• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rahmat Zainun Abdullah

Staf Teknis Balai Bahasa Banda Aceh

K

ata seksis secara sederhana dapat diartikan sebagai ungkapan yang memosisikan salah satu gender seks pada tataran subordinasi (inferior) atau idak setara. Kebanyakan para pakar linguis mendefinisikan bahasa seksis sebagai bahasa yang cenderung tidak adil gender terhadap perempuan atau dengan kata lain bahasa yang merepresentasikan posisi laki-laki lebih dominan (superior).

Sikap tidak adil gender ini (stereotip seks) tentu tidak terlepas dari pengaruh kultur patriarki yang mengakar dalam tatanan kehidupan sosial suatu masyarakat. Sistem nilai patriarki ini sering dianggap sebagai biang permasalahan suburnya dominasi seksisme bahasa terhadap perempuan. Diskriminasi stereotip seks dan pencitraan perempuan yang cenderung tidak positif secara tidak sadar telah mengakibatkan perempuan mengalami pencitraan yang semakintimpang dan mengukuhkan posisi perempuan pada level tidak adil gender. Tidak hanya dalam konteks politik, budaya, dan sosial, tetapi juga perempuan telah mendapatkan perlakuan ketidakadilan dalam konteks “sikap berbahasa”.

Konsep pencitraan perempuan pada posisi subordinasi, telah membentuk konsep seksisme pengguna bahasa di negeri kita ini. Di dunia pendidikan kita masih mendapati ilustrasi seksisme bahasa tersebut, seperti

kalimat “Ibu memasak di dapur, sedangkan ayah membaca koran” atau “Ayah pergi ke kantor, sedangkan ibu pergi ke pasar”. Kedua kalimat di atas secara sintaksis tidak ada yang keliru, tetapi secara semantis telah menempatkan figur ibu sebagai profesi klasik yang tidak menuntut kualifikasi strata pendidikan tertentu. Siapa saja, tanpa membutuhkan keahlian apa pun dianggap mampu melakukan pekerjaan dapur atau berbelanja ke pasar. Bandingkan dengan sosok ayah yang berprofesi sebagai orang kantoran yang notabenenya berasal dari kaum terpelajar.

Dominasi laki-laki yang cenderung memiliki arti positif dalam ruang publik, berbanding terbalik manakala perempuan cenderung bergerak ke posisi negatif. Ironisnya, sebagian perempuan justru mendukung penggunaan bahasa seksis tanpa mereka sadari. Bagaimana fakta berbicara Bahasa Seksis ketika para penyanyi perempuan di negeri ini dengan “nyamannya” menyanyikan lagu-lagu bias gender seperti lagu-lagu hamil duluan, satu jam saja, mucikari cinta, lubang

buaya, mobil bergoyang, apa aja boleh, atau tokek racun yang tidak hanya timpang

gender, bahkan justru merendahkan martabat dan kedudukan mereka sendiri. Pandangan dan atau kesan tipikal masyarakat pengguna bahasa telah menempatkan seolah-olah bahasa itu merepresentasikan atribut salah satu gender yang tak terwakilkan, terutama dalam bahasa Inggris. Makanya, ketika terdapat kalimat “The doctor is very busy, he examines his patients seriously, If a

customer has a complaint, send him to the service desk, atau each student should bring his notebook to class every day tanpa ragu digunakan bentuk maskulin “He, him,

atau his pada ketiga kalimat di atas. Padahal belum tentu dokter, nasabah, atau siswa bergenus laki-laki.

Dalam bahasa Indonesia, jarang kita temukan bahasa seksis yang bias gender, terutama pada pronomina dan nomina agentisnya seperti bahasa Inggris. Pronomina “dia” dalam bahasa Indonesia bersifat netral, dapat saja berupa maskulin atau feminin. Namun, bukan berarti bahasa seksis tidak ditemukan dalam komunikasi sehari-hari. Contoh sederhana, hadirnya eksistensi nama suami (bukan nama orang tuanya) di belakang nama diri

istri dapat dikategorikan bahasa yang seksis atau bagaimana kita menyikapi ketika ada imbauan, “Diharapkan kepada semua pejabat dapat hadir bersama istri” telah menyudutkan posisi perempuan yang terkesan seakan semua pejabat bergenus maskulin. Pandangan seksis demikian seakan mengesahkan pandangan stereotip seks bahwasanya atribut kepandaian, kekuatan, kekuasaan, mandiri seakan mutlak kaum laki-laki, sedangkan atribut keterbatasan, kelemahan, ketergantungan, harusnya melekat pada perempuan. Oleh karena itu, jangan heran ketika ditanyakan pada anak-anak usia dini, “Siapa yang ingin jadi presiden?” dapat dihitung dengan jari murid perempuan yang berani mengacungkan telunjuknya dan itu pun dengan malu-malu. Semoga realitas ini tidak semakin mengakar di tengah masyarakat kita.

Geureuda

Sulaiman Tripa

Dosen Fakultas Hukum Unsyiah, Banda Aceh

D

alam sebuah diskusi terbatas, saya ternganga dengan munculnya

sebuah pertanyaan penting dari seorang teman: “Apa yang menyebabkan seseorang tidak bisa menyembunyikan geureuda-nya?” Pertanyaan itu, terutama karena kata “geureuda” yang sudah sangat jarang saya dengar. Kemudian untuk menjawab pertanyaan tersebut, tidak cukup hanya dengan melihat satu ruang saja, misalnya masalah perut atau ruang kosong sopan santun. Pada kenyataannya, masalah ini terkait dengan semua aspek kehidupan.

Berdasarkan pertanyaan teman tersebut, secara sederhana mencemeti saya mencari beberapa bentuk realitas. Dan ternyata memang ironis. Cara amati secara sederhana adalah membaca surat kabar. Dalam Harian Serambi Indonesia, tiap hari kita menyaksikan berita yang terkait dengan “geureuda” ini.

Konsep geureuda

Dalam kehidupan masyarakat Aceh (pesisir), kata-kata “geureuda” hanya salah satu dari sekian banyak kata untuk menggambarkan maksud yang sama, “rakus, tamak, serakah”. Bila kita buka dalam Kamus Bahasa Indonesia Aceh yang ditulis M Hasan Basry (1994), kata “geureuda” ini disetarakan dengan kata-kata seperti jumoh; lubha; waba; leuha; dan tama’. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata

itu memiliki sejumlah kata yang sepadan, yakni “lahap” (oleh M Hasan Basry diterjemahkan ke dalam kata-kata geureuda; jumoh; lubha; waba), “majuh” (jumoh;

geureuda; leuha; waba), pelalah (geureuda; jumoh), dan “temaah” atau “temahak”

(lubha; tama’; geureuda; jumoh).

Makna kata-kata yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tersebut tidak jauh berbeda. Menurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer yang ditulis Peter Salim dan Yenny Salim (2002), beberapa kata dapat dilihat: Pertama, kata “lahap” diterjemahkan sebagai “suka makan banyak tanpa memilih jenis makanannya; rakus”. Untuk kata “melahap” diterjemahkan “makan banyak-banyak”. Dan kata “pelahap” (diterjemahkan “orang yang rakus; orang yang tamak atau serakah”. Kedua, kata “majuh” diterjemahkan dengan “lahap, rakus, gelojoh”. Ketiga, “pelalah” adalah “orang yang banyak makan, rakus”. Serta Keempat, “temaah atau temahak, merupakan “loba, rakus”.

Keempat kata tersebut jelas memiliki maksud yang berbeda, walau dengan penjelasan yang hampir sama. Sama seperti kata-kata dalam bahasa Aceh sendiri, dimana sejumlah kata yang dipakai memberi tanda tentang maksud yang ingin disampaikan. Maksudnya adalah orang yang menyebut “geureuda” untuk seseorang, berbeda level maksudnya dibandingkan dengan kata-kata lain seperti “jumoh”, “lubha”, “leuha”, “tama”, dan “waba”.

Sangat kontekstual

Semua kata tersebut pada dasarnya sangat kontekstual. Penyebutan kata tersebut terkait dengan perilaku yang umumnya secara teks berhubungan dengan pola orang makan. Tapi pemaknaannya tentu tidak berhenti pada cara makan semata. Dalam masyarakat Aceh kekinian, “geureuda” terkait dengan orang-orang rakus dan serakah yang hanya memikirkan diri sendiri. Pemimpin yang mengaku pelayan tapi tidak boleh sesaat pun honornya telat dibayar. Pemanfaatan surat perintah jalan dengan berbagai cara, adalah contoh lain dari “geureuda” itu sendiri.

atau tidak boleh. Adakala perilaku yang yang dibolehkan tapi akan dianggap tidak beretika. Kondisi ini dengan mudah kita temui pada tempat-tempat makan. Orang yang mengambil makanan dengan tidak memperhitungkan kemampuan untuk memakan. Sering kita lihat di pesta-pesta, makanan yang tersisa yang tidak mampu dihabiskan, padahal makanan tersebut diambil sendiri.

Untuk hal-hal yang tidak diperbolehkan sangat banyak contohnya. “Geureuda” terkait dengan perbuatan seperti mengambil yang memang haknya, tapi tidak bertanggung jawab terhadap kewajibannya.

Setiap hari, berita Serambi Indonesia mengenai realitas ini selalu ada. Pegawai negeri yang sudah memiliki gaji tertentu dan berbagai tunjangan, masih menyebut tidak cukup. Berbagai penyelewengan terjadi bukan karena ketidakcukupan, melainkan karena memang tamak, rakus, dan loba. Itulah “geureuda”

Dokumen terkait