• Tidak ada hasil yang ditemukan

DI persimpangan jalan yang tadinya gelap dan kini diterangi oleh sekian banyak obor, kelihatan Soltan Ramada tegak tak bergerak. Di depannya berdiri seorang nenek tinggi kurus. Demikian kurusnya seperti hanya tinggal kulit pembalut tulang. Kulitnya hitam pekat seperti jelaga. Pipi dan kedua matanya cekung. Batok kepalanya ditumbuhi rambut jarang berwarna putih, begitu juga warna alisnya. Lima buah tusuk kundai perak menghiasi kepalanya. Kelima tusuk kundai itu tidak disisipkan disela-sela rambut tapi ditusukan ke kulit kepala!

“Guru! Eyang!” teriak Pendekar 212 ketika dia mengenali bahwa nenek di tengah jalan itu bukan lain adalah Eyang Sinto Gendeng, gurunya sendiri!

Patih Sagara Wisamala terkesiap. Selama ini dia belum pernah bertemu muka dengan si nenek sakti, hanya mendengar nama dan kehebatannya saja. Diam-diam hatinya tergetar juga melihat keangkeran Sinto Gendeng.

“Anak sableng!” si nenek memaki. ”Apa yang kau lakukan hingga ada orang mengirim kabar bahwa kau sekarang sudah kaya raya. Jadi pedagang candu kelas kakap! Katanya kau juga sudah jadi Ketua satu komplotan bejat! Apa memang betul begitu?”

“Semua dusta dan fitnah busuk dari orang-orang Serikat Candu Iblis,” jawab Wiro.

“Nenek sakti, muridmu tidak bersalah. Dia memang korban fitnah,” berkata Patih Sagara Wisamala.

Sinto Gendeng melirik pada sang patih. Dia sebenarnya sudah tahu siapa adanya orang yang barusan bicara itu namun dia bersikap acuh saja.

“Ah, kalau begitu percuma saja aku datang jauh-jauh. Orang-orang kerajaan yang tidak bisa mengurus negeri akibatnya aku dan muridku yang jadi korban. Malah aku menyirap kabar bahwa diriku akan dijadikan sandera. Jika kau tidak menyerahkan diri maka aku akan digantung! Busyet!” si nenek cekikikan.

Paras Patih Sagara Wisamala berubah, sebentar marah sebentar pucat. Dalam hati dia bertanya. “Bagaimana nenek ini tahu rencana Sri Baginda itu? Ah, aku benar-benar jadi tidak punya muka.”

“Eyang, bagamana kau bisa muncul di sini?” bertanya Wiro.

“Tubuh tua keropos ini tidak ubah seperti daun kering,” jawab Sinto Gendeng pula. “Mudah ditiup angin dan melayang ke arah mana saja. Tapi waktu aku sedang melancong makan-makan angin di persimpangan sini, kulihat si kate botak ini berlari seperti orang dikejar setan. Celananya basah. Rupanya dia sudah kencing di celana! Hik…hik… hik!” si nenek tertawa cekikikan.

Patih Sagara Wisamala dan orang-orang yang berada di tempat itu hampir-hampir tak bisa menahan geli mendengar ucapan si nenek dangan gayanya waktu bicara. “Wiro! Kowe tahu siapa adanya kecoak botak ini?!”

“Namanya Soltan Ramada alias Cula Singkir. Dia seorang pentolan penting Serikat Candu Iblis,” menerangkan Wiro.

“Ah..ah…ah! Jadi namanya Sultan bercula!” kata si nenek sengaja salah menyebut nama manusia katai itu. “Karena curiga, begitu kepapasan aku totok tubuhnya. Ternyata dia adalah bangsat yang harus dibekuk!”

“Kami berterima kasih karena kau telah menangkapnya. Jasamu akan kami laporkan kepada Sri Baginda,” kata patih kerajaan.

Si nenek tersenyum. Senyumnya itu justru membuat tampangnya tambah angker. “Hidup hampir seratus tahun, tak pernah aku mencari nama meminta pamrih!” Sinto gendeng berpaling pada muridnya. “Sableng! Kau bangkitlah! Aku bukan orang penting yang patut kau hormati dengan berlutut!” Sinto Gendeng mengangkat tangannya. Wiro merasakan bahunya yang dipegang seperti lengket dan ditarik oleh satu kekuatan dahsyat. Dia ingin menjajal. Dia kerahkan tenaga dalam tubuhnya menjadi seberat seekor gajah. Sinto Gendeng tampak mengerut tampangnya. Dia lipat gandakan tenaganya menarik bahu muridnya.

“Brettt!!!”

Pakaian Wiro robek sedang tubuhnya tetap saja berlutut.

“Anak setan!” maki si nenek perlahan. “Ternyata kau sudah memiliki tenaga dalam luar biasa…”

“Saya tidak punya apa-apa eyang. Masih bodoh seperti dulu,” sahut Wiro. Si nenek melotot lalu mendongak dan tertawa gelak-gelak. Dia memberi isyarat agar Wiro berdiri. Setelah muridnya berdiri maka Sinto Gendeng lantas berkata. “Aku tidak punya kepentingan lama-lama di tempat ini. Sebelum aku berangkat ada satu pegangan hidup yang hendak kusampaikan dan harus kau ingat baik-baik. Kau mau mendengarnya anak sableng?!”

“Saya mendengar Eyang…”

“Dalam perjalanan hidup seseorang, jika dia berbuat satu kebenaran atau kebaikan, tidak ada orang yang mengingatnya. Tapi bilamana dia berbuat kealpaan atau kesalahan, tidak ada orang yang melupakannya. Nah, kau ingat hal itu baik-baik agar kau hidup mawas diri dan mandiri!”

“Saya akan mengingatnya baik-baik Eyang. Saya mengucapkan terima kasih atas budi baik Eyang menyampaikan pegangan hidup ini.”

“Bagus! Tetaplah mengasah otak. Tapi juga jangan lupa mengasah hati!” habis berkata begitu Sinto Gendeng berkelebat dan di lain saat tubuhnya sudah lenyap dari persimpangan itu.

Untuk beberapa lamanya tempat itu diselimuti kesunyian. Tak ada yang bergerak, tak ada yang bersuara. Akhirnya Patih Sagara Wisamala melangkah mendekati Soltan Ramada.

“Aku tahu kau bukan Ketua Serikat Candu Iblis. Sekarang katakan pada kami siapa pemimpinmu dan tunjukkan di mana markasnya!”

“Aku… aku tidak tahu. Aku tidak pernah bertemu dengannya. Apalagi tahu di mana markasnya…” jawab si kate.

Pendekar 212 Wiro Sableng melangkah ke hadapan si katai. “Begitu katamu…?” Dia memandang berkeliling lalu berteriak. “Tanggalkan seluruh pakaian kecoak ini! Cari tali! Dia pantas diperlakukan sama seperti si gendut Sentiko!”

Mendengar teriakan Wiro itu lumerlah nyali si katai. Dia segera meratap. “Jangan… jangan diikat anuku! Akan aku katakan. Aku tidak tahu namanya. Ketua Serikat Candu Iblis menyebut dirinya dengan Pangeran…”

“Pangeran?” ujar Patih Sagara Wisamala.

Wiro sendiri merasakan darahnya berdesir mendengar sebutan Pangeran itu. “jangan-jangan si keparat itu…” katanya dalam hati.

“Betul. Pangeran. Begitu aku memanggilnya. Aku akan tunjukkan tempat kediamannya… Tapi jangan anuku diapa-apakan… Kalian boleh pukul aku sampai babak belur. Tapi anuku itu… jangan...!”

Wiro menyeringai. Dia tarik leher jubah hitam Soltan Ramada. Lalu orang yang masih berada dalam keadaan tertotok ini dilemparkannya ke dalam sebuah gerobak.

Dengan petunjuk Soltan Ramada, pepohonan dan semak belukar yang menutupi mulut goa berhasil disingkirkan. Namun batu besar yang menghalang di sebelah dalam menjadi persoalan karena Soltan tidak tahu bagaimana cara membukanya.

Patih Sagara Wisamala sesaat meragu. Apakah dia terpaksa memperlihatkan kehebatannya membobol batu itu. Bagaimana kalau ternyata kesaktiannya tidak mampu menghancurkan batu. Atau akan dimintanya saja Pendekar 212 untuk melakukannya?

Wiro yang melihat sang patih ragu-ragu segera angkat tangan kanannya. Kedua kakinya terpentang. Perutnya mengempis. Tangan kanannya bergetar hebat tanda seluruh tenaga dalam yang ada di perut tengah dialirkannya ke tangan. Perlahan-lahan tangan itu mulai berubah menjadi putih berkilat seperti perak.

Patih Sagara Wisamala memperhatikan tak berkedip. Dia tahu pukulan sakti apa yang hendak dikeluarkan Wiro guna menghantam batu, “Pukulan Sinar Matahari.” Selama ini dia hanya mendengar saja tentang kehebatan pukulan itu. Kini

dia akan menyaksikannya sendiri. Orang-orang lainnya yang berjumlah hampir seratus, menunggu dengan tegang.

Pendekar 212 membentak keras. Bersamaan dengan itu tangan kanannya dipukulkan ke depan. Sinar putih menyilaukan membersit disertai menghamparnya hawa panas luar biasa, membuat semua orang yang ada di situ cepat menjauh.

Terdengar suara berdentum. Batu besar yang menutup mulut goa di sebelah dalam hancur berantakan. Jalan masuk ke dalam goa kini terbuka lebar. Semua orang leletkan lidah. Patih kerajaan sendiri tak habis kagumnya menyaksikan pukulan sakti yang tadi dilepaskan Wiro itu.

Pendekar 212 melompat masuk ke dalam goa. Untuk beberapa lamanya Pukulan Sinar Matahari masih disiapkannya karena khawatir akan menemui hal-hal yang tak terduga di dalam sana. Patih Sagara menyusul masuk sambil menyeret Sultan Ramada. Seluruh ruangan dalam goa diperiksa, termasuk kamar di mana biasanya perempuan gemuk bernama Ramini menunggu kedatangan kekasihnya yaitu Soltan Ramada.

Atas petunjuk Soltan Ramada, semua peralatan rahasia yang ada dalam goa itu diperiksa dan dilumpuhkan. Ternyata goa itu kosong. Tak ada seorang pun ditemui di tempat itu. Tidak juga orang yang dipanggil dengan sebutan Pangeran itu.

“Goa ini kosong! Jangan-jangan kau mengadali kami!” Patih Sagara Wisamala menggeram dan memandang mendelik pada Soltan Ramada. Tangannya bergerak mencekik leher jubah si katai ini.

“Saya tidak berdusta. Sekali ini saya tidak berdusta. Pangeran itu pasti telah melarikan diri…” kata Soltan Ramada dengan suara ketakutan.

“Awas ada benda jatuh!” satu dari dua perwira tinggi Kerajaan yang ada di dalam goa berteriak memberi peringatan. Mengira ada senjata rahasia yang menyerang Wiro dan Patih Sagara siap hendak menghantam. Ternyata yang melayang jatuh adalah sehelai kertas putih yang rupanya sebelumnya memang sengaja ditempelkan di langit-langit goa lalu terlepas dan jatuh ke bawah.

Wiro cepat menangkap kertas itu.

“Ada tulisan di sebelah belakang!” seorang prajurit memberi tahu. Wiro membalikkan kertas itu. Keningnya mengernyit.

“Sialan keparat!” maki Wiro kemudian. Kertas itu hendak dirobeknya tapi cepat diambil oleh Patih Sagara lalu membaca apa yang tertulis di atas kertas itu.

Pendekar 212!

Jangan kau merasa menang. Bagaimana pun juga aku sempat mempermainkanmu. Dan kau sampai saat ini masih belum bisa menangkapku. Selama siang selalu berganti dengan malam, selama itu pula aku akan tetap menjadi musuh bebuyutanmu. Serikat Candu Iblis boleh musnah. Tetapi Pangeran Matahari tetap tak bisa kau kalahkan! Kita pasti akan bertemu lagi dan kau tetap berada di pihak yang kalah. Ingat hal itu baik-baik. Ha..ha…ha…! Pangeran Matahari

“Pangeran keparat!” terdengar Pendekar 212 memaki. “Dia rupanya yang jadi biang racun…! Ketua Serikat Candu Iblis! Bangsat! Satu ketika kelak lehernya pasti akan kupuntir!”

Dokumen terkait