• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

1.5. Keterbatasan Penelitian

Fokus penilitian ini hanya terbatas pada rumah tangga sektor informal yang begerak di sektor perdagangan kakilima dan keliling yang berasal dari dua kecamatan asal yaitu Kecamatan Pucuk: Desa Wanar, Desa Kesambi. Kecamatan Sukodadi yaitu Desa Siwalanrejo dan Desa Sumberagung. Dua kecamatan secara sengaja dipilih untuk mewakili fenomena migrasi sirkuler yaitu penduduk perdesaan yang berasal dari daerah selatan Kabupaten Lamongan. Para migran tersebut secara visual banyak terdapat di dua kecamatan tujuan yaitu Kecamatan Paciran dan Kecamatan Brondong (wilayah utara/pesisir Kabupaten Lamongan). Jenis migrasi yang menjadi sasaran penelitian ini hanya terbatas pada migrasi sirkuler, yaitu rumahtangga migran yang nginap (mondok) pada daerah tujuan selama lebih dari satu hari dan kurang dari 3 bulan di daerah tujuan, kemudian kembali kedaerah asal atau desa asal. Daerah tujuan atau tempat tujuan adalah Kelurahan Blimbing, Desa Paciran, Kelurahan Brondong dan Desa Sedayulawas.

2.1. Pengertian Migrasi dan Migrasi Sirkuler

Terdapat tiga komponen yang dapat mengubah kuantitas penduduk, yaitu fertilitas, mortalitas dan migrasi. Dari ketiga komponen tersebut, yang paling sulit diukur dan dirumuskan adalah migrasi. Menurut Lee (1976), migrasi adalah perubahan tempat tinggal secara permanen atau semi permanen dimana tidak ada pembatasan dan sifat tindakan tersebut sukarela atau terpaksa. Migrasi secara umum mengandung pengertian yaitu proses perpindahan individu atau bisa juga kelompok dari suatu tempat atau pun daerah ke tempat atau daerah lain dengan harapan mendapatkan sesuatu dari daerah yang dituju (Mantra, 1994). Suharso (1986) memberi pengertian migrasi sebagai suatu mobilitas penduduk secara geometris dari suatu tempat atau lokasi geografis ke tempat atau lokasi geografis lainnya melewati batas administrasi sesuatu daerah atau wilayah dengan maksud untuk mempertahankan hidup dan atau memperbaiki kehidupan, baik untuk keluarga maupun diri sendiri. Sedangkan Rusli (1986), berpendapat bahwa migrasi adalah gerak penduduk dari satu tempat ke tempat lain disertai dengan perpindahan tempat tinggal secara permanen. Arti permanen mengandung pertimbangan tentang waktu dan untuk membedakan perpindahan yang bersifat sementara (nonpermanen). Badan Pusat Statistik (BPS) menetapkan definisi migrasi lebih didasarkan pada dimensi wilayah dan waktu, yaitu perpindahan penduduk yang melmpaui batas propinnsi dengan jangka waktu lima tahun lalu (migrasi risen/mutakhir).

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, migrasi dapat disimpulkan sebagai bentuk gerak penduduk, spasial ataupun teritorial antara unit-unit geografis yang melibatkan perubahan teritorial atau tempat tinggal yaitu dari tempat asal ke tempat tujuan. Tempat asal dalam hal ini bisa meliputi daerah perdesaan atau pun perkotaan dan tempat tujuan meliputi daerah perkotaan atau pun perdesaan. Selanjutnya secara teritorial biasa dikelompokkan kedalam mobilitas desa-kota, desa-desa, kota-kota dan kota-desa. Menurut Mantra (1994) mobilitas penduduk terbagi menjadi dua, yaitu mobilitas penduduk vertikal dan mobilitas penduduk horizontal atau geografis. Mobilitas penduduk vertikal adalah

perubahan setatus seseorang (aktivitas pekerjaannya) dari waktu ke waktu yang lain atau pada waktu yang sama. Sedangkan yang dimaksud migrasi horizontal adalah gerak penduduk dari satu wilayah menuju kewilayah yang lain dalam jangka waktu tertentu.

Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan dalam mobilitas horizontal yaitu wilayah/ruang (space) dan waktu (time), hal tersebut sesuai dengan paradigma geografi yang didasarkan atas konsep ruang dan waktu (space and time concept). Namun sampai saat ini, para ahli belum ada kesepakatan tentang konsep ruang dan waktu untuk mendefinisikan mobilitas penduduk. Biro Pusat Statistik menggunakan propinsi sebagai batasan ruang dan enam bulan sebagai batasan waktu untuk mengatakan seseorang sebagai migran. Peneliti lain: Singanetra-Renald, Mukherji, Chapman (dalam Mantra,1994) menggunakan batasan ruang dan waktu yang lebih sempit, sehingga pada akhirnya sepakat bahwa makin sempit batasan ruang dan waktu yang digunakan makin banyak terjadi gerak penduduk di antara wilayah tersebut.

Mobilitas penduduk horizontal terdiri dari mobilitas penduduk permanen dan nonpermanen (mobilitas penduduk sirkuler). Mobilitas penduduk nonpermanen terbagi menjadi dua yaitu sirkulasi dan komutasi. Mobilitas penduduk jenis sirkulasi dalam penelitian ini disebut dengan migrasi sirkuler adalah gerak penduduk melintasi batas-batas administratif suatu wilayah untuk bekerja lebih dari satu hari, atau kurang dari satu tahun, serta tidak ada “niat” menetap didaerah tujuan. Sedangkan gerak perpindahan penduduk melintasi batas-batas administratif suatu wilayah untuk bekerja sedikitnya enam jam atau sedikitnya kurang dari satu hari serta kembali pada hari itu juga, dan tidak ada “niat” nginap di daerah tujuan disebut komutasi. Lebih jelas, Mantra berpendapat bahwa mobilitas penduduk sirkuler adalah gerak penduduk dari satu wilayah menuju wilayah lain dengan tidak ada “niatan” menetap untuk selamanya di daerah tujuan.

Seseorang dikatakan melakukan migrasi apabila melakukan pindah tempat tinggal secara permanen (untuk jangka waktu minimal tertentu) dengan menempuh jarak minimal tertentu atau pindah dari satu unit geografis lain. Unit geografis sering juga disebut unit administratif pemerintahan baik berupa negara maupun bagian dari negara-negara diatur menurut tata aturan administratif yang

Sedangkan orang yang melakukan migrasi disebut migran. Standing (1991 dalam Sri Wahyuni, 2003) menyatakan bahwa, banyak sensus menetapkan bahwa migran adalah mereka yang berpindah dalam masa antarsensus dan dalam masa sensus kedua tinggal di wilayah yang tidak sama dengan wilayah tempat tinggal pada waktu sensus pertama. Oleh karena itu seseorang disebut sebagai migran ada kemungkinan telah melakukan migrasi lebih dari satu kali (Rusli, 1984). Menurut Alatas dan Edi (1992) secara umum menyebutkan beberapa jenis migran, migran kembali, migran semasa hidup (life time migran), migran total dan migran risen. Migran semasa hidup ialah orang-orang yang pada saat pencacahan tidak bertempat tinggal ditanah atau tempat kelahirannya. Migran kembali adalah orang yang kembali ketempat kelahirannya setelah sebelumnya pernah berpindah ketempat lain atau dengan kata lain bisa disebut dengan migran sirkuler. Sedangkan migran total yaitu orang yang pernah bertempat tinggal ditempat lain (selain tempat kelahirannya), sehingga migrasi total meliputi migran semasa hidup dan migran kembali. Jumlah migran total dikurangi migran kembali merupakan migran semasa hidup. Migran risen/mutakhir adalah orang-orang yang akhir-akhir ini melakukan perpindahan, akhir-akhir ini dapat diartikan dalam waktu satu tahun terakhir ini atau lima tahun terakhir ini dan seterusnya. Dalam kemungkinan bila lima tahun terakhir, maka migran risen/mutakhir adalah orang/mereka yang pada saat pencacahan propinsi tempat tinggal sekarang berbeda dengan propinsi tempat tinggal lima tahun yang lalu.

Lebih lanjut, terdapat migrasi yang dilakukan atas keinginan sendiri dan atas keinginan diluar pribadi yang sering disebut transmigrasi. Sedangkan pada umumnya jenis migrasi digolongkan menjadi dua yaitu migrasi internal dan migrasi internasional. Seorang melakukan migrasi dikatakan sebagai migran masuk bila dilihat dari daerah tujuan, dan dikatakan migran keluar bila dilihat dari daerah asal. Apabila dalam suatu daerah pada suatu wilayah negara jumlah migrasi masuk lebih banyak dari dari migrasi keluar berarti dalam daerah yang bersangkutan terdapat migrasi masuk net. Dan sebaliknya bila migrasi keluar neto bila di daerah tersebut jumlah migrasi keluar lebih banyak dari migrasi masuk ( Rusli, 1984).

2.2. Migrasi Sirkuler dan Rumahtangga Migran Sirkuler

Pengertian migrasi sirkuler sebagaimana yang dikatakan Alatas dan Edi (1992), adalah jenis mobilitas penduduk yang dipilih seseorang atau kelompok dengan maksud untuk tidak menetap di daerah tujuan dan pada waktu tertentu tetap kembali ke daerah asal. Migrasi sirkuler menurut Mantra (1994) adalah gerak penduduk dari sutu wilayah menuju ke wilayah lain dengan tidak ada niatan menetap di daerah tujuan. Dari kedua pengertian tersebut terlihat tidak ada batasan waktu dan jarak untuk keluar dari daerah asal, tetapi kedua pengertian tersebut sepakat menekankan pada kata “niatan” yang membedakan dari pengertian migrasi permanen. Dengan demikian dapat disimpulkan pengertian migrasi sirkuler adalah gerak penduduk nonpermanen seseorang/mereka dalam waktu lebih dalam sehari tetapi kurang dari enam bulan.

Lebih lanjut, Mantra juga berpendapat bahwa seseorang cenderung melakukan mobilitas apabila kebutuhannya di daerah asal kurang dapat terpenuhi. Dengan demikian keputusan untuk memilih migrasi adalah merupakan pertimbangan ekonomi yang rasional (Todaro, 2003).

Tujuan utama para migran pada umumnya adalah pemenuhan kebutuhan rumahtangga di daerah asal, akan tetapi adanya ikatan kekerabatan antar keluarga yang kuat di sebagian masyarakat seringkali mempengaruhi proses keputusan mobilitas penduduk. Sehingga, migran dapat dengan arif memutuskan pada jenis mana mereka memilih bentuk mobilitas, tentunya migran akan mempertimbangkan bentuk mobilitas yang optimal yang dapat mencukupi kebutuhan keluarganya. Mencukupi kebutuhan dalam hal ini meliputi kebutuhan lahiriyah (makanan, pakaian dan tempat tinggal) dan kebutuhan batiniyah (pendidikan, kasihsayang keluarga, dst.). Atas dasar dua pertimbangan tersebut akan menentukan memilih jenis mobilitas, termasuk keputusan memilih jenis mobilitas sirkuler.

Sebagian masyarakat terutama masyarakat perdesaan di Pulau Jawa memilih jenis migrasi nonpermanen (sirkulasi) dianggap lebih efektif dalam memenuhi dua kebutuhan yang manusiawi tersebut. Dengan demikian, penyertaan keluarga ke daerah tujuan tentunya juga diputuskan dengan

sirkuler bertahap dalam prosesnya. Ketika tingkat pendapatan migran didaerah tujuan sudah mencukupi, secara bertahap migran yang sendirian akan mengikut sertakan keluarganya kedaerah tujuan, sebagai tanda di daerah tujuan mengalami tingkat perbaikan dari kondisi awal. Dengan demikian, rumahtangga migran sirkuler atau migran kembali adalah sanak saudara atau “kaum kerabat” yang kembali ketempat kelahirannya (daerah asal) setelah sebelumnya pernah berpindah ketempat lain (daerah tujuan).

2.3. Faktor-Faktor Migrasi Sirkuler

Menurut Lee (1991) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi orang dalam mengambil keputusan untuk bermigrasi dan mempengaruhi proses migrasi adalah: (1) Faktor-faktor dari daerah asal (Faktor daya dorong/push factors, faktor daya tarik /pull factors dan faktor netral/neutral factors), (2) Faktor-faktor yang ada di daerah tujuan (Faktor daya dorong/push factors, faktor daya tarik /pull factors dan faktor netral/neutral factors), (3) Faktor-faktor rintangan dan (4) Faktor-Faktor-faktor pribadi. Faktor-Faktor-faktor tersebut diatas terlihat dalam Gambar 1. Sebagai tanda + (positif), berarti menarik atau juga biasa disebut faktor yang mengikat seseorang untuk menetap di daerah tujuan. Tanda negatif (-) berarti mendorong seseorang untuk pindah dari daerah asal, dan tanda 0 berarti netral, faktor yang bersifat netral secara relatif pada dasarnya tidak berpengaruh terhadap pengambilan keputusan untuk bermigrasi. Kendati demikian terdapat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh sama atau berbeda terhadap seseorang. Kondisi tersebut disebabkan adanya perbedaan sikap dari calon migran terhadap faktor-faktor tersebut. Namun demikian terlihat beberapa faktor yang menimbulkan reaksi yang sama pada beberapa pribadi calon migran terhadap faktor-faktor tersebut, baik kondisinya didaerah asal maupun didaerah tujuan.

Gambar 1 Faktor daerah asal dan daerah tujuan serta penghalang antara dalam migrasi

+ – + 0

–+ 0– +

– 0 – +

0– +0 +

+ – 0 +

0– +0 +

+ 0 – +

0 – + 0–

Penghalang Antara

Simbol (+,

, 0) adalah merupakan simbol faktor penarik, pendorong dan netral yang berasal di daerah asal dan daerah tujuan. Maksud pengertian ini tergantung pada persepsi masing-masing individu terhadap faktor-faktor tersebut. Selain faktor penarik, pendorong dan netral, masih ada faktor penghalang atau perintang antara. Faktor penghalang antara dalam kondisi tertentu relatif mudah diatasi, namun terkadang juga relatif sulit diatasi. Faktor-faktor pribadi antara lain; persepsi seseorang tentang daerah asal dan tujuan, kepekaan pribadi atau individu yang sangat mempengaruhi penilaian tentang keadaan daerah asal dan tujuan. Demikian juga dengan informasi yang tersedia, membawa pengaruh dalam pengambilan keputusan untuk melakukan migrasi.

Pengambilan keputusan bermigrasi, salah satunya dipengaruhi oleh faktor lemahnya kualitas sumberdaya manusia yang ada, disamping rasa keterikatan dengan keluarga didesa asal dan kemauan keras dalam mencoba sesuatu yang baru atau yang termasuk dalamm motivasi diri dalam mencoba hal baru. Dengan demikian, ketika pengambilan keputusan bermigrasi sudah terlaksana di daerah tujuan sebagian besar para migran mengenal dan mempunyai ikatan sosial yang kuat antar sesama migran. Mulder (1978) mengatakan bahwa diantara sesama migran sebenarnya terdapat ikatan sosial yang kuat didaerah tujuan. Kadang-kadang migran membentuk kongsi-kongsi atau persatuan antar sesama migran berdasarkan kesamaan daerah, asal daerah maupun idiologinya.

Ketika para migran mengambil keputusan untuk melakukan migrasi dalam benak mereka sudah tersusun rencana bahwa nantinya didaerah tujuan akan mendapat pekerjaan dan penghasilan sesuai yang diinginkan mereka. Kebanyakan mereka tidak mengetahui bahwa lapangan pekerjaan dan jenis pekerjaan di daerah tujuan (Kota) kebanyakan masuk ke sektor moderen.

Mobilitas tenaga kerja pedesaan ke daerah perkotaan antara lain adalah karena kebijakan pembangunan yang berkembang cenderung urban-bias, tidak berpihak atau bahkan mengabaikan daerah pedesaan, serta penerapan mekanisasi pertanian sebelum waktunya dan menyempitnya lahan pertanian akibat pertumbuhan penduduk dan konversi lahan pertanian. Todaro (2003), berpendapat bahwa keputusan untuk melakukan migrasi merupakan suatu keputusan yang telah dirumuskan secara rasional, para migran tetap saja pergi meskipun mereka mengetahui tingginya tingkat pengangguran di daerah-daerah

tujuan, kerangka sistimatis dari pendapat ini dapat ditunjukkan dalam Gambar 2 yang menunjukkan skema analisis keputusan bermigrasi menurut Derek Byerlee dalam Todaro (2003).

Keinginan mereka untuk pindah kekota adalah untuk mencari pekerjaan dengan harapan besar bahwa tingkat upah atau penghasilan yang akan didapat di perkotaan akan lebih besar. Walaupun potensi dan daya dukung perkotaan sudah tidak mampu menghasilkan upah atau penghasilan yang seimbang dengan kebutuhan migran, karena kapasitas dan daya dukung perkotaan yang cenderung melemah akibat overpopulation. Namun migran yang datang tetap saja tertarik, dengan segala daya dan upaya mereka menggunakan informasi dan jaringan sosial dari kaum kerabat yang sudah terlebih dahulu bermigrasi. Jaringan sosial yang digunakan migran dalam studi ilmu sosial sering disebut modal sosial (social capital) dalam hal ini dapat diartikan sebagai modal yang memperlancar keputusan untuk menjadi migran sirkuler.

Modal sosial merupakan jaringan antar orang-orang yang saling berinteraksi dalam satu kepentingan yang didalamnya terdapat unsur kepercayaan yang mampu megurangi biaya transaksi. Dalam kenyataannya ikatan kekerabatan yang kuat akan mampu menciptakan ikatan sosial, ikatan batin antar sesama migran maupun ikatan yang kuat terhadap daerah asal. Begitu pula dengan keputusan bidang pekerjaan yang ditekuni oleh para migran tidak akan terlepas dari unsur kekerabatan yang ada. Seorang migran yang datang dari desa tidak akan begitu mudah untuk mendapatkan sebuah pekerjaan ketika mereka tiba di daerah tujuan, sebagian besar tidak sendirian, kebanyakan dari mereka diajak oleh ”kerabat” mereka yang telah berhasil di daerah tujuan untuk mendapatkan pekerjaan yang cocok dan menghasilkan pendapatan.

2.4. Konsep Sektor Informal dan Sektor Formal

Konsep sektor informal berasal dari makalah Hart tentang lapangan kerja perkotaan di Ghana. Hart pertama kali memperkenalkan pembagian kegiatan ekonomi kedalam sektor “informal” dan sektor “formal”. Istilah sektor informal sendiri adalah merupakan satu bentuk pengembangan dari konsep tradisional, sedangkan istilah sektor formal kurang lebih sama dengan istilah moderen Konsep sektor informal menurut Hart adalah merupakan unit usaha dengan

ciri-ciri padat karya, pengelolaan usaha bersifat kekeluargaan, tingkat pendidikan formal yang rendah, mudah dimasuki pendatang baru, sifatnya yang selalu berubah ubah dan tidak stabil (Tjiptoherijanto, 1989).

Dualisme informal dan formal ini semakin menarik peneliti studi pembangunan dalam kaitan proses industrialisasi dan urbanisasi di negara-negara berkembang, terutama seiring meluasnya kegiatan berusaha di pasar-pasar yang tidak terorganisasi di daerah perkotaan, selanjutnya lebih dikenal dengan sektor informal perkotaan. Namun, pada dasarnya sektor informal akan lebih jelas dpat dibedakan dari sektor formal jika dilihat dari aspek legalitas. Menurut ILO, pembedaan dua sektor (informal dan formal) tersebut dapat didasarkan pada aktivitas, sifat alami pasar dan perusahaan. Berkaitan dengan sektor informal, beberapa ciri yang di tulis oleh Soetjipto (1985) antara lain:

1. Pola kegiatan tidak teratur, baik dalam arti waktu, permodalan, maupun penerimaannya.

2. Tidak tersentuh oleh peraturan atau ketentuan yang ditetapkan pemerintah.

3. Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil dan diusahakan atas dasar hitungan hari.

4. Umumnya tidak mempunyai tempat usaha yang permanen dan terpisah dari tempat tinggalnya.

5. Tidak mempunyai keterikatan dengan usaha lain yang besar.

6. Umumnya dilakukan oleh dan melayani golongan masyarakat yang berpendapatan rendah.

7. Tidak membutuhkan keahlian dan ketrampilan khusus, sehingga secara luwes dapat menyerap bermacam-macam tingkat pendidikan tenaga kerja.

8. Umumnya tiap-tiap satuan usaha memperkerjakan tenaga yang sedikit dan dari lingkungan hubungan keluarga, kenalan atau berasal dari daerah yang sama.

9. Tidak mengenal sistem administrasi bank, pembukuan, perkreditan dan lainya.

diorganisasi dengan resmi, dilindungi dan tercatat dalam statistik ekonomi. Mereka yang bekerja disektor formal berada dibawah pengawasan Departemen ketenagakerjaan yang ditunjuk pemerintah dan tunduk terhadap ketentuan tentang upah, jam kerja, hak cuti, keamanan, pemutusan hubungan kerja (PHK), asuransi dan masih banyak lagi perundang-undangan lainnya.

Dalam memahami karakteristik sektor informal, akan lebih jelas jika difokuskan pada pengelolaan usaha dan hubungannya dengan pemerintah. Pembedaan tersebut diantaranya adalah:

a. Sektor Formal

Sektor formal termasuk dalam aktivitas pemerintah, dan juga berusaha disektor swasta yang secara resmi dikenli, dipelihara dan diatur oleh negara. Sektor formal dicirikan secara jelas dengan skala operasi yang relatif besar, teknik padat modal, tingkat upah dan gaji yang tinggi.

b. Sektor Informal

Dalam sektor informal, perusahaan dan individu beraktivitas diluar sistem peraturan dan kepentingan pemerintah, sehingga tidak memiliki akses terhadap institusi kridit formal dan kecukupan modal sumber daya untuk mentransfer teknologi dari luar negeri. Sehingga, banyak ditemukan pelaku ekonomi sektor ini beroperasi secara ilegal. Walaupun pengaruhnya terhadap aktivitas ekonomi relatif sama, keilegalan tidak selau merupakan konsekwensi alamiah dari keterbatasan sumber daya dan akses terhadap sektor formal.

Sampai saat ini dalam perkembangan penelitian tentang sektor informal dan sektor formal yang umumnya berkembang di perkotan, para ahli masih belum sepakat dalam mendefinisikan istilah sektor informal. Ketidak jelasan batas formal-informal juga banyak disebabkan oleh banyaknya interaksi dan keterkaitan antara kegiatan informal dan formal.

Konsep “ends-means” dari Hermando de Soto dalam Sarosa (2006) mengatakan bahwa kegiatan informal pada dasarnya dicirikan pada tujuan (ends) yang legitimate, karena untuk memenuhi kebutuhan pokok, tetapi dengan cara-cara (means) yang tidak legitimate, karena tidak memenuhi tata-aturan formal. Tetapi pada intinya terdapat kesamaan cara pandang yang perlu difahami bersama bahwa sektor informal adalah mereka yang bekerja sendiri tanpa ada

yang mempekerjakannya, bekerja sendiri dengan keluarga atau pekerja paruh waktu, dan pekerja keluarga (SEMERU).

Terlepas dari ketidak samaan dan inti dari kesamaan dualisme formal-informal yang umumnya bersifat akademik konseptual, permasalahan sangat nyata dirasakan di kota-kota negara berkembang pada umumnya dan melanda negara-negara maju pada kasus tertentu. Di Indonesia, sektor informal menjadi tumpuan kehidupan sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997. Data Sakernas 1998 misalnya, menunjukkan terjadinya peningkatan pangsa pasar informal dari 62 persen tahun1997 menjadi 65,4 persen pada tahun 1998. Pada tahun sebelumnya 1985, sektor informal memberi kontribusi terhadap kesempatan kerja 74 persen, pada tahun 1990 menjadi 71 persen. Walaupun terjadi penurunan dari tahun ke tahun. Namun, artinya sektor informal tetap menjadi penampung angkatan kerja domian bila di banding sektor formal.

Catatan tentang sektor informal dalam subsektor dalam perdagangan, misalnya perdagangan kaki lima (PKL), Priyambadha dan Soegijoko menemukan permasalahan dan potensi dari PKL di Yogyakarta yang dapat memberikan gambaran secara nyata bahwa sikap yang banyak diambil oleh pemerintahan kota dalam menghadapi fenomena sektor informal lebih menekankan pada penegakan hukum yang tidak konsisten, kurang pembinaan dan tidk manusiawi. Pada catatan studi ini ditemukan juga bahwa sistem sub-kontrak terkait sektor informal dengan sektor formal, dapat memberikan manfaat yang lebih luas bagi dua kebelah fihak dan dapat menimbulkan multiplier-effects yang positif bagi pertumbuhan ekonomi lokal.

Panennungi (2004) sepakat bahwa tingginya pertumbuhan sektor informal terkait erat dengan fenomena pengangguran di wilayah perdesaan sehingga mempengaruhi ke arah ketimpangan pendapatan antarsektor (perkotaan yang berbasis industri dan perdesaan yang berbasis pertanian) yang menimbulkan fenomena migrasi internal sampai kearah migrasi internasional. Simanjuntak (2006) berpendapat semakin meningginya persoalan migrasi, misalnya migrasi internasional (pengiriman TKW ke Timur Tengah dan Malaysia) disebabkan keterbatasan kesempatan kerja dalam negeri terutama sejak terjadinya krisis moneter tahun 1997. Keterkaitan sektor informal, sektor formal dan keterbatasan kesempatan kerja akan mempengaruhi perekonomian nasional, jika tidak

2.5. Kaitan Sektor Informal dan Materi Balik

Pada kenyataan yang terjadi, sebenarnya persoalan yang dihadapi migran di daerah tujuan lebih ditekankan pada penentuan bidang pekerjaan atau jenis usaha yang akan dijalani dan untuk mendapatkan bidang pekerjaan tersebut tidak akan terlepas dari hubungan orang-orang yang berhasil di daerah yang di tuju. Jenis dan bidang pekerjaan yang ditekuni migran lebih banyak tertampung ke sektor-sektor informal.

Dokumen terkait