• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR LAMPIRAN

1.6 Kerangka Konsepsional

Secara konsepsional, penelitian dan disertasi ini dilatarbelakangi oleh kekhasan wilayah pesisir yang kompleks dan meliputi ekosistem daratan dan perairan. Dengan kompleksitasnya yang tinggi, pengelolaan wilayah pesisir harus bersifat holistik dan terintegrasi, dengan salah satu komponen kuncinya adalah perencanaan tata ruang (Dahuri et al. 2001; Tyldesley 2004; Gangai dan Ramachandran 2010). Urgensi penataan ruang merupakan bentuk intervensi positif guna meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan, atau sebagai bentuk koreksi terhadap kegagalan mekanisme pasar dalam menciptakan pola dan struktur ruang yang sesuai dengan tujuan bersama (Rustiadi et al. 2009). Oleh karena itu, perencanaan tata ruang memiliki posisi penting dalam kerangka pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Namun demkian, perencanaan tata ruang wilayah pesisir memerlukan suatu pendekatan yang mampu memadukan karakteristik ruang daratan dan perairan secara sejajar, sehingga sulit diakomodasi oleh perencanaan tata ruang yang bias daratan.

Sesuai dengan hukum geografi pertama dari Tobler (1970), yang menyatakan bahwa “Setiap hal memiliki keterkaitan dengan hal lainnya, namun yang lebih berdekatan memiliki keterkaitan yang lebih dari lainnya”. Oleh karena itu, ruang daratan dan perairan yang berbatasan langsung di wilayah pesisir akan saling terkait dan mempengaruhi secara lebih erat. Dengan demikian, paduan karakteristik ruang daratan dan perairan di wilayah pesisir harus dapat diakomodasi dalam suatu perencanaan tata ruang yang komprehensif.

Penataan ruang dan perencanaan tata ruang pada dasarnya merupakan proses "pembelajaran" yang berkelanjutan sebagai buah pengalaman manusia dan bersifat iteratif (Rustiadi et al. 2009). Dalam perkembangannya, perencanaan tata ruang tidak terlepas dari berbagai teori dan metode yang terkait dengan ilmu kewilayahan dan ekonomi wilayah, dan terus berevolusi. Teori fundamental dari ekonomi wilayah dimulai dari karya von Thünen (pada tahun 1826), yang dikenal

sebagai teori lokasi umum, dan terus berevolusi menjadi ekonomi geografi baru yang digagas Krugman (pada awal 1990-an). Di antara rentang evolusi tersebut, terdapat banyak teori yang dikemukakan dan diterapkan dalam ekonomi wilayah dan perencanaan tata ruang, antara lain: faktor pembentuk ruang dari Issard, efek menetes ke bawah dan polarisasi dari Hirschman, efek pencucian dan penyebaran dari Myrdal, kutub pertumbuhan dari Friedman, dan keterkaitan kota dan desa dari Douglas (Rustiadi et al. 2009; Fujita 2010).

Penerapan berbagai teori dalam perencanaan tata ruang, pada dasarnya hanya akan berhasil, jika dapat dipenuhinya dua kondisi yaitu (Rustiadi et al. 2009): (1) kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan; dan (2) adanya kemauan politik dan kemampuan untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun. Oleh karena itu, pengembangan metodologi dalam perencanaan tata ruang untuk dapat memenuhi dua kondisi tersebut, terutama di wilayah yang sangat kompleks seperti wilayah pesisir, menjadi penting.

Wilayah pesisir Teluk Lampung merupakan kawasan yang bernilai strategis bagi Provinsi Lampung, yang menjadi lokasi berbagai aktivitas ekonomi. Pada satu sisi wilayah pesisir Teluk Lampung tumbuh pesat secara ekonomi dan kependudukan. Di sisi lain, sebagai wilayah pesisir, Teluk Lampung bersifat rentan secara ekologis. Dengan demikian, jika tidak dijaga keseimbangan antara pengembangan ekonomi dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungannya, maka perkembangan wilayah Teluk Lampung tidak dapat berkelanjutan.

Dengan potensi dan kondisi perkembangannya, selayaknya wilayah pesisir Teluk Lampung ditetapkan sebagai kawasan strategis Provinsi Lampung. Namun sampai saat ini kawasan Teluk Lampung belum ditetapkan sebagai kawasan strategis (kawasan tertentu maupun kawasan andalan). Jika telah ditetapkan sebagai kawasan strategis, maka penataan ruangnya harus diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. Perencanaan tata ruang kawasan strategis provinsi dapat dilakukan sebagai wewenang provinsi dalam pengelolaan kawasan strategis, dan akan menjadi acuan bagi daerah kabupaten/kota di bawahnya. Klasifikasi sistem perencanaan tata ruang disajikan pada Gambar 1.

Aktivitas di wilayah pesisir Teluk Lampung mempunyai beragam ciri dan berlangsung pada kawasan dengan fungsi yang juga beragam, mulai dari fungsi lindung sampai pada fungsi budidaya. Sebagai wilayah yang terus tumbuh, maka dinamika yang terjadi akan ditentukan oleh oleh tiga komponen utama (Graham 1976 in HPS 1990; Oppenheim 1980; Chadwick 1987; Hall 1996; Fedra 2004; Gee et al. 2004; Gilliland et al. 2004; Taussik 2004; Martin dan Hall-Arber 2008) yaitu: (1) populasi (penduduk), (2) aktivitas ekonomi, dan (3) penggunaan ruang (tata ruang).

Ruang daratan dan perairan di wilayah pesisir dapat dipandang sebagai suatu sistem utuh dengan komponen utama tersebut. Ketiga komponen saling berinteraksi dan menimbulkan dinamika wilayah. Dua komponen pertama yaitu populasi dan aktivitas ekonomi merupakan komponen penyebab, sedangkan penggunaan ruang merupakan akibat dari dua komponen pertama. Penggunaan ruang hanya terjadi akibat adanya pertumbuhan populasi dan aktivitas ekonomi. Namun pada gilirannya ketersediaan ruang akan membatasi pertumbuhan ekonomi dan populasi, sebagai suatu lingkaran umpan balik negatif. Antar komponen populasi dan aktivitas ekonomi terdapat interaksi siklik yang tegas, yaitu bahwa populasi merupakan pasar produk yang mengembangkan aktivitas ekonomi, dan sebaliknya aktivitas ekonomi merupakan pasar tenaga kerja yang memberikan insentif ekonomi dan merangsang populasi untuk berkembang.

Gambar 1 Klasifikasi Perencanaan Tata Ruang (Rustiadi et al. 2009)

RTRW Nasional Fungsional

RTR Pulau / Kepulauan Rencana Tata Ruang

Wilayah (RTRW) Umum

RTRW Provinsi

RTRW Kabupaten/ Kota

RTR Kawasan Strategis Nasional

RTR Kawasan Strategis Provinsi

RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota

Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) Rencana Tata Ruang Rinci

Dinamika wilayah pesisir dapat dijelaskan melalui studi menyeluruh (holistik) dari ketiga komponen serta interaksi di antaranya yang dapat dilakukan melalui pendekatan sistem. Melalui pemodelan sistem dinamik, dapat dipelajari perilakunya secara komprehensif dan diterapkan skenario perencanaan sebagai bentuk intervensi terhadap sistem tersebut (Deal dan Schunk 2004; Wiek and Walter 2009; Faure et al. 2010).

Perencanaan wilayah pesisir perlu mengakomodasi berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan (Brown et al. 2001). Untuk itu, dibutuhkan alat analisis yang mampu mempertemukan beragam pemangku kepentingan di wilayah pesisir. Alat analisis yang berbasis pada prinsip-prinsip partisipasi, transparansi, dan, efektivitas, perlu diadopsi dalam perencanaan wilayah pesisir. Analisis prospektif partisipatif (participatory prospective analysis, PPA), memiliki karakteristik yang dapat membantu pelibatan para pemangku kepentingan dalam perencanaan, yang memenuhi tingkat partisipasi kolegiat dan interaktif (Godet dan Roubelat 1998; Bigg 1989 diacu dalam Cornwall dan Jewkes 1995; Brown et al. 2001; Bourgeois dan Jesus 2004). Dengan demikian, pendekatan sistem dinamik yang dipadukan dengan analisis partisipatif, dapat digunakan dalam perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang bersifat terpadu, komprehensif, dan partisipatif (Wiber et al. 2004; Shui-sen et al. 2005; Yufeng dan ShuSong 2005; Wiek dan Walter 2009; Liangju et al. 2010).

Terdapatnya anggapan yang tidak tepat dan cenderung saling bertentangan, yaitu bahwa perencanaan spasial daratan harus tunduk pada rejim UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan perairan tunduk pada rejim UU Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil, haruslah dapat diklarifikasi. Pada dasarnya kedua rejim perencanaan spasial tersebut tidaklah saling bertentangan, sebaliknya harus saling melengkapi. Rejim UU Nomor 26 tahun 2007 merupakan payung yang bersifat generik (sebagai lex generalis) bagi perencanaan tata ruang, dan rejim UU Nomor 27 tahun 2007 mempertegas untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki kekhasan tersendiri (sebagai lex specialis) (Adrianto 2010), seperti disajikan pada Gambar 2. Oleh karena itu, perencanaan tata ruang wilayah pesisir haruslah berangkat dari kedua rejim tersebut.

Berdasarkan kondisi khas wilayah pesisir, perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung menghendaki pendekatan yang dapat memadukan ruang daratan dan perairan, dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan. Pendekatan yang biasa dilakukan dalam perencanaan tata ruang umumnya adalah pendekatan rasional, parsial, dan baru bersifat partisipatif secara prosedural. Oleh karena itu, diajukan konsep pemikiran pendekatan sistem yang dapat memberikan pandangan keutuhan antara ruang daratan dan perairan, dan bersifat partisipatif secara substansial.

Penelitian mengenai perencanaan wilayah yang menerapkan sistem dinamik, sudah pernah dilakukan. Pendekatan sistem dinamik yang diterapkan untuk mengkaji dinamika wilayah ekologis daerah aliran sungai (DAS), menunjukkan hasil yang memuaskan (Haie dan Cabecinha 2003; Aurambout et al. 2005; Elshorbagy et al. 2005). Dalam perencanaan kota dan wilayah, pendekatan sistem dinamik dapat menunjukkan dinamika penggunaan lahan dengan sangat baik, dan sangat membantu dalam perencanaan (White dan Engelen 2000; Deal dan Schunk 2004; Yufeng dan ShuSong 2005). Demikian juga dalam perencanaan wilayah pesisir, pendekatan sistem dinamik dan analisis spasial, dapat Gambar 2 Rejim perencanaan spasial di Indonesia (Adrianto 2010)

A ra h k e l aut Pe si si r Garis pantai Non -Pe si si r Re ji m U U 2 6 / 20 07 Re ji m U U 2 7 / 20 07 A ra h k e da ra t Batas ke darat Lex specialis Lex generalis

menunjukkan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap wilayah pesisir, dan dapat diterapkan untuk kepentingan pengelolaan wilayah pesisir (Villa et al. 2002; Ramos 2004; Gangai dan Ramachandran 2010).

Dari beberapa penelitian di atas, terlihat pendekatan sistem dinamik dalam perencanaan dan pengelolaan telah menunjukkan efektivitas yang baik dalam mengkaji kompleksitas wilayah. Namun demikian, di sisi lain, aspek partisipatif yang melibatkan pemangku kepentingan di wilayah yang bersangkutan, masih kurang mendapatkan porsi yang cukup. Padahal pada dasarnya pelibatan pemangku kepentingan dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah, merupakan aspek yang sangat penting. Oleh karena itu, penelitian mengenai perencanaan wilayah pesisir yang kompleks dengan melibatkan pemangku kepentingan melalui pendekatan sistem dinamik yang dipadukan dengan analisis partisipatif, akan menjadi suatu kebaruan dan penting dilakukan.

Kebaruan (novelty) yang diajukan adalah pada penerapan metode sistem dinamik dalam perencanaan tata ruang wilayah pesisir, yang memungkinkan komponen sistem (di darat maupu n di perairan) dan interaksinya dapat dianalisis secara simultan, serta dilakukan intervensi, sehingga analisis lebih bersifat komprehensif yang memadukan daratan dan perairan; penyusunan analisis kebutuhan pemangku kepentingan dilakukan secara partisipatif; serta mengakomodasi rejim perencanaan spasial yang dilingkup dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang memadukan ruang daratan dan perairan.

Dengan demikian diharapkan perencanaan yang dihasilkan dapat lebih komprehensif dan akomodatif terhadap berbagai kepentingan, serta tidak terjadi dikotomi dalam perencanaan spasial wilayah pesisir. Ringkasan pendekatan perencanaan tata ruang yang umum dilakukan disajikan pada Gambar 3, dan pendekatan perencanaan yang diajukan pada Gambar 4. Ringkasan karakateristik pendekatan perencanaan yang diajukan disajikan pada Tabel 1, adapun perbedaan dengan metode yang umum dilakukan, secara lengkap disajikan pada Lampiran 1.

19 Persiapan:  Administratif  Kajian informasi sekunder  Teknis

Gambar 3 Pendekatan perencanaan tata ruang wilayah yang umum dilakukan (Kep. Men. Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 327 tahun 2002 tentang Penetapan 6 (Enam) Pedoman Bidang Penataan Ruang; yang telah diperbaharui dengan Per. Men. Pekerjaan Umum No. 15, 16, dan 17 tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten, dan Kota)

Pengumpulan data dan Informasi Primer dan Sekunder:  Peta-peta  Kebijakan sektoral  Kondisi lingkungan dan sumberdaya alam  Sumberdaya buatan dan prasarana/ sarana wilayah  Kependudukan dan sumberdaya manusia  Perekonomian dan sosial budaya  Kelembagaan  Data lainnya…. Analisis:  Identifikasi daerah fungsional perkotaan  Sistem pusat-pusat permukiman (perkotaan)

 Daya dukung dan daya tampung wilayah serta optimalisasi pemaanfaatan ruang

Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah: Penyusunan Konsep Pengembangan dan Pemilihan Konsep Penyusunan Rencana Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Pemberian informasi ke masyarakat Penyerapan informasi dari masyarakat Penyampaian opini dan informasi masyarakat Penyampaian sanggahan masyarakat Penetapan Peraturan Daerah

20

Kompleksitas Wilayah Pesisir: Perpaduan Ekosistem Daratan dan Perairan

Sistem dan Pemodelan Interaksi Penawaran dan

Perminataan Kebutuhan pemangku kepentingan Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir

Masukan Proses Keluaran

Komponen Sistem:  Penduduk  Ekonomi  Ketersediaan Ruang  …. S al in g B eri nt era ks i Intervensi sistem dan Skenario

Sektor dan pemangku kepentingan:  Perikanan  Pertanian  Angkutan  Pariwisata  Industri  Permukiman  Prasarana wilayah  ……… S al in g B eri nt era ks i Partisipasi substantif Keberlanjutan sistem Pemenuhan kebutuhan

Gambar 4 Pendekatan sistem perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang diajukan

Tabel 1 Karakteristik sistem perencanaan spasial yang diajukan No. Karakteristik

Perencanaan

Sistem Perencanaan yang Diajukan Dalam Penelitian

1. Aspek analisis  Ekonomi dan sektor unggulan, tidak dilakukan penekanan pada sektor tertentu;

 Sumberdaya buatan, diperjelas prasarana yang berhubungan dengan penggunaan perairan seperti pelabuhan, dan pelabuhan perikanan;  Sumberdaya alam, memberikan keseimbangan

perhatian antara sumberdaya pesisir (perairan) dan daratan;

2. Substansi rencana  Arahan struktur dan pola pemanfaatan ruang, diperjelas untuk ruang perairan;

 Arahan pengelolaan kawasan diperjelas untuk ruang perairan;

 Arahan pengembangan kawasan yang diprioritaskan, dengan keseimbangan pada ruang daratan dan perairan..

 Arahan kebijaksanaan tata guna tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya; termasuk pada sumberdaya dan jasa lingkungan pesisir.

3. Kerangka analisis  Analisis dilakukan secara holistik, dimana proyeksi pada masing-masing aspek analisis dilakukan secara simultan dengan

menggunakan analisis sistem.

4. Corak sektoral  Bebas terhadap kecenderungan sektoral, dan menekankan pada objektivitas rencana. 5. Sifat partisipatif  Dilakukan oleh parapemangku kepentingan

secara langsung dan bersama-sama melalui analisis kebutuhan.

 Penyusunan rencana merupakan hasil kerja para pemangku kepentingan.