• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

A. Latar Belakang

Seni teater merupakan sebuah proses penciptaan dari seni drama ke dalam seni pertunjukan atau “proses teater”. Sebuah proses teater keberadaanya mengacu pada “formula dramaturgi”. Harymawan (1993:1-4) mengatakan bahwa istilah “dramaturgi” itu sendiri dipungut dari bahasa Belanda “dramaturgie” berarti ajaran tentang seni drama atau teknik penulisan drama dan penyajiannya dalam bentuk teater, secara singkat bisa disebut “seni teater” (the art of the theatre). Harymawan juga menambahkan bahwa umusan atau formula dramaturgi merupakan proses yang meliputi 4M yaitu (1) Mengkhayal (dalam bentuk ide); (2) Mencipta atau menuliskan (dalam bentuk skript teks dramatik atau naskah lakon; (3) Mempertunjukan, dan (4) Menyaksikan (bisa dalam bentuk komentar, ulasan, resensi, kritik, kajian atau penelitian).

Teknik penghadiran komposisi dramatik pada pertunjukan yang menghadirkan unsur bunyi dan suara kemudian hadir dalam bentuk dramatisasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:276) dramatisasi yaitu penyesuaian cerita untuk pertunjukan sandiwara; pendramaan; (nomina); hal membuat suatu peristiwa menjadi mengesankan atau mengharukan; (nomina); pembawaan atau pembacaan puisi atau prosa secara drama. Dramatisasi secara sederhana diartikan sebagai dan keadaan masyarakat atau peristiwa yang dialami

lain dan sebagai interaksi simbolik antara penyesuaian cerita dalam hal membuat suatu peristiwa menjadi mengharukan.

Vokal, bahasa tubuh, mimik, gestur pada ranah pertunjukan menjadi penunjang dalam menyampaikan pesan sebuah cerita pada penonton. Saptaria (2006:65) memaparkan bahwa mimik merupakan penyampai pesan yang mengandalkan titik sentral pada wajah dimulai dari delikan mata, kerutan dahi, gerakan mulut, pipi, rahang, leher dan kepala secara berkesinambungan. Sejak manusia masih bayi, perubahan mimik (ekspresi) wajah dan gerak anggota tubuh merupakan alat komunikasi antara si bayi dengan masyarakat di sekitarnya.

Kemampuan vokal yang baik bagi masyarakat aktor adalah syarat utama agar bisa memainkan peran secara baik. Dengan laku, aktor dituntut untuk dapat menyampaikan informasi perannya. Juga menampilkan gagasan menjadi perwujudan watak-watak yang nyata. Alat komunikasi dalam pertunjukan berikutnya bahasa tubuh dan gestur. Bahasa tubuh (body language) merupakan alat komunikasi primitif yang sudah lama dipergunakan oleh manusia.

Bahasa tubuh merupakan “gerakan tubuh dan bagian-bagiannya yang terjadi secara spontan dan merupakan hasil olah alam bawah sadar dalam upayanya mengekspresikan perasaan dan keinginan tersembunyi di dalam hati” (Saptaria, 2006: 53). Gestur adalah gerak-gerak besar yaitu tangan, kaki, kepala, dan tubuh pada umumnya. Ekspresi gerak-gerik tubuh untuk menunjukkan emosi disebut dengan pantomim. Pantomime (bahasa latin: pantomimus, meniru segala sesuatu) adalah suatu pertunjukan teater yang menggunakan isyarat, dalam

Seni pertunjukan pantomim dikenal di dunia sebagaimana ditulis Aristoteles dalam risalahnya Poetics (Iswantara 1960:7), dikatakannya bahwa awal mulainya pantomim sudah dikenali di Mesir, India baru kemudian di Yunani dan Romawi. Soemanto (1992:1) menjelaskan pantomim sebagai istilah datang dari Yunani yang artinya “serba isyarat”. Berarti secara etimologis, pertunjukan pantomim yang dikenal sampai sekarang itu adalah sebuah pertunjukan yang tidak menggunakan bahasa verbal. Pertunjukan itu bahkan bisa sepenuhnya tanpa suara apa-apa. Jelasnya, pantomim adalah pertunjukan bisu.

Berlandaskan beberapa pengertian yang dirujuk, maka pengertian pantomimik, yaitu perpaduan ekspresi gerak-gerik wajah dan gerak-gerik tubuh untuk menunjukkan emosi yang dialami pemain. Pemahaman ini penulis rangkum dari penjelasan mimik sebagai suatu ekspresi gerak-gerik wajah (air muka) untuk menunjukkan emosi yang dialami pemain. Ekspresi wajah pemain yang sedang sedih tentu saja berbeda dengan ketika sedang marah. Pantomim yaitu ekspresi gerak-gerik tuhuh untuk menunjukkan emosi yang dialami pemain.

Dramatisasi adalah penyesuaian cerita untuk pertunjukan sandiwara; pendramaan; hal membuat suatu peristiwa menjadi mengesankan atau mengharukan; pembawaan atau pembacaan puisi atau prosa secara drama. Penulis menyimpulkan dramatisasi pantomimik adalah interaksi simbolik untuk membuat suatu peristiwa menjadi mengharukan lewat penyampaian bahasa tubuh, mimik, dan gestur.

Tontonan drama memang menonjolkan percakapan (dialog) dan gerak-gerik para pemain (aktif) di panggung. Percakapan dan gerak-gerak-gerik itu memperagakan cerita yang tertulis dalam naskah. Dengan demikian, penonton dapat langsung mengikuti dan menikmati cerita tanpa harus membayangkan. Teater sebagai tontotan drama sudah ada sejak zaman dahulu. Kelahiran bermula dari upacara keagamaan (ritual) yang dilakukan para pemuka agama, lambat laun upacara keagamaan ini berkembang, bukan hanya berupa nyanyian, puji-pujian, melainkan juga doa dan cerita yang diucapkan dengan lantang, selanjutnya upacara keagamaan lebih menonjolkan penceritaan.

Ritual merupakan “tata cara dalam upacara atau suatu perbuatan keramat yang dilakukan oleh sekelompok umat beragama, yang ditandai dengan adanya berbagai macam unsur dan komponen, yaitu adanya waktu, tempat-tempat dimana upacara dilakukan, alat-alat dalam upacara, serta masyarakat-masyarakat yang menjalankan upacara” (Agus, 2007: 95). Ritual pada dasarnya adalah rangkaian kata, tindakan pemeluk agama dengan menggunakan benda-benda, peralatan dan perlengkapan tertentu, ditempat tertentu dan memakai pakaian tertentu pula. Begitu halnya dalam ritual upacara kematian, banyak perlengkapan, benda-benda yang harus dipersiapkan dan dipakai. Ritual atau ritus dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan berkah atau rezeki yang banyak dari suatu pekerjaan. Seperti upacara menolak bala dan upacara karena perubahan atau siklus dalam kehidupan manusia seperti kelahiran, pernikahan dan kematian.

Salah satu tokoh antropologi yang membahas ritual adalah Victor Turner.1. Ia meneliti tentang proses ritual pada masyarakat Ndembu di Afrika Tengah. Menurut Turner, ritus-ritus yang diadakan oleh suatu masyarakat merupakan penampakan dari keyakinan religius. Ritus-ritus yang dilakukan itu mendorong masyarakat-masyarakat untuk melakukan dan mentaati tatanan sosial tertentu. Ritus-ritus tersebut juga memberikan motivasi dan nilai-nilai pada tingkat yang paling dalam.

Winangun (1990:11) menulis bahwa Turner menggolongkan ritus ke dalam dua bagian, yaitu ritus krisis hidup dan ritus gangguan. Pertama, ritus krisis hidup adalah ritus-ritus yang diadakan untuk mengiringi krisis-krisis hidup yang dialami manusia. Mengalami krisis, karena ia beralih dari satu tahap ke tahap berikutnya. Ritus ini meliputi kelahiran, pubertas, perkawinan dan kematian. Ritus-ritus ini merupakan tanda adanya perubahan dalam relasi sosial diantara masyarakat yang berhubungan dengan mereka, dengan ikatan darah, perkawinan, kontrol sosial.

Kedua, ritus gangguan meliputi ketidakteraturan reproduksi pada para wanita dan lain sebagainya dengan tindakan roh masyarakat yang mati.2 Roh leluhur mengganggu masyarakat sehingga membawa nasib sial. Ritual merupakan serangkaian perbuatan keramat yang dilakukan oleh umat beragama dengan

1Victor Turner lahir di Glaslow Skotlandia tahun 1920 dan meninggal tahun 1983. Ia adalah seorang ahli antropologi sosial. Ia mempelajari fenomena-fenomena religius masyarakat suku dan masyarakat modern dalam dimensi sosial dan kultural. Lihat Y.W. Wartajaya

menggunakan alat-alat tertentu, tempat, dan cara-cara tertentu pula yang mempunyai fungsi berdoa untuk mendapatkan suatu berkah.

Tentu kaitannya dengan cerita yang telah dibangun oleh masyarakat. Cerita lisan yang berkembang awalnya dari suku-suku bangsa yang belum mengenal tata tulis, pada perkembangan waktu kalangan terpelajar dengan budaya tulisnya menyebabkan cerita lisan tersebut menjadi dikenal di luar lingkungannya dan mendapatkan cara pembacaan dan penanggapan yang baru. Pertunjukan teater Indonesia tidak asing dengan kontribusi dari cerita-cerita lisan. Banyak pertunjukan teater modern dan kontemporer berawal dari cerita-cerita rakyat atau lisan, yang disampaikan melalui naskah drama atau langsung ke atas panggung pertunjukan teater.

Ritual sudah memberi kontribusi yang cukup banyak dalam penulisan naskah drama dan pertunjukan teater modern. Kisah Ulu Ambek satu dari sekian naskah teater modern yang berangkat dari ritual dari Sumatera Barat. Yulinis (2015:24) memaparkan bahwa Ulu Ambek sebagai ritual yang berbentuk tarian bahkan telah disadur ke dalam naskah teater dan dipelajari di ISI Padangpanjang.

Berdasarkan tahap kelisanan yang disampaikan oleh Ong. Walter J Ong membahas soal kelisanan dalam bukunya “Orality and Literacy: Technologizing

of the Word”.3

Namun ia tidak hanya membedakan kelisanan dan penulisan (keberaksaraan) secara sederhana; bahwa kelisanan tidak tertulis sementara penulisan adalah segala bentuk yang tertulis. Pembedaan ini sering dilakukan para

sarjana yang fokus pada ideologi. Mereka yang sangat memperhatikan teks, berasumsi bahwa verbalisasi dalam bentuk oral pada esensinya sama dengan verbalisasi dalam bentuk tertulis, bedanya yang oral adalah tidak tertulis.

Ong membedakan tahap kelisanan yaitu primary orality atau tahap pertama yaitu belum tersentuh oleh tulisan.4 Cerita lisan yang terdapat di pedalaman Mentawai masih memperlihatkan ciri-ciri kelisanan Hal tersebut dapat dilihat daripola hidup sebagian besar masyarakat Mentawai hingga saat ini yang masih hidup dengan tata cara sederhana. Ciri kelisanan tahap pertama ini juga dapat dilihat dari tata cara pewarisan ilmu dari masyarakat Sikerei (dukun) kepada warisnya, yang disebut juga sebagai Sikerei baghau (Sikerei baru). Menurut Fojiano salah masyarakat warga mentawai mengatakan bahwa “ilmu dari Sikerei disampaikan dengan urai (nyanyian) dan gaot (mantra) yang kemudaian diikuti oleh si Sikerei baghau tersebut.”5

Turuk Laggai yaitu Turuk (tarian) Laggai (binatang) merupakan gambaran

dari kehidupan alam yang diamati secara seksama dan dipelajari secara turun-temurun. Turuk Laggai (tarian binatang) pada dasarnya meniru dari tingkah laku hewan yang sering dijumpai di alam tempat mereka tinggal. Biasanya tingkah laku binatang tersebut diperhatikan pada saat mereka pergi berburu dan mengerjakan tinungglu atau ladang. Gerakan menirukan binatang ini erat kaitannya dengan proses mimesis, karena ada proses mengamati oleh para Sikerei

4

Ibid.p.6.

dan berlanjut pada peniruan gerakan untuk menarik perhatian dan atau sebagai proses komunikasi antara Sikerei dan binatang yang akan ditangkap untuk ritual ini.

Pandangan Plato mengenai mimesis sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai konsep ide-ide yang kemudian mempengaruhi bagaimana pandangannya mengenai seni. Plato menganggap ide yang dimiliki manusia terhadap suatu hal merupakan sesuatu yang sempurna dan tidak dapat berubah. Ide merupakan dunia ide yang terdapat pada manusia. Ide oleh manusia hanya dapat diketahui melalui rasio, tidak mungkin untuk dilihat atau disentuh dengan panca indra. Menurut Plato dalam Bertens (1979:33) bahwa ide adalah hal yang tetap atau tidak dapat berubah, misalnya idea mengenai bentuk segitiga, ia hanya satu tetapi dapat ditransformasikan dalam bentuk segitiga yang terbuat dari kayu dengan jumlah lebih dari satu. Ide mengenai segitiga tersebut tidak dapat berubah, tetapi segitiga yang terbuat dari kayu bisa berubah.

Pandangan tersebut muncul karena mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan hanya akan menghasilkan khayalan tentang kenyataan dan tetap jauh dari „kebenaran‟. Seluruh barang yang dihasilkan manusia menurut Plato hanya merupakan copy dari ide, sehingga barang tersebut tidak akan pernah sesempurna bentuk aslinya (dalam ide-ide mengenai barang tersebut). Sekalipun begitu bagi Plato masyarakat tukang lebih mulia dari pada seniman atau penyair.

Masyarakat tukang yang membuat kursi, meja, lemari dan lain sebagainya mampu menghadirkan ide ke dalam bentuk yang dapat disentuh panca indra.

panca indra (seperti yang dihasilkan tukang), mereka oleh Plato hanya dianggap menjiplak dari jiplakan. Mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan tidak mungkin mengacu secara langsung terhadap dunia ideal.6 Hal itu disebabkan pandangan Plato bahwa seni dan sastra hanya mengacu kepada sesuatu yang ada secara faktual seperti yang telah disebutkan di muka. Bahkan seperti yang telah dijelaskan di muka, Plato mengatakan bila seni hanya menimbulkan nafsu karena cenderung menghimbau emosi, bukan rasio.

Luxemburg (1989:16) menuliskan bahwa pelopor teori mimesis lainnya yaitu Aristoteles, pelopor penentangan pandangan Plato tentang mimesis, yang berarti juga menentang pandangan rendah Plato terhadap seni. Apabila Plato beranggapan bahwa seni hanya merendahkan manusia karena menghimbau nafsu dan emosi, Aristoteles justru menganggap seni sebagai sesuatu yang bisa meninggikan akal budi.

Teew (1984:316) mengatakan Aristoteles memandang seni sebagai katharsis, penyucian terhadap jiwa. Karya seni oleh Aristoteles dianggap menimbulkan kekhawatiran dan rasa khas kasihan yang dapat membebaskan dari nafsu rendah penikmatnya. Aristoteles menganggap seniman dan sastrawan yang melakukan mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif untuk menghasilkan kebaruan. Seniman dan sastrawan menghasilkan suatu bentuk baru dari kenyataan indrawi yang diperolehnya.

Aristoteles dalam Poetic (Luxemberg 1989:17), mengemukakan bahwa sastra bukan copy (sebagaimana uraian Plato) melainkan suatu ungkapan mengenai universalia (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang menampakkan diri kacau balau masyarakat seniman atau penyair memilih beberapa unsur untuk kemudian diciptakan kembali menjadi kodrat manusia yang abadi, kebenaran yang universal. Itulah yang membuat Aristoteles dengan keras berpendapat bahwa seniman dan sastrawan jauh lebih tinggi dari tukang kayu dan tukang-tukang lainnya (idom:17).

Terdapat proses mimesis pada ritual Turuk Laggai di Mentawai. Ritual yang dilaksanakan untuk mengobati masyarakat sakit ini diselenggarakan dengan tarian yang menirukan gerakan binatang yang sering diburu oleh masyarakat Mentawai. Berupa tarian Turuk yang ikut serta menyimbolkan kehidupan serhari-hari dari masyarakat tersebut. Menirukan gerakan babi, karena babi adalah binatang buruan mereka di hutan, babi juga mereka gunakan sebagai makanan sehari-hari. Mereka percaya bahwa ketika meniru gerakan babi, maka mereka dapat dengan mudah menangkap babi.

Babi yang mereka tangkap kemudian dimasak oleh istri Sikerei sebagai persembahan kepada Sikerei yang telah mati. Persembahan ini bagi mereka adalah salah satu jembatan penghubung dan media pemanggil arwah Sikerei. Kemudian Sikerei yang melakukan ritual akan mengalami trans (kemasukan roh) sebagai tanda bahwa arwah Sikerei hadir pada ritual tersebut. Selain tarian, ada lagu yang di dendangkan bersamaan dengan alat musik pukul gajemauk sebuah ekspresi lain

Semua tarian itu memiliki makna dan arti menyatu dengan lingkungan yang mereka tempati dan memiliki kearifan dalam menjaga lingkungannya.7 Binatang yang mereka tirukan itu memang binatang yang benar ada di sekitarnya dan mereka lihat. Meski masyarakat Mentawai menjadikan binatang-binatang itu sebagai santapan, mereka juga tetap menjaga pertumbuhan dan kelestarian. Mereka harus melakukan ritual terlebih dahulu sebelum berburu monyet sesuai kepercayaan mereka.

Turuk Punen (tarian pesta) yaitu Turuk yang menyimbolkan kegembiraan

atau pesta. Turuk ini dilakukan saat mendapat hewan buruan yang sangat berharga bagi warga Mentawai, seperti babi hutan, monyet, rusa, dan penyu. Turuk ini juga bisa dilakukan saat pelantikan Sikerei yang baru, peresmian rumah yang baru dan hiburan lainnya.

Menyikapi hal di atas, pada ritual Turuk Laggai, Sikerei (dukun) yang bermain ini telah terbentuk secara alami meski demikian ketika menyaksikan rangkaian ritual ini penonton tetap dapat merasakan dramatisasi permainan. Bukan hanya pada kostum, make up, tarian, namun juga mimik, gestur serta vokal dari Sikerei ini. Berdasarkan paparan mengenai bentuk ritual Turuk Laggai penulis menemukan kecendrungan dramatisasi pantomimik pada ritual di Siberut ini.

Penelitian ini tentu berkaitan dengan bidang teater, karena penulis menggunakan teori ritual Victor Turner untuk melihat ritual pada Turuk Laggai ini. Menurut Turner (1967:87) liminalitas, merupakan konsep yang dipinjam dari Van Gennep, secara sederhana dipergunakan untuk merujuk pada ritus peralihan. Ritus peralihan sendiri terjadi untuk menandai sebuah perubahan atau peralihan tempat, keadaan, kedudukan sosial dan usia. Pelaksanaan ritus peralihan dilaksanakan dalam tiga fase, yaitu separasi atau pemisahan, margina atau peminggiran, dan agregasi.

Liminalitas disajikan tidak hanya untuk mengidentifikasi pentingnya fase di antara, tapi juga untuk memahami reaksi manusia pada pengalaman liminal yaitu; liminalitas yang membentuk kepribadian, tubuh yang tiba-tiba bergerak melawan keinginan sebab mengalami fase trance (kesurupan), serta fase dramatis tubuh harus kembali kepada kondisi semula (sebelum trance)

Dokumen terkait