• Tidak ada hasil yang ditemukan

Papua memiliki sejarah perjalanan tersendiri dibanding sekian banyak propinsi di Indonesia. Sejak resmi masuk menjadi bagian dari Republik Indonesia, pada tahun 1969, berbagai intervensi telah di lakukan di Propinsi paling ujung timur Indonesia ini, hingga kini Papua tetap menjadi daerah paling miskin, keterbelakangan dan masih di kenal dengan berbagai gejolak konflik sosial. Papua sendiri sebenarnya merupakan daerah terkaya sumber daya alam, yang di diami oleh penduduk yang tidak terlalu banyak, sekitar 2.233.530 jiwa (sensus penduduk tahun 2000), menempati daerah yang luasnya hampir empat kali lipat dari pulau Jawa. Papua dengan kekayaan alam seperti itu, semestinya masyarakat Papua bisa hidup sejaterah. Di samping, Tingkat kualitas hidup yang rendah di berbagai sektor kehidupan, seperti Sektor kesehatan, pendidikan, ekonomi dan pembangunan, menyebabkan struktur sosial di dalam masyarakat juga menjadi tidak efektif dan tidak berjalan secara normal. Keadaan seperti inilah yang memicu terjadinya berbagai konflik di Papua.

Rezim Militer Orde Baru Pemerintah telah mendukung upaya investasi Freeport di Papua dengan cara melahirkan dua unndang-undang yakni, Undang Undang No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA) dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan. Dengan dasar dua undang undang diatas, Kontrak Karya (KK) I dengan Resim Militer Orde Baru dilaksanakan pada 5 April 1967 dan berlaku selama 30 tahun, terhitung sejak eksplorasi Erstberg beroperasi pada bulan Desember. Proses penandatangan ini KK I ini ilegal karena terjadi dua tahun sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dan PBB

pun belum mengakui Papua sebagai wilayah Indonesia. Saat ini aktivitas eksploitasi dijalankan sesuai KK II yang ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991 untuk jangka waktu 30 tahun, dan dapat diperpanjang sebanyak dua kali, masing-masing 10 tahun. Namun KK II inipun mengandung unsur Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN), sebab dilakukan 6 tahun sebelum KK I berakhir, sangat tertutup, dan tidak melalui konsultasi dengan komunitas masyarakat pemilik hak ulayat.

Demi amannya bisnis Freeport, dengan tekun James R Moffet membina persahabatan dengan Presiden Soeharto dan kroninya – policy paper PBHI, merujuk laporan New York Times. “Freeport membayar ongkos-ongkos mereka berlibur, bahkan biaya kuliah anak-anak mereka, termasuk membuat kesepakatan-kesepakatan yang memberikan manfaat bagi kedua belah pihak.” Diuraikan dalam policy paper tersebut bahwa antara tahun 1998-2004 Freeport telah memberikan hampir 20 juta dolar (sekitar Rp 184 miliar) dan tambahan 10 juta dolar (sektar Rp 90 miliar) kepada jenderal, kolonel, mayor, dan kapten tentara maupun polisi, dan unit-unit militer. “Dalam waktu singkat, Freeport menghabiskan 35 juta dolar untuk membangun infrastruktur milite dan perusahaan juga memberikan para komandan 70 buah mobil jenis Land Rover dan Land Cruiser, yang diganti setiap beberapa tahun1.”

Di tahun 1994-1995 juga terjadi peristiwa kekerasan kolektif terhadap masyarakat sipil yang di duga sebagai kelompok OPM karena mengibarkan berdera Bintang Kejora dalam keadaan damai di perkampungan sekitar Tembagapura, sebagai bentuk protes pada

1

Dikutip dari Policy Paper Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Juli 2006, Tentang Freeport dan Extraterritorial Obligation.” Policy Paper itu juga memuat bahwa, “Mohammad Sadly, salah satu anggota kabinet Soeharto menyebutkan, melalui ditandatanganinya persetujuan dengan Freeport, Jakarta berharap memperoleh dukungan militer dan ekonomi, serta kebijakan politik garansi dari penguasa ekonomi terbesar dan terkuat dunia, yaitu Amerika Serikat. Disamping penghargaan politik pragmatis, kepentingan ekonomi Orde Baru merupakan factor terpenting pemicu pemberian jalan kepada Freeport untuk beroperasi di Papua Barat, padahal study kelayakan proyek ini selesai dan disetujui pada bulan Desember 1969.”

Freeport.2 Antara Januari-Mei 1996, pasukan ABRI dan 16 orang tentara bayaran (SAS, pasukan elit angkatan udara Inggris) melakukan silent operasi di Bela, Jila, Alama dan desa Ngeselema (Mapenduma) sekitar konsesi Freeport dengan maksud membebaskan sandera para peneliti asing. Akibatnya, “ada 7 perempuan diperkosa atau secara seksual dilecehkan (1 berumur 3 tahun dan 2 diantaranya berumur 11 tahun); 6 anak sekolah menjadi korban ledakan granat yang disimpan pasukan ABRI di sebuah rumah penduduk (3 diantaranya mati seketika, 2 meninggal dunia setelah dirawat dan 1 lainnya cacat seumur hidup); 4 orang dianiaya dan 2 orang lainnya ditembak dan diintimidasi. Saat operasi ini, kebun dan ternak masyarakat dimusnahkan. Karena ketakutan, banyak masyarakat menggungsi ke hutan, akibatnya sekitar 213 orang masyarakat meninggal dunia karena kekurangan bahan makanan dan sakit. Antara 9-13 Mei, ada 8 warga sipil terbunuh, 4 orang ditemukan telah menjadi mayat, 2 warga Indonesia yang disandera dibunuh3.

Peristiwa tersebut mendorong masyarakat Amungme dan beberapa kerabat suku di pegunungan tengah Papua untuk melakukan berbagai gerakan sosial politik. Salah satu tokoh Amungme yang menantang kapitalisme-imprealisme adalah Bapak Utume Kelly Kwalik. Awalnya beliau adalah seorang Guru SD, namun karena adanya pembungkaman Stigmatisasi OPM oleh TNI/Polri, maka beliau melarikan diri ke hutan untuk melawan Pemerintah dan Freeport di areal Pertambangan Eksberg dan Grasberg (tempat operasi tambang berlangsung).

Ada dua jenis gerakan yang terjadi di Kabuapaten Mimika, yaitu perlawana semu (Pseudo movement) berdasarkan motif Ekonomi oleh kelompok masyarakat Amungme melalui lembaga-

2

Uskup Jayapura, Herman Munninghof melaporkan bahwa sepanjang pertengahan tahun 1994 sampai awal 1995 telah terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh ABRI. Dimna terjadi penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan terhadap 5 orang (termasuk Mama Yospha Alomang (Oktober 1994), dan berulang terhadap 20 orang (Desember 1994). Pada 31 Mei 1995, ABRI menembak kerumunan masyarakat yang sedang beribadah di kampong Hoea hingga 11 orang tewas, diantaranya ada dua anak berumur 5 dan 6 tahun. Tidak hanya itu, terjadi juga pembumihangusan kebun dan rumah-rumah masyarakat.

3

Dilaporkan oleh Els-Ham Papua, mengacu pada laporan uskup Herman Munninghof, Di Kabupaten Mimika .

lembaga Adat dan yayasan Amungme- Kamoro dan perlawanan Nyata (Genuine Movement) berdasarkan ideologi murni. Kedua gerakan inilah yang memicu berbagai konflik di areal pertambangan PT Freeport Indonesia. Berdasarkan motif perlawanannya, justru yang terjadi adalah gerakan kelompok perlawanan semu (tidak Nampak), dimana, keterlibatan berbagai pihak menjadi pemicu konflik yang berkepanjang. Sedangkan, gerakan perlawanan murni (Nampak) justru mnjadi alasan oleh kelompok-kelompok semu untuk mecari kepentingan ekonomi.

Di satu sisi, Gerakan-gerakan perlawanan ini semakin muncul ke permukaan karena adanya protes masyarakat dan mahasiswa papua kepada PT Freeport indonesia (PTFI) dan Pemirintah Indonesia terkait dengan mekanisme hukum yang tidak berjalan. Protes tersebut juga di lakukan dengan berbagai tindakan-tindakan sosial oleh kelompok masyarakat lokal maupun oleh kelompok-kelompok mahasiswa di seluruh wilayah Indonesia. Di sisi lain, Gerakan- gerakan sosial (sosial Movenment) ini tidak akan selesai pada satu titik semata tetapi gerakan- gerakan ini akan menjadi praktek kekerasan yang besar karena Praktek kekerasan merupakan bagian dari pengalaman sebuah negeri yang mengalami transisi rezim4.

Secara Struktural, terjadinya berbagai konflik di Papua merupakan salah satu bentuk perlawanan yang di timbulkan oleh berbagai kelompok masyarakat. Tidak hanya secara individu saja melainkan juga secara kelompok baik dari kalangan aktivis, praktisi, tokoh-tokoh masyarakat adat maupun lembaga-lembaga adat. Perlawanan di lakukan karena perasaan kecewa terhadap kebijakan pemerintah Indonesia yang tidak mau memproteksi rakyatnya. Dikotomi struktural di tingkat pemerintahan antara kelas atas dan kelas bawah secara faktual telah memperkokoh hegemoni elit penguasa terhadap rakyatnya.5

4

Mark Unggar, dkk. (2005), “violence” and politicts , di kutip dalam bukuny Manan, Munafrizal, “ Gerakan Rakyat melawan Elit”. Yogyakarta, hlm.157

5

Moh.muzakki, (2001) ,Jejak-jejak perlawanan, malang : Averroes Press, hal.3

Ini bermula dari sebuah paradigma yang di bangun pemerintah tentang sistem pembangunan yang menekankan pada sektor pertumbuhan ekonomi yang di topang oleh investasi modal asing secara besar-besaran, sehingga kegiatan ekonomi yang menjadi perioritas adalah kegiatan industrialisasi menengah dan besar yang cenderung mampu mendatangkan devisa. Industri yang di kembangkan tidak berbasis atau bertumbuh pada sektor pertambangan saja tetapi juga sektor pembangunan ekonomi masyarakat namun lagi-lagi akses dan asset sumber daya alam Papua hanyalah dimiliki oleh kaum kapitalis sebagai pengusaha dan penguasa abadi6 terjadi. Konflik yang terjadi antara Masyarakat adat dan Negara di Kabupaten Mimika bukanlah hal yang baru. Sebenarnya hal ini telah di mulai sejak tahun 19777, ketika masyarakat adat kecewa dengan Pembangunan PTFI yang justru lebih banyak mengeksploitasi,

mengeksplorasi dan mengekspansi sumber daya alam masyarakat Adat di pegunngan Nemangkawi (Gunung Trikora) sehingga konflik menjadi salah satu cara yang di pilih oleh masyarakat Adat untuk menantang kaum kapital (Pemilik Modal). Menurut Marx, dalam produksi barang-barang material, ada dua kelompok yang terlibat. Pertama adalah kelompok kapitalis, mereka adalah orang-orang yang mempunyai modal (capital) dan menguasai sarana produksi sehingga mereka mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Dan yang kedua, adalah kaum proletariat atau kelompok pekerja untuk menjalankan alat – alat produksi atau bekerja untuk kapitalis8 (PT Freeport McMoran & Copper inc.)

Table 1. Kasus Perlawanan Masyarakat Adat terhadap Freeport

No. Peristiwa konflik Motif

6

Mansour Fakih , (2001), “sesat, piker teori pembangunan dan globalisasiYogjakarta: insist Press, 2001), hal.85

7

Maimunah Sitti, (2012) “ Negara Tambang dan Masyarakat Adat: Perspektif HAM dalam Pengelolahan pertambangan yang berbasis lingkungan dan kearifan lokal” wisma kalmetro Malang, hal.13

8

Kum Kriss, Ibid. Hal.24

1. Tahun 1976/1977, kelompok masyarakat adat memotong pipa tambang Freeport dan berkonflik dengan Pihak TNI/Polri karena di nilai menghalangi proses kerja sama internasinal. Ke esokan harinya bapak kepala Suku Naimun Natkime bersama 2 orang lainnya di tangkap dan dimasukan kedalam gudang kontener. Akhirnya ke 3 kepala suku diselamatkan oleh bapak Adolf Soter Zonggonau yang juga Militer pada saat itu.

Kelompok masyarakat adat (lokal) menilai bahwa Freeport masuk ke tanah adat tanpa mengetahui dan meminta izin kepada mereka sehingga pemotongan Pipa di lakukan

2. Tahun 1996/1997, kelompok masyarakat lokal (adat) kembali ricuh di tembagapura (tempat Operasi Tambang berlangsung) dengan merusak seluruh fasilitas Freeport. Kerusuhan ini di pimpin oleh Alm. Videlis Zonggonau selaku kepala suku kampung Waa pada saat itu.

Masyarakat adat merasa di rugikan oleh Pemerintah Indonesia dan Freeport terkait pengambilan Tambang dari tahun ke tahun mulai tahun 1973.

3. Pada tahun 1999/2000 terjadi penembakan di areal pertambang oleh orang tidak di kenal.

Pihak TNI/Polri menilai penembakan sengaja dilakukan oleh pihak TPN/OPM dibawah Jenderal Utume Kelly Kwalik 4. pada tahun 2000/2011 timika kembali

memanas dengan konflik yang antara

Kekecewaan masyarakat papua kepada pemerintah Indonesia

masyarakat papua dan pihak Militer Indonesia yang memprotes dengan keras keberadaan PT Freeport dan minta nuntut kemerdekaan bagi Papua Merdeka

yang lebih keberpihakan kepada Amerika Serikat yang berujung pada gerakan politik

5. Tahun 2005 Abepura Berdarah.

Situasi kota jayapura memanas ketika masa memblokade jalan dan menuntut pemerintah Indonesia untuk menutup Freeport

Masa kecewa karena hukum tidak berpihak kepada masyarakat papua

6. Tahun 2006, kota jayapura kembali memanas Karena mahasiswa papua universitas melakukan aksi ricuh yang melibatkan 4 anggota Militer meninggal dan lainnya luka-luka serta aksi penculikan terjadi di seluruh kota Jayapura.

Mahasiswa menuntut Pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas ketidak adilan dan ketidak sejateraan Bangsa Papua selama Freeport mengeksploitasi sumber daya alam Papua.

Sumber hasil wawancara dengan Bapak MelQihor Zonggonau9

Menurut Bapak Thobianus Kobogau selaku kepala suku besar Moni Kabupaten Mimika, kalau Freeport masih beroperasi di tanah papua sampai tahun 2041, maka masyarakat papua akan selalu melakukan perlawanan dengan berbagai macam cara karena sumber daya alam papua di berikan Tuhan untuk di olah melalui prosedur dan mekanisme Pemerintah Indonesia untuk menjamin Kesejateraan di bumi papua sesuai undang-undang dasar 1945 butir yang 3. Namun pemerintah lupa hal itu, justru lebih membela asset-aset perusahan yang notabene menggali tambang emas dalam jumlah yang tidak sedikit. Dan walaupun generasi orang tua sudah

9

Bapak Melqihor Zonggonau adalah anak dari mantan Veteran Militer TNI-AD Bapak Adolf Soter Zonggnau yang sekarang sudah pension dan menetap sebagai kepal seku besar suku Moni- Wolani Kabupaten Nabire Papua

meninggal pun perlawanan terhadap Freeport dan pemerintah akan terus lahir di seluruh pelosok papua10.

PT Freeport Indonesia sendiri adalah anak perusahan dari PT Freeport McMoran Copper & Gold. (FCX) yang melakukan penambangan emas dan tembaga dengan tata cara tambang terbuka di Grasberg dan tambang bahwa tanah yang masih yang mencakup daerah mimika dan tembagapura papua (MWI,1999)11 keberadaan PT.Freeport memiliki arti yang sangat penting bagi perekonomian indonesia maupun propinsi papua yaitu mempekerjakan lebih dari 18.000 karyawan tetap maupun kontrak (PTFI,2004). Disamping itu, PT Freeport juga merupakan salah satu pembayar pajak terbesar di Indonesia yaitu USS 329 juta dalam bentuk pajak dan royalty pada tahun 2003. Jumlah pajak ini merupakan jumlah yang terbesar dalam sejarah perusahan (PT.FI, 2004)12 FreepCopper & Gold Inc. McMoran masuk ke indonesia melalui kontrak karya oleh Pejabat Presiden Soeharto pada tanggal 7 April 1967, sebernarnya kontraks karya ini di pertanyakan keabsahannya oleh masyarakat Adat (Masyarakat Papua) karena mengingat antara tahun 1963 sampai tahun 1969, Papua Barat masih berstatus daerah Perselisihan Internasional.

Disisi lain,PT. Freeport adalah salah satu perusahaan tambang emas dan tembaga yang terbesar urutan ke tiga dunia yang terletak di Propinsi Papua Kabupaten Mimika, dan dimiliki oleh Freeport McMoran Coper and Gold Inc yang bertempat di New Orleans Lousiana Amerika Serikat yang kini beroperasi di atas tanah ulayat tujuh suku masyarakat adat. Perusahaan tersebut masuk ke Indonesia secara legal melalui kontrak karya pertama yang ditandatangani oleh

10

Hasil wawancara bersama Bapak Kepala Suku Moni Kabupaten Mimika pada tanggal 10 Oktober 2013 pada pukul 19.13 Wit di kediamannya jalan Perintis Timika indah

11

Tambang Grasberg adalah tambang terbesar di dunia, terletak di selatan pegunugan sudirman, pada ketinggian 4.200 meter dan dan membentang sepanjang 125 Km dari tambang hingga ke laut arafuru melintasi kawasan pantai hutan bakau, hutan sagu,hutan tropis,hutan awan sepanjang 130 km (MWI,1999 dan PTFI 2004)

12

Manfaat langsung bagi negara mencapai USS 2,3 Milyar pada tahun 1992. kontribusi langsung maupun tidak langsung menghasikan Multiplier effect bagi ekonomi indonesia seperti memicu peningkatan lapangan kerja, upah , pembelian dan kegiatan ekonomi (PTFI,2004)

Presiden Republik Indonesia yang di jabat oleh Soeharto, tepat pada tanggal 7 april 1967, dengan tujuan mensejaterahkan ekonomi rakyat yang tentunya eksploitatif di bumi cendrawasih. Kehadiran PT. Freeport McMoran di Papua-Mimika tentunya membawa berbagai macam masalah bagi masyarakat adat setempat, baik itu dalam kontrak karya maupun kebijakan negara yang lebih Pro terhadap Kapitalis- imprealis

Dalam kontrak karya ini mengatur pembagian saham dalam PTFI sebesar 81,28% untuk Freeport, 9, 36 % untuk PT IndoCopper Investama. Pembagian saham tersebut sudah muncul pertanyaan, mengingat pemerintah indonesia hanya memperoleh saham yang sangat kecil. Sebagai investor pertama sesuai dengan UU No.1 tahun 1967 tentang penanamam Modal Asing (PMA) dan UU No.11 tahun 1967 tentang pertambangan disahkan PT Freeport mampu berkontribusi dalam upaya perbaikan perekonomian masyarakat terutama bagi masyarakat papua. Sejarah masuknya PT Freeport McMoran di duga terkait dengan sejarah integrasi Papua ke Indonesia13. Ditandatanganinya kontrak karya Freeport sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) Papua menimbulkan dugaan sebagian elit masyarakat Papua bahwa Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat telah berkonspirasi menguasai tanah papua untuk kepentingan ekonomi dan politik.

Kontrak karya ini di tandatangani sebelum dilakukan Penentuan Pendapat Rakyat Papua untuk bergabung ke Indonesia. Hal ini berarti bahwa kontrak ini di buat sebelum Dunia Internasional mengakui Papua Barat menjadi bagian dari Indonesia. Fakta di papua saat ini menunjuk bahwa sebagian elit masyarakat papua integrasi Papua ke wilayah Indonesia dan terus melakukan perlawanan terhadap negara melalui pengoperasian PTFI14.

Setiap tahun Papua seakan tidak bisa luput dari konflik. Konflik kepentingan menafsirkan 13

Ngadisah, 2003 “Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Politik di Kabupaten Papua”, Yogyakarta;Pustaka, hal. 147-148

14

ibid,

sejarah masa lalu dan konflik kepentingan modal yang hendak membutuhkan jaminan keamanan15 dari negara sebagai jaminan utama suatu investasi. Konflik pembangunan antar Negara dan masyarakat adat di Kabupaten mimika bukanlah hal yang baru. Sejak masuknya PT Freeport McMoran & Copper di papua, konflik sudah terjadi di Papua. Salah satu bukti konflik adalah ketika masyarakat Adat Amungme menahan atau di cegah kelompok investor dan pewakilan negara di lembah Wa. Kelompok investor dan perwakilan negara di cegat oleh Masyarakat amungme yang di pimpin oleh kepala suku Tuarek Natkime.16 Usaha yang di lakukan masyarakat adat pada saat itu adalah menolak kaum Kapital untuk masuk menanakan saham di Kabupaten Mimika. Akan tetapi usaha itu menjadi sia-sia ketika Presiden Soeharto meresmikan kota tembagapura tahun 1973 dan menamainya kota tersebut “kota bijih”. Maksud dari pada negara mendatangkan Penanaman modal Asing atau PT Freeport McMoran & Copper di papua, di samping untuk membangun perekonomian negara juga untuk membangun pembangunan masyarakat papua yang masih primitif, demi meningkatkan kesejaterahan rakyat, namun yang terjadi justru menuai konflik.

Konflik yang terjadi kabupaten Mimika di sebabkan oleh beberapa hal diantaranya: (1) Masuknya PTFI di papua bertentangan dengan sejarah Bangsa Papua Barat dan masuknya PEPERA17 1961 – 1969 merupakan wilayah Perselisihan Internasional dan (2) KK I ( Kontrak karya pertama18) masih bermasalah.

Konflik pembangunan PTFI ini bermula dari salah seorang penjelajah bernama Jean 15

Maimunah Siti, ibid. Hal.26-27

16

Zonggonau Feliks, (2011), “ Isu pembuangan limbah tailing PTFI sebagai ancaman keamanan non tradisional (Skripsi),Universitas Muhammadiyah Malang, hal. 24

17

Penentuan Penadapat Rakyat yang bermasalah karena wilayah Irian jaya barat sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Zaman PEPERA (1961 -1963, Militer menganjam masyarakat papua dengan di wakili oleh sebagan Masyarakat, mengatasnamakan masyarakat Papua secara Umum untuk memilih kembali ke bumi pertiwi. Padahal, Irian Jaya barat sudah merdeka selama 19 hari, sejak tanggal 1 Desember 1961 secara Defacto.

18

Kontrak kerja PTFI dan Negara tidak meminta izin secara langsung pada masyarakat Adat (Pemilik Hak Ulayat), tetapi Negara mengunakan Pendekatan Militeristik untuk mengamankan wilayah Operasi PTFI di Tembagapura Papua.

jaques Dozy, yang menulis laporannya tahun 1936 mengenai sebuah gunung tembaga (ertsberg) di jajaran puncak es abadi, jayawijaya. Temuan yang kemudia sempat terbengkalai semasa perang dunia II kemudian mendorong eksplorasi lebih lanjut oleh Freeport, di pimpin oleh Forbes Wilson dan Del Flint19. Ketika wilson tiba di gunung tembaga itu tahun 1960, Ia terpesona menyaksikan kekayaan bijih tembaga yang terhampar luas di atas permukaan tanah.

Dalam laporan perjalanannya pada The Conquest Cooper Mountain20, wilson menyebutnya tentang kekayaan alam yang ajaib, yaitu proses mineralisasi di kawasan yang begitu, atau lebih dari 2000 meter diatas di atas permukaan laut. Terdiri atas sekitar 40 sampai 50 persen bijih besi, 3 persen tembaga, serta terdapat perak dan emas. Keuntungan besar membayang namun impian keuntungan besar itu sepat terkandas ketika kemudian Papua bergabung dengan Republik indonesia. Presiden Soekarno, yang anti kapitalisme Barat menentang pembangunan itu. Namun, Freeport kembali bersukacita ketika rezim baru Soeharto yang proinvestasi berkuasa.

Hasil pengesahan Undang- Undang Penanaman Modal Asing tahun 1967 tidak membawah suatu perubahan sosial, bahkan penduduk asli dari suku Amungme, Moni dan Kamoro selaku pemilik gunung-gunung emas dan tembaga itu tidak beranjak lebih baik, justru sejak tahun 1973 tiap hari 7.257 ton tailing di buang ke sungai Ajikwa yang menjadi sumber kehidupan suku-suku di sekitar timika. Tahun 1998 tailing yang dibuang menjadi 31.000 ton dan tahu 2006 melonjak menjadi 223.000 ton per hari.21 Hal inilah yang memicu kemarahan masyarakat Adat untuk melawan PTFI di Kabupaten Mimika melalui berbagai aksi, diantaranya: (1) adanya permintahan masyarakat papua untuk menutup PTFI. (2) perlawanan Masyarakat

19

Ekspedisi Tanah Papua, (2008) “ Laporan Jurnalistik KOMPAS: terasing di pulau sendiri” Jakarta: PT ,Kompas Nusantara, hal. 40

20

Ekspedisi Tanah Papua, Ibid

21

Ekspedisi tanah Papua,Ibid, hal.41

Adat melalui kerusuhan tahun 1996-1997, (3) perlawanan terhadap Negara (Militer), dan (4) aksi Mogok kerja Buruh atau Karyawan PTFI karena upah yang di terima tidak sesuai dengan jam kerja. Ketidakpuasan Rakyat Papua (masyarakat Adat) terhadap emas dan tambang raksasa Freeport-Rio Tinto bukanlah hal yang baru.

Aksi protes terhadap kekerasan militer22 bahkan telah terdengar sejak masa-masa awal perusahan itu merampas tanah orang Amungme-moni- kamoro tanpa izin. Konflik berupa protes masyarakat Adat (Papua) terhadap Negara adalah salah satu wujud menolakan kaum kapitalis di tanah papua karena Pemerintah Indonesia (Negara) dan PTFI sama–sama memelihara konflik pertambangan yang berkepanjangan di Kabupaten Mimika. Bagi, masyarakat Adat Negara (Pemerintah Indonesia) tidak bedanya dengan Kapitalisme (Paham kapital) karena lebih berpihak pada pembangunan PTFI tanpa melindungi Masyarakat Adat, Buruh dan Sumber daya Alam sesuai dengan UUD 1945 Pasal 33 ayat 323.

Protes masyarakat terhadap PTFI sudah berlangsung sejak awal berdirinya PTFI, yakni pada waktu persiapan proyek. Protes berlanjut sampai sekarang, karena konflik yang menjadi penyebab protes tidak diatasi secara tuntas. Di samping karena faktor dampak dan kebijakan PTFI yang merugikan kelompok tertentu, ada pula faktor internal yang menyebabkan protes berlangsung terus, bahkan mengarah pada gerakan sosial politik. Faktor internal yang dimaksud adalah kemajemukan masyrakat Mimika, karena beranekaragamnya pendatang dengan budaya masing-masing, masyarakat asli merasa terpojok. Kenyataan ini dihadapi dengan memperkuat

Dokumen terkait