• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk Interaksi Antara Masyarakat Etnis Bali dengan Masyarakat Etnis Lampung

Dalam dokumen NN (Halaman 106-113)

B. Deskripsi Hasil Penelitian

2. Bentuk Interaksi Antara Masyarakat Etnis Bali dengan Masyarakat Etnis Lampung

Menurut Gillin dan Gillin (dalam Soekanto, 1990:77), terdapat empat bentuk interaksi sosial yang terjadi di dalam masyarakat, yaitu:

1. Kerjasama (cooperation), merupakan orientasi orang perorangan terhadap kelompoknya (yaitu in-groupnya) dan kelompok lainnya (yang merupakan out-groupnya).

2. Persaingan (competititon), merupakan suatu proses sosial, dimana individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasaan. 3. Akomodasi (accomodation), istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti, yaitu untuk menunjuk pada suatu keadaan dan untuk menunjuk pada suatu proses. Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan berarti adanya suatu keseimbangan dalam interaksi antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku di dalam masyarakat, sedangkan sebagai suatu proses, akomodasi menunjuk pada usaha-usaha untuk mencapai kestabilan.

4. Pertentangan atau pertikaian (conflict), merupakan sesuatu yang menjadi sebab-musabab atau akar-akar dari pertentangan.

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, diperoleh informasi bahwa dari bentuk interaksi sosial yang terjadi antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung lebih mengarah kepada bentuk kerjasama dan tidak terdapat konflik yang terjadi antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis

Lampung. Kalupun ada konflik pihak yang terlibat adalah antara masyarakat etnis Lampung dengan masyarakat etnis lainnya.

Kerjasama yang terjalin antara masyarakat etnis Lampung dengan masyarakat etnis Bali, antara lain dalam yaitu bentuk kerjasama ekonomi dan juga berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Sebagaimana diungkapkan oleh informan yang bernama Pak Usman dan Pak Soni yang mengatakan bahwa mereka sering terlibat kerjasama di bidang ekonomi dengan masyarakat etnis Bali, seperti penggunaan jasa ojek maupun jasa pemotongan rumput dengan menggunakan mesin pemotong. Lebih lanjut Pak Usman dan Pak Soni mengungkapkan bahwa mereka sering dimintai bantuan oleh masyarakat etnis Bali untuk mengantarkan mereka berpergian apabila sedang tidak ingin berjalan kaki dan juga memotong rumput di halaman rumah mereka.

Adapun kerjasama lainnya di bidang sosial yang terjalin antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung dapat terlihat dari keikutsertaan mereka dalam berbagai kegiatan yang diadakan oleh warga RT 04 Lingkungan III, seperti kegiatan gotongroyong, kegiatan ronda malam, kegiatan perayaan HUT Kemerdekaan RI, menjenguk tetangga yang sedang sakit, melayat tetangga yang meninggal dunia, dan lain sebagainya. Keseluruhan informan mengatakan pernah ikut dalam kegiatan-kegiatan tersebut di atas. Selain daripada itu, seluruh informan juga mengatakan bahwa mereka saling mengundang manakala sedang mengadakan acara, baik acara pernikahan (pawiwahan), syukuran, aqiqahan, ngotonin, ataupun acara-acara lainnya.

Pada dasarnya kegiatan kerjasama tersebut di atas tidak lain merupakan implikasi dari kepatuhan masyarakat etnis Lampung dan juga masyarakat etnis Bali terhadap nilai-nilai dasar (nilai budaya) yang merupakan pandangan hidup atau pedoman hidup bagi setiap manusia dalam bersikap dan bertingkahlaku dengan sesamanya. Sebagaimana diketahui bahwa dalam budaya Lampung terdapat nilai- nilai budaya yang mengatur masyarakat etnis Lampung dalam bertingkahlaku dengan masyarakat etnis lainnya, yakni nengah nyampur, yaitu tata pergaulan masyarakat etnis Lampung dengan cara membuka diri dalam pergaulan masyarakat, nemui nyimah, yaitu keharusan untuk bermasyarakat, sakai sambayan yang berarti ikut aktif dalam kegiatan gotongroyong, saling membantu satu sama lain, dan sebagainya.

Begitupun sebaliknya, dalam masyarakat etnis Bali juga terdapat nilai-nilai budaya seperti Tri hita karana yang merupakan pedoman bagaimana cara seseorang dalam melakukan hubungan dengan sesama manusia (pawongan), dengan alam sekelilingnya (palemahan), dan dengan Tuhan (parahyangan). Lebih lanjut dalam ajaran Tri hita karana juga falsafah hidup yang dinamakan Desa kala patra dalam melaksanakan hubungan sosial dan kultural sesuai dengan tempat, keadaan, dan waktu. Desa kala patra ini, tidak lain dimaksudkan agar masyarakat etnis Bali dapat menyesuaikan diri dengan keadaan di sekitar tempatnya bermukim. Selain itu ada juga yang dinamakan dengan Tat twam asi yang merupakan landasan etik dan moral bagi masyarakat etnis Bali di dalam menjalani hidupnya sehingga ia dapat melaksanakan kewajibannya di dunia ini dengan harmonis. Dengan demikian nilai-nilai budaya tersebut tercipta dalam rangka

untuk mengatur hubungan antar manusia, manusia dengan lingkungan alam, dan manusia dengan Tuhan.

Penjelasan tersebut di atas diperkaya dengan pendapat Kluchohn (dalam Sitorus, 1999:30), yang menyatakan bahwa nilai dalam setiap kebudayaan mencakup lima masalah pokok yaitu sebagai berikut:

1. Nilai mengenai hakikat hidup manusia. Misalnya, ada yang memahami bahwa hidup itu buruk, hidup itu baik, dan hidup itu buruk tapi manusia wajib berikhtiar supaya hidup itu baik.

2. Nilai mengenai hakikat karya manusia. Misalnya, ada yang beranggapan bahwa manusia berkarya untuk mendapatkan nafkah, kedudukan, dan kehormatan.

3. Nilai mengenai hakikat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu. Misalnya, ada yang berorientasi ke masa lalu, masa kini, dan masa depan. 4. Nilai mengenai hakikat hubungan manusia dengan alam. Misalnya, ada

yang beranggapan bahwa manusia tunduk kepada alam, menjaga keselarasan dengan alam, atau berhasrat menguasai alam.

5. Nilai mengenai hakikat manusia dengan sesamanya. Misalnya, ada yang berorientasi kepada sesama (gotongroyong), ada yang berorientasi kepada atasan, dan ada yang menekankan individualisme (mementingkan diri sendiri).

Berdasarkan pendapat di atas bila dikaitkan dengan penelitian ini, maka nilai yang terkandung dalam kebudayaan masyarakat etnis Bali dan masyarakat etnis Lampung lebih mengarah kepada hakikat hubungan manusia dengan alam dan

manusia dengan sesamanya dalam ruang dan waktu, dimana dalam kebudayaan masyarakat etnis Bali dan juga masyarakat etnis Lampung nilai memegang peranan penting dalam setiap kehidupan manusia karena nilai menjadi suatu orientasi bagi manusia dalam bertindak (berinteraksi). Hal sedemikian juga yang mendasari masyarakat etnis Lampung dan juga masyarakat etnis Bali dapat melebur menjadi satu di atas segala perbedaan yang ada, selain juga didukung oleh rasa toleransi, solidaritas antara satu sama lainnya serta adanya perasaan bahwa individu merupakan bagian dari suatu masyarakat. Oleh karena itu individu dituntut untuk selalu berhubungan dengan lingkungan disekitarnya dan apabila individu tersebut tidak mau berhubungan dengan lingkungan disekitarnya, maka akan mendapatkan sanksi sosial seperti dikucilkan dan lain sebagainya..

Hal sedemikian menjadi rujukan masyarakat etnis Bali bahwa sebagai masyarakat pendatang dan juga etnis minoritas agar mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan disekitarnya sehingga dapat membaur dengan masyarakat lainnya tanpa terkecuali terhadap masyarakat etnis Lampung yang merupakan masyarakat mayoritas di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu. Pembauran yang terjadi antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu ini secara subyektif bahwa masyarakat etnis Lampung sedari dulu menyegani masyarakat etnis Bali sehingga masyarakat etnis Lampung sangat apresiasi terhadap masyarakat etnis Bali. Hal itu dapat terlihat dari keterlibatan masyarakat etnis Bali dalam berbagai kegiatan seperti gotong-royong, siskamling, ikut andil di perayaan HUT RI maupun kegiatan keagamaan seperti acara khitanan, syukuran, aqiqahan maupun acara otonan.

Toleransi beragama antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung terlihat manakala masyarakat etnis Lampung sedang merayakan hari Raya Idul Fitri maupun Idul Adha, dimana masyarakat etnis Bali terkadang terlebih dahulu mengulurkan tangan seraya mengatakan maaf. Seperti halnya yang diungkapkan oleh informan bernama Pak Ketut yang mengatakan bahwa ia tidak segan-segan untuk mengulurkan tangan terlebih dahulu seraya mengucapakan Minal Aidil Walfaidzin, sebagai tanda permohonan maafnya apabila ada perbuatan yang kurang menyenangkan, baik disengaja maupun tidak disengaja.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan bernama I Putu Ardike yang mengatakan ia tidak segan-segan untuk mengulurkan tangan terlebih dahulu dan meminta maaf atas kesalahan yang telah diperbuat, baik disengaja maupun tidak disengaja, sebaliknya masyarakat etnis Lampung menyambut uluran tangan dari Pak Putu dengan antusias dan mengajak Pak Putu untuk berkunjung ke rumahnya.

Begitu juga pada saat masyarakat etnis Bali sedang merayakan hari besar keagamaan seperti hari raya Nyepi, yang terlihat adalah suasana menjadi lebih sunyi, hal itu dikarenakan masyarakat etnis Bali tidak melakukan aktivitas, menyalakan listrik, berpuasa, dan lain sebagainya. Adapun bentuk toleransi yang dilakukan oleh masyarakat etnis Lampung ketika masyarakat etnis Bali sedang merayakan hari besar keagamaan adalah yaitu tidak melakukan kegiatan-kegiatan berlebihan yang dapat mengganggu proses peribadatan mereka.

Dalam dokumen NN (Halaman 106-113)

Dokumen terkait