• Tidak ada hasil yang ditemukan

BEKERJA UNTUK PERTAMA KALINYA

Dalam dokumen Gelombang Lautan Jiwa Sebuah Psikomemoar (Halaman 100-106)

2005

ua tahun setelah Yayan meninggal, kesunyian hati dan riuh halusinasi masih saja menyelubungi hidupku. Telingaku hanya berhenti mendengar ejekan jika aku sedang tidur. Selebihnya adalah siksaan. Terlebih-lebih di rumah, aku tak punya kawan bicara. Kakakku terlalu sibuk bekerja. Semua keponakanku, kecuali yang paling kecil, kerapkali mengataiku ‘gila’. Mereka tak pernah mau berbicara panjang-panjang denganku. Aku pikir aku harus punya jalan keluar, dan kebetulan kakakku memiliki solusinya.

Salah satu kantor pemerintahan membutuhkanoffice boyuntuk posisi yang lowong karena seorang pegawai yang lama telah mengundurkan diri. Aku melamar ke sana dan aku langsung diterima karena seorang tetanggaku merekomendasikanku. Pada hari itu juga aku mulai bekerja.

Office boydi kantor itu kebanyakan bekerja bersih-bersih pada malam hari, saat para karyawan staf sudah pulang, dan juga pada pagi hari saat para pekerja kantor belum datang. Kebanyakanoffice boydi sana menginap untuk menghemat ongkos. Gajinya demikian minim, sehingga bagi yang berkeluarga, gaji itu tidak berarti apa-apa. Untuk mencari penghasilan tambahan mereka tak bisa, sebab mereka harus bekerja secara penuh di kantor itu. Aku belum berkeluarga, bagiku gaji tak masalah, asalkan

aku mendapatkan terapi dukungan (supportive therapy) dari lingkungan kerjaku. Aku ingin meluaskan sisi sosialku.

Aku ditempatkan di Gedung A-1 tempat Deputi, para Asisten Deputi dan karyawan lainnya bekerja untuk masalah politik dalam negeri. Kebetulan, ruang office boy-ku adalah juga kantin di gedung itu. Kantin itu dimiliki oleh pasangan kerjaku yang bernama Muji. Maka selain bersih-bersih, pekerjaanku juga melayani para pembeli di kantin itu. Kantin itu sebenarnya kecil. Namun karena kantin itu posisinya strategis, maka setiap harinya ramai dikunjungi orang.

Secara perlahan-lahan aku mulai mengenal banyak orang. Hatiku senang sekali memiliki banyak kawan. Para satpam, supir, dan office boy lain menjadi kawanku. Kami berbicara apa saja mulai dari agama hingga seks bebas. Karena tekanan kawan- kawanku di sana, aku merokok. Walaupun bagiku rokok itu hambar rasanya, aku tetap melakukannya. Persahabatan jauh lebih tinggi nilainya daripada sebatang rokok. Persahabatan harus dipertahankan walaupun ada sesuatu yang “terpaksa” dilakukan. Aku ingat Yayan yang tuberkolosis. Namun bukankah lebih baik tuberkolosis tetapi punya banyak kawan daripada tidak merokok tapi hanya mengenal segelintir orang yang menyebalkan?

Aku bekerja serajin mungkin. Beberapa orang bahkan berkomentar bahwa aku “terlalu rajin”. Aku ingin menjadi pekerja yang baik. Lantai di semua ruangan di Lantai A-1 harus bersih dan tak bersisa kotoran. Aku mengepelnya tiap ada jejak sepatu yang membekas di lantai. Aku menghabiskan tenagaku untuk menjaga kebersihan di lantai itu. Belum lagi aku harus melayani para pelanggan yang membeli

di kantin. Mereka memesan mie instan, kopi atau hanya sekedar membeli rokok. Lama-kelamaan tenagaku habis terkuras untuk pekerjaan semacam itu. Aku mulai jenuh. Jujur saja, ketika aku bekerja, aku iri pada para staf di sana. Mereka dapat duduk dengan tenang, mengobrol, mengetik atau mencari referensi di internet. Sedangkan aku tiap hari harus berpeluh. Belum lagi sesaat kemudian musim penghujan datang dan lantai penuh dengan jejak kotoran dari sepatu. Aku menyediakan kardus sebagai keset agar jejak sepatu tidak membercak hingga ke dalam. Usahaku itu kadang-kadang tidak berhasil karena orang-orang yang masuk ke lantai dasar itu seringkali tidak kesetan terlebih dahulu.

Sore hari aku menyapu semua ruangan dan mengepel lantainya. Juga tidak lupa mengelap meja. Pasangan kerjaku (Muji) sibuk mengurusi kantin miliknya pada sore hari. Oleh karena itu, pada sore hingga malam aku bekerja sendirian. Aku merasa sangat letih, apalagi aku masih harus meminum Haloperidol tiga kali sehari dan Chlorpromazine sehari sekali. Tenagaku habis terkuras oleh antipsikotik dan pekerjaan.

Lantai A-1 pada malam hari lebih sepi. Aku menyukainya. Ini adalah kesukaan yang salah, aku menyadarinya. Namun naluri skizofreniaku yang menarik diri dari pergaulan mulai kambuh lagi. Kini aku benar-benar tidak tahu bagaimana menghadapinya.

Aku juga punya masalah dengan waktu tidur. Jika aku minum Chlorpromazine 100 mg, aku tertidur 12 jam sehari. Aku berkonsultasi dengan dokter di RS Marzoeki

Mahdi pada hari Sabtu (ketika libur) dan ia membolehkanku untuk hanya mengonsumsi setengah saja, yaitu 50 mg.

Setelah meminum obat pada waktu magrib, rasa kantuk mulai menyerangku segera setelah aku selesai bekerja. Semua pekerjaanku selesai pada pukul sembilan atau sepuluh malam. Aku langsung menyelonjorkan diri di sofa dan langsung pulas tertidur, karena Chlorpromazine. Aku tidur lekas-lekas agar aku bangun lekas-lekas pula. Aku harus bangun pada pukul lima subuh, dengan aktivitas awal memasak air dan menyeduh teh serta kopi untuk disuguhkan kepada para staf di lantai itu.

Walaupun sebagian besar orang di situ ramah-ramah aku tetap saja mulai sering menghindar jika mereka sedang berkerumun. Aku teringat pada kata-kata psikiaterku di Bekasi, dr. Baringin yang mendiagnosa bahwa selain paranoid aku juga menderita sosiofobia. Aku juga teringat pada kata-kata Ibu Leila Ch. Budiman saat menjawab keluhanku di rubrik psikologi Kompas yang juga mendiagnosisku dengan masalah ketakutan yang sama. Aku kecewa kepada diriku sendiri. Aku telah berupaya melawan setiap sisi penyakit jiwaku . Namun entah karena apa, ada sesuatu dalam diriku, yang selalu menggagalkannya.

Aku semakin sering menyendiri. Dan semakin lama sifat menyendiriku itu semakin jadi. Sampai pada suatu saat aku berlari ke Monas (kantorku terletak tepat di depan Monas) untuk menghindari kerumunan orang di kantin. Aku duduk dan menyendiri di taman pada jam kantor. Aku berpikir keras akan apa yang harus kulakukan untuk menghindar dari semua ini. Akhirnya aku berhasil mendapatkan jawabannya. Aku harus berpura-pura bahwa ayahku sakit keras sehingga aku mungkin dapat

beristirahat sementara untuk menenangkan diri. Aku mengatakan seperti itu di hadapan kawan-kawan kerjaku. Aku pun pamit pulang. Aku telah mendapatkan solusi. Solusi sementara.

Ke Bagian Kerumahtanggaan aku izin selama dua hari, akan tetapi aku tidak masuk selama seminggu. Kepada kedua kakakku aku berdusta bahwa halusinasiku telah menyerangku dengan hebat, padahal gejala negatiflah yang kualami. Kakakku akhirnya menganjurkan agar aku berhenti bekerja saja. Bagiku, itu sama artinya dengan kembali kepada kesendirian yang menjenuhkan. Namun setelah kutimbang- timbang, pendapat itu ada benarnya juga, aku belum mampu untuk bekerja.

Akhirnya aku mengundurkan diri dengan berdusta. Aku mengatakan kepada Muji dan kawan-kawanku yang lain bahwa aku mengundurkan diri karena harus merawat ayahku yang sakit keras. Sementara kepada tetangga yang memasukkan aku bekerja aku mengatakan apa adanya. Ia dapat memahami, karena ternyata kakaknya adalah juga penderita skizofrenia juga. Namun Muji, pasangan kerjaku, nampak kecewa atas keputusanku itu. Tapi ia tak dapat mencegahku. Mengundurkan diri dari pekerjaan adalah hak seseorang dan itu tak dapat dihalangi. Ia hanya dapat menghela nafas panjang dan berkata: “Sekali-kali datanglah bermain ke sini.” Aku mengangguk. Tapi aku pulang dengan keragu-raguan: Apakah aku telah mengambil keputusan yang benar? Apakah kondisiku akan membaik dengan kebulatan pendapatku itu?

Dalam dokumen Gelombang Lautan Jiwa Sebuah Psikomemoar (Halaman 100-106)