• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh: Muhammad Maksum

A. Latar Belakang

Perubahan atau amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah membawa perubahan signifikan pada sistem ketatanegaraan Indonesia, utamanya di bidang hukum. Kekuasaan kehakiman yang awalnya dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, kini dipegang pula oleh Mahkamah Konstitusi. Pengawasan hakim yang dulunya dilakukan oleh internal Mahkamah Agung yang nyaris hanya mengawasi hakim-hakim di lingkungan peradilan di bawahnya, kini diawasi juga oleh lembaga eksternal yaitu Komisi Yudisial yang mengawasi seluruh hakim, baik hakim agung ataupun hakim di lingkungan peradilan di bawah hakim agung. Untuk hakim Mahkamah Konstitusi diawasi oleh Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.

Perubahan dan penataan juga terjadi di internal Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Badan Peradilan di bawah Mahkamah Agung. Perubahan tersebut dapat dilihat dari perubahan dan amandemen terhadap peraturan yang mengatur lembaga peradilan tersebut. Perubahan tersebut juga dapat dimaknai upaya menyelaraskan badan peradilan dengan perkembangan zaman dan perubahan masyarakat. Di sisi lain, fungsi hukum juga untuk merubah masyarakat menuju keadaan yang diharapkan.1 Hanya saja, pertanyaannya adalah apakah perubahan tersebut telah memberikan kemanfaatan bagi masyarakat terutama kepastian hukum yang ditegakkan dan keadilan masyarakat. Hal ini tercermin dari masih ditemukannya disparitas putusan hukum, misalnya seorang pencuri kakao diancam hukuman 1,5 tahun, sedangkan koruptor miliaran dan bahkan triliunan rupiah diancam dengan hukuman di bawah sepuluh tahun. Bahkan menurut catatan Indonesian Corruption Watch, dihukum rata-rata di bawah dua tahun.2 Keadaan ini memunculkan pertanyaan sejauhmana hukum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.

1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 1991, hal. 45.

2 Lihat http://nasional.kompas.com/read/2012/01/06/09445281/Kejamnya.Keadilan.Sandal.Jepit.

144 Kekuasaan Kehakiman dalam UUD NRI Tahun 1945 B. Dampak Perubahan dalam Lintasan Sejarah

Perubahan atau amandemen tersebut dapat dilihat dari data berikut. Untuk Mahkamah Agung, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung telah diamanademen sebanyak dua kali melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Begitu juga dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah diamandemen dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Peraturan yang mengatur badan peradilan di bawah Mahkamah Agung juga mengalami perubahan. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara juga mengalami perubahan dua kali. Pertama dirubah melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan dan perubahan kedua melalui Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama juga mengalami perubahan dua kali, yaitu pertama dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan perubahan kedua melalui Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Hanya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang belum mengalami perubahan.

Perubahan terbanyak terjadi pada Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman. Setidaknya telah terjadi empat kali perubahan

Kekuasaan Kehakiman dalam UUD NRI Tahun 1945 145 terhadap undang-undang tersebut. Pertama kali perubahan terjadi pada tahun 1999 dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Perubahan kedua terjadi pada tahun 2004 dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan perubahan ketiga terjadi tahun 2009 melalui Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sebelum ketiga perubahan ini, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 19 Tahun 1964 pernah disahkan, namun UU tersebut dicabut melalui UU Nomor 14 Tahun 1970 karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Perubahan pengaturan tersebut terjadi dalam beberapa hal. Pertama, konsep kekuasaan kehakiman nyaris tidak ada perubahan dari UU 14 Tahun 1970 hingga ke UU 48 Tahun 2009. Hanya ada tambahan klausul Undang-Undang Dasar 1945, yang di perundangan sebelumnya hanya menyebutkan berdasarkan Pancasila. Kedua, peradilan khusus menurut pasal 13 UU 1970 dapat dibentuk di luar peradilan yang ada, namun menurut UU 2004 dan 2009 hanya dapat dibentuk dalam salah lingkungan peradilan yang empat. Pada peradilan khusus ini dapat diangkat hakim sementara (ad hoc).

Beberapa asas dan prinsip kekuasaan kehakiman tetap dipertahankan di setiap peraturan perundangan. Utamanya prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan hakim. Menjamin dan menjaga kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu pilar penting pelaksanaan demokrasi, negara hukum, konstitusioalismen, dan penegakan hak asasi manusia.3 Asas kekuasaan kehakiman tersebut cukup banyak yang menurut Arto mencapai tiga puluhan asas.4 Dalam hal kemerdekaan peradilan, lebih lanjut Manan menyebutkan lima bentuk kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan juga kemerdekaan hakim dengan melansir tulisan Frank Cross.5 Lima bentuk tersebut adalah model pemisahan kekuasaan negara (trias politica), yaitu dengan

3 Bagir Manan, “Menjaga Independensi Kekuasaan Kehakiman”, makalah seminar 12 November 2016, 5.

4 A. Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hal. 10-14.

5 Bagir Manan, op.cit., 7-10.

146 Kekuasaan Kehakiman dalam UUD NRI Tahun 1945

memisahkan antara kekuasan eksekutif, legislative, dan yudikatif. Pemisahan kekuasaan tersebut bertujuan agar pemerintahan tidak mencampuri dunia peradilan dan hakim dapat memutus perkara dengan adil (fair) dan tidak memihak (imparsial). Bentuk kedua adalah teori negara hukum yang meniscayakan adanya kemerdekaan peradilan dan hakim. Teori tekanan atau pengaruh pendapat umum yang tidak selamanya harus dianggap sebagai aspirasi keadilan merupakan bentuk ketiga. Hakim tidak boleh mengabaikan hak individu atau minoritas ketika berada dalam tekanan pendapat mayoritas. Hak-hak individu mendapatkan keadilan harus diperhatikan oleh hakim. Bentuk keempat adalah menghindari tekanan penggugat atau penuntut, terutama kepentingan dari kekuasaan. Hakim tidak boleh tertekan dengan kekuasaan yang menekan melalui kepentingan penggugat. Bentuk kelima adalah hambatan hukum berupa peraturan yang justru menindas kepentingan rakyat. Hakim terkadang terbelenggu untuk mengikuti peraturan perundangan yang membelenggu rakyat, padahal hakim harus memutus perkara dengan seadil-adilnya. Berikut ini adalah daftar asas hukum yang disebutkan dalam rentang sejarah peraturan perundangan tentang kekuasaan kehakiman.

Tabel 1

Asas Kekuasaan Kehakiman

ASAS UU 48/2009 UU 4/200 4 UU 35/1999 UU 14/1970 UU 19/1964 1. Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Pancasila 3. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan

4. Hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan X X X X X X X X X X X X X X X X X V X -

www.mpr.go.id

Kekuasaan Kehakiman dalam UUD NRI Tahun 1945 147 5. Tidak

membeda-bedakan orang. 6. Hakim dan hakim

konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. 7. Hakim harus

memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum 8. Hakim wajib

menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim 9. Tidak seorang pun

dapat dihadapkan di depan pengadilan tanpa bukti 10. Tidak seorang pun

dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian sah 11. Tidak seorang pun

dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan 12. Praduga tidak bersalah) X X X X X X X X X X X - X X X X X X X - X X X X X X - - X - X X - V - - X - X X

www.mpr.go.id

148 Kekuasaan Kehakiman dalam UUD NRI Tahun 1945 13. Ganti rugi dan

rehabilitasi 14. Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan 15. Komposisi hakim (minimal 3) 16. Kehadiran tedakwa 17. Sidang terbuka untuk umum 18. Putusan berdasarkan permusyawaratan 19. Kerja sama antarperadilan 20. Peradilan umum

yang dipakai saat pelaku terdiri dari pihak yang tunduk pada peradilan berbeda 21. Hak ingkar terhadap hakim X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X V X X X V X

Ket. X = ada, - = tidak ada, V = ada tapi berbeda

Table di atas menunjukkan bahwa asas hukum bersifat konstan dari masa ke masa perubahan peraturan kekuasaan kehakiman. Asas yang ditambahkan dalam UU 48 Tahun 2009 adalah menyangkut integritas hakim dan kewajiban hakim tunduk pada kode etik hakim. Perbedaan lainnya terletak pada penggunaan peradilan umum untuk mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh masyarakat dan pihak lain yang tunduk dengan hukum lain, seperti tentara yang dalam UU 14 Tahun 1970 dan UU 19 Tahun 1964 diadili di Peradilan Militer.

Perubahan pengaturan kekuasaan kehakiman terutama terjadi pada aspek pelaku kekuasaan kehakiman, organisasi peradilan, pengangkatan hakim dan pengawasannya, bantuan hukum, dan akses putusan. Sebelumnya kekuasaan kehakiman dilakukan oleh badan peradilan, namun setelah tahun 2004, kekuasaan kehakiman dilakukan

Kekuasaan Kehakiman dalam UUD NRI Tahun 1945 149 oleh Mahkamah dan badan peradilan di bawahnya serta oleh Mahkamah Konstitusi. Pembinaan teknis dan administrasi badan peradilan seluruhnya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sebelumnya, menurut pasal 11 UU Nomor 14 Tahun 1970, pembinaan administrasi dan keuangan dilakukan oleh pemerintah melalui departemen terkait sedangkan pembinaan teknis dilakukan oleh Mahkamah Agung. Kewenangan memberikan nasihat atau pandangan terhadap pemerintah dan lembaga negara yang sebelumnya dapat dilakukan oleh badan peradilan kemudian kewenangan tersebut diberikan kepada Mahkamah Agung. Bahkan dalam UU 19 Tahun 1964, Presiden dapat campur tangan lembaga peradilan untuk kepentingan revolusi.

Penyatuatapan tersebut sebagai buah dari reformasi yaitu dengan disahkannya UU Nomor 35 Tahun 1999. UU tersebut mengamanatkan agar seluruh peradilan menyatu ke Mahkamah Agung paling tidak dalam waktu lima tahun setelah undang-undang tersebut disahkan. Khusus untuk peradilan agama diberikan waktu yang tidak terbatas. Waktu yang tidak ditentukan bagi pengadilan agama karena peradilan tersebut memiliki kaitan sejarah yang cukup panjang di mana peradilan Islam sudah ada sejak masa kesultanan Islam di Indonesia.6

Mahkamah Konstitusi dan Komisis Yudisial merupakan lembaga di bidang hukum hasil reformasi. Mahkamah Konstitusi menurut pasal 29 UU Nomor 48 Tahun 2009 berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang. Mahkamah Konstitusi wajib juga memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

6 Lebih lanjut tentang sejarah peradilan Islam dapat dilihat Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di

Indonesia, Jakarta: Rajawali Pres, 1996, hal. 101-dst.

150 Kekuasaan Kehakiman dalam UUD NRI Tahun 1945

Adapun terkait dengan Komisi Yudisial, menurut UU 48 Tahun 2009 berwenang mengusulkan calon hakim agung ke DPR, mengawasi hakim, dan menyusun kode etik hakim bersama Mahkamah Agung.

Komisi Yudisial merupakan lembaga negara baru yang mengawasi perilaku hakim. Meski demikian gagasan untuk membentuk lembaga yang menjaga martabat hakim telah digagas sejak tahun 1968 dengan adanya gagasan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) dan pada tahun 1999 dinyatakannya Dewan Kehormatan Hakim pada UU Nomor 35 Tahun 1999.7 Dalam perjalanannya, fungsi pengawasan hakim ini sempat menjadi sumber sengketa kewenangan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.

Tabel 2

Daftar Pengaturan Tambahan dalam UU Kekuasaan Kehakiman

KETENTUAN UU 48/2009 UU 4/2004 UU 35/1999 UU 14/1970 UU 19/1964 Akses putusan X - - - -

Pusat Bantuan Hukum X - - - -

Hak didampingi Advokat

X X X X

Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa

X - - - -

Tabel di atas membuktikan bahwa masyarakat berhak mengakses putusan pengadilan, pembentukan pusat bantuan hukum untuk masyarakat tidak mampu, dan pengaturan arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa merupakan terobosan dalam UU Kekuasaan Kehakiman yang baru. UU Kekuasaan Kehakiman sebelumnya mengatur tentang hak setiap orang mendapatkan pendampingan hukum saat berurusan dengan hukum. Namun UU tersebut tidak mengatur soal bantuan hukum cuma-cuma yang disediakan negara bagi masyarakat tidak mampu.