• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Latar Belakang

Upaya peningkatan dan perbaikan dibidang penyajian pelaporan keuangan daerah semakin hari semakin bertambah semangatnya. Upaya reformasi dibidang pemerintahan terus menggelora hingga saat ini. Upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa terus digaungkan. Tetapi hingga kini upaya reformasi penyajian pelaporan keuangan daerah nampaknya belum dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah daerah maupun di jajaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemerintah Daerah. Perubahan pendekatan akuntansi pemerintah daerah dari single entry menuju double entry merupakan perubahan yang cukup revolusioner. Disisi lain, publikasi laporan keuangan oleh pemerintah daerah melalui surat kabar, internet, atau cara lain nampaknya belum menjadi hal yang umum bagi sebagian daerah.

Dalam mengelola keuangan daerah, pemerintah daerah menggunakan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah (SAKD) yang sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi Keuangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan yang bertujuan untuk memberikan informasi dalam pertanggungjawaban penggunaan dana.

Beberapa karakteristik akuntansi keuangan daerah yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan sistem akuntansi keuangan daerah adalah : a. Kebijakan akuntansi yang akan diterapkan (berhubungan dengan

asset/kekayaan, kewajiban, modal, pelaporan dll),

b. Perlakuan akuntansi untuk berbagai hal (pendapatan, belanja/ pengadaan, pembentukkan dana cadangan, penerimaan dan pengeluaran pembiayaan), c. Kode rekening yang berlaku standar,

d. AKIP

e. Perlu diciptakan formulir-formulir standar.

Pada dasarnya Pemerintah Daerah telah berupaya untuk menyusun laporan keuangan dengan menggunakan sistem akuntansi keuangan daerah yang diharapkan mampu mewujudkan tercapainya transparansi dan akuntabilitas.Pengembangan sebuah sistem yang tepat untuk dapat di implementasikan di daerah menghasilkan suatu sistem akuntansi keuangan daerah yang diharapkan dapat mengganti sistem akuntansi.Dengan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah (SAKD) diharapkan transparansi dan akuntabilitas yang diharapkan dalam pengelolaan keuangan daerah dapat tercapai (Halim, 2010).

Adapun manfaat penerapan sistem akuntansi keuangan daerah berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan (2005 : 11) adalah bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas dan keandalan pengelolaan keuangan pemerintah melalui penyusunan dan pengembangan standar akuntansi pemerintahan.

3

waktu.Pemerintah Kota Medan adalah salah satu pemerintah daerah di Sumatera Utara yang menerapkan SIMDA melalui kerjasama dengan BPKP Perwakilan Sumatera Utara.Kerjasama asistensi penyusunan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah (SAKD) antara BPKP Perwakilan Sumatera Utara dengan Pemko Medan dalam menerapkan aplikasi SIMDA keuangan secara penuh dimulai sejak tahun anggaran 2009.Pada tahun 2007 SIMDA belum dapat diterapkan karena praktek penganggaran dan penatausahaan keuangan di Pemko Medan belum sesuai dengan Permendagri 13/2006 dan Permendagri 59/2007.Tahun 2008, SIMDA diterapkan dalam taraf merekam/menginput kembali atas transaksi manual yang telah dilakukan melalui penganggaran, penatausahaan dan pelaporan.

Dalam rangka implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, yang selanjutnya disebut dengan Permendagri 21 Tahun 2011, tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah, maka setiap pemerintah daerah harus dapat mempersiapkan diri untuk melakukan pengelolaan keuangan daerah sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Untuk keberhasilan pelaksanaan Permendagri 21 tersebut, maka setiap pemerintah daerah diharuskan untuk melakukan pembenahan diri baik dalam sumber daya manusia (SDM) maupun dalam hal lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan tersebut.

Dari aktivitas penginputan kembali transaksi manual ke dalam SIMDA, diketahui banyak hal yang perlu diperbaiki oleh Pemko Medan agar praktik pengelolaan keuangan daerah sesuai dengan aturan yang ada.Tahun 2009 SIMDA mulai secara utuh diterapkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan berlanjut ke Tahun Anggaran 2013 dan 2014.

Dewasa ini, akuntabilitas publik juga menjadi kajian dan fokus bahasan yang marak.Tuntutan akuntabilitas telah menjadi tema sentral yang disuarakan masyarakat konsumen, lembaga-lembaga non-pemerintah, mahasiswa, maupun masyarakat awam di Indonesia kepada pemerintah, wakil-wakil rakyat di DPR/DPRD, perusahaan-perusahaan negara maupun swasta, serta berbagai institusi negara.

Menurut Kluvers (2010), seseorang itu bertanggung jawab (accountable) jika ia berkewajiban menjawab pertanyaan atas kebijakan serta tindakan-tindakan yang bersumber dari otoritas untuk melakukan sesuatu perbuatan atas nama individu, kelompok orang atau institusi tertentu (sebagai agen pemberi otoritas atau principal). Berawal dari konsep akuntabilitas seperti itulah, maka penyediaan informasi yang relevan menggambarkan kinerja (performance) sektor publik yang esensial bagi sektor publik dalam memberikan pertanggungjawaban akan segala aktivitasnya kepada semua pihak yang berkepentingan.

Fenomena yang terjadi dalam pengembangan sektor publik di Indonesia dewasa ini adalah menguatnya tuntutan akuntabilitas atas lembaga-lembaga publik, baik di pusat maupun daerah.Akuntabilitas dapat diartikan sebagai bentuk kewajiban mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya, melalui suatu media pertanggungjawaban secara periodik.

Dimensi akuntabilitas publik meliputi akuntabilitas hukum dan kejujuran, akuntabilitas manajerial, akuntabilitas program, akuntabilitas kebijakan, dan

5

mengenai Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 7/1999 serta Keputusan Lembaga Administrasi Negara (LAN) No. 598/IX/6/Y/99 juncto Keputusan Kepala LAN No. 239/IX/6/8/2003.

Namun demikian, mekanisme akuntabilitas sebagaimana diatur oleh sejumlah peraturan tersebut belum memenuhi kriteria akuntabilitas publik. Mekanisme akuntabilitas yang diatur dalam LAKIP hanya ditujukan secara internal kepada atasan saja serta hanya mengukur sejauhmana target yang sudah ditetapkan telah tercapai dalam rangka pelaksanaan misi organisasi.

Pada pelaksanaan penggunaan APBD terdapat beberapa permasalahan yang terjadi dilapangan meliputi :

1. Adanya ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Kepatuhan terhadap Perundang-undangan.

2. Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang disampaikan untuk diperiksa melalui Sekretaris Daerah Langkat belum menyajikan laporan keuangan secara lengkap yang terdiri dari Neraca Daerah, Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan.

3. Proses penyusunan laporan keuangan masih dilakukan secara terpusat oleh Bagian Keuangan Sekretariat Daerah Pemerintah Daerah. Untuk itu setiap SKPD harus menyusun dan melakukan konsolidasi pada Sekretariat Daerah Pemerintah Daerah.

4. Pembukuan dan penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pemerintah Daerah masih menggunakan sistem pembukuan tunggal (single entry) dengan

dasar kas (cash basis), yang belum sepenuhnya mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dan Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yaitu menganut pembukuan ganda (double entry book keeping) dan akrual basis yang dimodifikasi (acrual basis modified).

Akuntabilitas publik yang seharusnya dibangun dalam pandangan para pakar sebagaimana dikutip oleh Callahan (2007) adalah akuntabilitas publik yang tidak hanya ditujukan secara internal (pemerintah atasan saja) tetapi juga ditujukan kepada para pemangku kepentingan lainnya seperti masyarakat.Selain itu, mekanisme akuntabilitas publik juga tidak hanya ditujukan untuk mengukur kinerja, tetapi juga dapat memantau perilaku dari pejabat publik agar sesuai dengan etika dan aturan hukum yang berlaku.

Salah satu masalah yang sangat kritis diperhatikan oleh sebagian besar masyarakat adalah akuntabilitas keuangan.Akuntabilitas keuangan bagi pemerintah (khususnya pemerintah daerah) memberikan arti bahwa aparatur pemerintah wajib mempertanggungjawabkan setiap rupiah uang rakyat yang ada dalam anggaran belanjanya yang bersumber dari penerimaan pajak dan retribusi. Format baru yang perlu dikembangkan dan diterapkan oleh pemerintah daerah agar terciptanya pemerintah yang bersih dan good governance adalah dengan cara adanya akuntabilitas dari penyelenggaraan pemerintahan. Salah satu bagian dari akuntabilitas yang dapat diciptakan oleh aparatur pemerintah daerah adalah

7

akan tercapai adalah dengan dilaksanakannya sistem akuntansi keuangan daerah yang baru yang sesuai dengan paradigma good governance, dimana akuntabilitas merupakan kunci dalam mewujudkan good governance.

Beberapa kali terjadi pernyataan ketidakpuasan atas kepemimpinan kepala daerah dalam melakukan manajemen pelayanan publik maupun penggunaan anggaran daerah.Melihat pengalaman di negara-negara maju, ternyata dalam pelaksanaannya, keingintahuan masyarakat tentang akuntabilitas pemerintahan tidak dapat dipenuhi hanya oleh informasi keuangan saja.Masyarakat ingin tahu lebih jauh apakah pemerintah yang dipilihnya telah beroperasi dengan ekonomis, efisien dan efektif.

Menurut Gade (2002) salah satu fungsi akuntansi pemerintah adalah akuntabilitas, yaitu mempertanggungjawabkan pengurusan keuangan Negara, Seiring dengan pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Tentang pengelolaan keuangan daerah maka tuntutan akuntabilitas sektor publik lebih tertuju kepada pemerintahan daerah. Disamping itu dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan pasal 30 bahwa aspek akuntabilitas terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, catatan atas laporan keuangan, dan laporan barang. Dimana laporan realisasi anggaran, neraca dan catatan atas laporan keuangan tersebut dihasilkan oleh sistem akuntansi keuangan daerah.

Agar akuntabilitas sektor publik terjamin, diperlukan sistem akuntansi, karena sistem akuntansi merupakan pendukung terciptanya pengelolaan keuangan daerah yang transparan, adil, efektif dan efisien.Dengan diterapkannya Sistem

Akuntansi Keuangan Daerah (SAKD) diharapkan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan dapat tercapai khususnya akuntabilitas pada SKPD, dimana laporan keuangan SKPD merupakan dasar laporan keuangan pemerintah daerah.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Renovator (2004) tentang peran sistem akuntansi keuangan daerah dalam mewujudkan akuntabilitas keuangan pemerintah daerah Jawa Barat, menunjukkan bahwa dengan adanya penerapan sistem akuntansi keuangan daerah, maka akan tercipta akuntabilitas laporan keuangan Pemerintah Daerah. Akan tetapi, hasil penelitian menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat belum sepenuhnya melakukan penyusunan laporan keuangan daerah dengan mengikuti Standar Akuntansi Pemerintah, penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu.

Dalam hal ini, Pemerintah Kota Medan sedang melakukan pendekatan akuntabilitas publik terhadap masyarakat Pemerintah Kota Medan.Dalam pendekatan akuntabilitas publik, kebebasan informasi merupakan kewajiban lembaga atau badan publik untuk menyebarluaskan produk kebijakan, aturan, rencana, dan hasil itu sebagai pengetahuan untuk mengikuti penyelenggaraan negara yang transparan dan berpola umpan balik. Pada Pemerintah Kota Medan, hal tersebut dapat dilihat berdasarkan UU No.14/2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik, dimana UU tersebut memudahkan masyarakat untuk dapat mengakses segala informasi publik. Dokumen-dokumen seperti rincian APBD, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Wali Kota, serta BUMD kini

9

dalam pemeriksaan laporan keuangan, pelaporan keuangan daerah Pemerintah Kota Medan memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian dari BPK RI Perwakilan Provinsi Sumatera Utara.

Penelitian ini meneliti pengaruh Penerapan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah (SAKD) terhadap Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Daerah (AKIP) dengan Aktivitas Pengendalian sebagai Variabel Moderating (Studi Kasus Pemerintah Kota Medan). Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yaitu Soleha (2011) dengan judul Pengaruh Penerapan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah dan Aktivitas Pengendalian terhadap Akuntabilitas Keuangan SKPD di Pemerintahan Provinsi Banten. Perbedaan utama dan mendasar yaitu: 1. Independen variabel penelitian ini adalah Penerapan Sistem Akuntansi

Keuangan Daerah (SAKD).

2. Penelitian ini menggunakan variabel moderating yaitu Aktivitas pengendalian sedangkan pada penelitian sebelumnya variabel tersebut sebagai variabel independen.

3. Penelitian ini dilakukan pada SKPD dilingkungan Pemerintah Kota Medan sedangkan pada penelitian sebelumnya dilakukan di Pemprov Banten.

Berdasarkan dari uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana pengaruh penerapan sistem akuntansi keuangan daerah terhadap akuntabilitas publik, maka peneliti melakukan analisis dan penelitian untuk dengan judul “Pengaruh Penerapan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah (SAKD) terhadap Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Daerah (AKIP)

dengan Aktivitas Pengendalian sebagai Variabel Moderating (Studi Kasus Pemerintah Kota Medan)”.

Dokumen terkait