• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahasa sebagai Praktik

BAB IV. BAHASA DAN KUASA SIMBOLIK DALAM PANDANGAN

3. Bahasa sebagai Praktik

Poin-poin sebelumnya lebih melacak pemikiran Bourdieu secara negatif, yakni sebagai kritik terhadap pemikiran-pemikiran lain. Tiba saatnya untuk mendiskusikan pandangan Bourdieu secara lebih positif sebagai penerapan teori praktiknya pada bahasa. Seperti pada wilayah-wilayah kajian lain, Bourdieu menganalisis bahasa menggunakan tiga konsep dasarnya: habitus, ranah, dan modal.

Sebuah praktik berbahasa atau diskursus dihasilkan oleh habitus, tepatnya habitus bahasa, yaitu disposisi-disposisi untuk menghasilkan, memahami, menilai, dan menggunakan bahasa secara tepat dalam berbagai kondisi. Jika diurai lebih rinci habitus bahasa meliputi kemampuan untuk menghasilkan sekaligus menilai bahasa, dialek, gaya bahasa, diksi, gaya pengucapan, intonasi, logat, aksen, mimik tertentu, dsb.—singkatnya cara menggunakan tubuh dalam berbahasa (Bourdieu 1995a: 86). Habitus bahasa diperoleh agen dengan menginternalisasi struktur dunia sosial objektif di mana ia hidup, dan karenanya bervariasi bergantung pada kondisi pembentukannya. Sebuah misal yang diberikan Rusdiarti menggambarkan bahwa seorang agen yang tumbuh akrab dengan buku, majalah, dan bahan bacaan yang dianggap “bermutu” akan memiliki kosakata yang kaya, cara berpikir teratur, wawasan yang luas, dan kemampuan mencari dan menemukan sumber pengetahuan yang dibutuhkannya (Rusdiarti 2003: 35).

Sudah tentu lingkungan semacam ini tidak terdistribusi secara merata untuk setiap agen karena membutuhkan investasi berupa waktu dan modal ekonomi dari si agen sendiri maupun orang tuanya. Contoh lain yang lebih permukaan dan bisa dengan mudah dipahami adalah kemampuan berbahasa tertentu. Bagi kita di Indonesia, sangat jelas betapa kemampuan berbahasa asing seperti bahasa Inggris terdistribusi secara sangat timpang. Bahkan kemampuan berbahasa Indonesia yang resminya harus dikuasai oleh seluruh penduduk juga tidak terbagi secara sama. Ada kondisi tertentu yang memungkinkan agen memperoleh disposisi itu dalam habitusnya, dan kondisi itulah yang tidak tersebar merata. Karena berkaitan dengan kondisi pemerolehan yang berbeda, maka tiap disposisi linguistik yang berbeda mendapatkan nilai yang berbeda pula. Bahasa, aksen, dan intonasi yang berbeda akan dinilai secara berbeda. Melalui habitus, perbedaan kondisi sosial diterjemahkan ke dalam perbedaan praktik bahasa (Bourdieu 1995a: 55). Dengan demikian ada disposisi linguistik tertentu yang dihargai, artinya menjadi modal, dalam ranah-ranah tertentu.

Meski begitu, pembedaan antara disposisi linguistik dan disposisi-disposisi lainnya tidak boleh dilebih-lebihkan. Disposisi linguistik hanya satu dari berbagai disposisi yang menyatu dalam habitus agen dan saling menguatkan satu sama lain

dalam perjuangan akumulasi modal (Bourdieu 1995a: 89). Juga harus segera ditambahkan bahwa praktik bahasa tidak pernah terjadi di ruang kosong, melainkan dalam sebuah ranah. Sebuah ucapan hanya mendapat arti dan nilainya dalam sebuah ranah. Dengan menggunakan analogi ekonomi, Bourdieu menyebut ruang terjadinya pertukaran bahasa sebagai “pasar bahasa” yang ditandai oleh “hukum pembentukan harga”, yaitu skema implisit yang menentukan bahasa apa, dengan gaya apa, dan cara penyampaian macam apa, yang bernilai dalam setiap ranah (Bourdieu 1995a: 69). Jelas bahwa aturan pembentukan harga bervariasi dari satu ranah ke ranah lain. Dalam sebuah seminar filsafat atau sebuah skripsi filsafat, misalnya, yang dihargai adalah kalimat-kalimat berbahasa Indonesia yang teratur, argumentatif, penuh nama-nama filsuf, dan dibumbui jargon-jargon filosofis berbahasa Yunani atau Latin di sana-sini. Sementara dalam sebuah ceramah keagamaan Islam yang lebih dihargai adalah kalimat-kalimat yang banyak mengutip hadits Nabi, ayat al-Qur’an, atau istilah-istilah berbahasa Arab.

Sebuah ucapan, baik isi maupun bentuknya, adalah hasil kompromi antara kepentingan ekspresif, yakni sesuatu yang hendak diungkapkan, dan sensor yang inheren dalam ranah di mana ia hendak diungkapan (Bourdieu 1995a: 37, 78-9). Di sini, sensor adalah sensor-diri dan tidak boleh dimaknai sebagai pelarangan eksplisit melalui kekuatan koersif dari luar layaknya sensor film atau sensor media (Bourdieu 1995a: 84). Pun sensor-diri tidak dipahami sebagai pembatasan secara sadar oleh agen terhadap dirinya layaknya sensor wartawan atau redaktur terhadap isi medianya karena pertimbangan keamanan atau pangsa pembaca. Sensor-diri ini terjadi melalui habitus, dan dengan demikian tidak dikenali sebagai sensor, melainkan sebagai satu-satunya cara berbicara yang benar. Tiap agen melalui habitusnya memiliki pengetahuan praktis mengenai aturan yang akan menentukan nilai ucapannya dalam ranah tertentu, dan dengan demikian ia memiliki keterampilan praktis untuk mengantisipasi keuntungan material atau simbolik yang akan diterimanya melalui ucapan tertentu. Antisipasi keuntungan inilah yang menerapkan sensor terhadap ucapan yang akan dihasilkan agen. Sejauh dimungkinkan disposisinya, seorang agen tidak akan menghasilkan ucapan yang dinilai rendah, atau mengancam keuntungannya sendiri, dalam sebuah ranah.

Dalam arti ini, semua ucapan hingga tingkat tertentu adalah eufemisme, karena disesuaikan dengan “permintaan pasar tertentu” (Bourdieu 1995a: 76-8).

Sebuah ilustrasi bisa diberikan: seorang anak dalam keluarga Jawa yang hendak meminta sesuatu pada ayahnya akan menyampaikan permintaannya itu dalam bahasa Jawa kromo. Disposisi praktis dalam habitusnya yang menyensor ucapannya ke dalam bentuk tuturan kromo untuk mengantisipasi keuntungan simbolik dan/atau material yang mungkin diraihnya. Tidak berarti bahwa si anak melakukan kalkulasi sadar tentang untung-ruginya menggunakan atau tidak menggunakan bahasa kromo. Dalam hal ini ia hanya perlu menjadi anak yang baik. Melalui sensor habitus, cara berbahasa yang lain akan dikenalinya sebagai “tidak sopan” dan harus dihindari, bahkan hingga tingkat tertentu tak terpikirkan.

Dengan kata lain, sensor-diri yang berupa pengetahuan terhadap skema evaluasi dalam suatu ranah menyatu dalam habitus agen. Pengetahuan ini akan menentukan “rasa nilai diri” seseorang—semacam rasa tahu diri sosial—yang pada gilirannya akan menentukan praktik bahasanya. Seseorang yang, berdasar pengetahuannya terhadap skema evaluasi dalam suatu ranah, merasa mampu menghasilkan ucapan yang bernilai akan cenderung berbicara dengan penuh percaya diri. Sebaliknya, orang yang merasa tidak mampu menghasilkan ucapan yang dihargai akan enggan untuk bicara, atau kalaupun bicara ia akan sangat hati- hati dan kurang percaya diri. Di titik inilah pengakuan terhadap skema evaluasi tidak diimbangi oleh kemampuan menghasilkan ucapan yang bernilai berdasar skema evaluasi itu. Hal ini menjelaskan mengapa bahasa tertentu yang bernilai dalam sebuah ranah juga dihargai bahkan oleh mereka yang tidak menguasainya (Bourdieu 1995a: 82-3). Sebuah contoh diberikan oleh hasil penelitian Labov di New York City. Semua respondennya mengenali bahwa pengucapan (r) dalam kata-kata tertentu sebagai prestisius. Skema evaluasi ini juga diakui bahkan oleh mereka yang pada kenyataannya tidak mengucapkan (r) dalam praktik berbahasa (Labov 1969: 293-5). Dengan kata lain, penutur yang praktik bahasanya tidak memenuhi tuntutan skema evaluasi tertentu secara tidak sadar menilai rendah ucapannya sendiri berdasar skema evaluasi itu. Begitu pula, untuk memberi

contoh yang dekat, kemampuan berbahasa Inggris dihargai di ranah akademik di Indonesia, juga oleh mereka yang tidak menguasainya.

Tingkat sensor yang menentukan variasi bentuk praktik bahasa bergantung pada dua hal yang saling berhubungan. Di satu sisi, tegangan objektif yang berupa tingkat keresmian situasi ranah dan jarak sosial antara penutur dan pendengar— yaitu jarak dalam struktur kepemilikan modal, termasuk modal bahasa. Dan di sisi lain, tegangan subjektif berupa kepekaan agen melalui habitusnya terhadap tegangan objektif dalam ranah dan sensor yang inheren di dalamnya (Bourdieu 1995a: 79). Makin resmi situasi sebuah ranah, atau makin jauh jarak sosial antara penutur dan pendengar, makin terasa sensor terhadap bahasa yang diucapkan seorang agen, terutama bagi agen yang disposisi linguistiknya jauh dari bahasa yang dihargai. Ucapannya akan ditandai oleh ketegangan dan hiper-koreksi. Bahkan pada kasus ekstrem, seorang agen akan sama sekali kehilangan kata-kata. Sebaliknya, agen yang disposisi linguistiknya sesuai dengan bahasa yang dihargai akan berbicara dengan nyaman, santai, dan penuh percaya diri. Ia cukup “menjadi dirinya sendiri”, karena disposisi habitusnya memang cenderung menghasilkan bahasa yang dihargai (Bourdieu 1995a: 81-4).

B. Kuasa Simbolik dan Penciptaan Realitas

Dokumen terkait