• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENETAPAN GANTI RUGI DALAM PROSES

A. Ganti Rugi Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan Umum

2. Bentuk Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah Untuk

Pada pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan hampir selalu muncul rasa tidak puas, di samping tidak berdaya, dikalangan masyarakat yang hak atas tanahnya terkena proyek tersebut. Masalah ganti rugi merupakan isu sentral yang paling rumit penanganannya dalam upaya pengadaan tanah oleh pemerintah dengan memanfaatkan tanah-tanah hak.

Bentuk ganti kerugian yang ditawarkan seharusnya tidak hanya ganti kerugian fisik yang hilang, tetapi juga harus menghitung ganti kerugian non fisik seperti pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang dipindahkan kelokasi yang baru. Sepatutnya pemberian ganti kerugian tersebut harus tidak membawa dampak kerugian kepada pemegang hak atas tanah yang kehilangan haknya tersebut

94

melainkan membawa dampak pada tingkat kehidupan yang lebih baik atau minimal sama pada waktu sebelum terjadinya kegiatan pembangunan.95

Adapun dalam Pasal 12 Perpres Nomor 36 Tahun 2005 mengatur masalah ganti rugi diberikan untuk:

a). Hak atas tanah, b). Bangunan, c). Tanaman,

d). Benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah.

Pengaturan mengenai bentuk ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Perpres Nomor 65 Tahun 2006 menyebutkan bahwa:

Bentuk ganti rugi dapat berupa: a). Uang, dan/atau

b). Tanah pengganti, dan/atau c). Pemukiman kembali, dan/atau

d). Gabungan dari dua atau lebih ganti kerugian sebagaimana dimaksudkan dalam huruf a, huruf b, huruf c.

e). Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Sedangkan bentuk ganti rugi dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, diatur dalam Pasal 24 yang berbunyi:

1) Bentuk Ganti Rugi dapat berupa; a. Uang dan/atau

b. Tanah pengganti; dan/atau c. Pemukiman kembali.

2) Dalam hal pihak yang terkena pengadaan tanah tidak menghendaki bentuk ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1), maka dapat diberikan ganti rugi berupa penyertaan modal (saham) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

95

Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Prespektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya,

Ganti rugi dengan uang menyangkut besarnya ganti rugi yang dikaitkan dengan harga tanah, bangunan, tanaman, serta benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang akan diganti.

Ganti rugi bangunan dan/atau tanaman dan/atau benda-benda lain yang ada diatas tanah Hak Guna Bangunan/Hak Pakai yang diberikan di atas tanah Hak Milik atau tanah hak pengelolaan, diberikan kepada pemilik bangunan dan/atau tanaman dan/atau benda lain yang berkaitan dengan tanah tersebut.96

Ganti rugi tanah untuk Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang diberikan di atas tanah hak milik atau tanah hak pengelolaan, diberikan kepada pemegang hak milik atau hak pengelolaan.97

Sebagai dasar untuk perhitungan ganti rugi diatur dalam Pasal 15 Perpres Nomor 36 Tahun 2005 yaitu;

1) Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas;

a. Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau Nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) tahun berjalan berdasarkan Penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh Panitia;

b. Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang pembangunan;

c. Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggungjawab dibidang pertanian.

2) Dalam rangka penetapan dasar perhitungan ganti rugi, Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur bagi Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Penentuan ganti rugi sebagaimana diatur oleh Pasal 15 ayat 1 Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tersebut di atas, ternyata Perpres pengadaan tanah ini masih berpedoman kepada NJOP di dalam menetapkan ganti rugi. Meskipun besarnya ganti

96

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2007, Pasal 43 ayat 3. 97

rugi dinilai oleh Lembaga/Tim Penilai yang independen dan profesional, tetapi karena dasar penetapan ganti rugi berpedoman kepada NJOP, maka lazimnya besarnya ganti rugi yang ditetapkan tidak akan jauh berbeda dengan apa yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Sedangkan terhadap pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya kurang dari satu hektar menurut Pasal 59 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2007, dinyatakan bahwa:

1) Bentuk dan/atau besarnya ganti rugi pengadaan tanah secara langsung ditetapkan berdasarkan musyawarah antara instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan pemilik.

2) Musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berpedoman pada NJOP atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan di sekitar lokasi.

Untuk penggantian terhadap bidang tanah yang dikuasai dengan hak ulayat diberikan dalam bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi masyarakat setempat. Demikian disebutkan oleh Pasal 14 Perpres Nomor 36 Tahun 2005. Pembangunan fasilitas umum tersebut misalnya, pembangunan tempat peribadatan, sarana olah raga, sarana pendidikan, dan lain-lain. Hal ini dapat dipahami karena hak ulayat adalah tanah kepunyaan bersama dari semua warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Tanah ulayat yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat itu dengan amanat untuk dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat yang berarti kepentingan bersama dan kepentingan warga masing- masing.98

98

Gunanegara memberikan pendapatnya mengenai pemberian ganti rugi berpedoman pada NJOP yaitu: “NJOP tidak selalu equivalen dengan harga tanah yang sesungguhnya (real price) atau nilai pasar (market value). NJOP hampir

selalu lebih rendah dari harga pasar, mengingat penetapan besarnya NJOP ditetapkan 3 tahun sekali, hanya daerah-daerah tertentu yang ditetapkan setahun sekali. Potensi terjadi permasalahan harga apabila ganti rugi pengadaan tanah didasarkan pada NJOP yang ditetapkan 3 tahun yang lalu, dengan demikian harga ganti rugi akan merugikan pemilik.99Disamping itu tidak mencerminkan nilai tanah secara riil karena memang NJOP merupakan ranah perpajakan (fiscal value/tax

value/land tax).1 0 0

John Salindeho menyatakan mengenai pengertian harga dasar dan harga umum setempat atas tanah yang terkena pembebasan hak atas tanah. Karena dikatakan harga dasar atau NJOP maka harus menjadi dasar untuk menentukan harga tanah/uang ganti rugi untuk tanah. Sedangkan harga umum setempat diartikan suatu harga tanah yang terdapat secara umum dalam rangka transaksi tanah disuatu tempat.101

Selain itu didalam Perpres pengadaan tanah yang baru muncul kehadiran Lembaga Penilai/Tim Penilai Harga Tanah. Adanya Lembaga Penilai/Tim Penilai Harga Tanah di dalam pengadaan tanah tersebut dapat dikatakan merupakan langkah maju, sudah cukup lama disarankan oleh para ahli dibidang pertanahan karena pada

99

Ismail Omar Dalam Gunanegara, Rakyat Dan Negara Dalam Pengadaan Tanah Untuk

Pembangunan, Cet. Pertama, Jakarta, Tatanusa, 2008,hal. 223.

100

Ibid., hal. 247.

101

peraturan tentang pengadaan tanah sebelumnya tidak dikenal lembaga seperti ini. Hanya saja Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah ini akan sangat membawa manfaat apabila didukung oleh insan-insan yang profesional, punya pengalaman kerja, serta didukung oleh kualifikasi pendidikan sehingga mampu melakukan penilaian terhadap nilai tanah dengan lebih akurat.

Menurut Maria S.W. Sumardjono berpendapat bahwa;

Perlu diadakan suatu lembaga penaksir tanah yang bersifat independen dan bekerja dengan profesionalisme, karena begitu sulit menentukan besaran ganti rugi atas tanah karena selain berdasarkan NJOP, juga mempertimbangkan lokasi, jenis hak atas tanah, status penguasaan atas tanah, peruntukan tanah, kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah, prasarana, fasilitas dan urilitas, lingkungan dan faktor-faktor lain. Keberadaan dan peran lembaga penilai swasta yang profesional tersebut mempunyai kewenangan dan kemampuan untuk menetapkan nilai nyata tanah yang obyektif dan adil.102

Lembaga Penilai Harga Tanah berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 2007, adalah “Lembaga profesional dan independen yang mempunyai keahlian dan kemampuan di bidang penilaian harga tanah”. Selanjutnya yang dimaksud dengan Tim Penilai Harga Tanah berdasarkan Pasal 1 angka 4 yaitu: “Tim yang dibentuk dengan keputusan Bupati/ Walikota/atau Gubernur untuk wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk menilai harga tanah, apabila di wilayah Kabupaten/Kota yang bersangkutan atau sekitarnya tidak terdapat lembaga Penilai Harga Tanah”.

Jika disuatu Kabupaten/Kota atau disekitar Kabupaten/Kota yang bersangkutan belum terdapat Lembaga Penilai Harga Tanah, Bupati/Walikota atau

102

Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi,

Gubernur untuk wilayah Daerah Khusus Ibu kota Jakarta membentuk Tim Penilai Harga Tanah.103

Sedangkan keanggotaan Tim Penilai Harga Tanah tersebut terdiri dari:104 a). Unsur instansi yang membidangi bangunan dan/atau tanaman,

b). Unsur instansi Pemerintah Pusat yang membidangi pertanahan nasional, c). Unsur instansi Pelayanan Pajak Bumi Dan Bangunan,

d). Ahli atau orang yang berpengalaman sebagai penilai tanah,

e). Akademisi yang mampu menilai harga tanah dan/atau tanaman dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah.

Mencermati tugas Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yaitu melakukan penilaian terhadap harga tanah, jadi yang dinilai adalah harga tanah bukan nilai tanah. Nilai tanah mengandung makna yang lebih luas dari harga tanah. Harga tanah memuat makna yang lebih sempit yaitu harga secara fisik atau terbatas pada konsep ekonomi. Bagi masyarakat Indonesia, tanah tidak hanya mengandung nilai ekonomis semata, akan tetapi lebih luas dari hal itu, ada nilai-nilai lain yang terdapat di atas sebidang tanah, seperti nilai magis religius, nilai budaya, dan lain sebagainya. Hanya saja nilai-nilai ini sulit untuk dapat diukur atau dinilai dengan sejumlah uang.

Tim penilai harga tanah di dalam melaksanakan tugasnya yaitu melakukan penilaian harga tanah didasarkan kepada NJOP atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan dan dapat berpedoman kepada hal-hal berikut:105

a. Lokasi dan letak tanah, b. Status tanah,

103

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2007, Pasal 26 ayat 1. 104

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2007, Pasal 26 ayat 2. 105

c. Peruntukan tanah,

d Kesesuaian penggunaan tanah dengan rencana tata ruang wilayah atau perencanaan ruang wilayah atau kota yang telah ada,

e. Sarana dan prasarana yang tersedia, dan

f. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi harga tanah.

Sedangkan menurut Maria S.W. Sumardjono, untuk menentukan ganti rugi terhadap tanah ada beberapa faktor yang dapat dipertimbangkan, karena faktor-faktor ini dapat mempengaruhi harga tanah. Faktor-faktor dimaksud adalah:106

a. Lokasi/letak tanah, strategis atau kurang strategis.

b. Status penguasaan tanah. Pemegang yang sah atau penggarap.

c. Status hak atas tanah. (Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dll). d. Kelengkapan sarana, prasarana.

e. Keadaan penggunaan tanahnya, terpelihara atau tidak.

f. Kerugian sebagai akibat dipecahnya hak atas tanah seseorang. g. Biaya pindah tempat/pekerjaan.

h. Kerugian terhadap turunnya penghasilan pemegang hak.

Apabila dibanding dengan negara India, hal-hal yang dipertimbangkan dalam penentuan ganti rugi adalah nilai pasar tanah pada saat diumumkannya pelepasan tanah, kerugian yang timbul karena dipecahnya bidang tanah tertentu, ganti rugi akibat pengurangan keuntungan yang diharapkan dari tanah tersebut, semenjak pengumuman pengambilan tanah sampai dengan selesainya seluruh proses. Sedangkan kenaikan nilai tanah dibubungkan dengan penggunaannya dikemudian hari dan segala perbaikan yang dilakukan setelah adanya pengumuman tentang pengambilan tanah tersebut, tidak diperhitungkan sebagai faktor penentu ganti kerugian.107

106

Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi,

Op.cit., hal. 81.

107

Sedangkan di Singapura berdasarkan Pasal 33 ayat 1 Land Acquision Act

Tahun 1970, faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan besarnya ganti kerugian antara lain adalah nilai pasar tanah saat diumumkannya pengambilan hak atas tanah, kerugian akibat dipecahnya bidang tanah tertentu, dan turunnya penghasilan pemegang hak. Segala perbaikan yang dilakukan dengan sepengetahuan pejabat yang berwenang dapat juga dijadikan pertimbangan untuk menentukan besarnya ganti kerugian.108

Negara India dan Singapura sebagaimana tersebut di atas lebih maju dalam menentukan pemberian ganti rugi terhadap pengambilan tanah-tanah masyarakat. Pertimbangan didasarkan kepada nilai tanah dan didasarkan pada nilai pasar, kerugian yang sifatnya non fisik seperti turunnya penghasilan pemegang hak atas tanah turut dijadikan pertimbangan dalam menentukan besarnya ganti kerugian. Sedangkan Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tidak menjabarkan ganti rugi immaterial tersebut dan hanya diberikan terhadap kerugian yang sifatnya fisik semata sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12 Perpres Nomor 36 Tahun 2005.

Untuk negara-negara yang menganut sistem Anglo Saxon telah menggunakan

institusi independen yang berprofesi sebagai lembaga penilai tanah. Keanggotaan lembaga penilai tanah terdiri dari individu-individu yang mempunyai pengetahuan dan kemahiran tertentu dalam bidang khusus atau profesional dan tidak berasal dari pemerintah serta tidak berafiliasi dengan pemerintah.109

108

Ibid., 78-79.

109

B. Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah Melalui Pembebasan Hak

Pengadaan tanah melalui pembebasan hak telah dilaksanakan oleh pemerintah sejak jaman kolonial dulu. Pada masa penjajahan Hindia Belanda pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah diatur dengan Bijdblad (BB) Nomor 11372 juncto

Bijdblad 12746. Bijdblad tersebut yaitu: Gouvernements Besluit (Keputusan

Gubernemen/Pemerintah) tanggal 1 Juli 1932 Nomor 7 (BB 11372) dan

Gouvernements Besluit tanggal 18 Januari 1932 Nomor 23 (BB 12746).110

Dalam peraturan tersebut ditentukan bahwa apabila pemerintah membutuhkan tanah untuk pembangunan sebuah gedung kantor dan tidak tersedia tanah negara, yang bebas dari hak sesorang atau badan, maka dilakukan dengan cara pembelian melalui bantuan panitia pembelian tanah untuk dinas. Panitia ini dibentuk oleh Gubernur atau Residen sesuai wewenang yang dilimpahkan setiap kali pemerintah membutuhkan tanah.111

Cara perolehan tanah melalui pembelian tanah karena menurut asas hukum agraria kolonial, pemerintah Belanda adalah suatu badan hukum publik yang dapat mempunyai/memiliki hak atas tanah seperti hak eigendom, hak opstal

dan sebagainya.112 Dengan demikian maka baik perseorangan/individu, badan hukum privat, maupun badan hukum publik tidak dibedakan untuk dapat mempunyai hak atas tanah dengan hak yang sama (hak eigendom), kecuali beberapa

hak tertentu (seperti hak erfpacht) yang diperuntukan bagi bangsa Eropa yang

kurang mampu.

110

John Salindeho, Op.cit., hal. 71. 111

Ibid., hal. 71.

112

Panitia pembelian tanah mempunyai tugas untuk bermusyawarah dengan pemilik tanah termasuk bangunan, tanaman yang tumbuh diatasnya, untuk memusyawarahkan jumlah uang ganti rugi (harga tanah), dan mengatur pembayaranya oleh pemerintah/instansi yang membutuhkanya, serta menyiapkan dokumentasi dan administrasinya. Selanjutnya Panitia tersebut harus dapat membedakan bahwa penginventarisasian dimaksud adalah menurut hukum mana satu bidang tanah harus diperlakukan, bukannya status kewarganegaraan atau golongan dari pemilik atau pemegang hak.113

Inventarisasi yang dilakukan meliputi semua hak baik mengenal tanahnya maupun benda-benda yang ada di atas tanah merupakan kegiatan yang sangat penting pada semua hak guna menghindari berbagai masalah yang akan timbul dari adanya pembebasan hak.114

Semakin pesatnya pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah setelah beberapa tahun Indonesia merdeka, maka pembelian tanah dengan menggunakan peraturan Bijdblad Nomor 11372 jo. Bijdblad Nomor 12746 sudah tidak sesuai lagi

dan perlu diganti dengan peraturan baru yang lebih sesuai dengan kondisi dan kebutuhan jaman.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah Untuk Keperluan Pemerintah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan

113

Ibid., hal. 73-74.

114

Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Swasta. Peraturan tersebut pada intinya mengatur mengenai tata cara pembebasan tanah, pembentukan panitia pembebasan tanah dan tugas-tugasnya dan penetapan ganti rugi.

Selanjutnya Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985 tentang Tata Cara Pengadaan Tanah Untuk Proyek Pembangunan di Wilayah Kecamatan. Peraturan ini mengubah dan menambah sebagaian dari peraturan sebelumnya.

Dalam menampung aspirasi berbagai kalangan masyarakat dan sebagai reaksi terhadap pembebasan tanah yang telah dilakukan sebelumnya, maka pada tanggal 17 Juni 1993, Pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Selanjutnya guna melengkapi ketentuan tersebut diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994 tentang Keputusan Pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Penerbitan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi pelaksanaan perolehan tanah, terutama untuk proyek-proyek pemerintah yang berkaitan dengan pembangunan sarana kepentingan umum. Hal ini didasari oleh adanya kenyataan yang terjadi

selama ini yang menunjukkan kurang adanya jaminan kepastian hukum terutama bagi pihak yang menyerahkan tanahnya.

Pembangunan yang terjadi dengan pesat ternyata menuntut peraturan yang lebih dapat mengakomodatif dalam masalah pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Untuk memenuhi kebutuhan pengaturan tersebut kemudian Pemerintah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang ditetapkan pada tanggal 3 Mei 2005, sebagai pengganti Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993.

Namun dalam tenggang waktu kurang lebih satu tahun dilaksanakan, Pemerintah mengubah Peraturan Presiden tersebut dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Bagi kepentingan Umum.

Perubahan terkait dengan ganti rugi meliputi bentuk dan dasar perhitungan ganti rugi. Bentuk ganti rugi dalam Peraturan Presiden tersebut pengaturannya sama dengan ketentuan yang ada dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993. Sedangkan dalam penentuan dasar perhitungan ganti rugi tetap melibatkan Lembaga/ Tim penilal harga tanah, namun peran lembaga ini tidak lagi menetapkan harga tanah melainkan hanya memberikan penilaian atas tanah yang akan dibebaskan.115

115

Dalam Perpres No. 36 Tahun 2005 ditentukan bahwa perhitungan rugi ditetapkan berdasarkan NJOP atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan berdasarkan penetapan Lembaga/Tim Penilai harga tanah, sedangkan dalam Perpres No.65 Tahun 2006 ditentukan bahwa perhitungan ganti rugi ditetapkan berdasarkan NJOP atau nilai nyata/sebenarnya dengan rnemperhatikan NJOP tahun berjalan berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai harga tanah.

Dapat disimpulkan bahwa ganti rugi yang diberikan oleh instansi Pemerintah dalam kegiatan pengadaan tanah hanya diberikan kepada faktor fisik semata. Namun demikian, seharusnya patut pula dipertimbangkan tentang adanya ganti rugi faktor- faktor non fisik (immaterial).

Dalam pengadaan tanah, kompensasi didefinisikan sebagai penggantian atas faktor fisik (materiil) dan non-fisik (immaterial). Bentuk dan besarnya kompensasi haruslah sedemikian rupa hingga masyarakat yang terkena dampak kegiatan pembangunan tidak mengalami kemunduran dalam bidang sosial maupun pada tingkat ekonominya.

Kompensasi dalam rangka pengadaan tanah dibedakan atas: Kompensasi atas faktor fisik (materiil) meliputi penggantian atas: Tanah hak baik yang bersertipikat

dan yang belum bersertipikat, tanah ulayat, tanah wakaf, tanah yang dikuasai tanpa alas hak yang dengan atau tanpa ijin pemilik tanah, bangunan, tanaman, benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah. Kompensasi atas faktor non-fisik (immateriil) yaitu penggantian atas kehilangan, keuntungan, kenikmatan, manfaat/kepentingan yang sebelumnya diperoleh oleh masyarakat yang terkena pembangunan sebagai akibat kegiatan pembangunan tersebut.

Dalam hal ini ganti kerugian hanya diberikan kepada orang-orang yang hak atas tanahnya terkena proyek pembangunan. Pada kenyataannya, masyarakat disekitar proyek tersebut juga terkena dampak, baik yang positif maupun negatif, seperti kehilangan akses hutan, sungai dan sumber mata pencaharian lainnya. Bentuk ganti kerugian komunal harus diperhatikan berdasarkan hukum adat komunitas setempat. Inventarisasi asset saja tidak mencukupi dan diusulkan untuk terlebih dahulu

melakukan survai sosial ekonomi yang menyeluruh sebelum pembebasan tanah dilakukan. Perlu juga dikembangkan bentuk ganti kerugian dalam pola kemitraan jangka panjang yang saling menguntungkan antara pemilik modal (swasta) atau pemerintah dengan masyarakat pemilik hak atas tanah.

Dokumen terkait