• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Gaya Bahasa Kiasan

Keraf (2001: 136) menyatakan bahwa gaya bahasa kiasan ini pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan dan persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut. Perbandingan sebenarnya mengandung dua pengertian, yaitu perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa polos dan langsung, dan perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa kiasan. Kelompok pertama dalam contoh berikut termasuk gaya bahasa langsung dan kelompok kedua termasuk gaya bahasa kiasan.

(1) Dia sama pintar dengan kakaknya. Kerbau itu sama kuat dengan sapi. (2) Matanya seperti bintang timur.

Bibirnya seperti delima merekah.

Perbedaan antara kedua perbandingan di atas adalah dalam hal kelasnya. Perbandingan biasa mencakup dua anggota yang termasuk dalam kelas yang sama, sedangkan perbandingan yang kedua sebagai bahasa kiasan, mencakup dua hal yang termasuk dalam kelas yang berlainan. Sebab itu, untuk menetapkan apakah suatu perbandingan itu merupakan bahasa kiasan atau tidak, hendaknya diperhatikan tiga hal berikut.

20

(2) Perhatikan tingkat kesamaan atau perbedaan antara kedua hal tersebut.

(3) Perhatikan konteks di mana ciri-ciri kedua hal itu diketemukan. Jika tidak ada kesamaan maka perbandingan tersebut merupakan bahasa kiasan.

Berikut yang termasuk ke dalam gaya bahasa kiasan. 2.4.1 Gaya Bahasa Perumpamaan/Simile

Keraf (2001: 138) menyatakan bahwa persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud dengan perbandingan yang bersifat eksplisit adalah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu yang sama dengan hal lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya.

Contoh:

seperti air dengan minyak bak merpati dua sejoli

kadang-kadang diperoleh persamaan tanpa menyebutkan objek pertama yang akan dibandingkan, seperti:

seperti menating minyak penuh bagai air di daun talas

2.4.2 Gaya Bahasa Metafora

Metafora berasal dari bahasa Yunani metaphora yang berarti memindahkan; dari meta ‘di atas; melebihi’ + pherein ‘membawa’. Menurut Dale (dalam Tarigan, 2009: 15). Metafora membuat perbandingan antara dua hal atau benda untuk menciptakan suatu kesan mental yang hidup walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit dengan

penggunaan kata-kata seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana, penaka, serupa seperti pada perumpamaan.

Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat : bunga bangsa, buaya darat, buah hati. Metafora sebagai perbandingan langsung tidak mempergunakan kata : seperti, bak, bagaikan, dan sebagainya, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua (Keraf, 2001: 139). Metafora merupakan gaya perbandingan yang bersifat tidak langsung. Hubungan antara sesuatu yang dinyatakan pertama dengan yang dinyatakan kedua bersifat sugestif, tidak ada kata-kata penunjuk perbandingan eksplisit (Nurgiyantoro, 2010: 299).

Contoh:

Ali mata keranjang Perpustakaan gudang ilmu

2.4.3 Gaya Bahasa Alegori, Parabel, dan Fabel

Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan. Makna kiasan ini harus ditarik dari bawah permukaan ceritanya. Dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat.

Parabel (parabola) adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh biasanya manusia, yang selalu mengandung tema moral. Istilah parabel dipakai untuk menyebut cerita-cerita fiktif di dalam Kitab Suci yang bersifat alegoris, untuk menyampaikan suatu kebenaran moral atau suatu spiritual.

22

Fabel adalah suatu metafora berbentuk cerita mengenai dunia binatang, di mana binatang-binatang bahkan makhluk-makhluk yang tidak bernyawa bertindak seolah-olah sebagai manusia. Tujuan fabel seperti parabel adalah menyampaikan ajaran moral atau budi pekerti. Fabel menyampaikan suatu prinsip tingkah laku melalui analogi yang transparan dari tindak-tanduk binatang, tumbuh-tumbuhan, atau makhluk tidak bernyawa. (Keraf, 2001: 140)

2.4.4 Gaya Bahasa Personifikasi atau Prosopopoeia

Personifikasi atau prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan. Personifikasi (penginsanan) merupakan suatu corak khusus dari metafora yang mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia (Keraf, 2001: 140).

Contoh:

Angin yang meraung di tengah malam yang gelap itu menambah ketakutan kami. Sama halnya dengan simile dan metafora, personifikasi mengandung unsur persamaan. Kalau metafora (sebagai istilah umum) membuat perbandingan dengan suatu hal yang lain, maka dalam hal penginsanan hal yang lain itu adalah benda-benda mati yang bertindak dan berbuat seperti manusia. Pokok yang dibandingkan itu seolah-olah berwujud manusia, baik dalam tindak-tanduk, perasaan, dan perwatakannya (Keraf, 2001: 140)

2.4.5 Gaya Bahasa Alusi

Alusi adalah semacam acuan yang berusaha menyugestikan kesamaan antara orang, tempat, atau peristiwa. Biasanya, alusi ini adalah suatu referensi yang eksplisit atau implisit kepada peristiwa-peristiwa, tokoh-tokoh, atau tempat dalam kehidupan nyata, mitologi, atau karya-karya sastra yang terkenal. Misalnya dulu sering dikatakan Bandung adalah Paris Jawa. Demikian dapat dikatakan : Kartini kecil itu turut memperjuangkan persamaan haknya. Kedua contoh ini merupakan alusi.

Ada tiga hal yang harus diperhatikan untuk membentuk suatu alusi yang baik, yaitu sebagai berikut.

(1) harus ada keyakinan bahwa hal yang dijadikan alusi dikenal juga oleh pembaca; (2) penulis harus yakin bahwa alusi itu membuat tulisannya menjadi lebih jelas; (3) bila alusi itu menggunakan acuan yang sudah umum, maka usahakan untuk

menghindari acuan semacam itu.

Bila hal-hal di atas tidak diperhatikan maka acuan itu dianggap plagiat atau akan kehilangan vitalitasnya (Keraf, 2001: 141).

2.4.6 Gaya Bahasa Eponim

Eponim adalah suatu gaya di mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. Misalnya: Hercules dipakai untuk menyatakan kekuatan; Hellen dari Troya untuk menyatakan kecantikan (Keraf, 2001: 141).

24

2.4.7 Gaya Bahasa Epitet

Epitet (epiteta) adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Keterangan itu adalah suatu frasa deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu barang (Keraf, 2001: 141). Misalnya,

Lonceng pagi untuk ayam jantan.

Raja rimba untuk singa, dan sebagainya.

2.4.8 Gaya Bahasa Sinekdoke

Sinekdoke adalah suatu istilah yang diturunkan dari kata Yunani synekdechesthai yang berarti menerima bersama-sama. Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte) (Keraf, 2001: 142). Misalnya,

Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp1.000,00. (pars pro toto)

Dalam pertandingan sepak bola antara Indonesia melawan Malaysia di Stadion Utama Senayan, tuan rumah menderita kekalahan 3 – 4. (totum pro parte)

2.4.9 Gaya Bahasa Metonimia

Kata metonimia diturunkan dari kata Yunani meta yang berarti menunjukkan perubahan dan onoma yang berarti nama. Dengan demikian, metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil penemuan, pemilik dengan barang yang dimiliki, akibat untuk sebab,

sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya (Keraf, 2001: 142).

Contoh:

Ia membeli sebuah chevrolet.

2.4.10 Gaya Bahasa Antonomasia

Antonomasia juga merupakan sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epiteta untuk menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri (Keraf, 2001: 142).

Contoh:

Yang Mulia tidak dapat menghadiri pertemuan ini. Pangeran yang meresmikan pembukaan seminar itu.

2.4.11 Gaya Bahasa Hipalase

Hipalase adalah semacam gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu dipergunakan untuk menerangkan sebuah kata, yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain. Atau secara singkat dapat dikatakan bahwa hipalase adalah suatu kebalikan dari relasi alamiah antara dua komponen gagasan (Keraf, 2001: 142). Misalnya,

Ia berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah (yang gelisah adalah manusianya, bukan bantalnya).

2.4.12 Gaya Bahasa Ironi, Sinisme, dan Sarkasme

Ironi diturunkan dari kata eironeia yang berarti penipuan atau pura-pura. Sebagai bahasa kiasan, ironi atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu

26

dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Ironi akan berhasil kalau pendengar juga sadar akan maksud yang disembunyikan di balik rangkaian kata-katanya (Keraf, 2001: 143). Misalnya,

Saya tahu bahwa Anda adalah gadis yang paling cantik di dunia ini yang perlu mendapatkan tempat terhormat!

Sinisme diartikan sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Sinisme diturunkan dari nama suatu aliran filsafat Yunani yang mula-mula mengajarkan bahwa kebajikan adalah satu-satunya kebaikan, serta hakikatnya terletak dalam pengendalian diri dan kebebasan, tetapi kemudian mereka menjadi kritikus yang keras atas kebiasaan-kebiasaan sosial dan filsafat-filsafat lainnya. Dengan kata lain, sinisme adalah ironi yang lebih kasar dari sifatnya (Keraf, 2001: 143). Misalnya,

Memang Anda adalah seorang gadis yang tercantik seantero jagad ini yang mampu menghancurkan seluruh isi jagad ini.

Sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme. Ia adalah suatu acuan yang mengandung suatu kepahitan dan celaan yang getir. Sarkasme dapat saja bersifat ironi, dapat juga tidak, tetapi yang jelas adalah bahwa gaya ini akan selalu menyakiti hati dan kurang enak di dengar. Kata sarkasme diturunkan dari bahasa Yunani sarkasmos, yang lebih jauh diturunkan dari kata kerja sakasein yang berarti “merobek-robek daging seperti anjing”, “menggigit bibir karena marah”, atau “berbicara dengan kepahitan” (Keraf, 2001: 144). Misalnya,

Lihat sang Raksasa itu (maksudnya si Cebol).

2.4.13 Gaya Bahasa Satire

Uraian yang harus ditafsirkan lain dari makna permukaannya disebut satire. Kata satire diturunkan dari kata satura yang berarti talam yang berisi penuh buah-buahan. Satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu. Bentuk ini tidak perlu harus bersifat ironis. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusia. Tujuan utamanya adalah agar diadakan perbaikan secara etis maupun estetis (keraf, 2001: 144).

2.4.14 Gaya Bahasa Inuendo

Inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Ia menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung dan sering tampaknya tidak menyakitkan hati kalau dilihat sambil lalu (Keraf, 2001: 144). Misalnya,

Ia menjadi kaya-raya karena sedikit mengadakan komersialisasi jabatannya. Setiap kali ada pesta, pasti ia akan sedikt mabuk karena kebanyakan minum.

2.4.15 Gaya Bahasa Antifrasis

Antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri, atau kata-kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh jahat, dan sebagainya (Keraf, 2001: 144). Misalnya,

Dokumen terkait