• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk dan Kandungan Mushaf-mushaf Pra-Utsmani

Dalam dokumen Buku_Rekonstruksi Sejarah Alquran.pdf (Halaman 188-194)

Di atas telah ditolak kemungkinan eksisnya kumpulan resmi al-Quran baik pada masa Abu Bakr ataupun Umar. Tetapi, penolakan ini tidak menafikan kemungkinan eksisnya sejumlah kumpulan al-Quran berkarakter personal yang diupayakan secara sadar oleh para sahabat Nabi semasa hidupnya hingga beberapa saat setelah wafatnya. Gambaran umum yang diperoleh tentang keadaan salinan-salinan al-Quran setelah wafatnya Nabi memang sangat menyedihkan, karena tidak hanya tercerai-berai dan tidak teratur, tetapi salinan-salinan itu juga ditulis di atas bahan-bahan yang berbeda dan sangat sederhana.

Ada sejumlah informasi yang cukup ekstensif tentang bahan-bahan yang digunakan untuk menyalin al-Quran. Informasi ini terutama didasarkan pada laporan-laporan mengenai surat-surat yang dikirim Nabi ke berbagai penguasa dunia ketika itu dan laporan mengenai pengumpulan al-Quran yang dilakukan Zayd. Dalam laporan terakhir ini disebutkan sejumlah bahan yang ketika itu digunakan untuk menyalin wahyu-wahyu yang diturunkan Allah kepada Muhammad,76 yaitu:

(i) riqã‘ atau lembaran lontar atau perkamen, sebagaimana dijelaskan al-Suyuthi;77

(ii) likhãf atau batu tulis berwarna putih, terbuat dari kepingan batu kapur yang terbelah secara horisontal lantaran panas;

(iii) ‘asib atau pelepah kurma, terbuat dari bagian ujung dahan pohon kurma yang tipis – salah satu surat Nabi kepada Udzra ditulis di atas bahan ini;78

(iv) aktãf atau tulang belikat, biasanya terbuat dari tulang belikat unta;

(v) adllã‘ atau tulang rusuk, biasanya juga dari tulang rusuk unta;

(vi) adîm atau lembaran kulit, terbuat dari kulit binatang asli – bukan perkamen – dan merupakan bahan utama yang digunakan untuk menulis ketika itu.79

Namun penekanan yang diberikan pada penggunaan bahan-bahan tulis-menulis yang sederhana dalam laporan-laporan pengumpulan al-Quran itu barangkali terlalu dilebih-lebihkan. Penekanan semacam ini mungkin dilakukan dalam rangka menonjolkan kecekatan para pengumpul kitab suci tersebut dan kesederhanaan yang menyelimuti kehidupan pada masa awal Is-lam, yang sangat kontras dengan kemewahan hidup yang menggelimangi para penguasa dinasti Umaiyah. Tetapi, adalah sangat masuk akal bila dalam pengumpulan al-Quran secara tertulis ini telah digunakan bahan-bahan yang lebih baik, karena hal tersebut menyangkut penyalinan naskah dari “langit” yang sangat dikuduskan dan diagungkan kaum Muslimin.

Nama yang diberikan kepada salinan atau kumpulan tertulis wahyu, baik dalam bentuk lengkap atau sebagiannya, adalah shuhuf atau shahîfah, yang bermakna “lembaran-lembaran.” Kata ini, sebagaimana telah disinggung, merupakan kata bentukan baru dalam bahasa Arab yang berasal dari kata bahasa Habsyi (ethiopik) atau bahasa Arab selatan, shahafa (“menulis”), dan telah digunakan pada masa pra-Islam. Sementara kata bentukan mashhaf, atau lebih sering diucapkan mushhaf, memiliki makna “kitab” atau “kodeks,” yang selaras dengan makna dalam bahasa aslinya, Habsyi.80 Kata shuhuf sendiri, dalam pengertian di atas, menunjukkan kepada lembaran-lembaran dengan bahan dan format yang sama. Barangkali bahan yang dimaksudkan di sini, sebagaimana diduga Schwally, terbuat dari kulit.81 Apakah bahan ini menunjuk kepada perkamen atau bukan, tidak dapat dipastikan. Tetapi, penyebutan salinan atau kumpulan al-Quran sebagai shuhuf atau “lembaran-lembaran” menunjukkan bahwa kumpulan wahyu itu belum tertata secara pasti, khususnya dalam susunan surat-suratnya. Hal ini dijustifikasi sejumlah riwayat dan fenomena kitab-kitab mashãhif yang awal,

bahkan dibuktikan oleh temuan-temuan manuskrip al-Quran yang awal.82

Dalam Itqãn, misalnya, disebutkan bahwa al-Quran pada masa Nabi tidak terkumpul (majmû‘ ) dan tidak memiliki susunan surat yang pasti (wa lã murattab al-suwar);83 sementara kumpulan al-Quran belakangan yang disebut dengan mushhaf – dengan makna yang telah disebutkan di atas – misalnya mushaf utsmani, susunan suratnya telah tertata secara pasti. Permasalahan apakah shuhuf atau mushaf al-Quran itu dijilid atau tidak, merupakan permasalahan yang sulit ditelusuri jawabannya dalam berbagai informasi yang sampai ke tangan kita. Bahkan untuk kasus mushaf utsmani, yang dipandang sebagai model, juga tidak tersedia informasi apapun yang dapat memastikan bahwa kumpulan al-Quran tulisan tangan itu dijilid.

Permasalahan selanjutnya tentang keutuhan dan kandungan kumpulan-kumpulan al-Quran yang awal ini, tentang bentuknya, pengelompokan surat-suratnya, penggunaan formula basmalah sebagai marka pemisah (fawãshil ) antara satu surat dengan surat lainnya, pemunculan huruf-huruf misterius (fawãtih al-suwar) di sejumlah surat, dan lainnya, akan didekati setelah dilakukan kajian terhadap sejumlah naskah pra-utsmani lainnya dan mushaf utsmani sendiri.

Catatan:

1 Lihat EI, art. “Arabia,” pp. 381 ff.

2 Hubungan dagang Makkah dengan dunia di luarnya disinggung dalam surat 106. Lihat juga p. 12 di atas.

3 Lihat EI, art. “Arabia,” p. 382.

4 Berbagai tamsilan yang berasal dari dunia niaga ini misalnya 69:19, 25; 84:7,10, dll. untuk kitab, laporan; 69:20,26; 84:8, dll. untuk hisab; 21:47; 101;6,8, dll. untuk timbangan; 52:21; 74:38, dll. untuk perjanjian; 57:19,27; 84:25; 95:6, dll. untuk imbalan; 2:245; 5:12; 57:11,17; 64:17, dll. untuk pinjaman. Lihat juga pp. 13-14 di atas.

5 Ibn Sa‘d, al-Thabaqãt al-Kubrã, (Kairo: Dar al-Tahrir, tt.), ii, p. 19. 6 Lihat EI, art. “Arabia,” pp. 381 ff.

7 Az-Zanjani, Tãrîkh, pp. 39 f. 8 Al-Nadim, Fihrist, i, p. 7 9 Ibid.

10 Ibid., p. 6. 11 Ibid., p. 7.

12 Penyempurnaan aksara Arab akan dibahas lebih jauh dalam bab 8. 13 EI, art. “Arabia,” p. 383.

14 Bukhari,Shahîh, kitãb fadlã’il al-Qur’ãn, bãb khayrukum man ta‘allama al-qur’ãn. 15 Ibid. kitãb bad’ al-khalq, bãb manãqib Zayd ibn Tsabit ; Muslim, Shahîh, Kitãb

Fadlã’il al-Shahãbah, bab 23; Tirmidzi, Sunan, Manaqib Mu ‘ãdz ibn Jabal . 16 al-Nadim, Fihrist, i, p. 62.

17 Lihat Noeldeke, et.al., Geschichte, ii, p. 7. 18 Suyuthi, Itqãn, i, p. 74.

19 Pengumpulan al-Quran (jama‘a-l-qur’ãn) di sini biasa ditafsirkan sebagai penyimpanannya dalam ingatan atau penghafalannya, sekalipun – sebagaimana dibahas nanti – riwayat-riwayat pengumpulan al-Quran oleh para sahabat juga sering menunjuk kepada pengumpulannya dalam bentuk tertulis.

20 Ibn Hisyam, Life of Muhammad, tr. A. Guillaume (London: Oxford Univ. Press, 1955), p. 157.

21 Noeldeke, et.al.,Geschichte, ii, p. 1 f. 22 Az-Zanjani, Tãrîkh , p. 63.

23 Tirmidzi, Sunan, kitãb al-tafsîr, bãb sûrah 9. 24 Suyuthi, Itqãn, i, p. 59.

25 Ibn Hajar, Ahmad ibn Ali ibn Muhammad ‘Asqalani, Fath Bãrî, (Kairo: al-Maktabah al-Salafiyah, tt.), ix, p. 12.

26 Ahmad von Denver, Ilmu Al-Quran: Pengenalan Dasar, tr. A.N. Budiman, (Jakarta: Rajawali Pers, 1988), p. 44.

27 Lihat A. Jeffery, Materials for the History of the Text of the Qur’ãn, (Leiden: E.J. Brill, 1937), pp. 7, 20, 209, passim.

28 Tentang riwayat singkat kehidupan Ali ibn Abi Thalib, lihat SEI, art. “Ali,” pp. 30 ff.

29 Az-Zanjani, Tãrîkh, p. 66.

30 Al-Nadim, Fihrist, i, pp. 62 f.; Abu Bakr Abd Allah ibn Abi Dawud, Kitãb

al-Mashãhif, ed. A. Jeffery, (Mesir: al-Mathba‘ah al-Rahmaniyah, 1936), p. 10.

31 Lihat Jeffery, Materials, p. 182. 32 Lihat az-Zanjani, Tãrîkh, p. 69. 33 Suyuthi, Itqãn, i, pp. 63 f. 34 Ibn al-Nadim, Fihrist, i, p. 63. 35 Noeldeke, et.al., Geschichte, ii, p. 9.

36 Sayangnya halaman dalam karya Ibn al-Nadim,(Fihrist, i, p. 63), yang mengemukakan aransemen kronologis surat-surat dalam mushaf Ali ini hilang dalam berbagai manuskrip yang dijadikan acuan untuk mengedit karya tersebut. 37 Lihat Suyuthi, Itqãn, i, pp. 230-232. Tentang kedua surat ekstra ini, lihat bahasannya

38 Lihat Noeldeke, et.al., Geschichte, ii, p. 10; Jeffery, Materials, p. 183; az-Zanjani,

Tãrîkh, p. 95 f.

39 Ignaz Goldziher, Die Richtungen der islamischen Koranauslegung, (Leiden:E.J. Brill, 1920), pp. 272 ff.

40 Jeffery, Materials, pp. 185-192.

41 Ibid., p. 184. Untuk varian bacaan Ali yang dikemukakan dalam paragraf-paragraf berikut, lihat pp. 185-192.

42 Tentang “bacaan Syi‘ah” ini akan dibahas lebih jauh pada bagian mushaf Ibn Mas‘ud dan Ubay ibn Ka‘b dalam bab 5, pp. 162 ff

43 Lihat p. 130 di atas. 44 Suyuthi, Itqãn, I, p. 59. 45 Ibid.

46 Lihat Jeffery, Materials, p. 234. 47 Lihat pp. 114-115 di atas.

48 John Burton, The Collection of the Qur’ãn, (Cambridge: Cambridge Univ. Press, 1977), pp. 5-6. Mengenai gagasan Goldziher tentang hadits, lihat bukunya,

Muhammedanische Studien, (Halle: Max Niemeyer, 1889-90), terutama dalam

vol. ii. Sementara gagasan Schacht, lihat bukunya, The Origins of Muhammadan

Jurisprudence, (London: Oxford at the Clarendon Press, 1975).

49 Burton, Collection, pp. 239 f. cf. 211 f. 50 Welch, “al-Kur’ãn,” p. 407-408.

51 Lihat Gerd A. Puin, “Observation on Early Qur’an Manuscripts in San‘a,” The

Qur’an as Text, pp. 107-111.

52 Suatu riwayat dari Zayd ibn Tsabit bahkan mengemukakan pernyataan-nya bahwa Rasulullah telah wafat dan al-Quran belum dikumpulkan secara tertulis di atas sesuatupun. Lihat Suyuthi, Itqãn, i, p. 58.

53 Tentang berbagai jenis bahan untuk menulis yang di atasnya tertera tulisan al-Quran, yang menjadi sumber-sumber Zayd dalam proses pengumpulan al-al-Quran, lihat juga p. 151 di atas.

54 Bukhari, Shahîh, kitab fadlã’il al-Quran, bab jam‘ al-qur’ãn. Suyuthi, Itqãn, i, p. 59. Beberapa versi laporan ini bisa ditemukan dalam Ibn Abi Dawud, Mashãhif, p. 6-10. Lihat juga Ibn Hajar, Fath al-Bãrî, ix, p. 11 ff.

55 Ibn Hajar, ibid., p. 16.

56 Lihat Ibn Abu Dawud, Mashãhif, p. 10; juga dikutip dalam Suyuthi, Itqãn, i, p.59. Suyuthi berupaya mengharmoniskan riwayat ini dengan mengartikan kata jama‘a dalam riwayat tersebut dengan asyãra bi-jam‘ihi, “menganjurkan pengumpulannya.” 57 Ibn Abi Dawud, Mashãhif, p. 10.

58 Tentang “ayat rajam,” berikut bahasan tentangnya, lihat bab 7, pp. 233-234 di bawah.

59 Lihat misalnya Tirmidzi, Sunan, hudud, bab 6.

60 Malik ibn Anas, Muwaththa’, (Beirut Libanon: Dar Fikr, 1979), kitãb al-hudûd, hadits no. 1560.

61 Suyuthi, Itqãn, i, p. 60. 62 Ibid., ii, p. 25.

63 Ibn Abi Dawud, Mashãhif, p. 9. 64 Ibid., p. 30.

65 Lihat Noeldeke, et.al., Geschichte, ii, p. 17. 66 Suyuthi, Itqãn, i, p. 60.

67 Ibid.

68 Lihat sejumlah riwayat tentang hal ini dalam Ibn Abi Dawud, Mashahif, p. 5 f. 69 Lihat Hasanuddin A.F., Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya terhadap Istinbath

Hukum dalam al-Qur’an, Jakarta: Rajawali Press, 1995, p. 51.

70 Noeldeke, et.al., Geschichte, ii, p. 20.

71 Demikian menurut perhitungan Schwally, ibid., p. 19. 72 Ibn Abi Dawud, Mashãhif, p. 24 f.

73 Al-Sayyid Abu al-Qasim al-Musawi al-Khu‘i, The Prolegomena of the Qur’an, tr. Abdulaziz A. Sachedina, (New York: OUP, l998), pp. 163-177.

74 Ibid., p. 175.

75 Lihat Puin, “Observation,” pp. 107-111. 76 Suyuthi, Itqãn, i, p. 60..

77 Ibid.

78 Julius Wellhausen, Skizzen und Vorarbeiten, (Berlin: G. Reimer, 1884-99), iv, no. 60, p. 127.

79 Ibid, iv, no. 87, 102, p. 123, mengungkapkan beberapa kisah – hampir-hampir merupakan anekdot – yang dituturkan Ibn Sa‘d mengenai utusan-utusan yang dikirim Nabi ke berbagai penguasa dunia. Dalam kisah-kisah ini disebutkan bahwa surat Nabi yang dibawa para utusan tersebut ditulis di atas lembaran kulit (adîm). 80 Goldziher, Muhammadanische Studien, i, p. 111.

81 Noeldeke, et.al., Geschichte, ii, p. 24. 82 Lihat Puin, “Observation,” pp. 110 f. 83 Suyuthi, Itqãn, i, p. 59.

BAB 5

Dalam dokumen Buku_Rekonstruksi Sejarah Alquran.pdf (Halaman 188-194)