• Tidak ada hasil yang ditemukan

Simulasi Laju Emisi Metan pada Lahan padi Sawah dengan Model Denitrifikasi Dekomposisi (DNDC) (Studi Kasus di Kabupaten Tasikmalaya)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Simulasi Laju Emisi Metan pada Lahan padi Sawah dengan Model Denitrifikasi Dekomposisi (DNDC) (Studi Kasus di Kabupaten Tasikmalaya)"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

DENGAN MODEL DENITRIFIKASI-DEKOMPOSISI (DNDC)

(STUDI KASUS DI KABUPATEN TASIKMALAYA)

MARIA JOSEFINE TJATURETNA BUDIASTUTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul Simulasi Laju Emisi Metan pada Lahan Padi Sawah dengan Model Denitrifikasi-Dekomposis (DNDC) (Studi Kasus di Kabupaten Tasikmalaya) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2008

(3)

ABSTRACT

MARIA J. T. BUDIASTUTI. Simulation of Methane Emission Flux on Paddy Field Using Denitrification – Decomposition (DNDC) Model (Case Study Site at Tasikmalaya). Under direction of M. YANUAR J. PURWANTO and ERIZAL

Rice paddy ecosystems are complex, with crop growth, soil-thermo-hydro conditions, and microbial activities interacting through a number of processes. The altered of soil environmental factors will affect a series of biogeochemical reactions that finally determine transport and transformation of the chemical elements, including methane (CH4) productions and emissions. Rice paddy fields contribute 6-29% of the global annual CH4 emission and significant increase to the atmosphere. Agricultural activities such as water management and fertilizer are responsible for CH4 production and emission.

This study consists of two activities. First, the field studies that to investigate the effects of efficient water management practice on CH4 flux from paddy fields. The field study carried on at Tasikmalaya, West Java, over the dry season from March 2007 through October 2007. During initial stage paddy plants flooded 1 cm and left to dry until saturated level then irrigated again. During vegetative stage irrigated until saturated level and left to dry until the soil water content reach 80% of field capacity then irrigated again. During generative stage flooded 2 cm and left to dry until the soil water content reach 80% of field capacity then irrigated again, then left to dry during maturity. This experiment consists of two treatment of paddy crop management: application organic matter and inorganic fertilizer. Methane fluxes measured using closed chamber techniques.

Second, simulation of management practices using the Denitrification and Decomposition (DNDC) model. Integrated process-based model, like the DNDC model, can be capable of predicting the behaviors of the complex systems through a large regional scale. In this study, we employed the DNDC model to analyze the impacts of mitigation alternatives: management of water, rice variety, fertilizer and organic matter application, on CH4 emissions.

The field study results showed that the flux CH4 emissions on application inorganic fertilizer (4,64 to 8,09 mg m-2 jam-1) higher than application organic matter (1,76 to 6,27 mg m-2 jam-1). There were no significant reduction yield, since the yields of inorganic fertilizer and organic matter application were 6,4 ton ha-1 and 3,9 ton ha-1, respectively.

We ran DNDC version 9.1 for simulation management practices. The results indicate that CH4 emissions reduction effectiveness found here in changes in water management from continuous flooding with intermittent irrigation or shallow flooding, organic matter application, and selective rice variety, respectively.

(4)

RINGKASAN

MARIA J. T. BUDIASTUTI. Simulasi Laju Emisi Metan pada Lahan Padi Sawah dengan Model Denitrifikasi-Dekomposisi (DNDC) (Studi Kasus di Kabupaten Tasikmalaya). Dibimbing oleh: M. YANUAR J. PURWANTO dan ERIZAL

Ekosistem lahan sawah dengan pola budidaya seperti yang selama ini dilakukan (pengelolaan air, aplikasi pupuk) berpotensi sebagai sumber produksi gas metan (CH4). Di dalam ekosistem padi sawah terdapat suatu proses yang kompleks, yang merupakan interaksi antara pertumbuhan tanaman, kondisi

thermo-hydro, dan aktivitas mikroba dalam tanah. Setiap perubahan yang terjadi pada faktor lingkungan tanah akan berpengaruh pada reaksi bio-geokimia dalam tanah, termasuk produksi dan emisi CH4. CH4 dihasilkan dari proses dekomposisi bahan organik dalam kondisi anaerob oleh aktivitas bakteri metanogen. Sebagai proses biologi, produksi gas CH4 ini dikendalikan oleh karakteristik fisik, kimia dan mikrobiologi lingkungan tanaman padi yang berpengaruh terhadap aktivitas bakteri metanogen. Faktor-faktor iklim lingkungan, tanah dan pengelolaan lahan mempengaruhi kondisi lingkungan tanah tersebut. Faktor pengelolaan lahan merupakan salah satu faktor penentu emisi CH4 yang dapat dikendalikan oleh manusia melalui aktivitas budidaya padi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur laju emisi CH4 dari lahan padi sawah dengan pola budidaya padi lahan sawah hemat air, serta melakukan simulasi pengelolaan lahan dengan model Denitrifikasi-Dekomposisi (DNDC) untuk mengetahui pengaruh alternatif pengelolaan lahan yang terbaik terhadap laju emisi CH4 sebagai bagian dari usaha mitigasi gas rumah kaca (GRK). Pengukuran lapang laju emisi CH4 dilaksanakan mulai bulan Maret 2007 sampai dengan Oktober 2007 di Desa Salebu, Kecamatan Mangunreja, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Pola pengelolaan air yang dicobakan adalah metode hemat air, yaitu pada fase awal pertumbuhan tanaman air diberikan sampai batas genangan 1 cm, dan kemudian dibiarkan kering sampai batas macak-macak. Pada fase vegetatif air diberikan sampai batas macak-macak dan dibiarkan kering sampai batas 80% kapasitas lapang, sedangkan fase generatif pemberian air sampai pada batas genangan 2 cm, dan dibiarkan kering sampai batas 80% kapasitas lapang. Kemudian fase pematangan bulir sampai dengan panen dilakukan pengeringan. Penelitian meliputi dua perlakuan: (1) pemberian hanya pupuk organik selama satu musim tanam padi, dan (2) pemberian pupuk anorganik seperti pola budidaya petani setempat. Masing-masing perlakuan mendapat tiga ulangan. Pengukuran laju emisi CH4 menggunakan metode sungkup statik yang dilakukan setiap dua minggu. Setiap petak ulangan dilakukan dua ulangan pengukuran. Simulasi laju emisi CH4 dengan model DNDC dilakukan pada parameter pengelolaan lahan, yang meliputi tanaman, pengelolaan air, dan pemupukan.

(5)

adalah sebesar 3,9 ton ha-1, sedangkan dengan pupuk anorganik sebesar 6,4 ton ha-1.

Validasi model DNDC, yaitu dengan membandingkan laju emisi CH4 harian hasil pengukuran lapang dengan perhitungan simulasi dengan model DNDC, memperlihatkan pola yang sama. Laju emisi CH4 meningkat sampai dengan fase vegetatif dan mencapai puncaknya pada fase generatif, selanjutnya bergerak turun pada fase pematangan.

Hasil simulasi pengelolaan lahan menunjukkan dengan pola budidaya padi hemat air yang memberikan laju emisi terendah adalah padi-padi-bera (13,6 kg ha -1

(6)

@

Hak Cipta milik IPB, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

SIMULASI LAJU EMISI METAN

PADA LAHAN PADI SAWAH

DENGAN MODEL DENITRIFIKASI-DEKOMPOSISI (DNDC)

(STUDI KASUS DI KABUPATEN TASIKMALAYA)

MARIA JOSEFINE TJATURETNA BUDIASTUTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Simulasi Laju Emisi Metan pada Lahan padi Sawah dengan Model Denitrifikasi-Dekomposisi (DNDC)

(Studi Kasus di Kabupaten Tasikmalaya) Nama : Maria Josefine Tjaturetna Budiastuti

NRP : F 151050121

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS Dr. Ir. Erizal, MAgr

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Keteknikan Pertanian

Prof. Dr. Ir. Armansyah H.T., MAgr Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(10)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan sumber Kasih, Hikmat dan Pengetahuan, atas segala berkat dan pimpinanNya sehingga tesis berjudul “Simulasi Laju Emisi Metan pada Lahan Padi Sawah dengan Model Denitrifikasi-Dekomposisi (DNDC) (Studi Kasus di Kabupaten Tasikmalaya) telah dapat penyusun selesaikan.

Penghargaan dan ungkapan terimakasih penyusun haturkan kepada:

1. Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS. dan Dr. Ir. Erizal, M.Agr. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan arahan, bimbingan serta dorongan sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

2. Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS. dan Balai Irigasi DPU yang telah memberikan fasilitas pendanaan untuk pelaksanaan penelitian ini dalam kerangka penelitian kerjasama CREATA - IPB dengan Balai Irigasi DPU. 3. Dr. Handaka, M.Eng. selaku penguji, atas kritik, saran dan masukannya untuk

kesempurnaan tesis ini.

4. Kepala Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian beserta staf yang telah memberikan ijin belajar, serta staf dari Kelompok Perekayasa atas segenap dukungan baik moril maupun materiil selama penyelesaian studi. 5. Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Keteknikan

Pertanian atas segala bantuan dan diskusi yang membangun, serta semangat saling mendukung.

6. Bapak, Ibu, Kakak-kakak dan Adik atas dukungan kasih dan doanya yang memberi kekuatan bagi penulis.

7. Suami dan putra ku terkasih Andhika atas pengorbanan, pengertian, doa, dan dorongan semangat yang senantiasa mendampingi penulis.

8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala bantuan dalam bentuk apapun sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan bidang pertanian, khususnya dalam usaha ikut mengatasi permasalahan pemanasan global. Penulis sadar masih adanya kekurangan dalam penyusunan tesis ini. Kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk perbaikan dan penyempurnaannya.

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sorong pada tanggal 19 Mei 1966 sebagai putri keempat dari lima bersaudara dari Bapak Ag. Roemdi Dwidjosoebroto dan Ibu B. Kasminingsih. Penulis menikah dengan Ir. D. Denny Dwiprasetyo dan dikaruniai 2 putra yaitu P. Lintang Aji Dewandaru (almarhum) dan P. Andhika Cahyo Baskoro (5). Saat ini penulis dan keluarga tinggal di Bekasi, Jawa Barat.

Pendidikan dasar dan menengah diselesaikan penulis di kota Semarang. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1979 di SD Santo Antonius. Pada jenjang pendidikan menengah pertama penulis melanjutkan pendidikan di SMP Domenico Savio dan lulus pada tahun 1982. Selanjutnya pendidikan menegah atas di SMA Kolese Loyola dan lulus pada tahun 1985.

Pada tahun 1985 penulis diterima di Jurusan Mekanisasi Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Penulis menyelesaikan program sarjana di UGM pada tahun 1993. Pada tahun 2005 penulis melanjutkan studi lanjut jenjang Strata II (S2) pada Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian, Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis lulus serta mendapatkan gelar Magister Sains (MS) pada tahun 2008.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Mitigasi emisi CH4 ... 2

Model DNDC ... 4

Tujuan Penelitian ... 5

Hipotesis ... 5

II Tinjauan Pustaka ... 6

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Emisi Metan ... 8

Mitigasi Emisi Metan Melalui Pengelolaan Air ... 10

Budidaya Padi Metode SRI (System of Rice Intensification) ... 11

Model Denitrifikasi-Dekomposisi (DNDC) ... 13

III METODOLOGI ... 16

Kerangka Pemikiran ... 16

Lingkup Penelitian ... 17

Waktu dan Tempat ... 17

Deskripsi Lahan dan Budidaya ... 18

Rancangan Percobaan ... 19

Pengamatan ... 20

1. Air Irigasi ... 20

2. Sampel gas CH4 ... 22

3. Kadar lengas tanah dan pH ... 24

4. Suhu udara setempat ... 24

5. Parameter tanaman dan hasil ... 24

6. Sifat fisika-kimia tanah ... 26

Analisis Data ... 26

Penyiapan Lahan dan Budidaya ... 27

(13)

Simulasi Model DNDC ... 29

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

Pola Pengelolaan Air ... 33

Temperatur Udara ... 37

Fluks Metan (CH4) pada Berbagai Perlakuan Aplikasi Pupuk ... 38

Pertumbuhan Tanaman dan Produksi Biomas ... 41

Sifat Fisika-Kimia Tanah ... 42

Hasil Gabah ... 47

Validasi Model DNDC ... 48

Simulasi Model DNDC ... 50

V KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 58

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Sifat kimia tanah Desa Salebu, Kecamatan Mangunreja,

Tasikmalaya, tahun 2007 ... 18

2 Parameter input model DNDC ... 30

3 Data input parameter iklim dan tanah ... 30

4 Kebutuhan air untuk pengolahan tanah tiap petak perlakuan ... 33

5 Rata-rata kondisi lengas tanah tiap perlakuan sebelum dan sesudah diairi ... 34

6 Rata-rata air termanfaatkan oleh tanaman selama pertumbuhan ... 37

7 Rata-rata tinggi tanaman dan jumlah anakan maksimum ... 41

8 Rata-rata produksi biomas ... 41

9 Rasio C/N dari beberapa bahan organik dan fluks emisi CH4 ... 44

10 Rata-rata hasil ubinan dan hasil nyata pada tiap perlakuan ... 47

11 Laju emisi metan dengan berbagai perlakuan ... 54

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Dinamika produksi dan emisi gas CH4 dari lahan padi sawah ... 7

2 Struktur model DNDC ... 15

3 Kerangka pikir penelitian ... 16

4 Perlakuan pengelolaan air ... 20

5 Skema sungkup penangkap gas CH4 ... 23

6 Variasi diurnal emisi CH4 ... 24

7 Tahapan olah tanah ... 28

8 Curah hujan saat pertumbuhan tanaman sampai dengan panen ... 35

9 Jumlah dan interval waktu pemberian air irigasi ... 35

10 Laju perkolasi dan evapotranspirasi selama masa tanam padi MK 2007, di Desa Salebu, Kecamatan Mangunreja, Tasikmalaya Jawa Barat ... 36

11 Suhu lingkungan di lokasi penelitian pada MK 2007, Desa Salebu, Kecamatan Mangunreja, Tasikmalaya, Jawa Barat ... 38

12 Fluks CH4 pada berbagai perlakuan aplikasi pupuk dan kondisi lengas tanah ... 40

13 Pemberian air irigasi sebelum pengukuran konsentrasi CH4 ... 40

14 Rata-rata pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah anakan ... 42

15 Kandungan C-organik tanah pada tiga kali pengamatan ... 43

16 Rasio C/N pada tiga kali pengamatan ... 45

17 Nilai NH4+ dan NO3- dalam tanah pada dua kali pengamatan ... 46

18 Perbandingan pola fluks emisi CH4 harian antara hasil pengukuran dengan simulasi DNDC pada lahan padi sawah pada MK 2007, di Desa Salebu, Kec. Mangunreja, Tasikmalaya, Jawa Barat ... 49

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Sifat fisika tanah ... 63

2 Sifat retensi tanah ... 63

3 Sifat kimia tanah ... 63

4 Rata-rata iklim bulanan ... 63

5 Parameter input model DNDC dan metode pengamatannya ... 64

6 Data pemberian air irigasi (mm) ... 66

7 Rata-rata laju perkolasi dan evapotranspirasi harian masa tanam padi MK 2007, Desa Salebu, Kec. Mangunreja, Tasikmalaya, Jawa Barat ... 67

8 Data rata-rata suhu lingkungan ... 68

9 Data pengukuran fluks emisi metan ... 68

10 Perbandingan fluks emisi CH4 antara hasil pengukuran dengan simulasi DNDC pada lahan padi sawah pada MK 2007, Desa Salebu, Kec. Mangunreja, Tasikmalaya, Jawa Barat ... 69

11 Contoh hasil input parameter model DNDC ... 70

12 Tampilan layar model DNDC ... 74

13 Pengambilan sampel gas CH4 di lapangan ... 76

14 Peralatan pengukur kebutuhan air tanaman padi ... 77

15 Pengukuran kebutuhan air tanaman padi ... 77

15 Sistem irigasi dan drainase ………. 78

(17)

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Global warming atau pemanasan global merupakan isu dunia yang menjadi bahan pembicaraan utama selama satu dekade terakhir ini. Peningkatan konsentrasi gas-gas karbondioksida (CO2), nitrous oksida (N2O) dan metan (CH4) sebagai komponen gas rumah kaca di atmosfir yang cukup tajam berpengaruh nyata terhadap suhu global, curah hujan dan tinggi permukaan air laut. Peningkatan suhu akibat pemanasan global diprediksi mencapai satu sampai 3 derajat Celcius berpotensi mengubah iklim secara ekstrem. Dampaknya secara langsung dirasakan di semua negara. Di Indonesia, perubahan iklim sebagai dampak nyata dari efek pemanasan global (global warming) sangat merugikan sektor pertanian yang sangat tergantung pada iklim. Terjadinya pergeseran musim dan perubahan pola hujan yang tidak menentu menyebabkan turunnya produksi akibat rusaknya tanaman dan puso.

Konsentrasi CH4 global di atmosfer pada tahun 1993 adalah 1,7 ppm dengan laju peningkatan 1% per tahun, sedangkan karbondioksida (CO2) 345 ppm dan laju peningkatan 0,5% per tahun (Neue, 1993). Kontribusi CH4 terhadap pemanasan global sebesar 15% dan berada pada peringkat kedua sebagai komponen gas rumah kaca setelah CO2 (Suprihati et al., 2006), akan tetapi kemampuan CH4 untuk meningkatkan suhu bumi sangat tinggi dengan potensi menyerap panas 21 kali lebih besar daripada gas CO2 (Lestari, 2006).

(18)

al., 2001; Prather et al., 2001). Laju produksi dan emisi CH4 di lahan sawah untuk tiap wilayah besarnya bervariasi. Variasi emisi CH4 tersebut dipengaruhi oleh jenis tanah, pengelolaan tanah dan tanaman (Setyanto, 2004).

Ekosistem dengan kondisi anaerob dominan, terutama akibat penggenangan seperti pada tanah sawah dan lahan basah lainnya, merupakan sumber utama emisi CH4. Pada lahan sawah dengan sistem penggenangan kontinyu, suplai oksigen dari atmosfir ke tanah akan terputus. Akibatnya terjadi proses fermentasi bahan organik tanah secara anaerob, yang akan menghasilkan metan sebagai produk akhir proses (Neue, 1993).

Di sisi lain, beras sudah menjadi makanan pokok sekitar 2,7 milyar orang atau hampir separuh penduduk dunia dan kebutuhannya terus meningkat seiring dengan peningkatan populasi penduduk, khususnya di negara-negara Asia (IRRI, 2007). Menurut data IRRI produksi beras dunia tahun 2007 mencapai sekitar 645 juta ton. Produksi beras di Asia memberikan kontribusi sekitar 90% dari total, dan Indonesia menduduki negara dengan produksi beras terbesar ketiga setelah Cina dan India. Mayoritas produksi padi di Asia adalah pada lahan sawah dengan cara penggenangan.

Cara budidaya padi di Indonesia, terutama pengelolaan air irigasi dan rotasi tanaman, banyak melepaskan CH4 (metan), N2O (nitrous oksida), dan CO2 (karbon dioksida) ke atmosfer. Emisi CH4 sebagian besar disebabkan oleh kegiatan-kegiatan yang tidak efisien, seperti pengairan yang berlebihan, cara pemupukan atau penggunaan pupuk yang tidak tepat. Emisi CH4 dari lahan sawah di Indonesia berkisar antara 1,3 – 34,9 mg m-2 jam-1 (Husin et al., 1994; Nugroho et al., 1996; Setyanto, 2004; Setyanto et al., 2005; Wihardjaka, 2001; Suprihati et al., 2006).

Mitigasi emisi CH4

(19)

dihasilkan dalam UNFCCC mencapai kesepakatan bahwa selama periode 2008-2012 negara-negara maju wajib mengurangi tingkat emisi GRK sampai pada tingkat yang dapat mengurangi laju perubahan iklim, yaitu rata-rata sebesar 5,2% dari emisi pada tahun 1990 (Setyanto, 2004)

Di bidang pertanian upaya yang dapat dilakukan melalui pengaturan kegiatan pengelolaan lahan yang mampu menekan laju emisi GRK, seperti pemilihan varietas, pengelolaan air irigasi dan penggunaan pupuk yang ramah lingkungan. Di Cina, perubahan pola pemberian air irigasi dengan cara penggenangan kontinyu ke pengeringan pada tengah musim tanam padi telah dilakukan sejak awal tahun 1980-an di banyak areal padi sawah. Usaha ini terbukti mampu menurunkan laju emisi CH4 (Li et al., 2002).

Upaya pemecahan persoalan produksi dan peningkatan produktivitas pertanian harus diimbangi dengan upaya pelestarian fungsi sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan demikian upaya untuk menurunkan tingkat emisi CH4 dari tanah sawah harus diarahkan dan dilakukan dengan tanpa mengorbankan produksi beras.

Usaha gerakan hemat air terus dicanangkan mengingat sumber daya air sangat terbatas. Berbagai metode budidaya padi telah diterapkan di Indonesia, yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas padi beririgasi dengan perubahan pola pengelolaan tanaman, tanah, air, dan nutrisi. Pola pengelolaan air dengan cara pemberian air irigasi secara terputus/intermitten terbukti mampu menghemat air irigasi hingga 50%, tanpa mengurangi produktivitas tanaman. Selain itu, pola ini juga dapat menurunkan laju emisi CH4 (Li et al., 2002; Setyanto, 2004; Setyanto dan Abu Bakar, 2005).

(20)

Gorontalo dan Sulawesi Selatan menggunakan pupuk kimia serta sistem irigasi dengan genangan dangkal 2-3 cm. Ciri-ciri umum yang lain dari metode SRI ini adalah penggunaan bibit muda, yaitu 10 hari setelah semai, dan tanam 1 bibit per lubang. Hasil di lapangan menunjukkan bahwa dengan budidaya model SRI tingkat produktivitas tanaman padi dapat mencapai 8-10 ton/ha dengan penghematan air sekitar 50% (Balai Irigasi, 2007).

Model DNDC

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengukur emisi CH4 dan gas rumah kaca lainnya, baik pengukuran langsung di lapang maupun di laboratorium. Untuk memperkirakan besarnya laju emisi gas rumah kaca dengan presisi menjadi sulit karena sangat dipengaruhi oleh iklim, sifat tanah, lama penggenangan, varietas padi, pertumbuhan tanaman dan cara budidaya tanaman (Babu et al., 2006). Estimasi laju emisi gas rumah kaca untuk suatu wilayah yang lebih luas tidak dapat dengan mudah diturunkan dari nilai hasil pengukuran skala field-plot karena tingginya error yang terjadi pada pengukuran skala field-plot (Babu et al., 2006). Sejumlah model telah dikembangkan untuk memperkirakan laju emisi CH4 dari lahan sawah dan tiap-tiap model menggunakan pendekatan yang berbeda. Meskipun model-model yang ada tersebut dapat menghasilkan suatu pola emisi CH4 dan juga N2O di suatu wilayah dengan tingkat akurasi yang dapat dipercaya, akan tetapi jika digunakan untuk mensimulasi emisi pada wilayah lain dengan pola pengelolaan lahan yang berbeda hasilnya belum dapat dipastikan.

Salah satu model yang telah dikembangkan adalah DNDC model. Denitrification-Decomposition (DNDC) model merupakan suatu model simulasi komputer yang berorientasi pada proses biogeochemistry carbon dan nitrogen dalam tanah. Simulasi DNDC model selain dapat digunakan untuk memperkirakan produksi serta laju emisi CH4 di dalam agroekosistem, juga gas-gas CO2 dan N2O.

(21)

dinamika Eh tanah yang dikaitkan dengan tingkat genangan air di lahan untuk menentukan emisi gas dari ekosistem lahan padi sawah. Pengkombinasian dengan persamaan Nernst dan Michaelis-Menten pada model ini dapat menentukan dinamika Eh tanah dan pengaruhnya terhadap produksi dan emisi CH4 (Li et al., 2005). Modifikasi model DNDC ini menambahkan rangkaian proses anaerob yang memungkinkan simulasi siklus biogeokimia C dan N pada ekosistem lahan sawah.

Dari hasil-hasil penelitian terdahulu terbukti bahwa model DNDC mampu menangkap aspek-aspek utama produksi dan emisi CH4 dari lahan sawah pada lokasi dengan perbedaan kondisi geografi yang sangat besar (Li et al., 2005; Babu et al., 2006), sehingga didapatkan nilai produksi emisi metan pada skala wilayah yang lebih luas untuk perkiraan waktu jangka panjang.

Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. mengukur laju emisi gas CH4 dari lahan padi sawah yang mempunyai pola budidaya padi lahan sawah hemat air

2. melakukan simulasi pola pengelolaan air dengan model DNDC untuk mengetahui laju emisi gas CH4 dari lahan sawah

Hipotesis

1. Perlakuan pengelolaan air merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju emisi CH4

(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Produksi dan Emisi Metan dari Lahan Sawah

Sumber utama emisi gas metan berasal dari aktivitas manusia (sumber antropogenik). Hampir 70% total emisi metan berasal dari sumber antropogenik dan sisanya (sekitar 30%) berasal dari sumber-sumber alami (Murdiyarso and Husin, 1994). Sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam proses produksi gas metan.

Konsentrasi metan (CH4) sebagai salah satu komponen gas rumah kaca di atmosfir ditentukan oleh keseimbangan tanah sebagai sumber (source) dan rosot (sink). Ekosistem dengan kondisi anaerob dominan, terutama akibat penggenangan seperti pada tanah sawah dan lahan basah lainnya, merupakan sumber utama emisi metan. Emisi metan dari lingkungan akuatik seperti tanah sawah pada dasarnya dipengaruhi oleh dua proses mikrobial yang berbeda, yaitu produksi metan dan konsumsi metan (Rudd dan Taylor, 1980).

Penggenangan merupakan karakteristik dari sistem irigasi tanah sawah. Pada kondisi tergenang, kebutuhan oksigen yang tinggi dibandingkan laju penyediannya yang rendah menyebabkan terbentuknya dua lapisan tanah yang sangat berbeda, yaitu lapisan permukaan yang oksidatif atau aerobik dimana tersedia oksigen dan lapisan reduktif atau anaerobik di bawahnya dimana tidak tersedia oksigen bebas (Patrick and Reddy, 1978).

Metan diproduksi sebagai hasil antara dan hasil akhir dari proses mikrobial melalui proses dekomposisi bahan organik secara anaerobik oleh bakteri metanogen (Zehnder dan Stumm, 1988; Neue, 1993; Murdiyarso and Husin 1994; Ohta, 2006). Bakteri ini hanya aktif bila kondisi tanah yang reduktif atau anoksik telah tercapai akibat penggenangan.

(23)

genangan melalui mekanisme ebulisi; dan (3) gas metan yang terbentuk masuk kedalam jaringan perakaran tanaman padi dan bergerak secara difusif dalam pembuluh aerinkima untuk selanjutnya terlepas ke atmosfir (Rennenberg et al., 1992). Proses produksi dan emisi gas metan pada lahan sawah dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Dinamika produksi dan emisi gas CH4 dari lahan padi sawah. (Sumber : Setyanto, 2004)

Pada awal musim tanam, CH4 terutama diemisikan melalui mekanisme ebulisi sekitar 49-70% dari total fluks (Crill et al., 1988). Pada fase perkembangan tanaman, mekanisme ini menurun dan proses emisi melalui jaringan aerinkima lebih dominan. Menurut Holzapfel-Pschorn et al. (1986), CH4 yang diemisikan ke atmosfir melalui jaringan aerinkima tanaman padi memberikan kontribusi yang terbesar, dan mencapai puncaknya pada fase reproduktif yaitu sekitar 90% dari total fluks. Selama musim tanam, emisi CH4 melalui mekanisme difusi sebesar 1-5% dari total fluks.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Emisi Metan 0 cm yang mengoksidasi CH4

CO2

Tercuci oleh air tanah

(24)

Sebagai proses biologi, perombakan bahan organik secara anaerobik dikendalikan oleh karakteristik fisik, kimia dan mikrobiologi lingkungan tanaman padi, yang berpengaruh terhadap aktivitas bakteri penghasil metan.

1. Potensi reduksi-oksidasi (redoks) tanah

Potensial redoks (Eh) tanah merupakan faktor penting dalam produksi metan. Potensial redoks (Eh) menunjukkan status reaksi oksidasi dan reduksi oksidan-oksidan tanah sebagai penyedia oksigen dalam tanah. Aktivitas bakteri metanogen dan metanotrof sangat tergantung dengan ketersediaan oksigen dalam kondisi tanah jenuh air.

Berkaitan dengan kondisi reduktif, produksi CH4 terjadi pada kisaran nilai Eh -150 mV (Hou et al., 2000) dan bergerak sampai di bawah -300 mV (Minamikawa et al., 2006) karena bakteri metanogen sebagai penghasil CH4 bekerja optimal pada nilai Eh kurang dari -150 mV (Setyanto, 2004). Produksi CH4 tertinggi pada kisaran Eh -200 mV (Minamikawa and Sakai, 2005), dan menurut Husin (1994) laju emisi CH4 tertinggi pada nilai Eh tersebut untuk berbagai perlakuan pengelolaan air berbeda-beda. Kisaran laju emisi CH4 maksimum pada Eh -200 mV mulai dari sistem irigasi penggenangan kontinyu,

intermittent dan macak-macak berturut-turut 45, 20 dan 30 mg m-2 jam-1. Pada perubahan kadar air tanah dari kondisi jenuh dan tidak jenuh Eh bergerak antara +600 dan -300 mV (Li et al., 2005).

2. pH tanah

(25)

3. Suhu tanah

Suhu tanah berkaitan erat dengan aktivitas mikroba di dalam tanah. Sebagian besar bakteri metanogen bersifat mesofilik yang beraktivitas optimal pada suhu 30-40 °C (Vogels et al., 1988). Suhu tanah pada lapisan atas yaitu pada kedalaman antara 1 dan 10 cm berkaitan erat dengan laju emisi metan (Holzapfel-Pschorn and Seiler, 1986). Sedangkan pada kedalaman 15 cm tidak memberikan pengaruh yang signifikan.

Perubahan suhu akan mempengaruhi produksi metan pada tanah sawah. Pada kondisi tersedia cukup substrat, peningkatan suhu dari 17 °C ke 30 °C menyebabkan peningkatan produksi metan 2,5 sampai 3,5 kali lipat.

4. Varietas padi

Tanaman padi bertindak sebagai media bagi pelepasan CH4 yang dihasilkan dari dalam tanah ke atmosfir, melalui pembuluh aerinkima daun, batang dan akar padi. Selanjutnya CH4 akan dilepas melalui pori-pori mikro pada pelepah daun bagian bawah. Varietas padi mempunyai bentuk, kerapatan dan jumlah pembuluh aerinkima yang berbeda. Perbedaan ini akan mempengaruhi kemampuan tanaman padi meneruskan metan.

Biomass akar dan tanaman juga berpengaruh terhadap emisi metan terutama pada stadium awal. Pada fase awal pertumbuhan tanaman padi banyak eksudat akar yang dilepas ke rizosfir sebagai hasil samping metabolisme karbon oleh tanaman (Setyanto, 2004). Semakin banyak eksudat akar emisi metan makin tinggi. Jumlah biomass akar juga mempengaruhi emisi metan. Makin banyak biomass akar yang terbentuk maka emisi metan makin tinggi pula.

Jumlah anakan juga merupakan faktor penentu besarnya pelepasan metan. Semakin banyak anakan maka kerapatan dan jumlah pembuluh aerinkima meningkat (Wihardjaka, 2001).

(26)

Bahan organik tanah memberikan sumbangan terhadap kesuburan pertumbuhan tanaman baik secara fisik, kimia dan biologis. Bahan organik merupakan penyedia unsur-unsur N, P dan S untuk tanaman. Ketersediaan substrat organik mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam tanah karena bertindak sebagai sumber energi. Secara fisik berperan dalam memperbaiki struktur tanah.

Sumber bahan organik yang ditambahkan sangat menentukan pembentukan metan di lahan sawah. Penelitian Wihardjaka (2001) dengan menggunakan beberapa jenis bahan organik pada tanah sawah memberikan hasil bahwa emisi metan terbesar didapat dari penambahan pupuk kandang, diikuti berturut-turut jerami segar, kompos dan tanpa bahan organik. Menurut Hadi (2001), pengomposan jerami padi dapat mereduksi emisi metan sampai separohnya.

Berkaitan dengan bahan organik tanah, potensial redoks (Eh) tanah akan rendah jika tersedia karbon organik tanah dalam jumlah yang cukup dan memungkinkan terbentuknya CH4 (Hou et al., 2000).

Mitigasi Emisi Metan Melalui Pengelolaan Air

Dalam upaya menurunkan kebutuhan air tanaman, petani di Cina telah membuktikan bahwa dengan melakukan pengeringan lahan pada tengah musim tanam padi dapat meningkatkan produktivitas tanaman padi. Pengeringan lahan sawah akan menstimulasi perkembangan akar tanaman padi, dan juga mempercepat proses dekomposisi bahan organik tanah untuk menghasilkan lebih banyak lagi nitrogen anorganik yang merupakan pupuk utama. Selain itu juga memberikan kesempatan tanah untuk aerasi, sehingga memutus produksi gas metan.

(27)

Bakar, 2005; Minamikawa et al., 2006). Demikian juga dengan irigasi macak-macak atau genangan dangkal (0-1 cm) menurunkan total emisi metan sebesar 48,6% (Setyanto dan Abu Bakar, 2005) hingga 67% (Husin, 1994).

Salah satu kunci mengontrol produksi CH4 pada lahan sawah adalah dengan melihat dinamika Eh tanah. Untuk menekan produksi metan dapat dilakukan dengan pengelolaan air yang disertai dengan pemakaian bahan organik, untuk mempertahankan Eh tanah tetap pada kisaran menengah, yaitu antara -100 mV hingga +200 mV (Hou et al., 2000). Menurut Setyanto dan Abu Bakar (2005), pada irigasi intermittent Eh tanah begerak antara -150 mV hingga -100 mV (rata-rata -102 mV).

Budidaya Padi Metode SRI (System of Rice Intensification)

SRI (System of Rice Intensification) merupakan suatu metode untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi pada lahan beririgasi dengan pengelolaan tanaman, tanah, sistem pemberian air irigasi dan nutrisi. Metode SRI meliputi praktek-praktek pengelolaan yang menyediakan lingkungan tumbuh yang baik untuk tanaman, terutama di sekitar perakaran.

Konsep dasar metode SRI meliputi kegiatan-kegiatan yang meliputi: 1. Bibit muda.

Bibit padi ditanam setelah berumur 8-15 hari setelah semai, atau setelah memiliki dua daun.

2. Tanam 1 bibit per lubang

Bibit padi ditanam pada lahan dengan sistem tanam dangkal dan akar bibit membentuk huruf L.

3. Jarak tanam lebar

Dengan tanam tunggal pada jarak tanam yang lebar ini memberikan ruang lebih bagi perkembangan akar, serta persaingan dalam memperoleh sinar, udara dan nutrisi.

4. Sistem irigasi macak-macak

(28)

dan akan mendorong pertumbuhan akar. Pada fase generatif air diberikan dengan sistem penggenangan 1-3 cm, dan kemudian dikeringkan total 25 hari sebelum panen.

Hasil penelitian terdahulu membuktikan bahwa sistem pemberian air secara macak-macak memberikan hasil gabah yang tidak berbeda nyata dengan metode irigasi yang lain (Setyanto dan Abu Bakar, 2005).

5. Penyiangan

Penyiangan pertama dilakukan setelah tanaman berumur 10 HST. Penyiangan berikutnya ditentukan oleh tingkat kerapatan gulma yang ada. Dalam satu musim tanam sebaiknya penyiangan dilakukan minimal 3 kali. Penyiangan ini bertujuan untuk memberbaiki struktur tanah dan meningkatkan aerasi tanah.

6. Aplikasi pupuk organik (khusus Jawa Barat)

Penggunaan kompos dianjurkan sebagai pengganti penggunaan pupuk kimia, dan terbukti memberikan hasil yang lebih bagus. Penambahan kompos kedalam tanah akan menambah nutrisi pada tanah dan juga memberikan kontribusi dalam perbaikan struktur tanah.

Dalam perkembangannya metode SRI di Indonesia mengalami modifikasi, sesuai dengan kondisi lahan dan iklim setempat. Metode yang sudah dikembangkan diantaranya (Balai Irigasi, 2007):

1. Jawa Barat

Pengelolaan air sesuai dengan uraian di atas. Penggunaan hanya pupuk organik selama masa tanam, yaitu pemberian kompos saat olah tanah dan MOL (mikro-organisme lokal) selama pertumbuhan tanaman.

2. Luar Jawa

Pengelolaan air irigasi dilakukan dengan cara penggenangan 2-3 cm dan dikeringkan sampai batas macak-macak. Penggunaan pupuk organik dianjurkan diberikan pada saat olah tanah, sedangkan saat pertumbuhan tanaman diberikan pupuk anorganik (urea, SP-36 dan KCl).

(29)

penggunaan bibit muda); (4) ramah lingkungan (dengan aplikasi pupuk organik); (5) produktivitas lahan meningkat; dan (6) memberikan peluang sistem terpadu pertanian, peternakan dan pengelolaan limbah.

Model Denitrifikasi-Dekomposisi (DNDC)

Karakteristik lahan sawah yang berubah dari kondisi jenuh dan tidak jenuh berpengaruh pada dinamika Eh tanah. Perubahan Eh tanah yang terjadi akan menentukan produksi dan konsumsi metan, dimana metan diproduksi oleh bakteri metanogen pada Eh tertentu. Produksi metan ini sangat bervariasi terhadap ruang dan waktu, dan berkaitan erat dengan interaksi dari banyak faktor.

Model DNDC mulai dikembangkan oleh Changsheng Li pada tahun 1989 sebagai pemodelan emisi N2O, dan kemudian dikembangkan untuk menduga emisi gas pada lahan pertanian tanpa genangan. Modifikasi selanjutnya dikembangkan dengan menambahkan rangkaian proses anaerob, sehingga dapat digunakan untuk mensimulasi siklus biogeokimia C dan N pada ekosistem lahan lahan padi sawah (Li et al., 2006). Gambaran “balon anaerob” dipakai pada model DNDC untuk membagi lapisan tanah menjadi zone aerob dan anaerob. Rangkaian proses mengembang dan menyusut dari “balon anaerob” menunjukkan perkiraan dinamika Eh tanah sebagai hasil reaksi reduksi – oksidasi, dimana terjadi produksi dan konsumsi metan yang dihitung mengikuti persamaan Nernst dan Michaelis – Menten.

Secara garis besar DNDC model terdiri dari 2 komponen yang saling berkaitan (Gambar 2). Komponen yang pertama terdiri dari sub-model iklim tanah, pertumbuhan tanaman dan proses dekomposisi, untuk memprediksi suhu tanah, kelembaban, pH, redoks potensial (Eh) dan profil konsentrasi subtrat yang dipengaruhi olah faktor-faktor ekologi (iklim, tanah, vegetasi dan aktivitas antropogenik). Komponen yang lain terdiri dari sub-model nitrifikasi, denitrifikasi dan fermentasi, untuk memprediksi laju NO, N2O, N2, CH4 dan NH3 yang dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan tanah.

(30)

berubah menjadi SOC yang lain dan sebagian lagi hilang dalam bentuk CO2. Dissolved organic carbon (DOC) merupakan hasil antara selama proses dekomposisi, dan segera dikonsumsi oleh mikroba sebagai sumber energi. Nitrogen organik yang terdekomposisi sebagian diubah menjadi bahan organik lain dan sebagian lagi diubah menjadi amonium (NH4+) sebagai bahan proses nitrifikasi yang menghasilkan nitrat (NO3-). Jika lapisan anaerob membesar, substrat-substrat (DOC, NH4+, NO3-) akan mengisi lapisan anaerob dan mendorong terjadinya proses denitrifikasi. Jika lapisan anaerob menyusut, terjadi peningkatan proses nitrifikasi. Proses denitrifikasi dan nitrifikasi tersebut menghasilkan gas NO dan N2O. Setelah waktu yang cukup lama, pada lapisan tanah bagian bawah akan terjadi proses fermentasi yang menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan metan (CH4), yang dipengaruhi oleh penurunan Eh tanah.

Gambar 2 Struktur model DNDC

Climate Soil Vegetation Human activity

ecological drivers

Soil environmental factors

Temperature Moisture pH Eh Substrat: NH4+, NO 3

very labile labile resistant

NH4+

effect of temperature and moisture on decomposition

NO

CH4 production

NO3

-CH4 oxidation CH4 transport

(31)
(32)

III. METODOLOGI

Kerangka Pemikiran

Seperti diuraikan pada bab terdahulu, bahwa produksi dan emisi CH4 merupakan proses interaksi antara faktor-faktor yang mempengaruhinya, seperti digambarkan pada Gambar 3 berikut ini.

Gambar 3 Kerangka pikir penelitian

CH4 di atmosfir dihasilkan dari proses dekomposisi bahan organik yang terjadi di dalam tanah karena aktivitas bakteri metanogen. CH4 yang diproduksi tersebut sebagian dioksidasi oleh bakteri metanotrof dan sebagian lagi terlarut

Dekomposisi

Eb

u

lisi

Di

fus

i

Bahan organik

CH4 teremisi CH4 teroksidasi

CH4 terlarut

Aeri

n

k

im

a

CH4di atmosfir

Tanaman padi

Lingkungan tanah (suhu, pH, Eh, lengas) Tanah

Iklim lingkungan Pengelolaan lahan

Biomass (jerami-akar) Sosial

(pendidikan, keahlian, dll.)

(33)

lewat perkolasi. Sisa metana akan diemisikan ke atmosfir melalui proses difusi, gelembung udara/ebulisi dan melalui jaringan aerinkima tanaman padi.

Proses dekomposisi bahan organik serta aktivitas bakteri metanogen sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan dalam tanah, yaitu suhu, pH, Eh dan lengas tanah. Faktor-faktor iklim lingkungan, jenis tanah dan pengelolaan lahan mempengaruhi kondisi lingkungan tanah tersebut. Faktor pengelolaan lahan merupakan salah satu faktor penentu emisi CH4 yang dapat dikendalikan oleh manusia melalui aktivitas budidaya padi.

Usaha mitigasi emisi CH4 melalui simulasi model Detrifikasi-Dekomposisi (DNDC) dilakukan untuk mengoptimumkan faktor pengelolaan lahan melalui budidaya padi yang ramah lingkungan. Keberhasilan usaha mitigasi tersebut sangat ditentukan oleh faktor sosial dan ekonomi petani. Teknologi budidaya padi ramah lingkungan yang akan diterapkan perlu memperhatikan tingkat pendidikan dan keahlian petani. Selain itu perlu juga dipertimbangkan faktor kemampuan ekonomi petani serta keuntungan secara finansial yang akan diperoleh petani. Dengan demikian usaha mitigasi emisi CH4 yang dilakukan selain dapat terlaksana secara berkelanjutan, juga dapat memberikan manfaat bagi petani.

Lingkup Penelitian

Penelitian ini meliputi 2 kegiatan, yaitu: (1) pengukuran laju emisi gas CH4 di lahan sawah, (2) melakukan simulasi pada beberapa kondisi dengan model DNDC untuk mengetahui laju emisi metanCH4.

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan di Desa Salebu, Kecamatan Mangunreja, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, mulai bulan Maret 2007 sampai dengan Oktober 2007. Pengukuran laju emisi metan dimulai pada tanggal 8 Juli 2007 atau 48 hari setelah tanam (HST).

Deskripsi lahan dan budidaya

(34)

besar wilayahnya berada pada ketinggian 450 m dpl. Lokasi penelitian ini berada di wilayah Daerah Irigasi Ciramajaya, dan mendapatkan air irigasi dari pintu sadap tersier BCMA 5. Karena letak petak masih berada di kawasan hulu saluran maka air tersedia sepanjang tahun.

Tekstur tanahnya adalah silty clay loam/geluh lempung debuan (Klasifikasi tanah USDA) yang didominasi oleh debu hasil endapan vulkanis, dengan komposisi pasir, debu dan liat berturut-turut 10,5%, 56,5%, dan 33,0%. Angka porositas rata-rata adalah sebesar 84,91% (Lampiran 1). pH tanah di lokasi penelitian yang cenderung masam (± 5) kurang sesuai untuk pertumbuhan tanaman padi. Penambahan kapur pada saat olah tanah dapat meningkatkan pH tanah hingga pada kisaran 6. Sifat kimia tanah sebelum pemberian kompos selengkapnya disajikan pada tabel 1 di bawah ini. Berdasarkan sifat retensi tanahnya, rata-rata kadar lengas tanah pada kapasitas lapang (pF 2,54) adalah sebesar 43,19% untuk kedalalam 0-15 cm dan 44,38% untuk kedalaman 15-30 cm (Lampiran 2).

Tabel 1 Sifat kimia tanah Desa Salebu, Kecamatan Mangunreja, Tasikmalaya, tahun 2007

Sifat kimia Nilai Metode analisis

P1 P2

pH H2O (1:1) C-organik (%) N-total (%) Rasio C/N P tersedia (ppm) K tersedia (me/100 gr) NO3- (ppm) Walkey & Black

Kjeldahl

(35)

Petani setempat biasa menanam padi dua kali dan sayuran sebagai tanaman ketiga. Padi yang umum ditanam berasal dari varietas Ciherang, yang ditanam pada jarak tanam 25 x 25 cm atau 27 x 27 cm. Sebagian besar petani masih melakukan cara budidaya padi konvensional, yang dicirikan dengan tanam bibit lebih dari 5 per lubang dengan umur bibit lebih dari 20 HSS (hari sesudah semai). Pengelolaan air dilakukan secara penggenangan kontinyu. Namun demikian dijumpai beberapa petani yang mulai menerapkan budidaya padi PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu), yaitu penanaman 1-3 bibit per lubang, pengelolaan air berselang (intermittent), serta penggunaan pupuk organik (kohe dan jerami). Pengelolaan air irigasi berselang (intermittent) dilakukan dengan cara penggenangan dangkal (2-5 cm) dan kemudian dikeringkan sampai macak-macak secara bergantian.

Sedangkan sayuran yang umum ditanam adalah kacang panjang, tomat dan mentimun. Pengelolaan air saat tanam ketiga ini dilakukan dengan sistem irigasi alur, yaitu mengalirkan air pada alur-alur di sisi guludan dengan ketinggian genangan 5-10 cm.

Penggunaan kompos, yang terdiri dari campuran jerami dan kohe, banyak dilakukan oleh petani setempat, terutama saat tanam ketiga (sayuran). Akan tetapi seringkali kompos yang diberikan kurang matang karena kurangnya waktu untuk proses pengomposan.

Rancangan Percobaan

Perlakuan budidaya padi sawah yang diberikan pada penelitian ini terdiri dari 2 perlakuan, yaitu :

1. P1: hanya menggunakan pupuk organik selama satu musim tanam padi. 2. P2: menggunakan pupuk anorganik (budidaya petani setempat).

Masing-masing perlakuan 3 ulangan, sehingga jumlah total petak adalah 2x3 = 6 petak, dengan ukuran masing-masing petak mulai ulangan 1 sampai dengan 3 adalah berturut-turut: 374, 380 dan 358 m2 (P1), serta 276, 287 dan 293 m2 (P2).

(36)

Gambar 4 Perlakuan pengelolaan air

Perlakuan pengelolaan air selama satu musim tanam adalah sebagai berikut: Pada fase awal pertumbuhan tanaman air diberikan sampai batas genangan 1 cm, dan kemudian dibiarkan kering sampai batas macak-macak. Pada fase vegetatif air diberikan sampai batas macak-macak dan dibiarkan kering sampai batas 80% kapasitas lapang. Sedangkan fase generatif pemberian air sampai pada batas genangan 2 cm, dan dibiarkan kering sampai batas 80% kapasitas lapang. Kemudian fase pematangan bulir sampai dengan panen dilakukan pengeringan.

Pengamatan

Pengamatan meliputi: air irigasi, CH4, kadar air tanah dan pH di sekitar perakaran, jumlah anakan, tinggi tanaman, berat gabah dan berat jerami, sifat fisika-kimia tanah.

1. Air irigasi

Kebutuhan air saat pengolahan tanah

Air diberikan untuk penjenuhan saat proses pembajakan dan glebeg. Jumlah air yang diberikan diukur dengan alat ukur volumetrik.

Kebutuhan air selama pertumbuhan tanaman

Selama pertumbuhan tanaman parameter air yang diamati adalah : 1. Evapotranspirasi tanaman aktual (ETc)

Evapotranspirasi tanaman (ETc) merupakan jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman sebagai akibat kehilangan air melalui proses transpirasi dan evaporasi. Besarnya ETc harian saat ada genangan dapat diukur dengan menggunakan lisimeter, yaitu selisih pembacaan lisimeter hari kemarin dan hari ini dikurangi hasil pembacaan perkolasimeter. Lisimeter yang digunakan terbuat dari plat besi berbentuk bujursangkar

7 HST 40 HST 75 HST Panen

Awal Vegetatif Generatif Pematangan 5 cm

(37)

dengan panjang sisinya 90 cm dan tinggi 35 cm, dicat putih untuk mengurangi serapan panas matahari. Lisimeter dipasang pada kedalaman 25 cm, yaitu pada kedalaman perakaran. Tinggi muka air didalam lisimeter sama dengan tinggi genangan air di petakan penelitian. Bila tidak ada genangan nilai ETc harian diperoleh dari hasil pengamatan lengas tanah secara gravimetrik setelah diketahui nilai bobot isinya. Pengambilan contoh tanah pada kedalaman 0-20 cm.

2. Perkolasi (P)

Laju perkolasi harian diukur dengan alat perkolasimeter berupa tabung PVC berdiameter 20 cm yang diberi tutup untuk mencegah masuknya air hujan. Di bagian tutup tersebut diberi lubang kecil sehingga masih memungkinkan terjadinya evaporasi. Tinggi muka air didalam perkolasimeter sama dengan tinggi genangan air di petakan penelitian. Besarnya penurunan muka air di dalam tabung, yang dicatat setiap hari, merupakan laju perkolasi harian. Saat tidak ada genangan air, laju perkolasi sangat kecil dan diasumsikan nol

3. Konsumsi air

Air dialirkan ke petak melalui pipa-pipa distribusi dan diukur dengan alat ukur volumetrik (watermeter).

Kadar lengas tanah

Status kadar lengas tanah sebelum dan sesudah pemberian air irigasi diamati dengan menggunakan metode gravimetrik, yang diambil dari kedalaman 0-15 cm.

2. Sampel gas CH4

(38)

Sampel gas diambil dua minggu sekali pada pagi hari antara pukul 07.00 dan 09.00 selama masa tanam. Penentuan saat pengambilan sampel gas didasarkan pada pola variasi diurnal (Gambar 6), dengan asumsi pola tersebut sama selama satu musim tanam. Fluks emisi pada pukul 07.00 – 09.00 merupakan fluks rata-rata. Saat pengukuran fluks emisi CH4 sungkup diletakkan di atas alas aluminium dengan hati-hati dan pengambilan sampel gas dilakukan di atas jembatan pengamatan, supaya tidak mengganggu pertumbuhan tanaman. Saat petak dalam kondisi ada genangan, bagian bawah sungkup yang diletakkan pada alas aluminium berada di bawah permukaan air. Saat pengukuran dalam kondisi tanpa genangan, alas aluminium diberi air sebelum sungkup dipasangkan di atasnya. Hal ini dilakukan untuk mengisolasi udara dalam sungkup terhadap pengaruh udara dari luar. Pengambilan sampel gas dari dalam sungkup dilakukan dengan jarum suntik ukuran 10 ml pada menit ke 5, 10, 15 dan 20 setelah sungkup dipasangkan (Lampiran 9). Untuk menghindari kebocoran, segera setelah pengambilan sampel gas jarum suntik ditutup dengan sumbat karet. Setelah pengambilan sampel gas selesai dilakukan, sungkup segera dipindahkan dan alas aluminium tetap diletakkan di petak-petak percobaan tanpa dipindah tempat.

Penutupan tanaman dengan sungkup akan meningkatkan suhu di dalam sungkup. Dengan demikian pada setiap pengambilan sampel gas, suhu di dalam sungkup dan ketinggian efektif sungkup dicatat. Penetapan konsentrasi gas CH4 dilakukan dengan menggunakan peralatan gas kromatografi, dengan mengirimkan sampel gas ke laboratorium GRK, Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jakenan – Pati. Untuk menghindari kebocoran sampel gas pada jarum suntik yang dikirimkan, setiap jarum suntik dibungkus dengan kertas aluminium foil dan disimpan didalam wadah yang tidak terpengaruh udara luar.

(39)

Gambar 5 Skema sungkup penangkap gas CH4

Gambar 6 Variasi diurnal emisi CH4 (Hou et al., 2000) 0

2 4 6 8 10 12 14 16 18

7:00 10:00 13:00 16:00 19:00 22:00

W aktu

F

lux C

H

4 (

m

g m

-2 h

-1 )

Keterangan:

1. Alas aluminium

2. Sungkup penangkap gas 3. Thermometer

4. Jarum suntik 5. Fan

H. Tinggi efektif sungkup

H

5

2 3

4

(40)

3. Kadar lengas tanah dan pH

Parameter lain yang diukur bersamaan dengan pengambilan sampel gas adalah kadar lengas tanah dan pH tanah di sekitar perakaran.

4. Suhu udara setempat

Selama pertumbuhan tanaman, suhu udara di lokasi penelitian diamati setiap hari.

5. Parameter tanaman dan hasil Pertumbuhan tanaman

Pengamatan pertumbuhan tanaman meliputi tinggi tanaman dan jumlah anakan per rumpun, yang dilakukan pada 10 rumpun sampel per petak perlakuan. Pengamatan tinggi tanaman dan jumlah anakan dilakukan bersamaan waktunya secara mingguan.

Hasil gabah

Hasil gabah diperoleh dari pengambilan sampel ubinan ukuran 9 m2 pada setiap petak perlakuan, yang dipilih dari tempat yang dapat mewakili petakan, dengan jumlah tanaman yang dipanen 10 rumpun x 10 rumpun (100 rumpun). Gabah dari setiap sampel ubinan yang telah dipisahkan dari jeraminya tersebut ditimbang dan kemudian diukur kadar airnya dengan menggunakan alat grain moisture tester sebanyak 3 kali pengukuran, sehingga akan didapat hasil gabah kering panen (kg GKP) dan kadar air gabah kering panen.

Untuk mengkonversi hasil gabah dalam satuan Ton GKG/ha (kadar air 14%) digunakan persamaan berikut :

Hasil gabah (Ton GKG/ha) =

(

)

86 100 1000 9

10000 Bka

× ×

Dimana :

(41)

GKP = Gabah kering panen GKG = Gabah kering giling

Biomas jerami

Biomas jerami yang dihasilkan dari setiap petakan dihitung dari hasil pengambilan sampel ubinan saat pengukuran hasil gabah. Jerami dari rumpun hasil ubinan setelah dirontokkan bulir-bulir padinya lalu ditimbang bobotnya, sehingga diperoleh bobot jerami basah. Sampel jerami yang telah dipisahkan dari malai-malainya kemudian dioven selama 1 x 24 jam pada suhu 120o C, selanjutnya ditimbang untuk mendapatkan bobot kering jerami dalam satuan gram. Angka tersebut kemudian dikonversi ke kg ha-1 berdasarkan jumlah populasi rumpunnya.

Pengamatan biomas jerami juga dilakukan pada 10 rumpun sampel yang diambil dari setiap petak perlakuan (dari 10 rumpun sampel pada pengamatan pertumbuhan tanaman) pada saat panen.

2. Sifat fisika-kima tanah Sifat fisika tanah

Sifat fisika tanah dianalisis sebelum penelitian dilakukan, yaitu sebelum pengolahan tanah. Tujuan dari analisis fisika tanah ini adalah untuk mengetahui secara pasti sifat tanah yang berkaitan dengan kemampuan tanah menyediakan air bagi tanaman. Untuk keperluan analisis sifat fisika tanah diperlukan sampel tanah utuh (undisturbed) dan tidak utuh (disturbed). Pengambilan sampel tanah utuh dilakukan dengan menggunakan core sampler pada kedalaman 0-15 cm dan 15-30 cm dari setiap petak perlakuan, untuk mengamati sifat-sifat: densitas (DBD), ruang pori total dan sifat retensi tanah (pF 1; 2; 2,54 dan 4,2). Sedangkan pengambilan sampel tanah tidak utuh untuk keperluan analisis tekstur tanah.

Sifat kima tanah

(42)

pada saat tanah belum mendapatkan perlakuan (analisis tanah pendahuluan) maupun setelah mendapatkan perlakuan (setelah tebar kompos). Untuk keperluan analisis sifat kimia tanah diperlukan sampel tanah tidak utuh (disturbed). Pengambilan sampel tanah dilakukan secara komposit dari lima titik, masing-masing sebanyak 1 kg. Sampel tanah diambil dari masing-masing-masing-masing petak P1 dan P2. Analisis sifat kimia tanah yang diamati adalah: N-total, C-organik, pH (H20), P dan K tersedia, serta kandungan nitrogen dalam bentuk nitrat (NO3-) dan amonium (NH4+).

Analisis Data

Penentuan fluks gas CH4 ditetapkan menurut Hou et al. (2000), yang disederhanakan menjadi persamaan:

F = (12/16 x 16/22,4) x dc/dt x H x {273/(273+T)} dimana: F = fluks CH4 (mg m-2 jam-1)

dc/dt = perubahan konsentrasi CH4 antar waktu dari satuan ppm mnt-1 dikonversi ke ppm jam-1

dc = perubahan konsetrasi CH4 (ppm) dt = perubahan waktu (jam) H = tinggi efektif sungkup (m)

T = rata-rata suhu dalam sungkup (°C)

Nilai F dapat positif dan negatif. Nilai F akan positif jika terjadi pelepasan CH4 ke atmosfir, sedangkan negatif menunjukkan terjadi serapan CH4 oleh tanah karena aktivitas metanotrof.

Penyiapan Lahan dan Budidaya

(43)

Antar plot percobaan dibatasi oleh plastik yang ditanam dalam pematang. Pengolahan tanah dilakukan dengan prinsip menghemat air. Tahapan pengolahan tanah seperti digambarkan pada Gambar 7 adalah :

- Penjenuhan : karena kondisi curah hujan sebelum olah tanah cukup tinggi maka lahan digenangi air setinggi 2 cm, kemudian didiamkan selama 2 hari.

- Pembajakan dilakukan dengan singkal pada kedalaman 20–25 cm, dan setelah didiamkan selama 7 hari diteruskan dengan penggaruan. Lahan didiamkan lagi selama 3 hari.

- Pemberian kapur ditujukan untuk menaikkan pH tanah, kemudian didiamkan 3 hari.

- Pemberian pupuk organik dalam bentuk kompos pada perlakuan P1 dilakukan saat lahan masih dalam kondisi tanpa genangan dengan dosis pemupukan 7,5 ton ha-1.

- Lahan digenangi air sedalam 1 cm dan didiamkan selama 8 hari untuk memberikan waktu proses dekomposisi kompos di dalam tanah.

- Pengglebegan dan perataan dilakukan berurutan dengan ketinggian genangan air dipertahankan pada kedalaman 1 cm.

- Lahan didiamkan selama 1 hari kemudian dicaplak dan ditanami. Padi yang digunakan adalah varietas Sintanur dengan jarak tanam 30 x 30 cm.

(44)

Permasalahan gulma pada metode hemat air ini cukup serius mengingat pemberian air irigasi secara macak-macak memacu tumbuhnya gulma, sehingga penyiangan dilakukan 4 kali yaitu saat tanaman berumur 10, 20, 30 dan 40 HST. Penyiangan dilakukan dengan menggunakan alat penyiang gasrok dan dilanjutkan dengan kegiatan membersihkan sisa gulma secara manual (dengan tangan).

Pemupukan selama masa tanam untuk perlakuan P1 dilakukan dengan menggunakan pupuk organik cair yang dikenal dengan sebutan MOL (mikro-organisme lokal) cair. Pemberian MOL cair dilakukan 2-3 hari setelah penyiangan, sehingga pemberian MOL dilakukan sebanyak 4 kali. Dosis pemberian setiap kali pemberian berturut-turut mulai dari pemupukan pertama hingga pemupukan keempat adalah 0,03 l, 0,06 l, 0,09 l dan 0,11 l MOL untuk tiap 1 l air.

Perlakuan P2 mendapatkan pupuk N, P dan K selama masa tanam. Pemupukan pertama diberikan 117 kg ha-1 urea dan 234 kg ha-1 phonska yang dilakukan pada 2 MST (MST = minggu setelah tanam). Pada umur 6 MST diberikan pupuk kedua yang terdiri dari pupuk 58 kg ha-1 urea, 88 kg ha-1 phonska dan 88 kg ha-1 KCl.

Validasi Model DNDC

Model DNDC diuji dengan hasil pengukuran fluks emisi CH4 di lapang. Fluks emisi CH4 hasil perhitungan dengan model DNDC merupakan nilai fluks harian selama satu musim tanam, sedangkan hasil pengukuran merupakan nilai yang terukur setiap dua mingguan . Validasi dilakukan baik untuk perlakuan P1 maupun P2.

Simulasi Model DNDC

(45)

Model DNDC digunakan untuk memperkirakan laju emisi metan dengan melakukan simulasi pola budidaya padi hemat air sebagai salah satu usaha mitigasi emisi metan. Simulasi DNDC ini diujikan pada lokasi penelitian, sehingga data yang digunakan sebagai input parameter adalah data-data yang berasal dari lokasi penelitian (Tabel 3). Beberapa data menggunakan nilai yang tersedia pada program DNDC karena keterbatasan data yang ada. Fluks emisi CH4 hasil perhitungan simulasi dengan model DNDC akan positif jika terjadi pelepasan CH4 ke atmosfir, sedangkan fluks CH4 bernilai negatif menunjukkan tidak adanya pelepasan CH4 ke atmosfir karena terjadi serapan CH4 oleh bakteri metanotrof.

Tabel 2 Parameter input model DNDC

No Parameter Komponen Item Waktu Pengamatan

1

- Iklim lingkungan

- Fisika batang & akar Jumlah, jenis, waktu, metode Waktu

Jumlah, jenis, rasio C/N, waktu, metode Frekuensi, waktu,

Sebelum & tengah tanam

Sebelum & tengah tanam

Sebelum tanam

Sebelum tanam

Sebelum tanam Saat & setelah panen

Selama masa tanam

Saat tanam

Selama masa tanam

Selama masa tanam

Selama masa tanam

(46)

Tabel 3 Data input parameter iklim dan tanah

No Parameter Komponen Item Nilai

1

Suhu max-min, hujan - Tekstur

Data iklim th 2006

Silty clay loam

(klasifikasi USDA) 6,1

43,2% 2,59%

Simulasi tidak dilakukan pada parameter iklim dan tanah karena tidak memungkinkan mengubah kedua parameter ini. Simulasi dapat dilakukan pada parameter pengelolaan lahan, yang meliputi pola tanam, pemilihan varietas padi, pola pengelolaan air, dan aplikasi pupuk. Ditentukan jangka waktu simulasi hanya satu tahun.

1. Pola tanam, meliputi: (a) padi – padi – bera; (b) padi – padi – palawija; dan (c) padi – padi – sayuran.

2. Pemilihan varietas padi, meliputi varietas dengan produksi tinggi (lebih dari 4 ton ha-1) seperti yang digunakan dalam penelitian ini (varietas sintanur) dan produksi sedang (3,5 ton ha-1).

3. Pengelolaan air, meliputi: a. Budidaya padi hemat air

Pola pengelolaan air seperti disajikan pada Gambar 4 atau metode intermittent dengan genangan dangkal (kurang dari 5 cm). Penggenangan kontinyu dengan genangan dangkal hanya dilakukan saat olah tanah untuk keperluan penjenuhan.

b. Budidaya padi petani

Pemberian air dilakukan dengan cara genangan kontinyu 5-10 cm sampai 2 minggu menjelang panen. Saat olah tanah dilakukan penggenangan dangkal.

c. Budidaya palawija

(47)

d. Budidaya sayuran

Pemberian air dilakukan dengan cara penggenangan kontinyu 5-10 cm pada alur-alur di sisi bedengan.

4. Aplikasi pupuk, meliputi: a. Budidaya padi hemat air

Aplikasi pupuk hanya dalam bentuk kompos seperti pada perlakuan P1.

b. Budidaya padi petani

Pemberian jerami segar dilakukan pada saat olah tanah dengan dosis 5 ton ha-1. Selama pertumbuhan tanaman diberikan pupuk urea, SP36 dan KCl. Pemupukan pertama diberikan 150 kg ha-1 urea dan 150 kg ha-1 SP36 pada 3 MST (minggu setelah tanam). Pada umur 6 MST dilakukan pemupukan kedua yang terdiri dari 70 kg ha-1 urea, 70 kg ha-1 SP36 dan 70 kg ha-1 KCl.

c. Budidaya palawija Tanpa pemberian pupuk. d. Budidaya sayuran

Pemberian kompos sebelum olah tanah dengan dosis 10 ton ha-1. Penyiangan masing-masing budidaya tanaman adalah sebagai berikut:

a. Budidaya padi hemat air

Penyiangan dilakukan 4 kali pada umur tanaman 10, 20, 30 dan 40 HST (hari setelah tanam).

b. Budidaya padi petani

Penyiangan dilakukan 2 kali, yaitu pada 20 dan 40 HST. c. Budidaya palawija dan sayuran

(48)

tomat dan kedelai. Semua data komponen parameter untuk kedua komoditas tersebut menggunakan data data yang tersedia pada program.

(49)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola Pengelolaan Air

Pada penelitian ini pola pemberian air irigasi didasarkan pada pola irigasi hemat air. Pemberian air saat olah tanah dilakukan 2 kali, masing-masing dengan tujuan untuk penjenuhan dan pelumpuran, sehingga pekerjaan olah tanah akan menjadi lebih mudah. Air irigasi diberikan dengan konsep genangan dangkal (1-2 cm). Pemberian pertama sebelum pembajakan dilakukan, dan pemberian kedua sebelum proses glebeg/perataan.

Dengan memperhitungkan curah hujan yang terjadi pada hari sebelumnya, maka besarnya kebutuhan air rata-rata untuk pengolahan tanah pada petak perlakuan P1 dan P2 adalah 71,24 mm dan 79,01 mm (Tabel 4). Hasil penelitian Fagi (2006) menunjukkan konsumsi air irigasi untuk pengolahan tanah dengan cara petani adalah sebesar 145-237 mm. Dengan demikian metode ini mampu menghemat air irigasi untuk pengolahan tanah lebih dari 50%.

Tabel 4 Kebutuhan air untuk pengolahan tanah tiap petak perlakuan

Petak Pemberian I (mm) Pemberian I (mm) Total Hujan Air irigasi Total Hujan Air irigasi Total (mm) P1-1

Pola pemberian air irigasi untuk pertumbuhan tanaman disesuaikan dengan kebutuhan air tanaman tiap fase pertumbuhan, dengan memperhitungkan besarnya curah hujan yang terjadi. Air irigasi diberikan saat dicapai batas bawah, dan besarnya pemberian sampai dengan batas atas.

(50)

lapang kadar lengas masing-masing kedalaman adalah 57,07% (0-15 cm) dan 53,75% (15-30 cm). Dengan dasar pola pemberian air seperti di atas maka rata-rata kondisi lengas tanah sebelum dan sesudah diairi pada tiap petak perlakuan berturut-turut adalah 33,72% dan 64,46% (Tabel 5).

Tabel 5 Rata-rata kondisi lengas tanah tiap perlakuan sebelum dan sesudah diairi Perlakuan Lengas tanah (% volume)

Sebelum diairi Sesudah diairi P1

P2

33,76 33,67

62,57 66,36

Rata-rata 33,72 64,46

Sesuai dengan pola pemberian air pada masing-masing perlakuan, maka interval waktu pemberian air pada perlakuan P1 untuk fase awal pertumbuhan, vegetatif, generatif, dan pematangan bulir adalah berturut-turut: 5, 10, 5 dan 5 hari. Penurunan interval setelah fase vegetatif (40 hari setelah tanam/HST) ini disebabkan oleh berkurangnya curah hujan yang terjadi (Gambar 8). Sedangkan untuk perlakuan P2 mulai fase awal sampai dengan pematangan bulir, rata-rata frekuensi pemberian air adalah 3 hari (Gambar 9). Perbedaan interval pemberian air irigasi ini diduga adanya bahan organik pada perlakuan P1 dapat meningkatkan kemampuan tanah mengikat air. Total pemberian air irigasi pada masing-masing perlakuan adalah 201,39 mm (P1) dan 425,55 mm (P2) (Tabel 6). Data selengkapnya terdapat pada Lampiran 6.

(51)

Gambar 8 Curah hujan saat pertumbuhan tanaman sampai dengan panen.

Gambar 9 Jumlah dan interval waktu pemberian air irigasi.

Lebih besarnya jumlah air yang diberikan pada perlakuan P2 dibanding dengan P1 disebabkan oleh laju perkolasi harian di petak P1 lebih besar daripada P2, seperti ditunjukkan pada Gambar 10 (a) di bawah ini. Namun demikian kebutuhan air tanaman kedua perlakuan, yang ditunjukkan dengan nilai

(52)

evapotranspirasi, tidak menunjukkan perbedaan, seperti ditampilkan pada Gambar 10 (b).

Gambar 10 Laju perkolasi (a) dan evapotranspirasi (b) selama masa tanam padi MK 2007, di Desa Salebu, Kecamatan Mangunreja, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Kebutuhan air tanaman terus meningkat mulai fase awal dan mencapai puncaknya pada fase generatif, sesuai dengan pola pengelolaan air yang diterapkan. Setelah fase generatif atau fase pematangan bulir menunjukkan penurunan (Tabel 6). Besarnya air yang termanfaatkan oleh tanaman merupakan hasil penjumlahan air irigasi yang diberikan dengan total curah hujan yang terjadi selama pertumbuhan tanaman, dikurangi besarnya air yang hilang akibat perkolasi. Tabel 6 menunjukkan rata-rata air termanfaatkan pada masing-masing

(53)

perlakuan berturut-turut untuk P1 dan P2 adalah sebesar 508,49 mm dan 715,65 mm.

Tabel 6 Rata-rata air termanfaatkan oleh tanaman selama pertumbuhan

Fase P1 P2

Awal Vegetatif Generatif

Pematangan bulir

29,62 56,12 65,33 50,31

69,61 150,83 119,23 85,88

Total air irigasi (mm) 201,39 425,55

Total curah hujan (mm) 343,1

Perkolasi (mm) 36,0 53,0

Air termanfaatkan (mm) 508,49 715,65

Temperatur Udara

Pengukuran suhu lingkungan baru dilakukan setelah 20 HST. Rata-rata suhu lingkungan di lokasi penelitian adalah 24 °C, dengan kisaran suhu saat penelitian berlangsung antara 22°C hingga 25°C (Gambar 11 dan data pada Lampiran 8). Berlangsungnya aktivitas bakteri metanogen pada suhu tanah optimum antara 30° -40° C. Menurut Husin (1994), pada lahan padi sawah di daerah tropis, suhu optimum tersebut dicapai pada siang hari saat suhu lingkungan berkisar antara 24°C hingga 34°C.

(54)

Gambar 11 Suhu lingkungan di lokasi penelitian pada MK 2007, Desa Salebu, Kecamatan Mangunreja, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Fluks Metan (CH4) pada Berbagai Perlakuan Aplikasi Pupuk

Pengamatan fluks emisi metan baru mulai dilakukan pada awal fase generatif yaitu pada umur tanaman 48 HST, dan pengamatan terakhir pada 90 HST saat menjelang panen. Rata-rata fluks emisi metan pada P1 berkisar antara 1,76 sampai 6,27 mg m-2 jam-1, sedangkan P2 antara 4,64 sampai 8,09 mg m-2 jam-1 (Gambar 12a). Fluks emisi metan mencapai puncaknya pada pertengahan fase generatif, saat kebutuhan air tanaman juga tertinggi. Setelah umur tanaman lebih dari 75 HST laju fluks menunjukkan kecenderungan menurun seiring dengan penurunan pemberian air sampai dengan pengeringan menjelang panen. Pola ini sesuai dengan pernyataan Hou et al. (2000), bahwa fluks emisi metan musiman akan meningkat pada fase pembentukan anakan dan mencapai puncaknya pada fase pembungaan. Selanjutnya akan menurun dan akhirnya tidak terdeteksi, seiring dengan proses pengeringan lahan menjelang panen. Pada perlakuan aplikasi pupuk anorganik (P2) nilai fluks CH4 lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan aplikasi pupuk organik (P1). Hasil penelitian Wihardjaka (2001), menunjukkan bahwa fluks CH4 tanpa aplikasi pupuk organik tidak berbeda nyata dengan aplikasi pupuk organik dalam bentuk kompos.

20 21 22 23 24 25 26

0 17 22 27 32 37 43 48 53 58 63 68 73 78 83 88 93 98 103

Umur tanaman (HST)

S

u

hu uda

ra

(

(55)

Pada fase generatif dilakukan pola intermittent dengan genangan dangkal (2 cm). Saat dilakukan penggenangan masuknya oksigen kedalam tanah akan terhambat. Kondisi ini akan meningkatkan aktivitas bakteri metanogen. Menurut Husin (1994), suhu tanah pada kedalaman 5 cm dengan pengelolaan air sistem penggenangan kontinyu adalah yang tertinggi diikuti berturut-turut metode irigasi berselang/intermittent dan macak-macak. Penggenangan kontinyu merupakan lingkungan yang cocok untuk pembentukan metan terutama di daerah tropis karena dapat meningkatkan suhu tanah dan suhu air di lahan sawah pada siang hari dengan kisaran 30° C hingga 40° C. Peningkatan suhu tanah dan air terjadi karena efek rumah kaca di lahan tersebut akibat adanya genangan air yang akan meneruskan radiasi gelombang pendek dari matahari ke tanah dan mengurangi pancaran gelombang panjang ke atas. Penelitian setyanto dan Abu Bakar (2005) memberikan hasil penurunan emisi CH4 sebesar 27,2% pada irigasi berselang/intermittent dan 48,6% pada irigasi macak-macak bila dibandingkan dengan penggenangan kontinyu sedalam 5 cm.

Saat pengeringan pada pengelolaan air intermittent memungkinkan difusi oksigen kedalam lapisan tanah, sehingga meningkatkan oksidasi CH4 yang akan menurunkan produksi CH4. Proses drainase juga akan menekan aktivitas metanogen seiring dengan meningkatnya oksidasi metan (Suprihati, 2007). Bahkan pada penelitian ini pengeringan dilakukan sampai batas 80% kapasitas lapang.

(56)

Gambar 12 Fluks CH4 pada berbagai perlakuan aplikasi pupuk dan kondisi lengas tanah.

P1

P2

Gambar 13 Pemberian air irigasi sebelum pengukuran konsentrasi CH4.

(57)

Pertumbuhan Tanaman dan Produksi Biomas

Tanaman padi merupakan salah satu media pelepasan CH4 dari dalam tanah. Tanaman padi yang tumbuh dengan baik akan mengemisi CH4 lebih tinggi (Setyanto, 2004). Pada pertumbuhan tanaman yang baik pembuluh aerinkima batang, daun dan akar tanaman berkembang dengan baik pula. Melalui pembuluh aerinkima ini CH4 dilepaskan ke atmosfir. Perlakuan P2 menunjukkan pertumbuhan tanaman yang lebih bagus dengan jumlah anakan dan tinggi tanaman berturut-turut 42 dan 106 cm (Tabel 7), sedangkan perlakuan P1 memiliki jumlah anakan dan tinggi tanaman hampir setengah dari P2, yaitu 28 dan 63 cm. Gambar 14 menunjukkan pertumbuhan tanaman padi tiap perlakuan, yaitu tinggi tanaman dan jumlah anakan per rumpun Pertumbuhan tanaman ini menjadi salah satu faktor penyebab lebih tingginya fluks emisi CH4 pada P2.

Tabel 7 Rata-rata tinggi tanaman dan jumlah anakan maksimum Anakan per rumpun Tinggi tanaman (cm) P1

Emisi CH4 juga ditentukan oleh biomas jerami dan akar (Setyanto, 2004). Semakin banyak biomas, semakin banyak CH4 terbentuk. Biomas jerami perlakuan P1 lebih rendah dari P2, akan tetapi biomas akarnya lebih tinggi (Tabel 8).

Tabel 8 Rata-rata produksi biomas Perlakuan Bobot jerami*)

(gram)

Bobot kering akar*)

Produksi biomas (kg bahan kering/ha)

(58)

Gambar 14 Rata-rata pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah anakan.

Sifat fisika-kimia tanah

Bahan organik tanah merupakan penunjang kesuburan tanah, baik secara fisik, kimia maupun biologi. Karbon organik (C-organik) tanah merupakan hasil dekomposisi bahan organik tanah, dan pada umumnya bahan organik tanah mengandung hampir 56% C-organik (McVay and Rice, 2002). Gambar 15 menunjukkan hasil pengamatan karbon organik tanah pada saat sebelum dilakukan tebar kompos, serta saat tanaman berumur 47 dan 88 HST. Sebelum dilakukan tebar kompos atau pada kondisi tanah awal, kandungan C-organik tanah pada petak P1 dan P2 berturut-turut adalah 2,24% dan 2,45%. Saat pengolahan tanah petak P1 mendapatkan tambahan kompos sebanyak 7,5 ton ha-1.

Gambar

Gambar 2  Struktur model DNDC
Gambar 3  Kerangka pikir penelitian
Tabel 1   Sifat kimia tanah Desa Salebu, Kecamatan Mangunreja, Tasikmalaya,
Gambar 4  Perlakuan pengelolaan air
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh pemeriksaan pajak terhadap kepatuhan material Wajib Pajak PPh Badan setelah dilakukan analisis menggunakan software SPSS version 17.0 diperoleh hasil

CPL 1 Mampu menerapkan matematika, sains, dan prinsip rekayasa (engineering principles) untuk menyelesaikan masalah rekayasa kompleks pada proses, sistem pemrosesan,

Dengan adanya pendidikan pancasila saya menyadari bahwa ini sangat penting untuk menunjang kehidupan saya untuk lebih memperhatikan norma-norma yang berlaku pada

Islam Indonesia bermula dengan adanya hasrat kuat para mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlusssunnah wal Jama'ah.. Dibawah ini adalah beberapa

Misalnya, pada anggota geng motor tidak ada tanda-tanda konsep diri positif menurut William dan Phillip (1976) dalam Rakhmat (2004: 105) yang meliputi yakin akan kemampuannya da-

Untuk mengatasi keraguan masyarakat dalam penggunaan pasir sungai lematang, maka penulis sangat tertarik untuk menguji kuat tekan beton yang menggunakan pasir sungai lematang,

Hasil penelitian yang diperoleh adalah SDM yang kurang dalam segi kuantitas, meskipun SDM yang ada sudah sesuai dan optimal, target keseluruhan jumlah rumah

[r]