• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Pemaknaan Sampul Novel

xxxv

Pada sampul novel Hubbu terlihat cukup artistik, terdapat gambar dinding bangunan kuno dan tangan wanita tampak membuka satu sisi pintu. Seolah-olah ada seorang wanita sedang mengintip dan ragu-ragu untuk keluar. Selain itu bisa ditafsirkan wanita tersebut sedang mengajak ke dalam bangunan. Hal ini apabila dikaitkan dengan judul novel Hubbu, yang kemungkinan masih awam, dapat menarik untuk mengetahui lebih dalam novel tersebut.

Pintu yang diilustrasikan pada sampul tersebut melambangkan batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar, gembok dianggap pengikat batasan-batasan tersebut. Dapat dikatakan bahwa sosok yang berada di balik pintu tersebut ingin mendobrak batasan-batasan tersebut. Tentunya akan menyebabkan benturan-benturan norma yang

xxxvi

ada. Sosok di balik pintu tersebut masih ragu dengan yang akan terjadi ketika dia membuka pintu secara lebar-lebar.

Banyak tanda yang bertitik tolak dari ground bersifat individual. Selain itu, tanda diinterpretasikan. Setelah dihubungkan dengan acuan, dari tanda yang orisinal berkembang tanda baru disebut interpretant. Pengertian interpretant tidak boleh dikacaukan dengan pengertian interpretateur, menunjuk pada penerima tanda. Jadi, tanda selalu terdapat dalam hubungan trio: dengan ground-nya, dengan acuannya, dan dengan interpretant-nya. (Zoest dalam Sudjiman, 1991: 7-8)

Bagan 2 terdapat 3 trikotomi. Pada tataran pertama adalah gambar wanita yang ingin keluar dari bangunan dengan membuka satu sisi pintu. Acuannya adalah wujud fisik pintu. Hubungan antara tanda dan acuan tersebut adalah ikon. Interpretantnya adalah konsep wujud pintu. Interpretant tersebut dapat dijadikan tanda baru pada trikotomi tataran kedua.

Tanda gambar pintu

Acuan fisik pintu Interpretent Konsep pintu Acuan Bagian dari bangunan ik o n in d ek s Interpretent Konsep bagian dari bangunan Interpretent konsep norma-norma sosial Acuan Norma-norma sosial si m b o l Bagan 2

xxxvii

Pada tataran kedua, wujud dijadikan tanda yang acuannya adalah bagian dari sebuah bangunan. Antara tanda dan acuan mempunyai hubungan indeks. Interpretantnya adalah sebagai sarana keluar masuk rumah. Interpretant itu dapat dijadikan tanda baru pada trikotomi ketiga.

Pada tataran ketiga, acuannya adalah konsep bagian dari bangunan. Hubungan antara keduanya adalah simbol. Interpretantnya adalah norma-norma yang berkembang di masyarakat.

Jadi, hubungan gambar tangan yang seakan ingin keluar dari rumah, yaitu keinginan untuk keluar dari norma-norma sosial yang mengikatnya. Akan tetapi, dengan gambar tangan yang hanya sebelah saja, dapat dikatakan orang yang ingin keluar tersebut menjadi bimbang dengan keinginannya. Sehingga menyebabkan terjebak di antara pintu.

b. Tulisan pada Sampul 1) Sampul Depan.

Pada sampul terdapat tulisan hubbu merupakan judul novel, serta Mashuri, pengarang dari novel ini. Kedua tulisan terdapat dalam satu kotak yang dipisahkan atas bawah. Selain itu juga terdapat tulisan “Juara I Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2006.” Kemudian di pojok kiri atas terdapat tulisan NOVEL dan di pojok kanan atas terdapat lambang penerbit novel hubbu yaitu PT Gramedia Pustaka Utama.

xxxviii 2) Sampul Belakang

Terdapat informasi jumlah naskah yang diterima panitia Sayembara Novel DKJ 2006 yaitu 246 naskah. Penilaian novel tersebut, salah satunya dilakukan oleh Ahmad Tohari, sastrawan sekaligus juri Sayembara Novel DKJ 2006. Beliau juga memberi komentar, “Dewan juri memilih Hubbu karena sangat utuh dan padu ceritanya.”

Selain itu juga terdapat kutipan dari novel hubbu seperti di bawah ini.

Desa Alas Abang menyimpan segudang cerita dan tanggung jawab di diri Abdullah Sattar alias Jarot. Tanggung jawab yang tak dapat diemban oleh sembarang orang, yaitu menjadi pemimpin pesantren warisan leluhur.

Didasari budaya santri yang kuat, Jarot menghadapi berbagai konflik psikologis ketika cinta hadir dan dunia luar pesantren terbuka di depan matanya. Pertemuan budaya Jawa dengan ajaran Islam pun menambah kompleksitas hidupnya. Akhirnya Jarot sampai pada satu titik, memilih mengikuti nasib atau memberontak melawannya.

2. Halaman

Kertas yang digunakan berukuran 20 x 13,5 cm. Terdiri dari 235 halaman + viii.

3. Tulisan

Mashuri, pengarang novel ini, terlihat sangat bebas dalam berganti-ganti penutur dan cara bertutur. Tokoh Jarot terkadang dijadikan sebagai orang pertama dengan kata “aku”.

xxxix

“Siapa yang semalam melihat pertunjukkan wayang?”

Aku tak menyangka ustad yang biasa kusapa Pak Ali akan bertanya demikian. Ah, alangkah sial aku ini. Pasti ada apa-apanya, pasti ada sesuatu yang bakal terjadi. Apalagi kilat matanya ustad ini menunjukkan amarah. Tak biasanya demikian, karena ia dikenal sebagai ustad penyabar. Hanya murid yang nakalnya keterlaluan yang bakal kena timpukan buku, karena ia tak pernah menyentuh siswa dengan tangan telanjang tangan untuk menghukum. (Mashuri, 2007:32)

Pada nukilan cerita di atas, pengarang menggunakan sudut pandang first-person point of view. Pengarang terlibat dalam cerita dan mengisahkan kesadaran dirinya sendiri. Pembaca hanya menerima apa yang di katakan oleh tokoh ”Aku” (Burhan, 2000: 262). Pembaca hanya dapat melihat dan merasakan seperti apa yang terbatas apa yang dialami tokoh ”Aku” tersebut.

Persona pertama adalah sudut pandang yang bersifat internal, maka jangkauannya terbatas (Meredith & Fitzgerald dalam Burhan, 2000: 262). Narator hanya bersifat Mahatahu bagi diri sendiri dan tidak terhadap orang-orang (tokoh) lain yang terlibat dalam cerita. Ia hanya berlaku sebagai pengamat saja terhadap tokoh-tokoh “Dia” yang bukan dirinya.

Pada bagian-bagian selanjutnya, Jarot dijadikan orang ketiga. Pengisahan dengan sudut pandang ini adalah narator. Pengarang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama-nama tokoh. Penyebutan nama-nama-nama-nama tokoh tentunya akan membuat pembaca bosan. Untuk mengurangi kebosanan tersebut, pengarang dapat menggunakan kata ganti sebagai variasinya. Selain itu juga bisa

xl

mempermudah pembaca mengenali karakter tokoh-tokoh yang ditampilkan (Burhan, 2000: 256-257)

“Jarot melangkahkan arah ke Rungkut, kembali ke kontrakannya. Ia butuh istirahat, melepas lelah. Seharian mencari Puteri, juga Roi, ia hanya menemukan angin. Ia sudah berputar-putar di Tunjungan tempat nongkrong Puteri. Tak ada kabar dari keduanya karena orang-orang yang selama ini dekat dengan mereka angkat tangan. Bahkan ada di antaranya yang meledek atau mengkhawatirkan diri Jarot dilanda cemburu berat, karena melihat sepasang kekasih yang pernah berpisah itu kini berdua kembali” (Mashuri, 2007: 86)

Selain itu, “aku” pada bagian ketiga tiba-tiba berubah menjadi tokoh baru, Aida. Dia adalah anak Jarot hasil pernikahannya dengan Agnes.

“Di sini aku langsung menemui Jabir. Entah aku harus memanggilnya apa dalam hubungan keluarga. Sebab menurut petunjuk Om Teguh, Jabir termasuk salah satu sepupu ayah yang dikenal dekat dengan Ayah. Mereka menghabiskan masa kecil bersama. Puji Tuhan, karena ia masih hidup, meski sudah renta. Ingatannya pun masih cukup tajam. Rambutnya sudah beruban semua. Kulitnya cokelat kehitaman dan mulai keriput. Yang aneh dari orang ini adalah pandangannya penuh selidik, bahkan cenderung licik.” (Mashuri, 2007: 185-186)

Pergantian sudut pandang pengarang yang berganti-ganti pada novel ini membuat pembaca harus menebak-nebak siapa tokoh aku yang disampaikan. Pengarang tampaknya ingin bereksperimen dalam penulisannya. Cara-cara penulisan pun tampaknya juga tidak luput dari eksperimen pengarang. Dalam menceritakan kehidupan Jarot pada masa SMA digunakan format buku harian. Bahkan ada yang menggunakan format

xli

wawancara resmi untuk sebuah dialog tanya jawab. Di antaranya sebagai berikut.

a. Format buku harian.

“Kata orang, masa SMA adalah masa paling indah. Sejak memasuki memasuki jenjang ini, aku merekam detak hidupku dalam sebuah buku harian. Semua catatan harianku kupandang sebagai catatan ingkar. Inilah cuplikannya.

Pondok, 20 Agustus 1991 Baru kali ini aku mondok. Jauh dari orang tua, jauh dari orang rumah. Tetapi di sini juga banyak mata-mata. Semoga aku kerasan. Tetapi sungguhkah mondok sebagai pilihan yang terbaik untuk masa depanku? Ah, bisa saja tidak, manakala nanti pelajarannya hanya mengulang-ngulang yang telah aku dapat di rumah, di tempat Mbah, atau malah lebih rendah kualitasnya. Sedangkan aku tak beroleh tambahan apa-apa.

Bahasa Inggris atau Arab, kata pak guru siang tadi, bisa dilatih dengan menulis satu kalimat setiap hari, kumulai saja hari ini.

Bahasa Inggris: A day, a moment, a man! Masak itu kalimat? Bahasa Arab: sepertinya tak perlu ditulis di sini.

Kata-kata mutiara: Segala hasil bermula dari awal.” (Mashuri, 2007: 47)

b. Format dialog tanya jawab.

Format ini digunakan ketika Jarot melakukan wawancara dengan Budi Palopo, seorang penyair berbahasa Jawa. Di kisahkan bahwa Budi Palopo tinggal di Kampung Asem, Demak, Surabaya. Berikut cuplikan dari dialog tersebut.

xlii

Jarot: Tetapi hasilnya kok cukup berkualitas?

Budi Palopo: Itu tugas kritikus untuk menilainya. Teman saya yang redaktur majalah itu juga berkata demikian. Katanya, guritan saya cukup berbobot. Seorang kritikus sastra Jawa di Surabaya, yang sudah doktor, juga pernah berkata demikian. Saya kira mereka melihatnya dari potensi teks saja. Tetapi saya merasa, masih banyak yang kurang. Apalagi jika melihatnya dari kacamata saya. (Mashuri, 2007: 117)

Dokumen terkait