• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan kebutuhan yang mendasar bagi peningkatan kualitas masyarakat suatu negara. Berhasil atau tidaknya suatu proses pendidikan serta tinggi rendahnya kualitas pendidikan, salah satunya yang menentukan adalah kualitas guru. Demikian pentingnya peranan seorang guru tentunya membawa pada suatu tanggung jawab untuk menjalankan profesi tersebut dengan suatu sikap profesionalisme yang tinggi. Seorang guru dalam menjalankan profesinya tidak hanya dituntut untuk mampu memberikan pengetahuan kepada anak didiknya, akan tetapi juga harus mampu menanamkan suatu nilai – nilai pendidikan dengan guru sebagai modelnya. Dalam menjalankan profesinya, seorang guru harus melakukan dua fungsi sekaligus yaitu; fungsinya secara moral yang mana ia diharuskan membimbing anak didiknya tidak hanya dengan kecerdasannya akan tetapi juga dengan rasa cinta, dan rasa tanggung jawab yang tinggi, serta menjalankan fungsi kedinasannya yaitu mendidik dan membimbing para anak didiknya agar menjadi Sumber Daya Manusia yang berkualitas dan bermanfaat bagi pembangunan bangsa. Seperti yang telah disampaikan diatas bahwa Guru adalah salah satu komponen manusiawi dalam proses belajar – mengajar yang ikut berperan dalam usaha pembentukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang

Oleh karena itu, Guru yang merupakan salah satu unsur dibidang kependidikan harus berperan serta secara aktif dan menempatkan kedudukannya sebagai tenaga profesional, sesuai dengan tuntutan masyarakat yang semakin berkembang. Dalam arti khusus dapat dikatakan bahwa pada setiap diri guru itu terletak tanggung jawab untuk membawa para siswanya pada kedewasaan atau taraf kematangan tertentu.

Kualitas guru-guru di Indonesia dari berbagai kajian memang masih dipertanyakan, seperti yang dilaporkan Fasli Djalal mantan Dirjen DIKNAS Peningkatan mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Anton Sunarto, 2008) bahwa rata-rata nasional tes calon guru PNS di SD/SLTP/SLTA dan SMK tahun 1998/1999 untuk bidang studi matematika hanya 26,27 dari interval 0-100, artinya hanya menguasai 26,27% dari materi yang seharusnya. Hal senada juga terjadi pada bidang studi lain seperti fisika (27,35%), biologi (44,96%), kimia (43,55%) dan bahasa inggris (37,57%). Nilai-nilai tersebut sangat jauh dari batas ideal yaitu minimum 75% sehingga seorang guru bisa mengajar dengan baik. Hasil lain yang lebih memprihatinkan adalah penelitian dari Konsorsium Ilmu Pendidikan (2000) yang memperlihatkan bahwa 40% guru SMP dan 33% guru SMA mengajar bidang studi lain di luar bidang keahliannya. Sekilas hasil ini menggambarkan betapa parahnya kualitas guru di Indonesia, bagaimana bisa dikatakan profesional jika penguasaan materi saja masih kurang dan justru banyak guru yang mengajar di luar bidang keahliannya. Masalah yang ada adalah bagaimana guru dapat menghadapi tantangan dalam tugasnya sebagai guru yang berkompeten jika

profesionalismenya masih dipertanyakan. Kenyataan rendahnya kompetensi dan ketrampilan guru sangat memprihatinkan , hampir 50% dari 2,6 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar di sekolah. Sementara input guru di Indonesia sangat lemah. Data Balitbang menunjuk peserta tes calon guru PNS setelah dilakukan tes bidang studi ternyata rata-rata skor tes seleksinya sangat rendah. Dari 6.164 calon guru Biologi ketika dites biologi rata-rata skornya hanya 44.96; dari 396 calon guru Kimia dites Kimia rata-rata skor yang dicapai 43,55. Dari 7.558 calon guru bahasa Inggeris rata-rata hasil tes dicapai hanya 37,57 (Anton Sunarto, 2008)

Masih rendahnya tingkat profesionalisme guru saat ini disebabkan oleh faktor-faktor dari internal guru maupun dari faktor luar, diantaranya (1) penghasilan yang diperoleh guru belum memenuhi kebutuhan hidup harian keluarga sehingga upaya menambah pengetahuan dan informasi terhambat oleh dana yang minim, (2) kurangnya minat guru untuk menambah wawasan sebagai upaya peningkatan profesionalisme tidak berpengaruh pada pendapatan yang diterimanya, (3) meledaknya jumlah lulusan sekolah keguruan tiap tahunnya, hal ini sebagai akibat mudahnya pemerintah memberikan ijin pendirian Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)

Tuntutan adanya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia terus diperjuangkan oleh berbagai kalangan masyarakat, termasuk oleh para guru sendiri melalui organisasi-organisasi guru yang ada. Masyarakat berharap

diperlukan guru-guru yang profesional dalam mendidik siswa-siswinya di sekolah.

Profesi guru menurut Undang-Undang tentang Guru dan Dosen harus memiliki prinsip-prinsip profesional seperti tercantum dalam pasal 5 ayat 1, yaitu : ”Profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip profesional sebagai berikut : (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme, (2) memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai bidang tugasnya, (3) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya, (4) mematuhi kode etik profesi, (5) memilki hak dan kewajiban dalam menjalankan tugas, (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya, (7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesinya secara berkelanjutan, (8) memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya dan (9) memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum”. Pada prinsipnya profesionalisme guru adalah guru yang dapat menjalankan tugasnya secara profesional yang memiliki ciri diantaranya ahli di bidang teori dan praktik keguruan. Guru profesional adalah guru yang menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkan dan ahli mengajarkannya

Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas 2003 pasal 35 ayat 1) disebutkan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses kompetensi lulusan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berkala. Di sini jelas bahwa guru sebagai pengelola

pembelajaran dituntut untuk mempunyai standar kompetensi dan keprofesionalan mengajar yang baik.

Penjaminan mutu guru agar tetap memenuhi standar kompetensi perlu dikembangkan berdasarkan pengkajian yang komprehensif untuk menghasilkan landasan konseptual dan empirik melalui sistem sertifikasi. Sejalan juga dengan disahkannya UU No 14 tentang Guru dan Dosen segala konsekuensinya juga mulai diberlakukan. Demikian juga dengan peningkatan kualitas guru dalam mengajar perlu kepemilikan sertifikasi profesi sebagai upaya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Meski dengan kuota yang terbatas di beberapa daerah – melalui Dinas Pendidikan setempat – saat ini sedang menawarkan kepada guru-guru yang dianggap telah memenuhi syarat untuk diajukan sebagai calon peserta sertifikasi.

Dalam Peraturan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas;2008;5) tentang Pedoman Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Melalui Penilaian Portofolio dan Peraturan Mentri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 18 tahun 2007 membagi komponen portofolio menjadi 3 unsur yaitu unsur A, B dan C. Unsur A (kualifikasi dan tugas pokok) meliputi : (1) kualifikasi akadaemik, (2) pengalaman mengajar (3) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Unsur B (pengembangan profesi) meliputi : (1) pendidikan dan pelatihan, (2) penilaian dari atasan dan pengawasan (3) prestasi akademik, (4) karya pengembangan profesi. Sedangkan Unsur C (pendukung profesi) meliputi : (1) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (2)

penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan. Jika kesepuluh komponen tersebut telah dapat terpenuhi secara obyektif dengan mencapai skor minimum 850 maka yang bersangkutan dipastikan berhak menyandang predikat sebagai guru profesional, beserta sejumlah hak dan fasilitas yang melekat dengan jabatannya. Untuk memenuhi batas minimal kelulusan 57% ternyata tidak semudah yang dibayangkan banyak permasalahan yang kemudian terjadi. Permasalahan tidak hanya terjadi pada para guru yang belum memiliki kualifikasi D4/S1 saja, yang jelas-jelas tidak dapat diikutsertakan, tetapi bagi guru yang sudah berkualifikasi D4/S1 pun tetap akan menjumpai sejumlah permasalahan.

Masalah yang dihadapi dalam proses sertifikasi menurut Santi Eka Putra (http://www.univ-ekasakti-pdg.ac.id, 7 September 2008) antara lain: (1) apakah semua guru telah memiliki kualifikasi S1/DIV? ternyata, belum seluruh guru berkualifikasi S-1 atau D/IV sebagai salah satu persyaratan dalam sertifikasi. Akibatnya dalam waktu yang panjang akan terjadi dua macam status guru yaitu yang bersertifikat dan yang tidak bersertifikat. Oleh karena itu guru-guru yang belum S-1 dan D/IV haruslah segera melanjutkan pendidikan apakah ke LPTK atau UT dan sebagainya yang relevan. Namun tentu saja hal ini tak mungkin lagi dilakukan oleh guru yang hampir mendekati pensiun. Bagi yang masih muda masih bisa melanjutkan pendidikan ke S-1, bagaimana pula dengan tugas mengajarnya? Apalagi jika tempat tugas dengan tempat kuliah berlainan kota. (2) apakah sudah cocok antara mata pelajaran yang diajarkan di kelas dengan Program Studi/Jurusan yang diperoleh guru

diwaktu mereka kuliah? Ternyata masih ada guru mengajar mata pelajaran yang tidak relevan dengan kompetensinya. Umumnya ini terjadi di daerah-daerah terpencil akibat kekurangan guru, lebih-lebih sejak reformasi atau otonomi daerah sangat sulit memindahkan guru antarkota atau kabupaten dan provinsi. (3) sudah mengertikah semua guru apa hakekat sertifikasi, bagaimana proses dan mekanismenya dan apa yang perlu disiapkan? Ternyata dalam pengisian Portofolio sebagai salah satu instrumen sertifikasi saja, banyak yang tidak lolos. Masalah timbul karena bahan yang akan diisikan dalam Portofolio itu tidak lengkap, bahkan tak ada, antara lain yang sulit bagi guru adalah komponen RP/RPP/PP, prestasi akademik, karya pengembangan profesi yang meliputi penelitian tindakan kelas, publikasi ilmiah dan sebagainya dan semua itu lengkap dengan bukti fisik yang harus dilampirkan. (4) bagi yang tidak lulus dalam penilaian Portofolio karena komponennya tidak terisi dan tidak mencapai angka minimal yang ditetapkan disebabkan tidak ada kegiatan akademik lain selain mengajar dari pagi sampai sore (karena mungkin mengajar di tempat lain atau bisnis kecil untuk menambah penghasilan) atau bukti fisik tidak ada karena tak terbiasa mem-file dukumen atau karangan ilmah tidak ada karena tak terbiasa menulis, atau penelitian karena tidak bisa karena tamatnya dulu dengan program jalur non skripsi dan sebagainya. Terhadap mereka yang tidak lolos ini diharuskan mengikuti diklat selama lebih kurang dua minggu yang diakhiri dengan ujian. Jika tidak lulus, mengulang kembali hingga tiga kali, jika pada ujian ketiga tidak lulus maka

mengajar lagi, dan berubah status menjadi pegawai administrasi.

Saat ini keempat komponen tersebut belum sepenuhnya dapat diakses dan dikuasai oleh setiap guru, khususnya oleh guru-guru yang berada jauh dari pusat kota. Frekuensi kegiatan pelatihan dan pendidikan, forum ilmiah dan momen-momen lomba akademik relatif masih terbatas. Begitu juga dengan budaya menulis, budaya meneliti dan berinovasi belum sepenuhnya berkembang di kalangan guru-guru. Semua ini tentu menyebabkan kesulitan tersendiri bagi para guru untuk meraih poin dari komponen-komponen tersebut.

Penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan forum ilmiah dan aneka lomba akademik bagi guru sudah pasti harus menjadi tanggung jawab pemerintah khususnya pemerintah daerah melalui sekolah atau Dinas Pendidikan setempat. Akan tetapi organisasi profesi, perguruan tinggi dan masyarakat setempat pun dapat turut ambil bagian untuk menyelenggarakan dan memfasilitasi kegiatan tersebut sebagai wujud nyata dari tanggung jawab dan kepeduliannya terhadap pendidikan.

Di lain pihak sambutan masyarakat tentang sertifikasi guru ini memang luar biasa, para guru sangat antusias untuk mengikuti kegiatan seleksi ini bahkan para guru yang diberi tambahan tugas sebagai kepala sekolah pun ikut mendaftarkan diri sebagai calon peserta sertifikasi terlepas apakah yang bersangkutan masih aktif atau tidak dalam menjalankan profesi keguruannya. Barangkali motivasi yang sangat kuat untuk ikut serta dalam program ini disamping keinginan memperoleh pengakuan sebagai guru profesional

tentunya juga daya tarik dengan disediakannya berbagai tunjangan profesi dan fasilitas lainnya yang cukup menjanjikan.

Uji sertifikasi guru yang telah dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia melalui penilaian portofolio menunjukkan hasil yang bervariasi. Hasil persentase ketidaklulusan sertifikasi guru di Unesa, dikemukakan oleh Amirullah (http://www.surya.co.id, 10 Oktober 2007) menunjukkan bahwa kuota 2007 meningkat dibanding hasil kuota 2006. Dalam kuota sebelumnya, ketidaklulusan mencapai 38,20 persen dari 2.244 guru. Sedangkan untuk gelombang pertama kuota 2007 tercatat 50,28 persen yang tidak lulus dari 3.791 berkas portofolio dari delapan kabupaten/kota yang disertifikasi. Bahkan sebelumnya, dari 330 guru agama hasil pendataan 2006 yang berkas portofolionya diuji oleh 40 tim assesor IAIN Sunan Ampel 19-20 September lalu, 157 orang atau 52 persen dinyatakan gagal. Jumlah tersebut belum termasuk 29 peserta yang langsung dinyatakan gugur sebelum berkasnya diuji, karena mengundurkan diri atau berkasnya tidak tercantum dalam berkas portofolio.

Data Depdiknas tantang hasil sertifikasi (Depdiknas;2008) menunjukkan bahwa Di Rayon 1 Universitas Syiah Kuala, hasil uji sertifikasi dari 2.740 guru 51,33% atau sebanyak 1.412 Guru dinyatakan lulus., 9% atau sebanyak 9 guru dinyatakan melengkapi portofolio, dan 48,14% atau sebanyak 1.319 guru dinyatakan harus mengikuti diklat profesi guru. Di Rayon 11 Universitas Negeri Yogyakarta, sertifikasi guru menunjukkan hasil yang

lulus, 33,83% atau sebanyak 1.551 guru dinyatakan harus mengikuti diklat, dan 0,26% atau sebanyak 12 guru dinyatakan harus merefisi portofolio.

Hasil uji sertifikasi di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menunjukkan bahwa sebagian besar guru telah memiliki sertifikat pendidik yang berati bahwa guru telah bekerja secara profesional sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan SDM guru sebagai tenaga pendidik. Menurut Kepala Dinas Pendidikan Bantul Drs Sudarman DN MM kepada Kedaulatan Rakyat pada tanggal 19/6/2008 menyatakan bahwa prosentase kelulusan SMA di Kabupaten Bantul sebesar 97,18% dan tertinggi di DIY. Persentase tingkat kelulusan yang tinggi mencerminkan bahwa kualitas sekolah di Kabupaten Bantul mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bantul, jumlah sekolah yang tingkat kelulusannya mencapai 100 persen untuk SMA sebanyak 14 sekolah (9 negeri dan 5 swasta) dan SMK sebanyak 2 sekolah. (http://www.kr.co.id). Dari berbagai macam problema yang muncul dan tanggapan guru tentang uji sertifikasi guru, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul, ’’Kesiapan Guru Dalam Menghadapi Program Sertifikasi Guru Dalam Jabatan’’ hal ini penting untuk dibahas sehingga dapat membantu guru dalam memahami Program Sertifikasi Guru dalam Jabatan.

Dokumen terkait