• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konteks

Observasi kelas keberaksaraan berlangsung pada tanggal 23 Agustus 2011, dari jam 15.30 sampai jam 17.00 di aldeia Poros, suco Mehara, subdistrik Tutuala. Sebelum mulai observasi, saya meminta izin dari kepala aldeia. Jumlah total pelajar yang terdaftar di kelas keberaksaraan adalah 16 orang: 13 perempuan dan tiga laki-laki, tetapi hanya enam pelajar hadir, satu laki-laki dan limaperempuan. Umur rata-rata pelajar yang mengikuti program adalah antara 17 sampai 72 tahun. Kebanyakan pelajar dalam kelompok saat diobservasi berumur antara 40 sampai 61 tahun. Banyak pelajar tidak masuk kelas karena pada saat itu masih ada panen tembakau. Gurunya adalah seorang laki-laki yang berumur 47 tahun dan tinggal di Poros, suco Mehara.

Foto 5.7: Guru keberaksaraan di Poros

Kelas keberaksaraan berada di balai desa Poros, yang sekitar 100 meter dari jalan raya jalan dan dapat dicapai melalui jalan yang tidak beraspal. Ruang kelas dibangun pada zaman Indonesia, dan beratap seng, ada dinding kayu dan dinding yang setengah tinggi. Balai desa mempunyai sebuah ruangan yang dipakai sebagai kantor dan dipisahkan dari ruang kelas. Ruang kelas ada sebuah papan tulis dan hanya dua bangku, tidak ada meja dan kursi plastik.

Foto 5.8: Kelas keberaksaraan di Poros

Guru dan penulis tiba pada jam 14.30 di kelas keberaksaraan. Kami menunggu pelajar dan pelajaran mulai pada jam 15.30. Kebanyakan pelajar membawa buku manual Hakat ba oin mereka, sebuah buku catatan dan sebuah pensil. Guru mulai menulis ‘Hh’ pada papan tulis dan menjelaskan penggunaan huruf besar dan huruf kecil. Pelajar menyalin huruf ke dalam buku catatan. Setelah itu, guru memberikan kata yang berawalan huruf h seperti hudi ‘pisang’ and hamulak ‘berdoa’. Kemudian guru beralih ke ‘Ii’ dan mempertunjukkan kata seperti ikan dan Indonesia.

Penggunaan bahasa guru

Tabel 5.19 merupakan sebuah ikhtisar tentang bahasa instruksi utama yang digunakan oleh guru keberaksaraan bahasa Tetun di Poros.

Tabel 5.19: Bahasa utama yang digunakan oleh guru dalam interaksi kelas di Poros

Bahasa utama Ucapan Kata

Jumlah % Jumlah %

Fataluku 205 100.00 2.107 100.00

Tabel 5.19 menunjukkan bahwa guru di Poros semata-mata menggunakan bahasa Fataluku sebagai bahasa instruksi.

Tabel 5.20 merupakan sebuah ikhtisar tentang bahasa yang disisipkan guru dalam ucapan bahasa utamanya.

Tabel 5.20: Perbandingan kata bahasa sisipan guru dalam interaksi kelas di Poros

Bahasa utama Bahasa sisipan

Fataluku Tetun Portugis Indonesia

N % N % N % N %

Fataluku 135 6.41 64 3.04 26 1.23

Tabel 5.20 menunjukkan bahwa kalau guru menggunakan bahasa Fataluku sebagai bahasa instruksi, dia juga menggunakan kata bahasa Tetun, Portugis dan bahasa Indonesia sambil berbicara kepada pelajar. Penggunaan bahasa pengajar

Tabel 5.21 merupakan sebuah ikhtisar tentang bahasa utama yang digunakan oleh pelajar di Poros.

Tabel 5.21: Perbandingan bahasa utama yang digunakan pelajar dalam interaksi kelas di Poros

Bahasa utama Ucapan Kata

Jumlah % Jumlah %

Fataluku 1 100.00 10 100.00

Tabel 5.21 menunjukkan bahwa cuma ada satu ucapan pelajar di kelas ini serta ucapan ini berbahasa Fataluku; tidak ada kata dari bahasa lain yang disisipkan oleh pelajar.

Contoh bahasa sisipan guru

Tabel 5.22 berisikan ikthisar semua kejadian guru dan pelajar yang menyisipkan bahasa dalam wacana kelas, selain dari bahasa yang digunakan saat wacana mulai. Seperti dapat dilihat pada kolom pertama tabel, ini termasuk penyisipan bahasa Tetun, Portugis dan bahasa Indonesia dalam wacana bahasa Fataluku, penyisipan bahasa Fataluku, Portugis dan bahasa Indonesia dalam wacana bahasa Tetun, penyisipan bahasa Fataluku, Tetun dan bahasa Indonesia dalam wacana bahasa Portugis dan penyisipan bahasa Fataluku, Tetun dan bahasa Portugis dalam wacana bahasa Indonesia. Semua sisipan ini telah dikategorikan dalam lima kategori seperti telah dibahas dalam Bagian 5.3: membacakan, pokok bahasa, bahasa instruksi, penjelasan tambahan, dan fitur areal.

Tabel 5.22: Kategori sisipan

Dari B1 ke B2 Kategori sisipan

Membacakan Bahasa pokok Bahasa instruksi Penjelasan

tambahan Fitur areal Fa > Te 1 80 1 Fa > Po 4 20 Fa > In 13 Te > Fa 5 83 3 Te > Po 1 4 Te > In 1 Po > Fa 22 5 Po > Te 1 Po > In In > Fa 11 1 In > Te In > Po 1

Tabel 5.22 menunjukkan kategori sisipan membacakan dalam kelas keberaksaraan di Poros kosong. Hal ini karena sistem pengajaran guru hanya memfokus pada cara menulis dan hanya memberikan penjelasan tentang modul saja. Kategori sisipan penjelasan tambahan dari bahasa Tetun ke bahasa Fataluku digunakan dalam jumlah yang sangat terbatas. Biasanya bahasa Tetun digunakan sebagai bahasa tulisan yang kemudian diterjemahkan lagi ke bahasa Fataluku sebagai penjelasan tambahan. Kategori sisipan pokok bahasa dari bahasa Portugis ke bahasa Fataluku dominan dan bahasa lain hampir tidak digunakan sebagai bahasa sisipan. Ini digunakan kalau guru menggunakan kata spesifik yang berkaitan dengan pengertian meta-linguistik, seperti sisipan kata letra ke dalam bahasa Fataluku, karena dalam bahasa Fataluku tidak ada kata letra). Kategori sisipan bahasa instruksi dalam kelas keberaksaraan di Poros dari bahasa Tetun ke bahasa Fataluku dan sebaliknya, seimbang jumlah angka dan dominansinya. Hal ini karena bahasa instruksi utama keberaksaraan adalah bahasa Tetun yang digunakan untuk menjelaskan materi pelajaran modul, tetapi harus diterjemahkan ke bahasa Fataluku dulu, lalu guru beralih ke bahasa Tetun lagi. Sedangkan kategori bahasa sisipan fitur areal tidak digunakan guru dalam kelas keberaksaraan di Poros. Rupanya karena guru tidak pernah menyapa pelajar, tetapi cuma memfokus pada materi pelajaran, sedangkan pelajar hanya menulis.

Perbandingan

Bahasa Fataluku adalah satu-satunya bahasa utama dalam interaksi guru dan pelajar di Poros. Hanya guru menyisipkan kata dari bahasa lain. Pelajar hampir tidak memberikan kontribusi dalam interaksi kelas. Penggunaan bahasa Fataluku yang hampir eksklusif ini mungkin berkaitan dengan karakter rural di Poros (lihat Bab 4 untuk hubungan antara urbanisasi dan penggunaan bahasa).

(1) (Guru) En-enia un ‘h’ i lafai i (P) i moko. Afa em ina inilah satu ‘h’ itu besar dan itu kecil kita ambilnya apa fa’i? Tetun ta: hudi (T) i hin ta hudi (T) tenki (T) emere buat Tetun sebut pisang itu milik lalu pisang harus duluan ‘h’ fa’ i

‘h’ buat

‘Ini satu ‘h’ yang besar dan yang kecil. Kita memakainya untuk membuat apa? Dalam bahasa Tetun (kita) berkata: hudi, sehingga (untuk) hudi, ‘h’nya harus dibuat dulu.’

Contoh (1) berisikan ucapan yang mulai dalam bahasa Fataluku sebagai bahasa komunikasi dan berisikan tiga sisipan kata Tetun, dua kali hudi ‘pisang’, dan tenki ‘harus’, yang ditunjukkan dalam contoh dengan (T). Guru menggunakan kata yang spesifik yang berkaitan dengan pelajaran. Ini adalah contoh kategori bahasa instruksi.

(2) (Guru) Depois (T) letra (P) kar i hemerana i ‘m’ lalu huruf sekarang itu pertama itu ‘m’ ‘Terus, sekarang hurud pertama adalah ‘m’.’

Contoh (2) berisikan ucapan dalam bahasa Fataluku sebagai bahasa komunikasi dan berisikan satu sisipan kata Tetun, yaitu depois ‘berikutnya’, dan satu sisipan kata Portugis, yaitu letra ‘huruf’, yang ditunjukkan dalam contoh dengan (T) dan (P). Guru menggunakan kata spesifik yang berkaitan dengan pelajaran dan konseppokok sekolah. Ini adalah contoh kategori bahasa instruksi dan bahasa pokok. (3) (Guru) Laho (T) enia Tetun (T) Fataluku nara cura

tikus inilah Tetun fataluku kalau tikus ‘Laho adalah Tetun. Bahasa Fatalukunya cura.’

Contoh (3) berisikan ucapan dalam bahasa Fataluku sebagai bahasa komunikasi dan berisikan satu sisipan kata Tetun, laho ‘tikus’, yang ditunjukkan dalam contoh dengan (T). Guru menggunakan bahasa lain kalau mendapatkan kesan bahwa pelajar membutuhkan keterangan tambahan agar bisa mengerti materi pelajaran dengan baik. Ini adalah contoh kategori penjelasan tambahan.

(4) (Guru) Depois (T) ali nere dalan (T) ‘a’ tarupaha mucune lalu lagi ikut jalan ‘a’ berapa dalam ‘Terus, kemudian, berapa ‘a’ ada dalam dalan?’

Contoh (4) berisikan ucapan dalam bahasa Fataluku sebagai bahasa komunikasi dan berisikan sisipan kata Tetun, yaitu depois ‘berikutnya’ dan dalan ‘jalan’, yang ditunjukkan dalam contoh dengan (T). Guru menggunakan ungkapan yang berkaitan dengan pelajaran dan menugasi pelajar. Ini adalah contoh kategori bahasa instruksi.

5.5 Kesimpulan

Pada bagian akhir ini penulis akan merumuskan sebuah jawaban atas tiga pertanyaan penelitian ini. Untuk itu penulis akan mengombinasikan hasil dari empat studi kasus yang diobservasi penulis. Berkenaan dengan pertanyaan pertama penelitian ini – ‘Bahasa’ apa yang digunakan oleh guru dan pelajar dalam interaksi kelas dan sejauh mana? – ialah jelas bahwa bahasa Fataluku adalah bahasa instruksi utama yang digunakan oleh guru dalam semua kelas. Terlepas dari fakta bahwa pelajaran keberaksaraan berbahasa Tetun, dan kebijaksanaan bahasa edukasi di Timor-Leste menetapkan bahasa Tetun dan bahasa Portugis sebagai bahasa resmi kenegaraan serta bahasa instruksi. Dalam interaksi kelas guru tampaknya memilih bahasa yang paling banyak digunakan di Lautém dan yang paling dikuasai pelajar. Selain bahasa Fataluku, guru di daerah urban Lereloho, daerah urbanisasi Cavaixta dan daerah urban Trinta de Agosto, juga menggunakan bahasa Tetun dan bahasa Portugis sebagai bahasa instruksi. Di Lereloho, bahasa Portugis lebih sering digunakan daripada bahasa Tetun. Di Cavaitxa dan Trinta de Agosto, bahasa Tetun lebih sering digunakan daripada bahasa Portugis. Bahasa Indonesia cuma digunakan oleh guru di Cavaitxa. Di daerah rural Poros, bahasa Fataluku merupakan satu-satunya bahasa instruksi. Kalau menggunakan bahasa instruksi utama, semua guru juga menyisipkan (deretan) kata bahasa lain dalam bahasa instruksi utama. Kalau berbicara bahasa Fataluku, ialah bahasa Tetun yang paling banyak disisipkan, rata-ratanya sekitar 10%. Bahasa Portugis dan bahasa Indonesia di tempat kedua dan ketiga, rata-ratanya kurang dari 5% dan sekitar 1%. Juga kalau menggunakan bahasa Tetun, Portugis atau bahasa Indonesia sebagai bahasa instruksi, guru menyisipkan kata dari bahasa lain. Kalau menggunakan bahasa Tetun, semua guru menyisipkan kata Fataluku, tiga guru menyisipkan kata Portugis, dan satu guru menyisipkan kata Indonesia. Kalaumenggunakan bahasa Portugis, empat guru menyisipkan kata Fataluku, dan satu guru menyisipkan kata Tetun. Kalau menggunakan bahasa Indonesia, satu guru menyisipkan kata Fataluku.

Kalau memperhatikan penyebaran bahasa pelajar, terlihat bahwa pelajar terutama menggunakan bahasa Fataluku dalam kelas, tetapi jauh lebih kurang daripada guru. Rata-ratanya penggunaan bahasa Fataluku oleh guru sekitar 90%, oleh pelajar sekitar 50% (Poros dikeluarkan dari hitungan, karena cuma ada satu ucapan pelajar (Fataluku) yang direkam). Pelajar di Lereloho, Cavaitxa dan Trinta de Agosto, selain dari bahasa Fatalaku, juga menggunakan bahasa Tetun dan bahasa Portugis sebagai bahasa sekolah utama. Kalau menggunakan bahasa utamanya, pelajar, seperti juga guru, kadang-kadang dan sampai batas tertentu menyisipkan (deretan) kata dari bahasa lain. Kalau menggunakan bahasa Fataluku, mereka beralih ke bahasa Portugis dan bahasa Tetun. Pada saat menggunakan bahasa Tetun, mereka beralih ke bahasa Fataluku, Portugis serta bahasa Indonesia dan kalau berbicara bahasa Portugis, merekaberalih ke bahasa Fataluku. Ini meniadakan pelajar dari Poros yang menggunakan cuma bahasa Fataluku. Walaupun jumlah kata bahasa lain yang disisipkan oleh guru dan khususnya oleh pelajar, kalau mereka menggunakan bahasa utama di kelas, sangat terbatas, hasil analisa di atas secara jelas menunjukkan bahwa kelas keberaksaraan orang dewasa di Lautém dapat dikategorikan sebagai komunitas berlatih (Lave & Wenger, 1998). Semua bahasa yang dikuasai guru dan pelajar itu digunakan sebagai bahasa instruksi, tetapi kalau bahasa instruksi utamanya digunakan, guru, kalau perlu, juga dengan mudah beralih ke satu atau lebih banyak bahasa lain dalam repertoar linguistik masyarakat.

Penulis melihat perbedaan dan kesamaan kalau membandingkan hasil di atas dengan hasil observasi Boon (2013) dalam kelas keberaksaraan Tetun orang dewasa di Viqueque (Timor-Leste bagian Tenggara) dan di Suai (Timor-Leste bagian barat daya) pada bulan November 2010 and Februari 2011. Kesamaannya adalah bahwa observasi Boon juga menunjukkan penyebaran sejumlah bahasa yang cukup besar: bahasa Tetun, Portugis, Indonesia dan bahasa daerah Makasae di Viqueque serta bahasa daerah Bunak di Suai. Bahasa Tetun digunakan sebagai bahasa instruksi utama, tetapi bahasa lainnya juga, baik sebagai penjelasan tambahan, pengulangan, terjemahan, atau basa-basi (dalam bahasa Makasae dan bahasa Bunak), maupun kalau membicarakan keberaksaraan dan numeracy (dalam bahasa Portugis dan bahasa Indonesia), atau kalau berhitung (dalam bahasa Portugis, Indonesia dan bahasa Makasae). Kesimpulan Boon (2013:15) bahwa ‘orang menyelesaikan segala hal secara multilingual, mencampur bahasa yang berbeda, kadang-kadang menggunakan pelbagai bahasa untuk membedakan berbagai jenis pembicaraan, kadang-kadang juga tidak’ sangat menyerupai situasi di Lautém. Tetapi perbedaan besar – yang berkenaandengan pertanyaan penelitian yang kedua: Bagaimana penggunaan bahasa ini berhubungan denganpolitik bahasa edukasi di Timor-Leste? – adalah bahwa guru dan pelajar di Lautém menyimpang dari kebijakan ini dengan mengutamakan penggunaan bahasa Fataluku, sedangkan kelas keberaksaraan dalam riset Boon mencerminkan kebijakan bahasa edukasi Timor-Leste dengan menggunakan terutama bahasa Tetun dan juga bahasa Portugis sebagai bahasa instruksi. Dalam pelaksanaannya mereka melanggar kebijakan bahasa edukasi Timor-Leste, tetapi guru dan pelajar sudah mengadakan saling pengertian yang menuju ke wacana multilingual, walaupun terutama dilakukan dalam bahasa Fataluku sebagai kebutuhan dasar dalam mempelajari bahasa Tetun sebagai bahasa keberaksaraan. Tidak ada bahasa daerah atau bahasa lokal lainnya yang muncul di observasi kelas penulis. Fakta ini menunjukkan bahwa posisi bahasa Fataluku sebagai bahasa lisan daerah yang paling banyak digunakan, rupanya cukup kuat untuk menjadi sebuah bahasa pengantara untuk keperluan pengajaran dalam kelas keberaksaraan Tetun orang dewasa. Juga bahasa Fataluku, yang dalam proses berkembang dari bahasa lisan eksklusif menjadi sebuah bahasa keberaksaraan, dapat menjadi sebuah bahasa instruksi, bahkan kalau pengajaran keberaksaraannya dalam bahasa lain. Baik penggunaan bahasa instruksi lainnya oleh guru dan pelajar, maupun sisipan (deretan) kata dari bahasa lain kalau menggunakan bahasa instruksi ini, menjadi kondisi yang diperlukan untuk menjembatani kekurangan leksikal yang konseptual dan terutamalah berkaitan dengan metalinguistik dalam bahasa Fataluku di bidang pengajaran keberaksaraan dan numeracy seperti diobservasi dalam kelas keberaksaraan orang dewasa Lereloho, Cavaitxa, Trinta de Agusto dan Poros. Walaupun dalam jumlah yang sangat terbatas, kategori sisipan membacakan dan penjelasan tambahan digunakan untuk semua kelas keberaksaraan Tetun, dan bahasa Fataluku jarang digunakan, kecuali di Poros. Hal ini karena fokus pengajaran guru lebih mementingkan cara penulisan yang benar daripada materi pelajaran yang disampaikan.Di kelas keberaksaraan Lereloho dan Poros kategori sisipan pokok bahasa dari bahasa Portugis ke bahasa Fataluku paling dominan.Hal ini karena guru harus menjelaskan kata spesifik yang berkaitan dengan pengertian meta-linguistik(yang paling banyak dalam bahasa Portugis) sehingga dia harus menyisipkan bahasa Fataluku sebagai penjelasan materi. Sementara itu, di kelas keberaksaraan Trinta de Agosto kategori sisipan pokok bahasa dari dari bahasa Tetun ke bahasa Fataluku sangat dominan.Hal ini sering digunakan untuk menjelaskan konsep matematika. Di kelas keberaksaraan Caivatxa, kategori sisipan

pokok bahasa berisikan hampir semua bahasa, tidak ada yang dominan. Hal ini karena guru menggunakan banyak bahasa yang berkaitan dalam pengertian meta-linguistik. Kategori sisipan bahasa instruksi dalam tiga kelas keberaksaraan di dua subdistrik di Lautém dominan dari bahasa Fataluku ke bahasa Tetun. Hal ini karena guru sering menyisipkan ungkapan dalam bahasa Tetun selama pengajaran di kelas. Sementara itu, penggunaan kategori sisipan bahasa instruksi dari bahasa Fataluku ke bahasa Tetun di kelas Caivatxa, Trinta de Agosto dan Poros hampir sama banyaknya dengan sisipan bahasa Tetun ke bahasa Fataluku. Hal ini karena di daerah tersebut bahasa Fataluku dominan sehingga menjadi bahasa komunikasi utama, sebanding dengan penggunaan bahasa Tetun sebagai bahasa target keberaksaraan. Kategori sisipan penjelasan tambahan di semua kelas keberaksaraan hanya berisikan bahasa sisipan yang sangat terbatas. Hal ini karena guru berpendapat bahwa ungkapan yang tidak dimengerti pelajar hanya sedikit, sehingga keterangan tambahan guru hampir tidak perlu. Kategori sisipan fitur areal sangat dominan untuk sapaan kehormatan pelajar yang lebih tua daripada guru. Walaupun bahasa yang digunakan berbeda bentuk sapaan,digunakan kata Tetun mana‘kakak’ di kelas keberaksaraan Lereloho, kata Tetunmama‘ibu’ di Trinta de Agosto,sementara di daerah Caivtxa kata Portugis Senhora‘ibu’ dominan.Hal ini tergantung pada kebiasaan guru di daerahtersebut. Sedangkan di daerah Poros kategori sisipan fitur areal tidak digunakan sama sekali.

Dokumen terkait