• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan

TINJAUAN PUSTAKA

D. Bantuan Hukum Dalam Perundang-Undangan

Sejak Indonesia merdeka pemerintah RI telah mengeluarkan berbagai macam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah pemberian bantuan hukum. Salah satu undang-undang yang pernah digunakan adalah UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang ini pun kemudian diganti dengan UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sebelum berlakunya undang-undang ini,kegiatan bantuan hukum secara yuridis formal sebagai kegiatan pelayanan hukum kepada orang-orang yang berhubungan dengan suatu perkara (hukum) merupakan bagaian dari hukum positif Indonesia.

Adapun ketentuan yang khusus mengatur tentang bantuan hukum dari Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah pada Bab VII mencakup Pasal 37 sampai dengan Pasal 40 walaupun hanya memuat pokok-pokok saja akan tetapi di dalam pasal-pasal tersebut bantuan hukum secara yuridis diakui eksistensinya.

Untuk lebih jelas, berikut adalah bunyi pasal-pasal tersebut antara lain: Pasal 37.

“Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.”

Pasal 38.

Dalam perkara pidana seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan /atau penahanan berhak manghubungi dan meminta bantuan advokat.

Pasal 39.

Dalam memberikan bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, advokat wajib membantu penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan.

Pasal 40.

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 38 diatur dalam Undang-undang.

Kemudian pada Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Secara khusus bantuan hukum bagi fakir miskin diatur dalam Bab VI Pasal 22. Untuk lebih jelas, berikut adalah bunyi pasal 22 tersebut:

Pasal 22 ayat (1)

advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu

Pasal 22 ayat (2)

Ketentuan mengenai tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Selain dari ketentuan-ketentuan yang disebutkan diatas, mengenai masalah pemberian bantuan hukum juga diatur dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Dalam pasal-pasal KUHAP yang mengatur mengenai bantuan hukum tersebut, diatur mengenai hak memperoleh bantuan hukum, pengawasan pelaksanaan bantuan hukum dan wujud daripada bantuan hukum itu sendiri. Selanjutnya akan diuraikan mengenai ketentuan bantuan hukum dalam KUHAP sebagi berikut :

1. Mengenai hak untuk memperoleh bantuan hukum terdapat dalam Pasal 54, 55, 56, 57, 59, 60 dan Pasal 114 KUHAP. Di dalam pasal-pasal tersebut secara tegas memberikan jaminan tentang hak bantuan hukum, oleh karena itu ketentuan tersebut harus dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang bersangkutan pada setiap tingkat pemeriksaan.

2. Waktu pemberian bantuan hukum terdapat dalam Pasal 69 dan Pasal 70 ayat (1). Menurut ketentuan pasal tersebut bahwa bantuan hukum kepada seseorang yang tersangkut suatu perkara pidana sudah dapat diberikan bantuan hukum sejak ditangkap atau ditahan. Dan penasihat hukum dapat berhubungan dan berbicara dengan tersangka atau terdakwa pada setiap waktu dan setiap tingkat pemeriksaan.

3. Pengawasan pelaksanaan bantuan hukum diatur di dalam Pasal 70 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 71. Dalam ketentuan ini dimaksudkan agar penasihat hukum benar-benar memanfaatkan hubungan dengan tersangka atau

terdakwa untuk kepentingan daripada pemeriksaan, bukan untuk menyalahgunakan haknya, sehingga dapat menimbulkan kesulitan dalam pemeriksaan.

4. Wujud daripada bantuan hukum.

Wujud daripada bantuan hukum disini dimaksudkan adalah tindak-tindak atau perbuatan-perbuatan apa saja yang harus dilakukan oleh penasihat hukum terhadap perkara yang dihadapi oleh tersangka atau terdakwa yaitu :

a. Pada Pasal 115, penasihat hukum mengikuti jalannya pemeriksaan terhadap tersangka oleh penyidik dengan melihat dan mendengar, kecuali pada kejahatan terhadap keamanan negara, penasehat hukum hanya dapat melihat tetapi tidak dapat mendengar.

b. Pasal 123, penasehat hukum dapat mengajukan keberatan atas penahanan tersangka kepada penyidik yang melakukan penahanan.

c. Pasal 79 Jo Pasal 124, penasihat hukum dapat mengajukan permohonan untuk diadakan Praperadilan.

d. Penasihat hukum dapat mengajukan penuntutan ganti kerugian dan atau rahabilitasi terhadap tersangka, terdakwa sehubungan dengan Pasal 95, 97, Jo 79.

e. Penasehat hukum dapat mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwanang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima (Pasal 156).

g. Penasihat hukum dapat mengajukan banding (Pasal 223). h. Penasihat hukum dapat mengajukam kasasi (Pasal 245). E. Urgensi dan Kepentingan Bantuan Hukum

Bantuan hukum sesungguhnya adalah merupakan suatu perwujudan daripada jaminan dan perlindungan atas hak asasi manusia khususnya pencari keadilan untuk mendapatkan perlakuan secara layak dari para penegak hukum sesuai dengan harkat dan martabat manusia dalam bentuk pembelaan terhadap perkara yang dihadapi masyarakat miskin (fakir miskin) oleh penasihat hukum.

Pada bagian sebelumnya diungkapkan bahwa banyak terjadi insiden perlakuan yang tidak manusiawi, terutama orang miskin yang tidak mampu membayar jasa hukum dan pembelaan oleh seorang advokat (penasihat hukum) profesional. Dalam keadaan seperti inilah maka bantuan hukum sangat diperlukan untuk membela orang/tersangka/terdakwa miskin agar tidak menjadi korban penyiksaan, perlakuan yang tidak manusiawi dan merendahkan derajat manusia yang dilakukan oleh penegak hukum.

Dalam pemberian bantuan hukum ada satu hambatan yang datang dari masyarakat yang kadang menganggap bahwa penasihat hukum atau pengacara hanyalah pembela kesalahan orang yang terlibat kasus hukum (tersangka /terdadakwa). Pemahaman seperti ini timbul oleh masyarakat karena masyarakat kita hanya mempunyai “perasaan hukum”, tetapi belum mempunyai “kesadaran hukum”. Perasaan hukum diartikan sebagai penilaian hukum yang timbul serta merta dari masyarakat dalam kaitannya dengan masalah keadilan. Sementara kesadaran hukum

lebih banyak merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut yang dilakukan secara ilmiah.32

Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa (dalam kasus pidana) berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam KUHAP Pasal 54. Dalam hal tersangka atau terdawa yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.33

Seorang penasihat hukum menurut Satjipto Rahardjo34 memberikan peranan

yang cukup penting dalam hal memberikan bantuan hukum. Dalam proses peradilan, seorang penasihat hukum bertugas untuk menjamin agar pejabat-pejabat hukum di dalam proses peradilan tidak melakukan penyelewengan-penyelewengan yang dapat merugikan hak tersangka/terdakwa.

32 Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana (Bandung: Mandar Maju, 1999), h. 58.

33 C.S.T Kansil, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), h. 205.

34

Erni Widhayanti, Hak-Hak Tersangka/Terdakwa Dalam KUHAP (Yogyakarta: Liberty, 1988), h. 39.

BAB III