model evolusi netral. Dalam suatu populasi yang mengalami mutasi atau penyimpangan genetik setimbang (equilibrium), maka tingkat dugaan variasi genetik dari suatu lokus netral adalah proporsional terhadap ukuran populasi efektif (dan tingkat laju mutasi Wright 1953). Variasi mtDNA secara tipikal juga dapat menggambarkan pengaruh demografi, seperti variasi ukuran populasi antar spesies maupun antar populasi sehingga menjadikan mtDNA alat yang populer untuk tujuan konservasi genetik (Harrison 1989; Roman & Palumbi 2003).
DNA mitokondria (mtDNA) telah menjadi sarana yang sangat penting dalam memahami asal usul bangsa dan proses domestikasi sapi. Studi awal oleh Loftus et al. (1994) dan Bradley et al. (1996) menunjukkan bahwa terdapat dua kelompok utama haplotipe berdasarkan mtDNA, yang mewakili garis keturunan dari Bos indicus (zebu) dan Bos taurus (taurine). Identifikasi proses domestikasi independen pada kedua breed sapi tersebut menunjukkan pula bahwa sapi zebu didomestikasi di benua Asia, sedangkan taurine berasal dari suatu pemisahan kelompok spesies aurochs di Timur Dekat dan Afrika (Loftus et al. 1994a). Studi lebih lanjut pada bangsa sapi taurine di Eropa, Afrika dan Timur Dekat menunjukkan bahwa hampir semua sekuens mtDNA memiliki satu akar dari empat tetua utama haplotipe, salah satu dari tetua merupakan haplotipe predominan di Afrika sedangkan lainnya di Eropa dan Timur Dekat. Setiap lokasi geografi sampel sapi menghasilkan suatu titik sebagai pusat filogeni dari salah satu dari dua haplotipe, yang dibedakan hanya pada transisi basa di 16050, 16113 dan 16255 dari d-loop mitokondria. Hal ini juga menggambarkan bahwa domestikasi sapi Afrika terpisah dari sapi taurine. Hasil studi mtDNA ini juga telah dikonfirmasikan dengan hasil studi menggunakan mikrosatelit
(MacHugh et al. 1997; Loftus et al. 1999; Hanotte et al. 2002), yang disimpulkan bahwa sapi Afrika berawal dari benua tersebut dan adanya introduksi genetik dari sapi Eropa dan Timur Dekat.
DNA mitokondria hewan berukuran kecil (sekitar 15-20 kb) berupa molekul sirkuler, terdiri atas sekitar 37 gen yang mengkode 22 tRNA, dua rRNA dan 13 mRNA, yang terakhir gen yang mengkode protein utama termasuk transport elektron dan fosforilasi oksidatif dari mitokondria. Genom mitokondria tersusun sangat efisien; tanpa intron, memiliki daerah antara (spacer) intergenik yang kecil dimana posisi reading frames kadang-kadang overlap. Daerah kontrol (control region) merupakan daerah non koding utama, dan bertanggung jawab untuk regulasi transkripsi untai berat / heavy (H) and ringan/light (L) dan replikasi untai H.
Terdapat banyak molekul mtDNA pada suatu mitokondrion yang menjadikan mtDNA secara alamiah memiliki sumber variasi genetik. Hal ini menjadikan pula mtDNA lebih cepat perbaikan inefisiensi replikasinya (Brown et al. 1982) dibandingkan dengan DNA inti (Clayton, 1991). mtDNA pada awalnya dilaporkan tidak mengalami rekombinasi (Hayashi et al. 1985), tetapi beberapa bukti telah menunjukkan adanya kejadian rekombinasi (Hagelberg et al. 1999). Tingkat kejadian mutasi yang relatif cukup tinggi dibandingkan dengan gen-gen inti telah mengarah pada suatu hasil kumpulan informasi tentang adanya titik-titik mutasi yang memungkinkan dalam diskriminasi spesies hewan yang berdekatan. Hal ini menjadikan catatan pula bahwa mtDNA menunjukkan adanya derajat variabilitas intraspesifik tinggi sehingga dapat pula dijadikan referensi ketika kita mempelajari perbedaan genetik antar organisme yang didasarkan pada polimorfisme (Chow & Inogue 1993).
DNA Mikrosatelit Spesifik pada Kromosom Y
Pada dekade terakhir ini beberapa studi telah difokuskan pada analisis kromosom Y mamalia, diantaranya studi kesehatan masyarakat (Jobling & Tyler- Smith 2000) dan evolusi pembentukan jenis kelamin/sex (Graves 2002). Kromosom Y hanya merupakan bagian dari genom mamalia yang secara eksklusif diturunkan dari jalur paternal/bapak yang kemudian diistilahkan sebagai patrilineal. Sehingga, kromosom Y merupakan penciri unik untuk mempelajari kontribusi hewan jantan
terhadap sejarah evolusi suatu spesies, sebagai contoh penciri genetik yang terkait dengan kromosom Y telah memberikan kontribusi sebagai bahan pertimbangan dalam sejarah filogeografi manusia. (Hammer et al. 1997). Kelangkaan marker pada kromosom Y dan informasi sekuens-nya (Petit et al. 2002) serta level variasinya yang rendah (Hellborg & Ellegren 2004; Meadows et al. 2004; Queney et al. 2001) menyebabkan aplikasi data kromosom Y pada populasi genetik non primata, seperti kuda, sapi dan domba masih sangat jarang ditemukan.
DNA mikrosatelit spesifik pada kromosom Y, sebenarnya telah dikembangkan pada manusia untuk diskriminasi populasi yang berdekatan maupun untuk menetapkan hubungan genetik antar populasi yang berbeda (Hammer et at. 1997; Pérez-Lezaun et al. 1997; Seielstad et al. 1999). Tanpa mengesampingkan daerah pseudoautosomal, aksi kromosom Y secara keseluruhan merupakan unit tunggal non rekombinasi, yang merupakan sifat spesifik jantan dan haploid efektif. Hal ini membuktikan bahwa awal kejadian kombinasi mutasi dari garis keturunan jantan dipertahankan secara pautan tunggal oleh haplotipe. Variasi genetik pada haplotipe yang tersusun antar populasi telah dikembangkan pada ternak dan telah meningkatkan keberhasilan reproduksi jantan (Nowak 1991).
Pada ternak domestikasi yang memiliki indikasi adanya variasi individu dalam populasi berdasarkan penciri molekuler mikrosatelit spesifik pada kromosom Y telah ditunjukkan pula adanya hibridisasi breed dan pola migrasinya (MacHugh et al. 1997; Bradley et al. 1998). Adanya polimorfisme pada mikrosatelit spesifik kromosom Y dapat dijadikan titik awal dalam menyediakan informasi tentang studi variasi genetik paternal pada sapi maupun spesies yang terkait. Indikasi ditemukannya pseudogen hormon pertumbuhan (GH) spesifik jantan pada hewan domestikasi, menunjukkan bahwa kromosom sex dapat mempengaruhi proses diferensiasi individu. Peran kromosom sex terpaut sifat jantan pada hewan penting untuk diketahui secara lebih mendalam misal kemampuan dalam reproduksi.
Banyak studi penciri molekuler DNA mikrosatelit dilakukan pada bagian autosom dan jarang pada kromosom sex, terutama kromosom Y. Hasil studi Hanotte
et al. (2000) dengan menggunakan penciri mikrosatelit spesifikasi pada kromosom Y INRA23 menunjukkan adanya introgesi pejantan zebu di sapi lokal yang ada di Mozambique dan Zimbabwe yang diduga alel tersebut berasal dari teluk
Mozambique, dimana pada masa lalu teluk Mozambique merupakan daerah perdagangan internasional, termasuk perdagangan sapi, sehingga kemungkinan terjadinya introgesi bangsa sapi dari luar sangat besar, termasuk adanya alel pada bangsa sapi Bos taurus yang toleran terhadap penyakit tripanosoma.
Hasil penelitian Edwards et al. (2000) dengan menggunakan 4 buah penciri DNA mikrosatelit (INRA124, INRA126, INRA189 dan BM861) menggambarkan dugaan adanya aliran gen pejantan dari bangsa taurine maupun zebu pada populasi hibrid beberapa spesies bovida. Hal yang sama ditemukan pula pada kerbau Afrika, penggunaan penciri DNA mikrosatelit pada kromosom Y mampu menunjukkan adanya perbedaan yang cukup tinggi antara kerbau di daerah Afrika Tengah dengan Afrika Barat Daya.
Studi tentang invasi dan sejarah migrasi populasi manusia modern saat ini juga difokuskan pada variasi daerah spesifik jantan pada kromsom Y (male-spesific region of the Y chromosome /MSY). Observasi alel-alel yang diketahui haploid dan tidak terikut dalam rekombinasi X-Y memungkinkan adanya haplotipe-haplotipe yang dapat diidentifikasi untuk menentukan garis keturunan dari jantan. Hal ini terbukti efektifitasnya untuk studi penyebaran populasi global (Kayser et al. 2000, 2001; Deng et al. 2004) serta untuk penentuan waktu terjadinya ekspansi populasi manusia (Shen et al. 2000).
Uji garis keturunan jantan juga menjadi bagian penting dalam studi domestikasi spesies, karena ternyata perkawinan terkontrol telah menyebabkan beberapa pejantan kontribusinya menjadi tidak seimbang pada sejumlah keturunannya pada generasi yang berbeda. Meskipun masih jarang, beberapa studi filogenetik yang melibatkan kromosom Y telah dilaporkan pada spesies domestikasi dikaitkan variasi MSY. Nilai variasi nukleotida yang sangat rendah antar MSY
dilaporkan pada kuda (Lindgren et al. 2004), sapi (Hellborg & Ellegren 2004) dan domba (Meadows et al. 2004). Hal ini terjadi karena daerah kromosom Y umumnya bukan daerah rekombinasi sehingga memiliki lokus tunggal (haplotipe), sebaliknya situasinya sangat berbeda pada autosome (secara umum) dan kromosom X, yaitu kejadian rekombinasi mampu menghasilkan urutan nukleotida hasil penggabungan yang merupakan lokus hasil seleksi.
Menurut Meadows et al. (2006), faktor-faktor yang berpotensi terhadap rendahnya tingkat variasi kromosom Y antara lain proses seleksi, sistem perkawinan, pola migrasi, serta mekanisme lain yang menyebabkan rendahnya efektivitas ukuran populasi pejantan. Bradley et al. (1994) telah mengembangkan probe spesifik pada kromosom Y yang dapat membedakan subspesies Bos taurus (taurine) dan Bos indicus (zebu).
DNA Mitokondria (mt DNA) dan Gen cytochrome b (cyt b)
Adanya penemuan bahwa terjadinya mutasi di mtDNA dapat menyebabkan penyakit pada manusia telah meningkatkan pula studi di bidang ini agar fungsi mtDNA dapat berjalan baik. Sejumlah faktor seperti ekspresi gen, replikasi DNA dan perbaikan DNA (repair) diperlukan agar fungsi mtDNA sebagai pusat kontrol metabolisme individu dapat berjalan dengan normal. Proses ini dikendalikan dalam inti sel, sebab memerlukan protein yang dikode di dalam inti sel dan kemudian diimpor ke dalam mitokondria. Pada mitokondria vertebrata, replikasi DNA dan