• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk-bentuk Ketidakadilan Gender pada Tokoh Utama

BAB IV ANALISIS STRUKTURAL SERTA KETIDAKADILAN DAN

4.2 Ketidakadilan dan Kekerasan pada Tokoh Utama dalam Novel Wajah Sebuah

4.2.1 Bentuk-bentuk Ketidakadilan Gender pada Tokoh Utama

Perbedaan gender telah melahirkan perbedaan peranan sosial antara laki-laki dan perempuan, perempuan kerap menjadi subordinasi laki-laki, seperti dalam karir. Karir perempuan tergantung pada laki-laki, izin dari suami diperlukan untuk menduduki jabatan atau mengemban tugas tertentu. Sebaliknya hampir tidak ditemukan ketentuan yang dikenakan pada suami untuk minta izin dari istrinya ketika akan menduduki jabatan tertentu.

Perbedaan gender sesunguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan.

Fakih (2004 : 12-13) menyatakan bahwa :

untuk memahami bagaimana perbedaan gender menyebabkan ketidakadilan gender, dapat dilihat melalui pelbagai manifestasi ketidakadilan yang ada, yakni : marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negati, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.

Dari beberapa bentuk ketidakadilan tersebut, hanya dijumpai empat bentuk ketidakadilan yang dialami tokoh Mira, yaitu:

1. Ketidakadilan Gender yang Berupa Stereotip

Salah satu pangkal ketidakadilan terhadap perempuan bermuara dari stereotipe yang cenderung merendahkan perempuan. Pandangan ini sering berpangkal dan mendapat pembenaran dari tradisi budaya dan pemahaman keagamaan yang ada dalam masyarakat. Menurut Fakih (2004 : 16) : “Secara umum stereotip merupakan pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu dan biasanya pelabelan ini selalu berakibat pada ketidakadilan”.

Misalnya, penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan

atau pelecehan seksual yang menimpa perempuan, masyarakat cenderung menyalahkan korbannya.

Tokoh Mira dalam novel ini adalah tokoh yang mengalami ketidakadilan gender yang berupa stereotip. Dalam novel ini Mira diperlakukan secara semena-mena, baik di dalam hukum maupun dalam keluarga. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut :

“O, begitu?” Julia membelalak, “Pelakunya tidak diusut dulu? Biar dihukum!”

“Bikin repot! Urusannya panjang dengan polisi dan pengadilan. Kita banyak pekerjaan yang mesti kita selesaikan. Kita bukan pengangguran,” sahut Ian Camarro (WSV : 130-131).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mira dianggap tidak penting, keberadaan Mira hanya membuat repot keluarga Ian Camarro.

Mira dianggap tidak penting, bahkan Ian Camarro menyuruh melepaskan pelaku yang menganiaya Sumirah. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut :

“Yang kudengar begitu. Tapi, tadi pagi aku mendengar yang diurus Nico itu justru lain. Ia mencari lelaki yang menganiaya Mira itu. Padahal aku sudah bilang, itu tidak penting. Bikin repot. Bikin susah. Cuma buang-buang energi dan waktu. Lebih baik, pulangkan saja dia itu. Tentu you setuju…!” (WSV : 200).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa keberadaan Mira tidak penting bahkan merepotkan. Kasus Mira dianggap Ian Camarro tidak penting dan segera membatalkan menuntut Mulder ke pengadilan.

Keberadaan Mira juga dianggap merepotkan dan membuat kacau rumah tangga orang, terdapat pada kutipan berikut :

“Mira apa siapa, apa dari Java, apa dari neraka…aku tidak peduli. Yang jelas, kehadiran perempuan itu membuat rumah tanggaku kacau, Ian Camarro memukul meja (WSV : 196).

Kutipan tersebut menunjukkan ketidaksukaan Ian Camarro atas kehadiran Mira di rumahnya. Kehadiran Mira dianggap hanya membuat kacau rumah tangganya.

Ketidaksukaan Ian Camarro kepada Mira juga terdapat pada kutipan berikut : “Carla rupanya you termakan oleh cerita rekaan Mira,” sindir Ian Camarro, “Mira bilang bahwa Mulder bukan suaminya, karena ia perempuan tidak waras. Dari pengamatanku, selama di rumahku, ia memang tidak menunjukkan sebagai perempuan yang waras. Kerjanya Cuma nangis, termenung, matanya kosong, sakit-sakitan. Ya yang paling tepat ya disebut gila. Anehnya, semua orang menganggapnya waras…!” (WSV : 208-209). Kutipan tersebut juga menunjukkan ketidaksukaan Ian Camarro kepada Mira. Ian Camarro menganggap Mira perempuan yang tidak waras, kerjanya hanya menangis, termenung, dan sakit-sakitan yang akan menambah beban dan membuat repot dirinya.

Kebencian Ian Camarro kepada Sumirah semakin dalam, bahkan ia sempat mengusir Mira dari rumahnya. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut :

“Apalah kata you, terserah. Itu mauku. Kalau you tidak setuju, bawa itu perempuan yang namanya Mira keluar dari rumah kita. Aku tidak mau melihat lagi perempuan itu dari rumah kita, apalagi menjelang Natal. Rumah kita hanya boleh dihuni oleh orang-orang yang kita kenal, bukan untuk orang asing, apalagi perempuan yang bernama Mira” (WSV :215).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Ian Camarro benar-benar tidak suka terhadap kehadiran Mira karena Mira hanya merepotkan keluarganya saja, maka ia mengusir Mira dari rumahnya.

Ian Camarro juga menganggap bahwa yang salah dalam kasus Mira tersebut adalah Mira sendiri, karena Ian menganggap bahwa Mira tak ada bedanya dengan pelacur yang suka pada uang dan kemewahan, seperti pada kutipan berikut:

“Maksudku, ee… si Mira atau perempuan mana pun, menjadi begitu katakanlah korban penipuan laki-laki ya…karena kesalahannya sendiri. Mudah dirayu. Mata duitan, berfantasi jadi nyonya gedongan, mudah dibujuk dengan janji-janji palsu. Ya pokoknya salah sendiri…

“Goblok. Tolol. Sundal”, umpat Ian Camarro tiba-tiba (WSV : 201).

Secara umum kutipan-kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mira adalah seorang wanita yang dianggap mempunyai sifat lembut dan tidak bisa bekerja, Mira dianggap tidak penting dan hanya membuat repot orang lain saja.

Perbedaan gender yang dialami Mira mengakibatkan ketidakadilan gender yang berupa stereotip perempuan dalam lingkungan masyarakat, perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah lembut, tidak berdaya sehingga dianggap hanya bisa merepotkan orang lain saja.

2. Ketidakadilan Gender yang Berupa Marginalisasi

Marginalisasi merupakan suatu proses yang mengakibatkan kemiskinan. Proses ini sesungguhnya banyak sekali terjadi dalam masyarakat dan negara yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh berbagai kejadian, misalnya penggusuran, bencana alam atau proses eksploitasi. Namun, salah satu bentuk pemiskinan atas satu jenis kelamin tertentu, dalam hal ini adalah perempuan disebabkan oleh gender. Dari segi sumbernya marginalisasi ini bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan, atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Marginalisasi kaum perempuan tidak saja terjadi di tempat pekerjaan juga terjadi dalam rumah tangga bahkan negara.

Mira dalam novel Wajah Sebuah Vagina juga mengalami ketidakadilan gender yang berupa marginalisasi perempuan, terlihat pada kutipan berikut :

“Wilayah kumuh adalah tempat tinggal kami, orang pendatang dari desa untuk mengais nasi di kota besar. Tapi bagaimanapun, meski tinggal di wilayah kumuh, itu lebih baik daripada saya hidup di desa mati kelaparan,” tegas Mira (WSV : 44).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mira adalah orang desa yang miskin dan pergi merantau ke kota. Sumirah merantau ke kota, tetapi di kota sulit mencari pekerjaan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut :

“Hidup di kota besar memang tidak mudah, kalau tidak punya pekerjaan pasti. Pekerjaan pasti hanya bisa diperoleh bila kita punya keahlian. Lebih baik lagi, kalau punya pendidikan tinggi-ijazah sekolah tinggi, agar bisa mendapat pekerjaan pasti, pekerjaan yang mapan. Kenyataannya? Karena kemiskinan yang parah, jadi saya hanya mampu memiliki ijazah Sekolah Dasar yang tidak laku untuk melamar pekerjaan (WSV : 50).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mira hidup dalam kemiskinan. Ia tidak mempunyai pekerjaan yang pasti karena tidak memiliki ijazah dan keahlian, sebenarnya Mira ingin memiliki ijazah sekolah yang tinggi tetapi karena miskin ia tidak dapat beresekolah dan hanya lulus Sekolah Dasar.

Kemiskinan yang diderita Mira juga diakibatkan karena sejak kecil Mira sudah kehilangan kedua orang tuanya. Dapat terlihat pada kutipan berikut :

Mira mengangguk, lalu bicara pelan, “Ayah-ibu saya dibunuh ketika saya masih berusia lima tahun. Ya itu sekitar tahun enam lima akhir”.

“Dibunuh? Siapa yang membunuh?” Totti terkejut. “Petugas keamanan negara!” sahut Mira lirih.

“Alasannya? Pasti politik!” sela Totti dengan nada tinggi (WSV : 450).

Kutipan tersebut menunjukkan bahawa ayah ibu Mira meninggal saat Mira masih kecil. Mereka meninggal karena dibunuh oleh petugas keamanan negara karena terlibat Partai Komunis.

Orang tua Mira terlibat Parati Komunis juga terlihat pada kutipan berikut : “Saya tidak tahu politik. Yang saya tahu, ayah ibu saya petani miskin. Setelah saya masuk Sekolah Dasar, saya dengar bahwa ayah ibu saya dibunuh karena terlibat partai komunis-BTI, Barisan Tani Indonesia adalah organisasi di bawah payung Partai Komunis… Ketika saya mulai beranjak dewasa, menjelang lulus Sekolah Dasar, banyak teman-teman dan tetangga saya mencap Saya anak PKI. Kamu tahu Dik? Itu artinya, saya adalah warga Indonesia paling dibenci dan paling dikucilkan dalam masyarakat” (WSV : 45-46).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa orang tua Mira terlibat dalam Partai Komunis, sehingga Mira ikut dibenci dan dikucilkan oleh masyarakat di desanya, padahal Mira masih kecil dan tidak tahu apa-apa.

Mira menanggung akibat dari cap yang masyarakat berikan kepadanya, yaitu sebagai anak PKI. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut :

“Ya, karena tidak ada jalan lain yang bisa saya lakuakan pada waktu itu selain menjadi WTS,” tanggap Mira geram. “Setelah lurah edan itu merenggut kehormatan saya, saya minggat dari desa, karena kalau saya tidak pergi diancam akan dibunuh Pak Lurah. Aneh kan? Yang salah dia kok malah dia yang mengancam saya. Dia mencari-cari kesalahn nenek saya dan saya.

Katanya, saya mulai kasak-kusuk mengaktifkan partai komunis di Mijil. Astaga, mana mungkin nak kencur, yang selamanya tinggal di udik, lulusan Sekolah Dasar mampu menghimpun kekuatan untuk mengaktifkan PKI?” (WSV : 49).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mira menjadi seorang pelacur setelah ia pergi dari desanya. Setelah Pak Lurah memperkosanya, ia dituduh mulai mengaktifkan kembali Partai Komunis. Padahal Mira waktu itu masih kecil. Sumirah diancam akan dibunuh jika tidak meninggalkan desa Mijil.

Secara umum kutipan-kutipan tersebut menunjukkan bahawa Mira merupakan korban dari ketidakadilan gender yang berupa marginalisasi perempuan. marginalisasi atau pemiskinan terhadap perempuan dari sumbernya bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, keyakinan tradisi, dan kebiasaan atau bahkan asumsi.

Mira menjadi miskin dan dikucilkan karena kebijakan pemerintah. Ia dicap sebagai anak PKI dan dibenci oleh masyarakat karena Partai Komunis dilarang di negara Indonesia. Meskipun orang tuanya terlibat tetapi Mira juga terkena akibatnya padahal ia tidak tahu apa-apa. Masyarakat beranggapan, apabila orang tuanya terlibat maka semua keluarganya juga terlibat termasuk anaknya.

3. Ketidakadilan Gender yang berupa Kekerasan Fakih (2004 : 17) menyatakan bahwa :

Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu, dalam hal ini perempuan disebabkan oleh perbedaan gender. Kekerasan yang disebabkan oleh perbedaan gender ini disebut gender-related violence.

Akibat adanya perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan, perempuan menjadi lebih rentan menjadi korban kekerasan , karena posisi perempuan pada

umumnya dianggap rendah oleh masyarakat baik secara ekonomi, sosial, maupun politik dibandingkan dengan laki-laki.

Mira dalam novel ini juga mengalami ketidakadilan gender yang berupa kekerasan. Ini dapat dilihat pada kutipan-kutipan berikut.

Mira mengalami penganiayaan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut :

“Tidak usah tergesa-gesa bangun, Nak. Akan tiba waktnya kau bisa bangun dengan leluasa dan nikmat, Nak”. Bu Sepuh membelai lembut kedua pipi Mira yang penuh luka dan berwarna lebam. Mira merasakan, tangan Bu Sepuh terasa sejuk-dingin, mampu menghilangkan rasa nyeri yang menoreh-noreh kedua pipinya (WSV : 23).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mira mendapat pertolongan setelah mengalami luka dikedua pipinya karena penganiayaan yang dilakuakan oleh Mulder. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut.

“Tapi, bagaimanapun, nasib kakak tidak buruk bukan? Bapa melindungi kakak dari siksaan lelaki itu yang kata kakak bernama Mulder, melalui Granny dan warga Mpeseo…,” Totti berusaha membesarkan hati Mira.

Mira juga ditipu oleh Mulder, seorang warga Belanda, kekasih Mira dan menjual Mira pada teman-temannya. Terdapat pada kutipan berikut:

“Ya, Cuma begini. Jiwa dan raga hancur-lebur…,Dik”. Mira menggeleng-geleng sambil tersenyum pahit. “saya benar-benar ditipu mentah-mantah sama londo edan itu. Padahal waktu saya baru mengenalnya, Mulder itu orangnya baik sekali. Baikkk…makanya saya kepincut ya…terpikat kepadanya, sampai Saya meninggalkan Kang Suhar, suami saya…,” sambung Mira lirih (WSV : 42).

“Apa yang dilakukan Mulder setelah kakak anggap edan?” Totti memandangi Mira yang nampak marah.

“Mulder menjual vagina saya kepada teman-temannya!” mata Mira berair bibirnya gemetar pucat (WSV : 55).

Sebelumnya Mulder sangat baik kepada Mira, tetapi kemudian Mulder menjual Mira kepada teman-temannya.

Mira dijual oleh Mulder juga terdapat pada kutipan berikut :

“ Pertama-tama terjadi di atas kapal, ketika saya berlayar menuju kemari-ke Afrika. Kali lain, Mulder menjual saya lagi, beberapa hari sebelum ia

mengubur saya hidup-hidup di wilayah ini. Transaksi yang kali ini berlangsung di sebuah hotel bintang lima di Durban…” kalimat Mira patah (WSV : 56).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Mira pertama kali dijual Mulder kepada temannya di kapal yang membawanya ke Afrika. Setelah itu ia menjual Mira di hotel-hotel bintang lima sebelum akhirnya Mira dianiaya dan dikubur hidup-hidup.

Mira selain disuruh bekerja sebagai pelacur, ia juga sering dianiaya oleh Mulder. Hal ini terlihat pada kutipan berikut :

“Mira malam ini you tidak kerja? Tuan Lulumba menantimu di Paradise Motel!” tanya Dicky dengan nada menghardik.

“O, Mulder…Mister Mulder…Saya, Saya ternyata tadi sore haid. Jadi, jadi, Saya tidak bisa bekerja melayani Tuan Lulumba!” sahut Mira geragapan, terbangun dari tidurnya, “Perut Saya mules”. Tegasnya, dengan suara gemetar, karena dilanda ketakutan (WSV : 161).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mira disuruh melayani teman Mulder di hotel, tapi Mira sedang haid dan tidak mampu bekerja.

Mira dianiaya Mulder juga terlihat pada kutipan berikut :

“Haid! Haid! Haid! You bohong. You sok suci. Heh!” Dicky menendang perut Mira, hingga perempuan itu jatuh terpelanting dari tempat tidur kayu yang sempit itu (WSV : 162).

Penganiayaan yang dilakukan Mulder ternyata tidak berhenti sampai disitu saja. Mira juga ditendang, ditempeleng, serta dicaci maki. Hal ini terlihat pada kutipan berikut :

Mira menggeleng perlahan-lahan dan Dicky lalau menempelengnya sambil berteriak, “Stupid! Tolol! Goblok! Dungu! Perempuan kampungan!” (WSV : 162-163).

Selain itu Mira juga diancam oleh Mulder.

“Kalau you masih mau hidup, you harus menurut apa yang ik perintah. You tahu, ik sekarang lagi perlu uang banyak, maka you harus rajin bekerja…,” tegas Dicky dengan gigi menggegat-gegat (WSV : 163).

Mira selain dianiaya dan dijual oleh Mulder, ia juga diperkosa oleh seorang kepala desa di desanya. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut :

“Ya, ya, memang terlalu,” tiba-tiba Mira menggegat, “Ia merenggut kegadisanku ketika saya berusia empat belas tahun, pas lulus Sekolah Dasar. Ia melakukannya di tengah sawah , mencegat saya ketika Saya pulang sekolah. Lurah gila itu memenggil-manggil saya dengan dalih akan memberi bantuan biaya saya masuk SMP. Itu, karena ia tahu saya memang ingin sekali melanjutkan sekolah, padahal nenek saya, yang mengasuh saya sejak kecil, miskin sekali…” (WSV : 46-47).

Setelah memperkosa Mira, lurah tersebut juga mengancam Mira untuk meninggalkan desa mereka. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut:

“Karena Pak Lurah terus mengancam-ancam saya, saya lalu pergi ke Surabaya menemui seorang tetangga saya yang katanya kerja di sebuah restoran. Namanya Mbak Dinah. Ternyata Mbak Dinah menjadi mucikari. Dia tega menjual saya…”(WSV : 49).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mira setelah diperkosa oleh lurah desanya juga diancam akan dibunuh. Kemudian Mira pergi ke Surabaya menemui tetangganya yang katanya bekerja di restoran ternyata ia seorang mucikari. Akhirnya Mira dijadikan pelacur.

Secara keseluruhan kutipan-kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mira mengalami ketidakadilan yang berupa kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan sering terjadi karena budaya dominasi laki-laki terhadap perempuan. kekerasan digunakan oleh laki-laki untuk memenangkan perbedaan pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas, dan seringkali hanya untuk menunjukkan bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan.

4. Ketidakadilan Gender yang Berupa Subordinasi

Fakih (2004 : 15) menyatakan : “Subordinasi merupakan adanya anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan dalam bidang pekerjaan pada posisi yang tidak penting”.

Bentuk subordinasi terhadap perempuan yang menonjol adalah bahwa semua pekerjaan yang dikategorikan sebagai reproduksi dianggap lebih rendah dan menjadi

subordinasi dari pekerjaan produksi yang dikuasai laki-laki.Mira juga mengalami ketidakadilan gender berupa subordinasi pekerjaan.

Mira berusaha untuk meningkatkan perekonomian keluarga dengan bekerja sebagai penjual bir kepada penghuni hotel, tempat dimana Suhar sering menunggu langganan taksinya. Terlihat pada kutipan berikut :

“Sopir taksi. Taksinya mangkal di hotel. Ya, hotel langganan Mulder. Kalau Mulder ke Jakarta, ia pasti menginap di hotel itu. Kang Suhar sering dicarter Mulder. Maka Saya kenal Mulder, karena ia sering pesan bir pada Kang Suhar dan Saya yang mengantarkan bir pesanannya ke hotel tempat ia menginap (WSV 42-43).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mira ikut mencari nafkah keluarganya dengan menjual bir kepada penghuni hotel termasuk Mulder. Mira mengalami ketidakadilan gender berupa subordinasi pekerjaan karena ia seorang perempuan, dianggap irasional, dimana masyarakat beranggapan bahwa perempuan memiliki penalaran yang tidak masuk akal. Selain dianggap irasional, perempuan juga dianggap sebagai kaum yang emosional dimana perempuan cenderung meninjau sesuatu dengan penuh emosi (perasaan). Karena kecenderungan perempuan yang irasional dan emosional tersebutlah maka tokoh Mira dalam cerita tersebut dianggap sebagai perempuan yang tidak bisa melakukan pekerjaan yang lebih baik selain menjual bir. Seorang penjual bir harus berpenampilan menarik agar pembelinya merasa puas dan Mira dirasa cocok dijadikan penjual bir.

Mira melakukan pekerjaannya sebagai penjual bir dengan susah payah. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut :

“Teman-teman Mulder juga begitu. Antara lain Mister Pieter, Mister Ben, dan Mister Coen. Mulder kemana-mana selalu bersama mereka dan semuanya doyan bir. Kang Suhar melihat ini peluang dagang yang bagus. Saya disuruh melayani mereka bila dia sedang ke Jakarta, tiap malam mengantar bir untuk mereka. Ya, saya mondar-mandir keluar masuk hotel melalui pintu belakang. Itu bisa Saya lakukan dengan mulus karena saya menyogok penjaga hotel “(WSV : 43).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa suami Mira melihat peluang usaha menjual bir kepada Mulder dan teman-temannya, karena mereka semua suka bir. Mira yang merupakan perempuan yang cantik dan lemah lembut dianggap pantas oleh suaminya untuk mengerjakan pekerjaan itu dan karena perawakannya tersebut Mira dengan gampang mendekati petugas hotel agar bebas keluar masuk hotel untuk menjalankan bisnis tersebut. Mira mengalami ketidakadilan gender berupa subordinasi pekerjaan perempuan juga terlihat pada kutipan berikut :

“Ya, itu karena ada perempuan yang menjual vaginanya. Termasuk aku…, pernah melakukannya. Menjual vagina,” kata Mira, berkata sejujurnya (WSV : 48).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mira menjadi seorang pelacur. Ia dijadikan pelacur oleh Mbak Dinah karena dianggap tidak mempunyai keterampilan kecuali untuk memuaskan nafsu syahwat laki-laki.

Secara keseluruhan, kutipan-kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mira mengalami ketidakadilan gender yang berupa subordinasi dalam pekerjaan. Anggapan bahwa perempuan itu irasional, emosinal sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin dan berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Perempuan diidentikkan dengan jenis-jenis pekerjaan tertentu. Seperti Mira yang dianggap hanya pantas bekerja sebagai pelacur dan penjual bir kepada laki-laki.

Dokumen terkait