• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

5. Bahan organik tanah

Bahan organik tanah memberikan sumbangan terhadap kesuburan pertumbuhan tanaman baik secara fisik, kimia dan biologis. Bahan organik merupakan penyedia unsur-unsur N, P dan S untuk tanaman. Ketersediaan substrat organik mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam tanah karena bertindak sebagai sumber energi. Secara fisik berperan dalam memperbaiki struktur tanah.

Sumber bahan organik yang ditambahkan sangat menentukan pembentukan metan di lahan sawah. Penelitian Wihardjaka (2001) dengan menggunakan beberapa jenis bahan organik pada tanah sawah memberikan hasil bahwa emisi metan terbesar didapat dari penambahan pupuk kandang, diikuti berturut-turut jerami segar, kompos dan tanpa bahan organik. Menurut Hadi (2001), pengomposan jerami padi dapat mereduksi emisi metan sampai separohnya.

Berkaitan dengan bahan organik tanah, potensial redoks (Eh) tanah akan rendah jika tersedia karbon organik tanah dalam jumlah yang cukup dan memungkinkan terbentuknya CH4 (Hou et al., 2000).

Mitigasi Emisi Metan Melalui Pengelolaan Air

Dalam upaya menurunkan kebutuhan air tanaman, petani di Cina telah membuktikan bahwa dengan melakukan pengeringan lahan pada tengah musim tanam padi dapat meningkatkan produktivitas tanaman padi. Pengeringan lahan sawah akan menstimulasi perkembangan akar tanaman padi, dan juga mempercepat proses dekomposisi bahan organik tanah untuk menghasilkan lebih banyak lagi nitrogen anorganik yang merupakan pupuk utama. Selain itu juga memberikan kesempatan tanah untuk aerasi, sehingga memutus produksi gas metan.

Penelitian di Jakenan, Pati, Jawa Tengah membuktikan bahwa dengan melakukan pengaturan air irigasi dapat mempengaruhi pH, Eh tanah, reaksi-reaksi kimia, serta aktivitas mikroorganisme tanah yang berkaitan dengan emisi GRK, tanpa mempengaruhi produksi padi (Husin, 1994; Setyanto dan Abu Bakar, 2005). Selanjutnya dari hasil penelitian didapatkan bahwa dengan pengaturan air irigasi atau pengelolaan air dengan cara berselang/intermittent mampu menurunkan total emisi CH4 sebesar 10–80% (Husin, 1994; Li et al., 2005; Setyanto dan Abu

Bakar, 2005; Minamikawa et al., 2006). Demikian juga dengan irigasi macak-macak atau genangan dangkal (0-1 cm) menurunkan total emisi metan sebesar 48,6% (Setyanto dan Abu Bakar, 2005) hingga 67% (Husin, 1994).

Salah satu kunci mengontrol produksi CH4 pada lahan sawah adalah dengan melihat dinamika Eh tanah. Untuk menekan produksi metan dapat dilakukan dengan pengelolaan air yang disertai dengan pemakaian bahan organik, untuk mempertahankan Eh tanah tetap pada kisaran menengah, yaitu antara -100 mV hingga +200 mV (Hou et al., 2000). Menurut Setyanto dan Abu Bakar (2005), pada irigasi intermittent Eh tanah begerak antara -150 mV hingga -100 mV (rata-rata -102 mV).

Budidaya Padi Metode SRI (System of Rice Intensification)

SRI (System of Rice Intensification) merupakan suatu metode untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi pada lahan beririgasi dengan pengelolaan tanaman, tanah, sistem pemberian air irigasi dan nutrisi. Metode SRI meliputi praktek-praktek pengelolaan yang menyediakan lingkungan tumbuh yang baik untuk tanaman, terutama di sekitar perakaran.

Konsep dasar metode SRI meliputi kegiatan-kegiatan yang meliputi: 1. Bibit muda.

Bibit padi ditanam setelah berumur 8-15 hari setelah semai, atau setelah memiliki dua daun.

2. Tanam 1 bibit per lubang

Bibit padi ditanam pada lahan dengan sistem tanam dangkal dan akar bibit membentuk huruf L.

3. Jarak tanam lebar

Dengan tanam tunggal pada jarak tanam yang lebar ini memberikan ruang lebih bagi perkembangan akar, serta persaingan dalam memperoleh sinar, udara dan nutrisi.

4. Sistem irigasi macak-macak

Tanah dijaga pada kondisi lembab tetapi tidak jenuh selama fase vegetatif, dan kemudian dibiarkan kering sampai terjadi retak rambut. Kondisi ini memungkinkan lebih banyak oksigen masuk kedalam tanah

dan akan mendorong pertumbuhan akar. Pada fase generatif air diberikan dengan sistem penggenangan 1-3 cm, dan kemudian dikeringkan total 25 hari sebelum panen.

Hasil penelitian terdahulu membuktikan bahwa sistem pemberian air secara macak-macak memberikan hasil gabah yang tidak berbeda nyata dengan metode irigasi yang lain (Setyanto dan Abu Bakar, 2005).

5. Penyiangan

Penyiangan pertama dilakukan setelah tanaman berumur 10 HST. Penyiangan berikutnya ditentukan oleh tingkat kerapatan gulma yang ada. Dalam satu musim tanam sebaiknya penyiangan dilakukan minimal 3 kali. Penyiangan ini bertujuan untuk memberbaiki struktur tanah dan meningkatkan aerasi tanah.

6. Aplikasi pupuk organik (khusus Jawa Barat)

Penggunaan kompos dianjurkan sebagai pengganti penggunaan pupuk kimia, dan terbukti memberikan hasil yang lebih bagus. Penambahan kompos kedalam tanah akan menambah nutrisi pada tanah dan juga memberikan kontribusi dalam perbaikan struktur tanah.

Dalam perkembangannya metode SRI di Indonesia mengalami modifikasi, sesuai dengan kondisi lahan dan iklim setempat. Metode yang sudah dikembangkan diantaranya (Balai Irigasi, 2007):

1. Jawa Barat

Pengelolaan air sesuai dengan uraian di atas. Penggunaan hanya pupuk organik selama masa tanam, yaitu pemberian kompos saat olah tanah dan MOL (mikro-organisme lokal) selama pertumbuhan tanaman.

2. Luar Jawa

Pengelolaan air irigasi dilakukan dengan cara penggenangan 2-3 cm dan dikeringkan sampai batas macak-macak. Penggunaan pupuk organik dianjurkan diberikan pada saat olah tanah, sedangkan saat pertumbuhan tanaman diberikan pupuk anorganik (urea, SP-36 dan KCl).

Dari hasil penerapan metode SRI yang sudah dilakukan di Indonesia memberikan keuntungan sebagai berikut (Balai Irigasi, 2007): (1) penggunaan benih lebih hemat, yaitu sebesar 5 kg ha-1; (2) hemat air; (3) hemat waktu (dengan

penggunaan bibit muda); (4) ramah lingkungan (dengan aplikasi pupuk organik); (5) produktivitas lahan meningkat; dan (6) memberikan peluang sistem terpadu pertanian, peternakan dan pengelolaan limbah.

Model Denitrifikasi-Dekomposisi (DNDC)

Karakteristik lahan sawah yang berubah dari kondisi jenuh dan tidak jenuh berpengaruh pada dinamika Eh tanah. Perubahan Eh tanah yang terjadi akan menentukan produksi dan konsumsi metan, dimana metan diproduksi oleh bakteri metanogen pada Eh tertentu. Produksi metan ini sangat bervariasi terhadap ruang dan waktu, dan berkaitan erat dengan interaksi dari banyak faktor.

Model DNDC mulai dikembangkan oleh Changsheng Li pada tahun 1989 sebagai pemodelan emisi N2O, dan kemudian dikembangkan untuk menduga emisi gas pada lahan pertanian tanpa genangan. Modifikasi selanjutnya dikembangkan dengan menambahkan rangkaian proses anaerob, sehingga dapat digunakan untuk mensimulasi siklus biogeokimia C dan N pada ekosistem lahan lahan padi sawah (Li et al., 2006). Gambaran “balon anaerob” dipakai pada model DNDC untuk membagi lapisan tanah menjadi zone aerob dan anaerob. Rangkaian proses mengembang dan menyusut dari “balon anaerob” menunjukkan perkiraan dinamika Eh tanah sebagai hasil reaksi reduksi – oksidasi, dimana terjadi produksi dan konsumsi metan yang dihitung mengikuti persamaan Nernst dan Michaelis – Menten.

Secara garis besar DNDC model terdiri dari 2 komponen yang saling berkaitan (Gambar 2). Komponen yang pertama terdiri dari sub-model iklim tanah, pertumbuhan tanaman dan proses dekomposisi, untuk memprediksi suhu tanah, kelembaban, pH, redoks potensial (Eh) dan profil konsentrasi subtrat yang dipengaruhi olah faktor-faktor ekologi (iklim, tanah, vegetasi dan aktivitas antropogenik). Komponen yang lain terdiri dari sub-model nitrifikasi, denitrifikasi dan fermentasi, untuk memprediksi laju NO, N2O, N2, CH4 dan NH3 yang dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan tanah.

Karbon organik tanah atau soil organic carbon (SOC) tersedia dalam bentuk sisa tanaman, biomas dan humus, masing-masing dengan laju dekomposisi yang berbeda. Saat terjadi proses dekomposisi, karbon yang terdekomposisi sebagian

berubah menjadi SOC yang lain dan sebagian lagi hilang dalam bentuk CO2.

Dissolved organic carbon (DOC) merupakan hasil antara selama proses dekomposisi, dan segera dikonsumsi oleh mikroba sebagai sumber energi. Nitrogen organik yang terdekomposisi sebagian diubah menjadi bahan organik lain dan sebagian lagi diubah menjadi amonium (NH4+) sebagai bahan proses nitrifikasi yang menghasilkan nitrat (NO3-). Jika lapisan anaerob membesar, substrat-substrat (DOC, NH4+, NO3-) akan mengisi lapisan anaerob dan mendorong terjadinya proses denitrifikasi. Jika lapisan anaerob menyusut, terjadi peningkatan proses nitrifikasi. Proses denitrifikasi dan nitrifikasi tersebut menghasilkan gas NO dan N2O. Setelah waktu yang cukup lama, pada lapisan tanah bagian bawah akan terjadi proses fermentasi yang menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan metan (CH4), yang dipengaruhi oleh penurunan Eh tanah.

Gambar 2 Struktur model DNDC

Climate Soil Vegetation Human activity

ecological drivers

Soil environmental factors

Temperature Moisture pH Eh Substrat: NH

4 +, NO3-, DOC annual average temp. LAI-regulated albedo soil temp profile soil moist profile potential evapotrans. evap. trans. vertical water flow O2 diffusion soil Eh profile O2 use Soil climate water demand water uptake water stress root respiration daily growth N-demand N-uptake grain stems roots Plant growth

very labile labile resistant

NH4+ DOC passive humus CO2 litter microbes humads labile labile resistant resistant Decomposition

effect of temperature and moisture on decomposition

NO N2O N2 NO2- nitrate denitrifier nitrite denitrifier N2O denitrifier DOC NO3 -DOC nitrifiers Soil Eh aerenchyma DOC CH4 production NO3 -N2O NO NH3 NH4+ NH3 clay-NH4+ CH4 CH4 oxidation CH4 transport

Didalam model DNDC dilakukan simulasi pada proses-proses yang mengendalikan interaksi diantara faktor-faktor ekologi, lingkungan tanah, dan reaksi biokimia dan geokimia. Model ini sangat dipengaruhi oleh empat parameter, yaitu: iklim, sifat fisik tanah, vegetasi, dan aktivitas antropogenik. Ketersediaan dan keakuratan data keempat parameter tersebut menentukan hasil simulasi.

III. METODOLOGI

Kerangka Pemikiran

Seperti diuraikan pada bab terdahulu, bahwa produksi dan emisi CH4 merupakan proses interaksi antara faktor-faktor yang mempengaruhinya, seperti digambarkan pada Gambar 3 berikut ini.

Gambar 3 Kerangka pikir penelitian

CH4 di atmosfir dihasilkan dari proses dekomposisi bahan organik yang terjadi di dalam tanah karena aktivitas bakteri metanogen. CH4 yang diproduksi tersebut sebagian dioksidasi oleh bakteri metanotrof dan sebagian lagi terlarut

Dekomposisi Eb u lisi Di fus i Bahan organik CH4 teremisi CH4 teroksidasi CH4 terlarut Aeri n k im a CH4di atmosfir Tanaman padi Lingkungan tanah (suhu, pH, Eh, lengas) Tanah Iklim lingkungan Pengelolaan lahan Biomass (jerami-akar) Sosial (pendidikan, keahlian, dll.) Ekonomi (modal, pendapatan, dll.)

lewat perkolasi. Sisa metana akan diemisikan ke atmosfir melalui proses difusi, gelembung udara/ebulisi dan melalui jaringan aerinkima tanaman padi.

Proses dekomposisi bahan organik serta aktivitas bakteri metanogen sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan dalam tanah, yaitu suhu, pH, Eh dan lengas tanah. Faktor-faktor iklim lingkungan, jenis tanah dan pengelolaan lahan mempengaruhi kondisi lingkungan tanah tersebut. Faktor pengelolaan lahan merupakan salah satu faktor penentu emisi CH4 yang dapat dikendalikan oleh manusia melalui aktivitas budidaya padi.

Usaha mitigasi emisi CH4 melalui simulasi model Detrifikasi-Dekomposisi (DNDC) dilakukan untuk mengoptimumkan faktor pengelolaan lahan melalui budidaya padi yang ramah lingkungan. Keberhasilan usaha mitigasi tersebut sangat ditentukan oleh faktor sosial dan ekonomi petani. Teknologi budidaya padi ramah lingkungan yang akan diterapkan perlu memperhatikan tingkat pendidikan dan keahlian petani. Selain itu perlu juga dipertimbangkan faktor kemampuan ekonomi petani serta keuntungan secara finansial yang akan diperoleh petani. Dengan demikian usaha mitigasi emisi CH4 yang dilakukan selain dapat terlaksana secara berkelanjutan, juga dapat memberikan manfaat bagi petani.

Lingkup Penelitian

Penelitian ini meliputi 2 kegiatan, yaitu: (1) pengukuran laju emisi gas CH4 di lahan sawah, (2) melakukan simulasi pada beberapa kondisi dengan model DNDC untuk mengetahui laju emisi metanCH4.

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan di Desa Salebu, Kecamatan Mangunreja, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, mulai bulan Maret 2007 sampai dengan Oktober 2007. Pengukuran laju emisi metan dimulai pada tanggal 8 Juli 2007 atau 48 hari setelah tanam (HST).

Deskripsi lahan dan budidaya

Kecamatan Mangunreja, Kabupaten Tasikmalaya, secara geografis terletak diantara 107-109 derajat Bujur Timur dan 7-8 derajat Lintang Selatan. Sebagian

besar wilayahnya berada pada ketinggian 450 m dpl. Lokasi penelitian ini berada di wilayah Daerah Irigasi Ciramajaya, dan mendapatkan air irigasi dari pintu sadap tersier BCMA 5. Karena letak petak masih berada di kawasan hulu saluran maka air tersedia sepanjang tahun.

Tekstur tanahnya adalah silty clay loam/geluh lempung debuan (Klasifikasi tanah USDA) yang didominasi oleh debu hasil endapan vulkanis, dengan komposisi pasir, debu dan liat berturut-turut 10,5%, 56,5%, dan 33,0%. Angka porositas rata-rata adalah sebesar 84,91% (Lampiran 1). pH tanah di lokasi penelitian yang cenderung masam (± 5) kurang sesuai untuk pertumbuhan tanaman padi. Penambahan kapur pada saat olah tanah dapat meningkatkan pH tanah hingga pada kisaran 6. Sifat kimia tanah sebelum pemberian kompos selengkapnya disajikan pada tabel 1 di bawah ini. Berdasarkan sifat retensi tanahnya, rata-rata kadar lengas tanah pada kapasitas lapang (pF 2,54) adalah sebesar 43,19% untuk kedalalam 0-15 cm dan 44,38% untuk kedalaman 15-30 cm (Lampiran 2).

Tabel 1 Sifat kimia tanah Desa Salebu, Kecamatan Mangunreja, Tasikmalaya, tahun 2007

Sifat kimia Nilai Metode analisis

P1 P2 pH H2O (1:1) C-organik (%) N-total (%) Rasio C/N P tersedia (ppm) K tersedia (me/100 gr) NO3- (ppm) NH4+ (ppm) 5,60 2,24 0,27 8,30 0,80 0,28 140,82 1800,91 5,77 2,45 0,25 9,80 0,80 0,28 140,82 1800,91 pH-meter Walkey & Black

Kjeldahl - Bray-I NH4OAc N pH 7,0 - -

Keadaan iklim umumnya bersifat tropis dan beriklim sedang, dengan rata-rata suhu 25 °C, rata-rata-rata-rata curah hujan lebih dari 3.000 mm per tahun dan rata-rata-rata-rata jumlah hari hujan 160 hari.

Petani setempat biasa menanam padi dua kali dan sayuran sebagai tanaman ketiga. Padi yang umum ditanam berasal dari varietas Ciherang, yang ditanam pada jarak tanam 25 x 25 cm atau 27 x 27 cm. Sebagian besar petani masih melakukan cara budidaya padi konvensional, yang dicirikan dengan tanam bibit lebih dari 5 per lubang dengan umur bibit lebih dari 20 HSS (hari sesudah semai). Pengelolaan air dilakukan secara penggenangan kontinyu. Namun demikian dijumpai beberapa petani yang mulai menerapkan budidaya padi PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu), yaitu penanaman 1-3 bibit per lubang, pengelolaan air berselang (intermittent), serta penggunaan pupuk organik (kohe dan jerami). Pengelolaan air irigasi berselang (intermittent) dilakukan dengan cara penggenangan dangkal (2-5 cm) dan kemudian dikeringkan sampai macak-macak secara bergantian.

Sedangkan sayuran yang umum ditanam adalah kacang panjang, tomat dan mentimun. Pengelolaan air saat tanam ketiga ini dilakukan dengan sistem irigasi alur, yaitu mengalirkan air pada alur-alur di sisi guludan dengan ketinggian genangan 5-10 cm.

Penggunaan kompos, yang terdiri dari campuran jerami dan kohe, banyak dilakukan oleh petani setempat, terutama saat tanam ketiga (sayuran). Akan tetapi seringkali kompos yang diberikan kurang matang karena kurangnya waktu untuk proses pengomposan.

Rancangan Percobaan

Perlakuan budidaya padi sawah yang diberikan pada penelitian ini terdiri dari 2 perlakuan, yaitu :

1. P1: hanya menggunakan pupuk organik selama satu musim tanam padi. 2. P2: menggunakan pupuk anorganik (budidaya petani setempat).

Masing-masing perlakuan 3 ulangan, sehingga jumlah total petak adalah 2x3 = 6 petak, dengan ukuran masing-masing petak mulai ulangan 1 sampai dengan 3 adalah berturut-turut: 374, 380 dan 358 m2 (P1), serta 276, 287 dan 293 m2 (P2).

Prinsip pemberian air irigasi pada percobaan ini adalah irigasi hemat air dengan metode irigasi berselang/intermitten, seperti disajikan pada Gambar 4 berikut ini.

Gambar 4 Perlakuan pengelolaan air

Perlakuan pengelolaan air selama satu musim tanam adalah sebagai berikut: Pada fase awal pertumbuhan tanaman air diberikan sampai batas genangan 1 cm, dan kemudian dibiarkan kering sampai batas macak-macak. Pada fase vegetatif air diberikan sampai batas macak-macak dan dibiarkan kering sampai batas 80% kapasitas lapang. Sedangkan fase generatif pemberian air sampai pada batas genangan 2 cm, dan dibiarkan kering sampai batas 80% kapasitas lapang. Kemudian fase pematangan bulir sampai dengan panen dilakukan pengeringan.

Pengamatan

Pengamatan meliputi: air irigasi, CH4, kadar air tanah dan pH di sekitar perakaran, jumlah anakan, tinggi tanaman, berat gabah dan berat jerami, sifat fisika-kimia tanah.

Dokumen terkait