• Tidak ada hasil yang ditemukan

Salah satu hal yang harus diperhatikan oleh guru dalam mengajar adalah mengenal anak didik, mengetahui kemampuannya, minat dan keterbatasannya, gaya belajarnya agar apa yang diberikan dan cara penyampaian materi pelajaran dapat disesuaikan dengan keadaan anak didik. Untuk mengenali gaya belajar yang ada pada

diri peserta didik, bukan merupakan hal yang sulit karena gaya belajar seseorang merupakan salah satu dari karakteristik individu yang belajar. Dengan kata lain, gaya belajar tercermin dari pribadi dan kemampuan seseorang (Hartati, 2013).

Gaya belajar merupakan cara termudah yang dimiliki oleh individu dalam menyerap, mengatur, dan mengolah informasi yang diterima. Gaya belajar yang sesuai adalah kunci keberhasilan peserta didik dalam belajar. Dengan menyadari hal ini, peserta didik mampu menyerap dan mengolah informasi dan menjadikan belajar lebih mudah dengan gaya belajar peserta didik sendiri. Penggunaan gaya belajar yang dibatasi hanya dalam satu bentuk, terutama yang bersifat verbal atau dengan jalur auditorial, tentunya dapat menyebabkan adanya ketimpangan dalam menyerap informasi. Oleh karena itu, dalam kegiatan belajar, peserta didik perlu dibantu dan diarahkan untuk mengenali gaya belajar yang sesuai dengan dirinya sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif (Bire, et al. 2014).

Tipe gaya belajar peserta didik secara umum menurut Hartati (2013) adalah sebagai berikut:

1. Gaya belajar visual

Gaya belajar ini mengandalkan aktivitas belajarnya kepada materi pelajaran yang dilihatnya. Pada gaya belajar visual ini yang memegang peranan penting dalam cara belajarnya adalah penglihatan. Peta pikiran/konsep dapat menjadi alat yang bagus bagi para pelajar visual karena mereka belajar terbaik saat mereka mulai dengan ”gambaran keseluruhan”, melakukan tinjauan umum megenai bahan pelajaran.

2. Gaya belajar auditorial

Gaya belajar ini mengandalkan aktivitas belajarnya kepada materi pelajaran yang didengarnya. Para pelajar auditori lebih suka merekam pada kaset daripada mencatat, karena mereka suka mendengarkan informasi berulang-ulang.

3. Gaya belajar kinestetik

Gaya belajar ini mengandalkan aktivitas belajarnya kepada gerakan. Para pelajar kinestetik suka belajar melalui gerakan, dan paling baik menghapal informasi dengan mengasosiasi gerakan dengan setiap fakta. Mereka lebih suka duduk di lantai dan menyebarkan pekerjaan di sekeliling mereka.

Dengan demikian dapat disimpulkan, gaya belajar adalah cara belajar seseorang dalam memperoleh pengetahuan, menyerap informasi, cara mengingat, berpikir dan memecahkan masalah secara berbeda-beda yang berkaitan dengan pribadi masing-masing sesuai dengan lingkungan belajarnya berdasarkan tiga tipe gaya belajar, yaitu visual, auditorial dan kinestetik (Hartati, 2013).

Gaya belajar yang sesuai dapat mempengaruhi retensi peserta didik menjadi baik (Halim. 2015). Menurut Arsyad dalam Ginting et al (2014) berpendapat agar proses belajar mengajar dapat berhasil dengan baik, sebaiknya peserta didik diajak untuk memanfaatkan semua alat indranya. Dan menyatakan bahwa belajar melalui stimulus indra membuahkan hasil belajar yang lebih baik untuk tugas-tugas seperti mengingat dan mengenali kembali (Retensi).

Retensi adalah kemampuan untuk mengingat kembali materi pelajaran sampai jangka waktu tertentu sama seperti materi yang telah diajarkan pertama kalinya.

Tujuan retensi adalah menuntut peserta didik untuk mengingat apa yang sudah dipelajarinya. Retensi terfokus pada masa lalu, apabila kita mengajar dan mengases peserta didik supaya mereka mempelajari suatu pelalajaran dan mengingatnya selama sekian lama berarti fokus kita mengarah pada satu katerogit kognitif yaitu mengingat (Muhiddin, 2012).

Retensi adalah salah satu fase dalam tindakan belajar yang menekankan pada penyimpanan informasi baru yang diperoleh dan pemindahan informasi dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang. Memori jangka panjang merupakan bagian dari sistem memori di otak, sebagai tempat menyimpan informasi untuk periode waktu yang panjang. Informasi yang disimpan dalam memori jangka panjang bersifat permanen atau kemungkinan tidak hilang. Tetapi bukan berarti kelupaan tidak pernah terjadi. Lupa merupakan proses yang menyebabkan informasi hilang atau sukar diingat kembali (Juniarsih, et al. 2015).

Daya retensi yang baik merupakan salah satu kebutuhan setiap peserta didik untuk belajar secara optimal. Hal ini dikarenakan hasil belajar peserta didik di sekolah diukur berdasarkan penguasaan peserta didik atas materi pelajaran, yang prosesnya tidak terlepas dari kegiatan mengingat. Maka dengan daya ingat yang baik, peserta didik akan dapat belajar dengan mudah dan mencapai hasil yang optimal. Namun fakta yang terjadi di lapangan menunjukkan tidak setiap peserta didik memiliki daya ingat yang baik. Dalam setiap kelas misalnya, akan ditemukan peserta didik yang memiliki daya ingat baik dan ada pula yang memiliki daya ingat kurang baik. Rendahnya daya ingat peserta didik terhadap meteri pelajaran merupakan salah

satu masalah yang sering dihadapi guru. Retensi sebagai bagian dari ingatan memegang peranan penting agar dapat terjadi perubahan yang permanen dalam tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman, yaitu melalui proses belajar. Tanpa adanya retensi, proses belajar tidak mungkin terjadi, begitu pula sebaliknya. Selain itu, retensi peserta didik dapat ditingkatkan dengan cara melibatkan mereka secara aktif dalam proses pembelajaran (Simatupang, 2014).

Belajar yang baik adalah ketika peserta didik mampu menyimpan materi pelajaran dalam jangka waktu tertentu sama seperti materi yang diajarkan (Retensi). Apabila dalam proses pembelajaran peserta didik mampu mengingat materi yang diajarkan selama sekian lama berarti fokus peserta didik dalam belajar sangat baik sehingga berdampak pada hasil belajar yang baik juga (Muhiddin, 2012).

Pengukuran ingatan seseorang dapat dilakukan melalui beberapa metode, yaitu metode dengan melihat waktu atau usaha belajar (the learning method), metode mempelajari kembali, metode rekonstruksi, metode mengenal kembali (bentuk soal tes benar salah atau soal tes pilihan ganda), metode mengingat kembali (bentuk soal esai atau isian singkat), metode asosiasi berpasangan. Penelitian ini menggunakan metode mengenal kembali (recognition) dan metode mengingat kembali (recall) untuk mengukur retensi belajar peserta didik. Tes retensi dilakukan dengan interval waktu tertentu karena kekuatan retensi dapat berkurang dengan cepat setelah interval waktu tertentu. Ebbinghaus mengungkapkan bahwa semakin lama apa yang diingat itu semakin menurun atau makin kurang baik diingat. Ebbinghaus menggunakan suku-suku kata tak bermakna, rangkaian kata tak bermakna terdiri dari tiga huruf

konsonan-vokal-konsonan seperti ZAT, BOK, dan QUJ. Ebbinghaus dengan rajin menghafalkan daftar demi daftar yang berisi suku-suku kata tak bermakna dan kemudian mencoba mengingat daftar-daftar tersebut setelah 20 menit, 1 jam, 8-9 jam, 1 hari, 2 hari, 6 hari, dan 31 hari, semakin lama apa yang diingat semakin menurun atau makin kurang baik diingat (Juniarsih, et al. 2015).

Hasil yang sama juga ditunjukkan Sprenger (2011) yang menunjukkan bahwa lama interval akan mempengaruhi kekuatan retensi. Keeley menyatakan 54% materi diingat setelah 1 hari, 35% materi diingat setelah 7 hari, 21% materi diingat setelah 14 hari, dan 8% materi diingat setelah 21 hari. Hal ini berarti bahwa setelah 14 hari, peserta didik lupa hampir 90% dari informasi yang telah didapat.

Kesimpulannya kemampuan berpikir dan mengingat (Retensi) berpengaruh kuat pada keberhasilan hasil belajar peserta didik. Kemampuan berpikir membantu peserta didik menjelaskan dan menginterpretasi konsep, sehingga memungkinkan peserta didik mencapai penguasaan konsep yang lebih luas. Penguasaan konsep yang luas menjadikan peserta didik paham tentang apa yang dipelajarinya. Oleh karena itu, hasil belajar yang dicapai menjadi lebih baik (Arianovita, et al. 2015).

Dokumen terkait