• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.2. Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender

Perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan gender (gender inequality). Ketidakadilan gender bisa berakar dari ketimpangan hubungan gender tradisional (misalnya akses perempuan terhadap lahan) atau muncul dalam bentuk baru (masalah segregasi gender dalam industri modern) (Nainggolan, 2005). Kesenjangan peran gender merupakan kontruksi sosial yang secara sistematis terbentuk melalui budaya dan pendidikan, dan telah berjalan dalam waktu yang lama sehingga ketidakadilan gender dianggap sebagai hal biasa saja. Anggapan seperti ini bukan hanya milik laki-laki, sebagian besar perempuan juga berpikir demikian.

Fakih (2003) dalam Nainggolan (2005) menyatakan bahwa perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequlities). Diperkuat dengan pendapat Hadiprakoso (2005), jika secara biologis perempuan dapat hamil lalu melahirkan sehingga perempuan memiliki peran gender sebagai perawat, pengasuh, dan pendidik anak, sesungguhnya tidak menjadi masalah dan tidak perlu digugat. Namun persoalannya perbedaan peran gender tersebut telah terbentuk dalam kurun waktu yang cukup lama, sehingga terbentuk anggapan bahwa peran perempuan sebagai ibu rumah tangga yang harus mengurus dan merawat anak. Perbedaan peran tersebut menghasilkan ketidakadilan gender.

Fakih (1999) dalam Puspitasari (2006) kemudian menjelaskan bahwa ketidakadilan gender adalah suatu sistem dan struktur yang menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai korban dari sistem. Bentuk manifestasi ketidakadilan gender ini adalah mempersepsi, memberi nilai serta dalam pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan. Handayani dan Sugiarti (2008) menjelaskan beberapa bentuk ketidakadilan gender sebagai berikut:

2.1.2.1. Marginalisasi Perempuan

Bentuk manifestasi ketidakadilan gender adalah proses merginalisasi atau pemiskinan terhadap kaum perempuan. Marginalisasi atau disebut juga pemiskinan ekonomi. Dari segi sumbernya bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi, dan kebiasaan atau bahkan asumsi

ilmu pengetahuan. Nainggolan (2005) menyebutkan terdapat beberapa contoh marginalisasi perempuan antara lain:

a. Marginalisasi dalam Negara

Dalam praktik kehidupan bernegara pemimpin birokrasi jarang diberikan kepada perempuan, walaupun dalam pernyataannya dikatakan bahwa pimpinan birokrasi itu dapat dijabat perempuan. Akibat marginalisasi terjadi proses domestifikasi, sehingga pekerjaan perempuan di sektor publik dianggap ketidaknormalan, sekedar mencari pekerjaan tambahan. Selain itu marginalisasi juga menyebabkan perempuan menjadi obyek, seperti obyek alat kontrasepsi.

b. Marginalisasi dalam Masyarakat

Dalam proses pembangunan, perempuan diikutsertakan tetapi tidak pernah diajak turut serta mengambil keputusan. Pendapat perempuan jarang didengarkan. Perempuan diberi tugas melaksanakan pekerjaan hasil keputusan laki-laki.

c. Marginalisasi dalam Organisasi atau tempat kerja

Penerimaan kerja dalam suatu lembaga/organisasi, diutamakan untuk laki-laki dengan alasan perempuan kurang produktif (misalnya cuti hamil dan sakit karena haid). Apabila ada lowongan jabatan pimpinan, pihak laki-laki lebih mendapat prioritas, sementara perempuan disingkirkan dari jabatan kepemimpinan sekalipun ia mampu melaksanakannya.

d. Marginalisasi dalam Keluarga

Perempuan tidak diakui sebagai kepala keluarga. Perempuan tidak boleh memimpin dan memerintah suami, sekalipun suami tidak bisa memimpin. Walaupun yang menyediakan makan ibu, tetapi bapak dan anak laki-laki yang didahulukan. Ibu dan anak perempuan juga membereskan semuanya, seperti mencuci piring, membersihkan meja makan, dan lain sebagainya. Apabila keuangan terbatas, pilihan yang harus sekolah adalah anak laki-laki, walaupun anak perempuannya lebih pandai. Istri dinyatakan “berdosa” bila tidak tersedia melayani kebutuhan seks suami, walaupun ia sangat penat karena bekerja, dan lain sebagainya.

 

e. Marginalisasi dalam Diri Sendiri

Dalam diri perempuan sendiri ada perasaan tidak mampu, lemah, menyingkirkan diri sendiri, karena tidak percaya diri.

2.1.2.2. Subordinasi Terhadap Perempuan

Subordinasi adalah anggapan bahwa perempuan tidak penting terlibat dalam pengambilan keputusan politik. Perempuan tersubordinasi oleh faktor- faktor yang dikonstruksikan secara sosial. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional, sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, dan berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Bentuk subordinasi terhadap perempuan yang menonjol adalah bahwa semua pekerjaan yang dikategorikan sebagai reproduksi dianggap lebih rendah dan menjadi subordinasi dari pekerjaan produksi yang dikuasai lelaki.

2.1.2.3. Stereotype

Stereotype adalah pelabelan negatif terhadap suatu kelompok atau jenis pekerjaan tertentu, biasanya pelabelan ini selalu berakibat pada ketidakadilan, sehingga dinamakan pelabelan negatif. Hal ini disebabkan pelabelan yang sudah melekat pada laki-laki, misalnya laki-laki adalah manusia yag kuat, rasional, jantan, dan perkasa sedangkan perempuan adalah makhluk yang lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Dengan adanya pelabelan tersebut tentu saja akan muncul banyak stereotipe yang dikonstruksi oleh masyarakat sebagai hasil hubungan sosial tentang perbedaan lelaki dan perempuan. Oleh karena perempuan identik dengan pekerjaan-pekerjaan di rumah, maka peluang perempuan untuk bekerja di luar rumah sangat terbatas, bahkan ada juga perempuan yang tidak pernah menerapkan pendidikannya untuk mengaktualisasikan diri.

2.1.2.4. Beban Kerja Ganda

Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya. Karena adanya anggapan bahwa kaum perempuan bersifat memelihara, rajin dan tidak akan menjadi kepala rumah tangga, maka akibatnya semua pekerjaan domestik

menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Oleh karena itu, perempuan menerima beban ganda, selain harus bekerja domestik, mereka masih harus bekerja membantu mencari nafkah.

2.1.2.5. Kekerasan Terhadap Perempuan

Kekerasan (violence) adalah suatu serangan (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan yang bersumber dari anggapan gender disebut sebagai “gender-related violence”, yang pada dasarnya disebabkan oleh kekuasaan. Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan semena-mena, berupa tindakan kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan sering terjadi karena budaya dominasi laki-laki terhadap perempuan. Kekerasan digunakan laki-laki untuk memenangkan perbedaan pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas, dan seringkali hanya untuk menunjukkan bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan. Pada dasarnya kekerasan yang berbasis gender adalah refleksi dari sistem patriarkhi yang berkembang di masyarakat.

Fakih (1999) dalam Puspitasari (2006) menyatakan bahwa ketidakadilan gender dapat bersifat:

1. Langsung, yaitu pembedaan perlakuan secara terbuka dan berlangsung disebabkan perilaku/sikap, norma/nilai, maupun aturan yang berlaku.

2. Tidak langsung, seperti peraturan sama, tetapi pelaksanaannya menguntungkan jenis kelamin tertentu.

3. Sistemik, yaitu ketidakadilan yang berakar dalam sejarah, norma, atau struktur masyarakat yang mewariskan keadaan yang bersifat membeda- bedakan.

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI (2002) mendefinisikan kesetaraan gender sebagai kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (Hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi

 

penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.