• Tidak ada hasil yang ditemukan

LATAR BELAKANG PEMIKIRAN KE ARAH PERLINDUNGAN KONSUMEN Dalam banyak karangan/tulisan mengenai perlindungan konsumen ditunjukkan

Dalam dokumen HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN.docx (Halaman 22-38)

 bahwa masalah perlindungan konsumen sudah sejak lama menjadi pokok perhatian meskipun tidak secara spesifik dibicarakan. Namun, berbicara dan membahas masalah  perlindungan konsumen se-bagai masalah hukum tersendiri adalah suatu hal yang baru,  bukan saja di Indonesia, melainkan juga di negara yang telah lama maju dalam bidang industri, seperti Nederland yang baru mencurahkan perhatiannya pada masalah ini dalam waktu tiga puluh tahun terakhir ini Umumnya di negara maju, alasan utama yang dipandang sebagai penyebab lahirnya bagian hukum perlindungan konsumen ini adalah karena berkembangnya industri secara cepat dan menunjukkan kompleksitas yang tinggi sehingga perlu ditampung salah satu akibat negatif industrialisasi yang menimbulkan  banyak korban karena memakai atau mengonsumsi produk-produk industri.

Di Amerika Serikat misalnya, oleh Stern dan Eovaldi dikemukakan tiga tujuan utama pengaturan perlindungan konsumen yaitu:

1.  Restricting the communication of false information,

2.  Requiring the disclosure of information about products,

3.  Preventing the marketing of products that are unsafe or fail to meet government safety standards?2

Selanjutnya, mereka menjelaskan:

The critical point here is to understand why consumer protection laws are really needs in the first place. With regard to communication of information, a major reason seems to relate the economics and, in fact, ties in with the underlying rationale for antitrust-encouraging competition. If consumers are well informed and armed with honest data, they will make choices that will end up maximizing their welfare, thereby promoting allocative efficiency. With regard product safety, the  primary goal is one of preventing serious injuries inflicted on those who cannot  proverly analyze the potential harm of product. While there may will be an economic rationale underlying the need for product safety regulation, the basic purpose underlying this concern humanitarion as opposed to pure economic.

Jelaslah bahwa pengaturan perlindungan konsumen di Amerika Serikat berkaitan erat dengan kemajuan teknologi, khususnya teknologi manufaktur dan teknologi informasi, yang pada intinya bermaksud untuk melindungi hak-hak konsumen sebagai manusia, di samping untuk menciptakan atau mendorong persaingan yang sehat dalam  berusaha.

Menteri Kehakiman Mudjono dalam sambutannya pada pembukaan Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) di Jakarta pada tanggal 16

 — 

18 Oktober 1980, mengemukakan dua alasan mengapa masalah perlindungan konsumen merupakan salah satu masalah penting di dunia dewasa ini.  Pertama,  bahwa seluruh anggota masyarakat adalah konsumen yang perlu dilindungi dari kualitas benda atau jasa yang diberikan oleh produsen kepada masyarakat.  Kedua, ternyata para konsumen adalah  pihak yang sangat menentukan dalam pembinaan modal untuk menggerakkan roda  perekonomian.

 Namun demikian, upaya untuk memberi perlindungan hukum terhadap konsumen tidak berarti telah ada anggapan dasar bahwa semua pihak yang bergerak di bidang usaha dan perdagangan selalu terlibat dalam manipulasi yang merugikan para konsumen dan tidak pula dimasukkan untuk menjadikan masyarakat tidak konsumeristis. Akan tetapi,  perlindungan terhadap konsumen didasarkan pada adanya sejumlah hak (hukum) konsumen yang perlu dilindungi dari tindakan-tindakan yang mungkin merugikan yang dilakukan pihak lain. Hak-hak ini merupakan hak-hak yang sifatnya mendasar dan universal sehingga perlu mendapat jaminan dari negara atas pemenuhannya.

Dalam bagian konsiderans dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat dibaca bahwa peraturan ini dibuat atas dasar  pemikiran/pertimbangan sebagai berikut:

1. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

2. bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globallisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapat-kan kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen;

3. bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar;

4. bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.

Dari uraian pertimbangan atau konsiderans di atas, dapatlah disimpulkan bahwa  pemikiran-pemikiran mengenai perlunya perlindungan konsumen di Indonesia dapat

dirumuskan sebagai berikut:

negara Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam tujuan pembangunan nasional yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar1945.

2. Pelaksanaan pembangunan nasional membutuhkan manusia-manusia yang

sehat dan berkualitas, yang diperoleh melalui, penyediaan kebutuhan secara baik dan cukup. Oleh karena itu, konsumen perlu dilindungi untuk mendapatkan kebutuhan yang baik dan cukup itu.

3. Modal dalam pelaksanaan pembangunan nasional berasal dari masyarakat. Karena itu, masyarakat konsumen perlu didorong untuk berkonsumsi secara rasional serta dilindungi dari kemungkinan timbulnya kerugian harta benda sebagai akibat dari  perilaku curang pelaku usaha.

4. Perkembangan teknologi, khususnya teknologi manufaktur, mempunyai dampak negatif berupa kemungkinan hadirnya produk-produk yang tidak aman bagi konsumen.

BAB III

PERBUATAN YANG DlLARANG BAGI PELAKU USAHA

Seperti diketahui bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen menetapkan tujuan  perlindungan konsumen antara iin adalah untuk mengangkat harkat kehidupan konsumen, r.aka untuk maksud tersebut berbagai hal yang membawa ikibat negatif dari pemakaian  barang dan/atau jasa harus dihindarkan dari aktivitas perdagangan pelaku usaha. Sebagai upaya untuk menghindarkan akibat negatif pemakaian barang dan/atau jasa tersebut, maka undang-undang menentukan berbagai larangan sebagai berikut:

Pasal 8

(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau  jasa yang:

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan

menurut ukuran yang sebenarnya;

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran  sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau keterangan barang dan/atau  jasa tersebut;

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

 f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

 g. tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/  pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, seba gaimana  pernyataan"halal" yang dicantumkan dalam label;

i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal  pembuatan, akibat sam pingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta keter angan

lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan hams dipasang/dibuat;

 j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai denguu ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (2)  Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacal atau bekas, dan

tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

(3)  Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dun pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi srnini lengkap dan benar.

(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari  peredaran.

Penjelasan Ayat (1) huruf g

"Jangka waktu penggunaan/pemanfaatannya yang paling baik adalah terjemahan dari kata best before yang biasa digunakan dalam label produk makanan." 

Ayat (2)

"Barang :barang yang dimaksud adalah barang-barang yang tidak membahayakan konsumen dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku." 

Ayat (3)

"Sediaan farmasi dan pangan yang dimaksud adalah yang membahayakan konsumen menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." 

Ayat (4)

"Menteri dan menteri teknis berwenang menarik barang dan/ atau jasa dari  peredaran."

Pada intinya substansi pasal ini tertuju pada dua hal, yaitu larangan memproduksi  barang dan/atau jasa, dan larangan memperdagangkan barang dan/atau jasa yang dimaksud. Larangan-larangan yang dimaksudkan ini, hakikatnya menurut Nurmadjito yaitu untuk mengupayakan agar barang dan/atau Insa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak idar, antara lain asal-usul, kualitas sesuai dengan infor-in.isi  pengusaha baik melalui label, etiket, iklan, dan lain sebagainya.

Berbeda dengan produk-produk lainnya, terhadap barang barang yang berupa sediaan farmasi mendapat perlakuan khusus, karena kalau barang jenis ini rusak, cacat atau bekas, tercemar maka dilarang untuk diperdagangkan, walaupun disertai dengan informasi yang lengkap dan benar tentang barang tersebut. Sedangkan barang lainnya tetap dapat diperdagangkan asal disertai dengan informasi yang lengkap dan benar atas barang tersebut.

adalah untuk memberikan perlindungan terhadap kesehatan/harta konsumen dari  penggunaan barang dengan kualitas yang di bawah standar atau kualitas yang lebih rendah daripada nilai harga yang dibayar. Dengan adanya perlindungan yang demikian, maka konsumen tidak akan diberikan barang dengan kualitas yang lebih rendah daripada harga yang dibayarnya, atau yang tidak sesuai dengan informasi yang diperolehnya.

Untuk melindungi konsumen agar tidak dirugikan dan segi mutu barang, maka dapat ditempuh dengan berbagai cara antara lain:

a. Standar Mutu

Berkenaan dengan pengawasan kualitas/mutu barang, dalam WTO telah dicapai Persetujuan tentang Hambatan Teknis Dalam Perdagangan. Persetujuan ini mengikat negara yang menandatanganinya, untuk menjamin bahwa agar bila suatu pemerintah atau instansi lain menentukan aturan teknis atau standar teknis untuk keperluan keselamatan umum, kesehatan, perlindungan terhadap konsumen dan lingkungan hidup, atau untuk keperluan lain, maka peraturan standar dan pengujian serta sertifikasi yang dikeluarkan tidak menim bulkan rintangan yang tidak diperlukan terhadap perdagangan internasional. Sedangkan untuk mengkaji kemungkinan risiko, elemen terkait yang perlu dipertimbangkan'antara lain adalah tersedianya informasi ilmiah dan teknis, teknologi  pemro-sesan atau kegunaan akhir yang dituju oleh produk.

Berdasarkan ketentuan di atas, maka produk yang masuk dalam suatu negara akan memenuhi ketentuan tentang standar kualitas yang diinginkan dalam suatu negara. Hal ini  berarti produk impor yang dikonsumsi oleh konsumen akan memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh masing-masing negara, sehingga konsumen akan terlindungi baik dari segi kesehatan, maupun tentang jaminan diperolehnya produk yang baik sesuai dengan harga yang dibayarkan. Oleh karena itu untuk mengawasi kualitas/mutu barang, diperlukan adanya standardisasi mutu barang.

Menyadari peranan standardisasi yang penting dan strategis tersebut, pemerintah dengan Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1984 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1989 membentuk Dewan Standardisasi  Nasional. Disamping itu telah dikeluarkan pula Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun

1991 tentang Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Keppres Nomor 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan, Penerapan dan Pengawasan SNI dalam Rangka Pembinaan dan Pengembangan Standardisasi Secara Nasional.

Dengan telah dibentuknya Dewan Standardisasi Nasional dan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia, dan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan, Penerapan dan Pengawasan SNI, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 22/KP/II/95, maka mulai 1 Februari 1996 hanya ada satu standar mutu saja di Indonesia, yaitu Standar Nasional Indonesia (SNI).

Pengawasan mutu produk yang dilakukan oleh pemerintah (khususnya Deperindag) tersebut jangkauannya meliputi produk ekspor, produk dalam negeri dan produk impor yang beredar di pasar dalam negeri. Namun, peraturan teknis yang diberlakukan terhadap  produk yang diimpor dari negara lain (negara anggota WTO) harus diberikan perlakuan yang tidak kurang menguntungkan dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan kepada  produk nasional dan produk serupa yang berasal dari negara lain.

Kebijaksanaan mutu di lingkup Departemen Perindustrian dan Perdagangan dilaksanakan dengan cara sertifikasi ber dasarkan ketentuan  Pre Shipment Inspection (PSI) dan Pre Distri bution Inspection (PDI) yang didukung sistem jaringan laboratorium  penguji mutu. Melalui ketentuan tersebut, pelaksanaan pengawasan mutu produk dapat menjamin tersedianya produk yang bermutu sesuai standar, baik di pasaran dalam negen maupun luar negeri.

Untuk lebih menjamin produk tersebut, yang diperlukan bukan hanya sampai pada dipenuhinya spesifikasi dan pembubuhan tanda SNI, tapi masih perlu dilakukan penga wasan oleh Departemen Perdagangan (sekarang Departemen Perindustrian dan Perdagangan) terhadap produk yang telah memenuhi spesifikasi SNI yang beredar di  pasaran dalam negeri, maupun yang akan diekspor. Berkaitan dengan itu, maka terhadap

komoditi ekspor dan impor berlaku ketentuan:

a. standar komoditi ekspor tidak boleh lebih rendah daripada SNI, yang berarti standar komoditi ekspor mempergu-nakan SNI atau dengan spesifikasi tambahan non mandatory bila diperlukan;

 b. standar komoditi impor minimal harus memenuhi SNI dan standar nasional negara yang bersangkutan.

Pemberlakuan SNI ini merupakan suatu usaha peningkatan mutu, yang disamping menguntungkan produsen, juga menguntungkan konsumen, tidak hanya konsumen dalam negeri tapi juga konsumen di luar negeri, karena standar yang berlaku di Indonesia telah disesuaikan dengan standar mutu internasional, yaitu dengan telah diadopsinya ISO 9000 oleh Dewan Standardisasi Nasional dengan Nomor Seri SNI 19-9000:1992. Di mana ISO 9000 sendiri pada umumnya:

a. Mengatur semua kegiatan dari perusahaan dalam hal teknis, administrasi dan sumber daya manusia yang mem-pengaruhi mutu produk dan jasa yang dihasilkan;

 b. Memberikan kepuasan kepada para pelanggan dan pemakai akhir;

c. Penerapan konsep penghematan biaya dengan cara pelak-sanaan pekerjaan yang benar  pada setiap saat;

d. Memberikan petunjuk tentang koordinasi antara manusia, mesin dan informasi untuk mencapai tujuan standar;

mutu dari perusahaan.

Dengan demikian sasaran dari ISO 9000 mencakup kcbutuhan dan kepentingan  perusahaan, yaitu untuk mencapai dan memelihara mutu yang diinginkan dengan biaya yang Optimum, yaitu dengan menggunakan sumber daya (teknologi, bahan dan manusia) yang tersedia secara terencana dan efisien.

Sasaran lainnya adalah untuk kebutuhan dan harapan pelanggan, yaitu kepercayaan terhadap kemampuan perusahaan untuk menghasilkan mutu yang diinginkan dan  pemcliharaannya secara konsisten. ISO 9000 akan menunjang program perbaikan mutu

untuk mencapai mutu yang memenuhi keinginan konsumen di s eluruh dunia.

Dengan diadopsinya ISO 9000 ini diharapkan dapat mengubah pola pikir pengusaha di negara berkembang yang pada umumnya berpendapat bahwa barang yang baik seragam tidak menguntungkan perusahaannya, karena berbagai alasan seperti:

a.  penerapan standar mutu yang tinggi akan menaikkan ongkos produksi;

 b.  penekanan atas mutu suatu produk akan mengurangi produktivitas konsumen di dalam negeri tidak kritis dengan standar mutu.

Padahal jika dicermati, pemenuhan standar sangat diperlukan dalam transaksi  perdagangan internasional menjamin keseragaman tingkat kualitas barang yang di gangkan. Demikian pula pemenuhan standar juga mengurangi sengketa tentang kualifikasi dan kualitas yang diekspor atau diimpor.

b. HaKI/Merek

Perlindungan konsumen di bidang mutu barang juga dapat terjadi dengan  pemenuhan ketentuan tentang Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI). Ketentuan tentang

HaKI ini juga telah disepakati pada Putaran Uruguay, yang merupakan salah satu lampiran dari Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, yaitu Persetujuan tentang aspek-aspek dagang dari Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) atau Trade Related

Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) kesepakatan tentang TRIPs tersebut, merupakan suatu langkah maju dalam bidang perlindungan HaKIkarena dengan adanya  persetujuan tersebut, maka setiap anggota diwajibkan untuk mengikuti ketentuan-ketentuan yang tercantum didalamnya, bahkan dimungkinkan untuk menerapkan dalam hukum domestiknya tentang sistem perlindungan yang lebih luas daripada yang diwajibkan dalam  persetujuansepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan persetujuan. Persetujuan

tentang aspck-aspek dagang dari HaKI dalam WTO tersebut merujuk pada konvensi-konvensi yang berkaitan dengan HaKI yang sudah ada sebelumnya, seperti Konvensi Paris, Konvensi Berne, Konvensi Roma, maupun traktat tentang (HaKI) atas Rangkaian Klektronik Terpadu.

Perlindungan konsumen dalam Persetujuan TRIPs tidak disebutkan secara jelas, namun disebutkan bahwa dalam penjatuhan sanksi tertentu, dimaksudkan untuk mengurangi resiko pelanggaran lebih lanjut, serta menjadikan kepentingan pihak ketiga sebagai dasar pertimbangan untuk menjatuhkan sanksi tersebut . Hal inii berarti bahwa konsumen merupakan pihak yang dipertimbangkan dalam penjatuhan sanksi terhadap linear ketentuan HaKI. Demikian pula,badan peradilan diberi wewenang untuk memerintahkan agar barang yang terbukti merupakan hasil pelanggaran HaKI, tanpa kompensasi apa pun, dikeluarkan dari arus perdagangan sedemikian rupa untuk menghindarkan kerugian yang dialami pemegang hak, atau dimusnahkan (kecuali kalau hal itu bertentangan dengan persyaratan konstitusional). Sedangkan terhadap barang impor, badan peradilan diberi wewenang memerintahkan suatu pihak untuk menghentikan  pelanggaran yang dilakukan, antara lain untuk mencegah masuknya ke dalam arus  perdagangan di dalam wilayah hukum mereka barang-barang pelanggaran atas HaKI yang

diimpor.

terhindar dari kerugian akibat pemalsuan HaKI oleh pihak yang tidak berhak, sedangkan  pihak konsumen terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk palsu yang disamping dapat merugikan konsumen karena kualitasnya yang rendah, juga karena membayar harga yang lebih tinggi dibanding kualitas barang tersebut.

Di antara berbagai Hak atas Kekayaan Intelektual di atas, merek dagang merupakan salah satu hak yang sangat terkait dengan perlindungan konsumen, karena pelanggaran atas hak merek akan berdampak secara luas terhadap konsumen, karena merek meliputi segala kebutuhan konsumen. Oleh karena itu Hak atas Kekayaan Intelektual yang dibahas secara khusus adalah merek dagang, yaitu merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.

Walaupun Undang-Undang Merek pada umumnya ditujukan untuk mengatur  pemakaian merek agar para pemakai merek tidak saling merugikan, namun pengaturan

tentang lalu lintas pemakaian merek tersebut sangat bermanfaat pula bagi para konsumen, terutama karena konsumen dapat bebas dari kekeliruan pemakaian barang-barang tertentu yang bermerek palsu. Hal tersebut disebabkan karena konsumen yang biasa-nya sudah terikat menggunakan merek-merek tertentu yang dikenalnya, sehingga manakala terjadi  pemalsuan, maka sangat besar kemungkinan konsumen mengalami kerugian karena mengonsumsi secara keliru barang tertentu yang kualitasnya berbeda dengan yang  biasanya.

Begitu pentingnya perlindungan konsumen agar tidak keliru mengonsumsi suatu  produk, maka berdasarkan Konvensi Paris, maupun dalam Yurisprudensi Mahkamah

Agung, serta pengadilan di Indonesia, untuk menentukan apakah suatu merek memiliki  persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya, kriteria utamanya adalah apakah dapat menyebabkan kekeliruan dan kekacauan bagi khalayak ramai. Upaya perlindungan

khalayak ramai (konsumen) dari kekeliruan tersebut lebih luas lagi jika menyangkut merek terkenal, karena larangan untuk menggunakan merek yang sama dengan merek yang sudah didaftarkan oleh pihak lain, secara umum berlaku untuk barang sejenis, tapi khusus mengenai merek terkenal, larangan tersebut juga dapat diberlakukan terhadap barang yang tidak sejenis, yaitu jika penggunaan dari merek yang bersangkutan secara tidak wajar akan mengindikasikan adanya hubungan antara barang tersebut dengan pemilik merek yang telah didaftarkan. Dasar penentuan ada tidaknya persamaan antara satu merek dengan merek lainnya atau dapat tidaknya membingungkan masyarakat, perlu pula mengamati cara pengucapan, penampilan dan maksud dari merek yang bersangkutan.

Penentuan tentang ada tidaknya persamaan pada pokoknya atau pada keseluruhannya suatu merek terhadap merek lainnya yang didasarkan pada kekeliruan khalayak ramai (konsumen) memang tepat, karena salah satu tujuan penggunaan merek adalah agar pihak konsumen dapat mengetahui siapa yang memperdagangkan dan atau memproduksi barang yang bersangkutan. Melalui "tanda merek" tersebut pihak konsumen dapat mengetahui kualitas barang/jasa yang bersangkutan baik melalui pengalamannya karena pernah menggunakan merek tersebut, atau informasi yang diperolehnya dari konsumen lain. Atau dengan, melalui "tanda merek" tersebut konsumen dapat menilai kualitasnya karena me-ngetahui siapa yang memproduksi atau meme-ngetahui barang dengan merek yang  bersangkutan, sehingga "tanda merek" tersebut sangat mempengaruhi perdagangan si  pedagang. Dengan demikian, merek memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai mekanisme

untuk mengidentifikasi dan juga memberi keun-tungan dalam pemasaran.

Disamping itu merek juga memberikan jaminan kualitas barang/jasa yang  bersangkutan. Hal ini tidak hanya berguna bagi produsen pemilik merek tersebut, tetapi  juga memberikan perlindungan dan jaminan mutu barang kepada konsumen.

satu produk dengan produk lainnya yang sejenis yang berguna bagi produsen, merek juga meru-pakan sarana informasi bagi konsumen, karena merek sangat berarti dalam mengidentifikasi/memberi ciri pada produk/ jasa yang berasal dari sumber (produsen)

Dalam dokumen HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN.docx (Halaman 22-38)

Dokumen terkait