• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSUMEN BANK SYARI’AH DI TERNATE

A. Bank Syari’ah di Ternate

Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang didirikan pada tahun 1991 sebagai bank umum satu-satunya yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil, sebagai penanda awal mulai berdirinya bank syariah. Namun, eksistensi bank syariah di Indonesia secara formal telah dimulai sejak tahun 1992 dengan diberlakukannya UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Meskipun UU tersebut belum memberikan landasan hukum yang cukup kuat terhadap pengembangan bank syariah karena masih belum secara tegas mencantumkan kata-kata “prinsip syariah” dalam kegiatan usahanya hanya menggunakan istilah bank bagi hasil. 259

Ihtiar pengembangan perbankan syariah terus bergulir, Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan nasional mulai bergerak maju dengan memperkenalkan instrumen moneter syariah pertama yaitu Sertifikat Wadiah BI (SWBI) di tahun 1999 dan Pasar Uang Antar-bank berdasarkan prinsip Syariah (PUAS)pada tahun 2000. 260 Dua tahun berikutnya, BI memperbaiki aturan tentang unit usaha syariah melalui PBI Nomor 4/1/PBI Tahun 2002 yang mengatur tentang: 261konversi bank konvensional menjadi bank syariah, konversi cabang konvensional menjadi cabang syariah, konversi kantor

259 Muh. Ghafur Wibowo, Potret Perbankan Syariah Terkini: Kajian Kritis Perkembangan Perbankan Syariah Terkini (Yogyakarta: Biruni Press,2007), 2.

260 Ascarya, “Alur Transmisi Dan Efektifitas Kebijakan Moneter Ganda di Indonesia” Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan, Vol. XIV, Nomor 3, Januari 2012.

261 Yusuf Wibisono, “Politik Ekonomi UU Perbankan Syariah Peluang dan Tantangan Regulasi Industri Perbankan Syariah”, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. XVI, Nomor 2, Mei–Agustus 2009.

186

kas konvensional menjadi cabang syariah, pembukaan sub-cabang syariah di cabang konvensional dan pembukaan unit syariah di cabang konvensional. Peran BI ini semakin diperkuat dalam UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang perubahan UU Nomor 23 Tahun 1999.

UU Perbankan Syariah (UU PS) tersebut memiliki beberapa tujuan utama. Pertama, menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberi keyakinan bagi masyarakat untuk menggunakan produk dan jasa perbankan syariah. Hal ini terlihat dari ketentuan-ketentuan tentang jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, larangan bagi bank syariah dan UUS, kerahasiaan bank, serta penyelesaian sengketa. Kedua, menjamin kepatuhan syariah (syariah compliance). Hal ini terlihat dari ketentuan kegiatan usaha yang tidak boleh

bertentangan dengan prinsip syariah, penegasan kewenangan fatwa syariah oleh MUI, kewajiban pembentukan Dewan Pengawas Syariah (DPS) di setiap bank syariah dan UUS, serta Komite Pengawas Syariah di Bank Indonesia (BI). Ketiga, menjamin “stabilitas sistem”. Hal ini terlihat dari diadopsinya 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision seperti ketentuan tentang pendirian dan kepemilikan, pemegang saham pengendali, tata kelola, prinsip kehati-hatian, kewajiban pengelolaan resiko serta pembinaan dan pengawasan. 262

Seiring dengan perkembangan perbankan syariah secara nasional yang terus tumbuh, pada tahun 2007 untuk pertama kalinya Bank Muamalat Indonesia membuka cabang di Ternate ibukota propinsi Maluku Utara. Yang diikuti oleh Bank Syari’ah

262 Yusuf Wibisono, “Politik Ekonomi UU Perbankan Syariah Peluang dan Tantangan Regulasi Industri Perbankan Syariah”, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, , hlm. 105-115 Volume XVI, Nomor 2, Mei–

187

Mandiri tahun 2009 dan BRI Syariah tahun 2015. Melengkapi industri keuangan syari’ah yang mulai diminati konsumen di Ternate, maka pada tahun 2012 pemerintah Ternate mendirikan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang diberi nama BPRS Bahari Berkesan.

Pengembangan pasar perbankan yariah, sebagai strategi komprehensif pengembangan pasar yang meliputi aspek-aspek strategis, yaitu: 263 Menerapkan visi baru pengembangan perbankan Syariah pada fase I tahun 2008 membangun pemahaman perbankan Syariah sebagai Beyond Banking, dengan pencapaian target asset sebesar Rp. 50 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 40%, fase II tahun 2009 menjadikan perbankan Syariah Indonesia sebagai perbankan Syariah paling atraktif di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.87 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 75%. Fase III tahun 2010 menjadikan perbankan Syariah Indonesia sebagai perbankan Syariah terkemuka di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.124 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 81%.

Tantangan yang telah teridentifikasi di atas berguna untuk meningkatkan pelayanan bank syariah yakni dengan menciptanya iklim yang kondusif untuk masuknya para pemain baru, terutama bank-bank konvensional yang sudah memiliki jaringan operasional yang luas atau mendorong aliansi strategis antara bank syariah dengan lembaga-lembaga keuangan lainnya guna mencapai skala ekonomis operasional. Selanjutnya, dengan penyederhanaan proses administrasi bagi masuknya para pemain baru dapat dilakukan dengan tidak mengurangi prinsip kehati-hatian

263Bank Indonesia, “Sekilas Perbankan Syariah di Indonesia” http://www.bi.go.id/web/id/ Perbankan/Perbankan+Syariah/diakses pada 1 Desember 2016.

188

dalam kegiatan operasional perbankan. Tersedianya informasi pasar/permintaan jasa perbankan syariah dan tersedianya sumber daya insani yang kompeten dan profesional dalam jumlah yang mencukupi oleh industri perbankan syariah.

Kekurangan instrumen di pasar keuangan syariah tersebut berdampak pada pengelolaan likuiditas perbankan syariah. Pengelolaan likuiditas perbankan syariah masih mengandalkan mekanisme Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS) dengan menggunakan instrumen Sertifikat Investasi Mudharabah (SIMA), dan melakukan penempatan di instrumen yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, yakni FASBI Syariah dan SBI Syariah. Masih sedikit sekali portofolio penempatan pada instrumen sukuk. Tingginya porsi

pengelolaan likuiditas perbankan syariah pada instrument bank sentral menyebabkan

pengembangan pasar keuangan syariah menjadi terkendala dan mekanisme self

adjustment menjadi kurang optimal.

Secara umum kinerja perbankan di Maluku Utara pada triwulan IV- 2015 menunjukkan kinerja yang positif khususnya pada perkembangan volume usaha dan penghimpunan dana. Total aset bank umum di Provinsi Maluku Utara pada triwulan IV-2015 tercatat sebesar Rp8,12 triliun, tumbuh sebesar 13,61% (yoy) sedikit lebih rendah

dari triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 13,94% (yoy). Jumlah dana pihak ketiga

(DPK) yang dihimpun perbankan yang beroperasi di Maluku Utara pada posisi akhir triwulan IV-2015 tercatat sebesar Rp 6,23 triliun.

Secara tahunan, pertumbuhan DPK mencapai 19,41% (yoy), meningkat

dibandingkan pertumbuhan pada triwulan III-2015 yang tumbuh sebesar 16,97% (yoy).

Meningkatnya pertumbuhan DPK terutama dipicu oleh meningkatnya pertumbuhan simpanan tabungan dan simpanan giro.

189

Dari sisi penyaluran kredit, jumlah kredit yang disalurkan oleh perbankan di Maluku Utara pada triwulan laporan tercatat sebesar Rp5,69 triliun atau meningkat 2,93% (qtq). Secara tahunan, penyaluran kredit tumbuh 12,22% (yoy), terakselerasi dari

triwulan sebelumnya yang tumbuh 11,88% (yoy).Peningkatan pertumbuhan terutama

dipengaruhi oleh ekspansi kredit produktif baik investasi maupun modal kerja.

Dengan perkembangan tersebut, LDR (Loans to Deposit Ratio) mencapai

91,27% lebih tinggi dari LDR triwulan sebelumnya 84,76%. Dari sisi stabilitas sistem keuangan, ketahanan sektor korporasi maupun rumah tangga masih relatif baik yang terindikasi dari rasio NPL yang berada pada level yang rendah dan cenderung mengalami penurunan. Rasio NPL pada triwulan laporan tercatat hanya sebesar 1,83%, lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 2,07%. Pada triwulan laporan, transaksi tunai yang melalui Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Maluku Utara mengalami net outflow sebesar Rp717,81 miliar. Sementara itu, seiring

terjaganya laju pertumbuhan ekonomi, transaksi non tunai nilai besar menunjukan peningkatan sebesar 28,93% (yoy).

Dokumen terkait