• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR LAMPIRAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah pesisir memiliki kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan wilayah daratan, karena merupakan perpaduan dari daratan dan perairan, bersifat dinamik, dan rentan terhadap berbagai tekanan. Ruang daratan dan perairan di wilayah pesisir, dengan karakteristiknya masing-masing yang berbeda, saling terkait secara ekologis, ekonomi, dan sosial. Di sisi lain, wilayah pesisir memiliki beragam sumberdaya dan jasa lingkungan, sehingga cenderung dieksploitasi secara berlebihan. Oleh karena itu, secara umum di wilayah pesisir terjadi konflik pemanfaatan ruang, baik antar-sektor maupun intra-sektor, dengan masing-masing pemangku kepentingan (stakeholder) yang mempunyai kebutuhan beragam (Shui- sen et al. 2005; Liangju et al. 2010).

Konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir harus diatasi dengan penyelengaraan penataan ruang yang mampu mengakomodasi pertumbuhan ekonomi dan penduduk, serta dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Penyelenggaraan penataan ruang harus didukung oleh pelaksanaan penataan ruang yang dilandasi dengan perencanaan yang baik. Suatu perencanaan tata ruang yang baik seharusnya dapat menjadi instrumen utama dalam pengembangan suatu kawasan seperti wilayah pesisir, agar ekses dari perkembangan ekonomi dan penduduk tidak menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks (Rustiadi et al. 2009; Gangai dan Ramachandran 2010; Zacharias dan Tang 2010). Namun demikian, dari pengalaman di wilayah daratan selama ini, instrumen tata ruang belum dapat memainkan peran yang diharapkan dalam pengembangan wilayah.

Pengalaman di daratan menunjukkan bahwa kelemahan dari pelaksanaan penataan ruang untuk dapat berperan sebagai instrumen pengembangan wilayah, telah dimulai dari proses perencanaan tata ruang. Perencanaan tata ruang umumnya dilakukan hanya melalui pendekatan rasional (rational planning) tetapi tidak melibatkan pemangku kepentingan secara substansial, sehingga tahap implementasi dan pengendalian tata ruang menjadi sulit dilaksanakan (Gilliland et al. 2004; Martin dan Hall-Arber 2008; Rustiadi et al. 2009; Gangai and Ramachandran 2010). Di sisi lain dengan berlakunya UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan UU Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, perencanaan spasial di Indonesia dianggap mengalami dikotomi. Terdapat anggapan yang tidak tepat dan cenderung saling bertentangan, yaitu bahwa perencanaan spasial daratan tunduk pada rejim UU Nomor 26 tahun 2007, sedangkan perairan tunduk pada rejim UU Nomor 27 tahun 2007. Hal tersebut semakin memperumit proses perencanaan wilayah pesisir yang meliputi daratan dan perairan (Adrianto 2010). Dengan demikian, perencanaan tata ruang yang biasa dilakukan pada wilayah daratan akan semakin sulit untuk diterapkan secara efektif di wilayah pesisir.

Wilayah pesisir yang memiliki paduan karakteristik ekologis daratan dan perairan tidak dapat diakomodasi oleh perencanaan tata ruang yang umumnya bias daratan. Perencanaan komprehensif yang memadukan karakteristik daratan dan perairan merupakan prasyarat bagi pengembangan wilayah pesisir. Perencanaan tata ruang wilayah pesisir memerlukan suatu pendekatan yang mampu memadukan karakteristik ruang daratan dan perairan secara sejajar, sehingga dapat memberikan arah yang lebih baik dalam pengembangan wilayah secara berkelanjutan (Chua 2006; Liangju et al. 2010). Terlebih lagi wilayah pesisir pada umumnya mengemban berbagai kepentingan yang beragam.

Kelemahan dalam proses perencanaan tata ruang di wilayah pesisir harus diatasi melalui pendekatan perencanaan yang melibatkan para pemangku kepentingan. Pendekatan perencanaan rasional, harus dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menjadi bersifat partisipatif dengan melibatkan pemangku kepentingan. Pendekatan partisipatif akan menghasilkan suatu perencanaan konsensus (consensus planning), yang pada dasarnya dihasilkan oleh para pemangku kepentingan terhadap wilayah yang bersangkutan (Grimble 1998; Sutherland 1998; Bourgeois dan Jesus 2004; Rustiadi et al. 2009).

Wilayah pesisir yang memiliki kompleksitas tinggi sangat sulit dipahami melalui pendekatan yang bersifat parsial (Wiek and Walter 2009). Upaya pemahaman fenomena kompleks melalui pengembangan beragam model seringkali tidak konsisten, hanya bersifat parsial, tidak berkesinambungan, dan gagal memberikan penjelasan yang utuh. Pendekatan sistem yang berlandaskan pada unit keragaman dan selalu mencari keterpaduan antar komponen, dapat memberikan suatu pemahaman yang lebih komprehensif dan terpadu. Dengan

karakter yang dikenal dengan SHE (sibernetik atau berorientasi tujuan, holistik, dan efektif), pendekatan sistem menawarkan cara pandang baru dalam pemahaman fenomena dunia nyata (real world) secara lebih komprehensif (Eriyatno 1999; Marimin 2004). Sebagai suatu metode pendekatan sistem, pemodelan sistem dinamik dapat diterapkan dalam kajian sistem alam yang kompleks, yang memiliki kemampuan dalam memahami bagaimana kebijakan (policies) mempengaruhi sifat sistem. (Forrester 1998 dan 2003; White dan Engelen 2000; Sterman 2002; Deal dan Schunk 2004; Elshorbagy et al. 2005; Yufeng dan ShuSong 2005). Dengan demikian, pendekatan sistem dinamik dapat diterapkan dalam perencanaan wilayah pesisir yang kompleks, melalui intervensi sistem dalam bentuk kebijakan tata ruang.

Teluk Lampung merupakan salah satu teluk yang terletak di ujung selatan Provinsi Lampung, pada mulanya termasuk dalam wilayah administrasi Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan. Dengan adanya pemekaran Kabupaten Lampung Selatan menjadi Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Pesawaran berdasarkan Undang-undang Nomor 33 tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Pesawaran yang diundangkan pada tanggal 10 Agustus 2007, wilayah Teluk Lampung termasuk ke dalam wilayah administrasi Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kabupaten Pesawaran.

Sebagai wilayah pesisir, wilayah Teluk Lampung meliputi daratan dan perairan (laut). Wilayah tersebut merupakan lokasi beragam aktivitas yang meliputi permukiman dan perkotaan, pertanian, kehutanan dan perkebunan, industri manufaktur, perikanan tangkap dan budidaya, transportasi laut, militer, dan pariwisata (Wiryawan et al. 1999; Pemerintah Provinsi Lampung 2001; Pemerintah Provinsi Lampung 2009). Kota Bandar Lampung merupakan wilayah tersibuk dan terpadat dan berfungsi sebagai pusat kegiatan ekonomi, administrasi pemerintahan, dan pelayanan lainnya bagi wilayah Provinsi Lampung, terletak menghadap ke Teluk Lampung. Beragam aktivitas tersebut menunjukkan bahwa Teluk Lampung memiliki arti dan peran strategis bagi pengembangan wilayah Lampung secara keseluruhan. Oleh karena itu, perhatian terhadap Teluk Lampung harus diberikan lebih baik, agar kawasan tersebut dapat lebih berkembang dan menunjang pembangunan yang berkelanjutan.

Perkembangan perekonomian dan pertumbuhan penduduk yang tinggi telah memperbesar kebutuhan ruang di wilayah pesisir Teluk Lampung, baik daratan maupun perairan. Dalam kurun waktu 2004-2007, pertumbuhan ekonomi wilayah pesisir di atas 5%; dengan pertumbuhan penduduk mencapai 2,32% (BPS Lampung 2008a; BPS Bandar Lampung 2008a; BPS Lampung Selatan 2008a; BPS Pesawaran 2008a). Peningkatan kebutuhan ruang, menimbulkan ekses berupa ketidakharmonisan, ketidaknyamanan dan konflik pemanfaatan ruang antar-berbagai kepentingan. Konflik tersebut ditunjukkan oleh gejala yang meliputi pencemaran pantai, reklamasi pantai tidak terencana, kerusakan terumbu karang, dan belum adanya zonasi pemanfaatan perairan bagi bagan, kapal nelayan, alur pelayaran, keperluan militer dan pariwisata (Wiryawan et al. 1999; Damar 2003; Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung 2007).

Beberapa catatan yang menunjukkan terjadinya konflik pemanfaatan ruang di Teluk Lampung meliputi konflik antar sektor dan konflik di dalam sektor yang sama. Alokasi penggunaan ruang wilayah pesisir Teluk Lampung untuk pengembangan kota juga akan menggusur permukiman nelayan. Konflik antar nelayan di Teluk Lampung juga semakin serius, dan pada gilirannya menyebabkan kerusakan ekosistem perairan dan semakin tersisihnya nelayan kecil. Di sisi lain, pencemaran yang bersumber dari daratan dan perairan dan praktek penangkapan ikan tidak ramah lingkungan semakin memperburuk kualitas air, merusak ekosistem, menumbuhkan harmful algal blooms (HAB), menguras sumberdaya ikan, dan menurunkan potensi pariwisata di Teluk Lampung (CRMP 1998a; Wiryawan et al. 1999).

Pendekatan sistem melalui pemodelan sistem dinamik yang dipadukan dengan pendekatan partisipatif, diharapkan dapat menghasilkan perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang bersifat terpadu, komprehensif, dan mampu mengakomodasi kebutuhan para pemangku kepentingan. Dengan demikian, dapat dibangun suatu pendekatan baru bagi perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang bersifat kompleks. Sebagai suatu wilayah pesisir yang kompleks, seperti disajikan di atas, Teluk Lampung dipilih sebagai wilayah penelitian.