• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk-bentuk Hukuman Pidana Kisas

BAB II DESKRIPSI PIDANA KISAS DAN HAL-HAL YANG

B. Bentuk-bentuk Hukuman Pidana Kisas

Dalam kamus besar bahasa Indonesia hukuman berarti siksa yang dikenakan kepada orang yang melanggar Undang-Undang dan sebagainya, keputusan yang dijatuhkan oleh hakim, hasil atau akibat menghitung.26

26

Hukuman untuk tindak pidana pembunuhan.27 Pembunuhan dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Pembunuhan sengaja, yaitu suatu pembunuhan dimana pelaku perbuatan tersebut sengaja melakukan suatu perbuatan dan dia menghendaki akibat dari perbuatannya, yaitu matinya orang yang menjadi korban. Sebagai indikator dari kesengajaan untuk membunuh tersebut dapat dilihat dari alat yang digunakannya. Dalam hal ini alat yang digunakan untuk membunuh korban adalah alat yang lumrahnya dapat mematikan korban, seperti senjata api, senjata tajam, dan lain sebagainya.

Unsur-unsur pembunuhan sengaja adalah korban harus berupa manusia yang hidup, apabila korban bukan manusia hidup tetapi ia sudah meninggal terlebih dahulu maka ia bukanlah korban pembunuhan sengaja. Kematian adalah merupakan akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku pembunuhan. Pembunuhan dianggap sebagai pembunuhan sengaja apabila dalam diri pelaku terdapat niat untuk membunuh korban bukan hanya kesengajaan dalam perbuatannya saja tetapi niat untuk membunuh.

2. Pembunuhan menyerupai sengaja. Menurut Hanafiyah,28 pembunuhan menyerupai sengaja ada suatu pembunuhan dimana pelaku sengaja memukul korban dengan tongkat, cambuk, batu, tangan, benda lain yang mengakibatkan kematian. Menurut definisi ini pembunuhan menyerupai sengaja memiliki dua unsur yaitu, unsur kesengajaan. Terlihat dalam kesengajaan berbuat berupa pemukulan, unsur kekeliruan terlihat dalam ketiadaan niat membunuh. Dengan demikian pembunuhan tersebut menyerupai sengaja karena adanya kesengajaan dalam berbuat.

27

Ahmad Wadi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, h. 36.

28

Unsur-unsur lainnya yaitu perbuatan tersebut mengakibatkan kematian, adanya kesengajaan dalam melakukan perbuatan tetapi kematian yang terjadi merupakan akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.

3. Pembunuhan karena kesalahan, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq: “Pembunuhan karena kesalahan adalah apabila seorang mukallaf melakukan perbuatan yang dibolehkan untuk dikerjakan, seperti menembak binatang buruan atau membidik suatu sasaran, tetapi kemudian mengenai orang yang dijamin keselamatannya dan membunuhnya.29 Dari definisi yang dikemukakan di atas, dapat diambil intisari bahwa dalam pembunuhan karena kesalahan, sama sekali tidak ada unsur kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang dilarang, dan tindak pidana pembunuhan terjadi karena kurang hati-hati atau karena kelalaian dari pelaku. Unsur-unsurnya perbuatan yang mengakibatkan kematian korban dan perbuatan tersebut terjadi karena kekeliruan. Adanya hubungan sebab akibat antara kekeliruan dan kematian, hukuman sebab akibat dianggap ada karena pelaku yang menjadi penyebab dari perbuatan yang mengakibatkan kematian tersebut.

Hukuman untuk tindak pidana pembunuhan dalam syari’at Islam adalah kisas. Kisas juga merupakan hukuman pokok untuk pembunuhan yang disengaja selain kifarat. Sedangkan penggantinya adalah diat dan ta’zir30.

Seseorang yang akan menjalani hukuman kisas haruslah seorang mukallaf yaitu baligh dan berakal karena kisas tidak bisa dilaksanakan untuk anak kecil dan orang gila, pelaku melakukan pembunuhan dengan sengaja yaitu menghilangkan nyawa. Pelaku

29

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Juz II, Beirut, Dar al-Fikri, 1980, h. 438.

30

pembunuhan merupakan orang yang bebas (merdeka) dan tidak dipaksa melakukan pembunuhan31.

Hukuman untuk tindak pidana pembunuhan sengaja adalah kisas32, sedangkan hukuman pembunuhan menyerupai sengaja diancam dengan beberapa hukuman, yaitu diat dan kifarat tidak dengan kisas. Untuk pembunuhan karena kesalahan hukumannya adalah diat dan kifarat juga tidak dengan kisas.

Hukuman untuk tindak pidana selain jiwa seperti bagian athraf33 dikenakan hukuman pokok yaitu kisas jika dilakukan dengan sengaja dengan hukuman penggantinya diat dan ta’zir34, adapun hukuman pokok untuk perusakan athraf yang menyerupai sengaja dan kekeliruan adalah diat sedangakan hukuman penggantinya adalah ta’zir. Jadi kisas khusus untuk perusakan athraf atau sengaja.

Hukuman lain untuk pidana selain jiwa yaitu hukuman atas menghilangkan manfaat anggota badan adalah kisas. Meskipun faktor kesulitan untuk melaksanakan hukuman kisas dalam tindak pidana menghilangkan manfaat ini sangat besar, namun menurut Jumhur Fuqaha selama hal itu memungkinkan, tetap diupayakan untuk

melaksanakannya35. Apabila kisas betul-betul tidak memungkinkan untuk

melaksanakan maka pelaku dibebani hukuman diat.

Hukuman untuk syajjaj36 yang merupakan bagian dari tindak pidana atas selain jiwa. Dari sebelas jenis yang dikemukakan oleh Abu Hanifah37, hanya satu jenis yang

31 Ibid., 32 Ibid., h.38 33

Tindakan perusakan terhadap anggota badan dan anggota lain yang disetarakan dengan anggota badan

34

Muslich, Hukum Pidana Islam, h.38

35

Ibid., h.39

36

Pelukaan khusus pada bagian muka dan kepala

37

disepakati oleh para fuqaha untuk dikenakan kisas yaitu Mudhihah38 sebagaimana telah dikemukakan mudhihah adalah pelukaaan yang agak dalam sehingga memotong dan merobek selaput antara daging dan tulang sehingga tulang tersebut kelihatan. Sedangkan jenis-jenis syajjaj di atas mudhihah, yaitu hasyimah39, munqilah40, al-ammah41, dan ad-damighah42. Para fuqaha telah sepakat tidak berlaku hukuman kisas, karena sangat sulit untuk dilaksanakan secara tepat tanpa ada kelebihan43. Adapun jenis-jenis syajjaj di bawah mudhihah, para fuqaha berbeda pendapat tentang diterapkannya hukuman kisas atas jenis-jenis syajjaj tersebut. Imam Malik berpendapat bahwa dalam semua jenis syajjaj sebelum mudhihah berlaku hukuman kisas, karena hal itu masih mungkin untuk dilaksanakan. Menurut Imam Abu Hanifah, mengacu kepada riwayat al-Hasan tidak ada kisas kecuali pada mudhihah dan simhaq44, itupun kalau memungkinkan. Sementara menurut Imam Muhammad, kisas bisa diterapkan pada

mudhihah, simhaq, badi’ah, dan damiyah, karena kesepadanan masih mungkin

dilaksanakan dengan mengukur lukanya, baik lebar maupun dalamnya. Menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali, tidak ada hukuman kisas pada syajjaj sebelum mudhihah, karena luka-luka tersebut tidak sampai pada tulang sehingga tidak ada batas pasti yang aman dari kelebihan45.

Sedangkan hukuman kisas untuk jirah46 ini diperselisihkan oleh para fuqaha. Imam Malik berpendapat bahwa kisas berlaku pada semua jirah, baik lukanya munqilah

38

Pelukaan yang lebih dalam sehingga memotong atau merobek selaput tersebut sehingga tulangnya kelihatan.

39

Pelukaan yang lebih dalam lagi sehingga memotong atau memecahkan tulang.

40

Pelukaan yang sampai memindahkan posisi tulang dari tempat asalnya.

41

Pelukaan yang lebih dalam lagi sehingga sampai kepada selaput tulang dan otak.

42

Pelukaan yang merobek selaput antara tulang dan otak sehingga otaknya kelihatan.

43

Muslich, Hukum Pidana Islam, h.40

44

Pelukaan memotong daging sehingga selaput antar daging dan tulang kelihatan.

45

Muslich, Hukum Pidana Islam, h.40

46

maupun hasyimah47. Alasannya adalah kisas dengan keseimbangan masih memungkinkan, kecuali kalau menimbulkan kekhawatiran. Sedangkan untuk jaifah tidak berlaku hukuman kisas.

Abu Hanifah berpendapat bahwa di dalam jirah tidak berlaku hukuman kisas sama sekali, baik jaifah48 maupun ghairu jaifah49. Alasannya adalah karena sulit untuk menerapkan kesepadanan dalam pelaksanaannya. Akan tetapi, apabila jirah tersebut mengakibatkan kematian, pelaku wajib di kisas jika ia sengaja melakukan pembunuhan50.

Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa dalam jirah berlaku hukuman kisas apalagi pelukaannya sampai mudhihah, yaitu pelukaan yang sampai kepada tulangnya51. Alasannya karena dalam hal ini kesepadanan mungkin diterapkan karena ada batas, yaitu tulang. Akan tetapi, sebagian dari pengikut imam Syafi’i berpendapat bahwa dalam jirah sama sekali tidak berlaku hukuman kisas alasan mereka adalah karena dalam mudhihah kepala dan wajah ada ganti rugi yang tertentu, sedangkan pada jirah tidak ada. Oleh karena itu, keduanya tidak boleh disamakan. Akan tetapi pendapat tersebut ditolak, karena dasar kisas bukan ganti rugi, melainkan firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 45:

--[ ! k?- -l* ?

2

f n

6

8q

9

Dan setiap luka ada qishasnya” (al-Maidah : 45)

Hukuman untuk tindakan selain yang telah disebutkan di atas. Apabila tindak pidana atas selain jiwa tidak menimbulkan luka pada athraf, tidak pula menghilangkan manfaatnya, juga tidak menimbulkan syajjaj, dan tidak pula jirah, menurut kebanyakan

47

Muslich, Hukum Pidana Islam, h.40

48

Pelukaan sampai ke bagian dalam dari dada.

49

Pelukaan tidak sampai ke bagian dalam dada.

50

Muslich, Hukum Pidana Islam, h.41

51

pendapat fuqaha dalam kasus ini tidak berlaku hukuman kisas. Tindakan penempelengan, pemukulan, dengan cambuk dan tongkat semuanya itu tidak dikenakan hukuman kisas apabila tidak meninggalkan bekas52.

Imam Malik, berpendapat bahwa dalam pemukulan dengan cambuk berlaku hukuman kisas, walaupun tidak menimbulkan jirah atau syajjaj53. Akan tetapi, dalam penempelengan dan pemukulan dengan tongkat dan penempelengan tidak berlaku hukuman kisas, kecuali apabila menimbulkan luka jirah atau syajjaj. Menurut Syamsu Ad-Din Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah, di dalam penempelengan dan pemukulan juga berlaku hukuman kisas, berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 126:

! !ﺏ ( &! ] *GI ;-4 *B-ﺕ* ﺹ !s ? !E!ﺏ *B-*! ;-' ﻡ ! *`! !ﺏ ;-! + *B-* ' *>!P?

2

O

6

Lt7

9

Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang

sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah lebih baik bagi orang-orang yang sabar” (an-Nahl: 126)

Ayat di atas menjelaskan tentang kesepadanan dalam hukuman dan perbuatan dalam kasus ini penempelengan dibalas dengan penempelengan dan pemukulan dibalas dengan pemukulan adalah suatu tindakan yang lebih dekat kepada kesepadanan dan keseimbangan disbanding dengan ta’zir yang berlainan jenis dengan perbuatan yang dilakukan oleh terhukum. Pendapat Ibnu Al-Qayyim ini diperkuat dengan merujuk kepada pendapat Imam Ahmad Ibnu Hambal yang mengatakan bahwa untuk penempelengan dan pemukulan berlaku hukuman kisas. Demikian pula para sahabat seperti Abu Bakar, Utsman, Ali, dan Khalid bin Walid pernah meng-kisas pelaku penempelengan54. 52 Ibid., 53 Ibid,. 54 Ibid., h.42

Sebagian fuqaha dari kalangan Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa untuk penempelengan berlaku hukuman khusus jika tindakan tersebut menghilangkan daya penglihatan55. Akan tetapi untuk penempelengannya sendiri, mereka tidak memberlakukan hukuman kisas. Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa menurut pendapat jumhur fuqaha, untuk tindak atas selain jiwa yang tidak mengakibatkan luka pada athraf, syajjaj, atau jirah, hukumannya adalah ganti rugi yang tidak tertentu atau hukumah, yaitu ganti rugi yang ketentuannya diserahkan kepada kebijaksanaan dan ijtihad hakim, dan ini hampir mirip dengan ta’zir.

Menurut R. Soesilo, hukuman adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang melanggar undang-undang hukum Pidana.56 Sedangkan, menurut Wiryono Prodjodikoro hukuman adalah hal-hal yang dipidanakan oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya, dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.

Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa hukuman adalah suatu penyiksaan atau penderitaan yang khusus dijatuhkan kepada orang yang melanggar norma-norma atau kaidah-kaidah hukum pidana melalui vonis hakim.

Dalam istilah hukum pidana Islam, pemidanaan ataupun hukuman disebut dengan istilah ‘uqubah.57 Dalam al-Quran tidak dijumpai kata ini, yang ada hanyalah kata ‘iqab yang disebut sebanyak 20 kali dalam 11 surat dan 20 ayat, yang berarti siksa

55

Ibid.,

56

R. Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor, Politea, 1965, h. 26.

13

Kata ‘uqubah berasal dari akar kata ‘aqaba-ya’qibu/ya’qubu-‘aqban-‘uquban. Namun demikian, kata ‘uqubah identik dengan kata al-‘iqab dan al-qishash yang secara harfiah berarti hukuman. Lihat Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, Surabaya, Pustaka Progressif, Edisi II, h. 1022.

atau siksaan. Kata lain yang menyerupai kata ‘iqab adalah kata ‘adzab yang juga berarti siksa, di samping berarti sakit dan pedih (al-alam).58

Sedangkan secara terminologi, ‘uqubah adalah sebutan bagi sesuatu yang menyakitkan atau tidak menyenangkan yang dikenakan atau ditimpakan kepada pelaku tindak kejahatan dalam rangka mencegah (menghalangi) pelaku, atau suatu yang tidak menyenangkan atau menyakitkan yang disyariatkan (oleh Allah) untuk mencegah timbulnya berbagai kerusakan atau mafasid.59

Dokumen terkait