• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk-bentuk Pengawasan Pemerintah terhadap Perusahaan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta Di Luar Negeri

Pengawasan terhadap penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri dilaksanakan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini ditegaskan pada Pasal 92 Undang-Undang No. 39 Tahun 2004. Sebagai tindak lanjut dari ketentuan ini, Instansi yang melaksanakan

pengawasan tersebut wajib melaporkan hasil pelaksanaan pengawasan terhadap pelaksanaan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri yang ada di daerahnya sesuai dengan tugas, fungsi dan wewenangnya kepada Menteri (Pasal 93 ayat (1)). Dalam ketentuan tersebut tidak ditegaskan apakah penyelenggaraan penempatan yang dimaksud diartikan mulai dari pra penempatan, penempatan, dan purna penempatan, atau diartikan secara khusus pada penempatan dalam arti ketika TKI sudah berada di negara tujuan pengiriman.

Berdasarkan ketentuan di atas, pemberian ruang bagi pemerintahan daerah dalam Undang-Undang ini sangat bergantung kepada kehendak politik pemerintah pusat. Kontradiksi antara kewajiban pemerintahan daerah sebagai sub sistem penyelenggara Negara dengan ketentuan-ketentuan tersebut memunculkan suatu ambiguitas mengenai peran pemerintahan daerah terhadap urusan TKI merupakan kewajiban atau pilihan. Di satu sisi pemerintahan daerah memiliki peran yang cukup penting sebagai pelayan publik yang terdekat dengan masyarakat. Di lain pihak, pemerintahan daerah menghadapi batas-batas kewenangan.

Dalam rangka meningkatkan disiplin kerja pegawai dengan tujuan untuk mencapai tujuan organisasi sangat perlu diadakan pengawasan, karena pengawasan mempunyai beberapa tujuan yang sangat berguna bagi pihak-pihak yang melaksanakan. Berdasarkan hasil wawancara, Saat ini Pemerintah tengah melakukan revitalisasi pengawasan ketenagakerjaan. Upaya-upaya yang sedang dilakukan diantaranya menitikberatkan pada peningkatan kualitas dan kuantitas pengawas,

penegakan hukum di bidang ketenagakerjaan, serta merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang pembinaan pengawasan ketenagakerjaan.59

Wacana mengenai perubahan UU No. 39 Tahun 2004 Tentang PTKILN dipahami oleh sebagian kalangan sebagai isu pergerakan untuk meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Hal ini tampak kontradiktif dengan persepsi Pemerintah mengenai pertimbangan isu perubahan Undang-Undang PPTKILN, yaitu: (1) untuk melayani kepentingan PPTKIS guna mempermudah perijinan supaya dapat menunjang program pencapaian target pengiriman buruh migran Indonesia sebesar satu juta BMI per tahun; (2) mengalihkan perhatian buruh migran Indonesia dari tuntutan atas Ratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya yang selama ini didesakkan oleh buruh migran Indonesia .60 Tampaknya Pemerintah Indonesia betul-betul khawatir untuk meratifikasi Konvensi tersebut sehubungan dengan konsekuensinya. Jika permasalahan pekerja migran tergolong sebagai fenomena perbudakan, hal tersebut menjadi salah satu yang mewajibkan negara untuk mempertanggungjawabkan atas kelalaian atau pelanggaran dari kewajiban hukum internasional.61

59 Hasil wawancara dengan Bapak Leppy Hutagaul, Tata Usaha Dinas Tenaga Kerja Kota Medan Penempatan TKI Luar Negeri, tanggal 2 Juni 2010, di Kota Medan.

60 Ibid

61 C. d. Rover,. To Serve and To Protect, Acuan Universal Penegakan HAM, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), hal. 43.

Hal tersebut didukung salah satunya oleh pengamatan Donny Pradana. Menurutnya target pemerintah pada masa SBY-JK dalam hal penempatan tenaga kerja dalah sebesar satu juta per tahun.62 Bahkan ditambahkan dalam penjelasan Sri Palupi, pemerintah berniat untuk memberantas percaloan melalui kegiatan pencegahan dan penindakan. Yang terjadi adalah pemerintah hanya menindak para calo yang beroperasi di lapangan, tetapi tidak membangun sistem perekrutan yang mampu menghilangkan peran calo. Padahal peran calo tidak akan pernah hilang selama mayoritas PPTKIS masih berdomisili di Jakarta dan pelayanan pemerintah di bidang ketenagakerjaan belum menjangkau sampai ke tingkat desa.

Tampak beberapa disharmoni dengan UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Pemerintah daerah hanya disebut sebagai bagian dari kategori hubungan luar negeri yang bersifat regional dan internasional (Pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 1999). Jika pertanggungjawaban dalam rangka melaksanakan pengawasan cukup kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, adalah masih signifikan. Pertimbangannya adalah bahwa urusan TKI ketika sudah pada masa penempatan di Negara tujuan adalah urusan “G to G” (government to government). 63

62 Donny Pradana wr, B. S. (n.d.). http://zonamigran.com/kso.php?id=62&kode=2. Retrieved 05 31 11:14:47, 2009, from http://zonamigran.com: http://zonamigran.com/kso.php?id=62&kode=2, diakses tanggal 10 Juli 2010.

63 Syafrudin, A. (Performer), Pola Hubungan Pusat dan Daerah. (Bandung: Focused Group Discussion, 2009), hal. . 20.

Hal ini berdasarkan ketentuan bahwa kewenangan penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri dan pelaksanaan Politik Luar Negeri Pemerintah Republik Indonesia berada di tangan Presiden (Pasal 6 ayat (1)). Walaupun dapat saja Presiden menunjuk pejabat selain Menteri Luar Negeri untuk melaksanakan tugas, tetap harus melalui konsultasi dan koordinasi Menteri Luar Negeri (Pasal 7 ayat (1) dan (2)). Seharusnya yang paling bertanggungjawab dalam hal pengawasan pada masa penempatan adalah kantor perwakilan Indonesia di Negara tujuan, (Pasal 24 ayat (1)). Selain mengatur mengenai kelembagaan dan kewenangan, UU Hubungan Luar Negeri tersebut menegaskan kewajiban perwakilan RI (Pasal 19).

Salah satunya adalah untuk memberikan pengayoman, perlindungan, dan bantuan hukum bagi warga negara dan badan hukum Indonesia di luar negeri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional. Jika terjadi sengketa antara sesama warga negara atau badan hukum Indonesia di luar negeri, maka Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban membantu menyelesaikannya berdasarkan asas musyawarah atau sesuai dengan hukum yang berlaku (Pasal 20). Lebih tegasnya, dalam hal warga negara Indonesia terancam bahaya nyata, Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan, membantu, dan menghimpun mereka di wilayah yang aman, serta mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia atas biaya negara (Pasal 21).64

Bentuk pengawasan lain yang dilakukan pemerintah adalah dengan memberlakukan sanksi bagi penyalur tenaga kerja Indonesia yang melanggar peraturan. Salah satu bentuk sanksi adalah sanksi skors atau penghentian sementara penyalur tenaga kerja Indonesia dengan jalan skor. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemen-nakertrans) menskors tujuh perusahaan pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS] atau biasa disebut pelaksana penempatan TKI swasta (PPTKIS). Ketujuh PPTKIS ini terbukti melakukan berbagai pelanggaran dalam proses penempatan TKI. 65

Sanksi yang dikenakan berupa penghentian sementara izin operasional, baik hanya sebagian atau untuk seluruh kegiatan penempatan TKI ke luar negeri. Sebanyak tujuh PPTKIS yang dijatuhi sanksi ini meliputi PT Amanitama Berkah Sejati, PT Aqbal Duta Mandiri, PT Tritama Megah Abadi, PT Karya Pesona Sumber Rejeki, PT Duta Ampel Mulia. PT Abdi Bela Persada, dan PT Dasa Graha Utama.66

Kedua lembaga masih bersikukuh dengan pendiriannya masing-masing untuk menangani TKI. BNP2TKI berdasar UU Nomor Nomor 39 Tahun 2004 mempunyai kewenangan menangani penempatan dan perlindungan TKI dari proses keberangkatan sampai hingga purna kerja. Dengan berdasar Permen 22 Tahun 2008

65

Langgar Aturan, Tujuh PPTKIS Diskors, http://bataviase.co.id/node/156026, diakses tanggal 20 Juli 2010.

lebih menguatkan peran Depnakertran untuk menangani proses penempatan TKI. Meskipun Permen tersebut sudah dicabut oleh Mahkamah Agung Tahun 2009.67

Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai. melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efisien. Bahkan, melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan juga dapat mendeteksi sejauhmana kebijakan pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut.

Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh orang atau badan yang ada di dalam lingkungan unit organisasi yang bersangkutan.” Pengawasan dalam bentuk ini dapat dilakukan dengan cara pengawasan atasan langsung atau pengawasan melekat (built in control) atau pengawasan yang dilakukan secara rutin oleh inspektorat jenderal pada setiap departemen dan inspektorat wilayah untuk setiap daerah yang ada di Indonesia, dengan menempatkannya di bawah pengawasan Departemen Dalam Negeri.

Sejak 1988-1998, pengawasan intern dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Ekuin) dan Pengawasan Pembangunan (Menko Ekuin dan Wasbang). Selain itu juga terdapat Badan

67 “Tanggung jawab Siapa Penempatan dan Perlindungan TKI,” http://us.suarapembaca.

Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang merupakan pelaksana teknis operasional pengawasan, dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 31 Tahun 1983.

E. pengawasan preventif dan represif; F. pengawasan aktif dan pasif;

G. pengawasan kebenaran formil menurut hak (rechtimatigheid) dan pemeriksaan kebenaran materiil mengenai maksud tujuan pengeluaran (doelmatigheid).

Selain itu ada pengawasan ekstern. Pengawasan ekstern adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh unit pengawasan yang berada di luar unit organisasi yang diawasi. Sebelum perekonomian mencapai tingkat dimana semua pelaku pasar terlibat dalam kelembagaan perekonomian modern, maka lapangan usaha informal sama sekali tidak dapat diabaikan dalam menyerap tenaga kerja. Kekuatan lapangan usaha informal adalah kemudahan untuk memasukinya dan barangkali yang lebih penting di dalam era globalisasi, tidak terkait secara langsung oleh dampak negatif globalisasi.

Khusus untuk pengawasan tenaga kerja Indonesia di Malaysia, Setelah pencabutan moratorium pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Malaysia, April 2010, perlu dibentuk lembaga pengawas gabungan antara Pemerintah RI dan Malaysia. Tugasnya adalah mengawasi pelaksanaan kesepakatan persoalan ketenagakerjaan di antara kedua negara. Peran lembaga tersebut sangat penting untuk menjalankan fungsi kontrol dan sanksi hukum bagi pihak-pihak yang menyalahi perjanjian.

Ditinjau dari waktu di mana pengawasan dilaksanakan dapat dibedakan atas dua bagian:

i. Pengawasan preventif

Adalah pengawasan yang dilakukan sebelum terjadinya penyelewenangan-penyelewenang, kesalahan-kesalahan atau sebelum suatu pekerjaan dilaksanakan dengan memberikan pedoman-pedoman pelaksaanaan berupa ketentuan atau peraturan-peraturan yang harus dipenuhi. Pengawasan ditujukan agar pelaksanaan suatu pekerjaan memenuhi ketentuan yang berlaku.

ii. Pengawasan refresif

Adalah pengawasan yang dilakukan sesudah rencana dilaksanakan, atau dengan kata lain hasil-hasil yang telah dicapai, dinilai/diukur dengan alat pengukur standar yang telah ditentukan terlebih dahulu. Jadi pengawasan ini dilakukan setelah kesalahan atau penyimpangan terjadi.

Lembaga itu nantinya akan mewadahi setiap pengaduan, baik dari majikan di Malaysia maupun TKI. Selama ini, mekanisme aturan perlindungan tenaga kerja di Malaysia sebenarnya sudah ada, tetapi penegakan hukumnya belum optimal. Ada beberapa kasus pengiriman TKI ilegal selama moratorium berlangsung. Kebanyakan modus pengiriman TKI ilegal dengan penyalahgunaan dokumen imigrasi. Misalnya, masuk Malaysia dengan paspor pelancong, tetapi ternyata justru bekerja. Sejauh ini hal-hal prinsip dalam kesepakatan baru perjanjian pengiriman TKI ke Malaysia telah disepakati kedua belah pihak. Kesepakatan itu di antaranya paspor dipegang TKI,

waktu libur bagi tenaga kerja satu hari seminggu, perhitungan gaji awal, dan perlindungan hukum.68

Dengan melihat begitu kompleks permasalahan yang dihadapi oleh para tenaga kerja Indonesia ini, pemerintah harus mampu menjalankan kewajibannya terhadap rakyat khusunya buruh migran yang sudah banyak membantu negara dengan sumbangan devisanya.

Pertama, pemerintah memperketat pengawasan terhadap perusahaan pelaksana penempatan tenaga kerja agar penyelewengan dapat dikurangi seminimal mungkin. Pemerintah dapat membuat undang-undang yang benar-benar melindungi hak-hak buruh serta mensosialisasikannya terhadap masyarakat luas khusunya para calon tenaga kerja dan para agen penyalur. Jika ada pihak yang tidak mentaatinya maka pemeritah harus menindak tegas para pelaku agar pelanggaran-pelanggaran semacam itu tidak meluas dan berlanjut.

Kedua, pembekalan berupa training-training dan semacamnya terhadap calon tenaga kerja tetap intens dilakukan bekerja sama dengan perusahaan penyalur. Ketiga, pengawasan terhadap tenaga kerja harus tetap berjalan dari semenjak mereka diberangkatkan sampai mereka kembali lagi ke tanah air. Dalam hal ini

68

RI-Malaysia Perlu Bentuk Lembaga Pengawas, http://digilib.umm. ac.id/gdl .php?mod=browse&op=read&id=jiptummpp-gdl-s1-2005-nailiariya-4680&PHPSESSID= 42d6ee65b 827a38f44956092d28ba985, diakses tanggal 20 Juni 2010. Satu-satunya hal yang belum disepakati terkait nilai penebusan (cost structure) TKI di antara asosiasi perusahaan jasa tenaga kerja dari dua negara. Da’i Bachtiar meminta supaya pengusaha penyalur TKI tidak mengambil untung terlalu besar dari penebusan TKI. Menurut dia, agen TKI dari Indonesia menuntut 7.000 ringgit untuk biaya penebusan. Namun, agen tenaga kerja di Malaysia hanya menyanggupi sekitar 5.000 ringgit

kedutaan di negara tujuan harus proaktif memberikan akomodasi terhadap tenaga kerja Indonesia bekerja sama dengan Deplu dan Depnaketrans. Keempat, pemerintah harus bekerja sama dengan pemerintah negara tujuan para buruh migran.

Kesepakatan-kesepakat yang bersifat mengikat harus ditegakkan dengan pemerintah negara tujuan melalui kerjasama bilateral. Kesepakatan-kesepakatan ini harus mampu menyentuh hak-hak dasar para tenaga kerja sebagai manusia, bukan sebagai budak yang bebas diperdagangkan dan tenaganya dimanfaatkan sesuka hati.

Peranan pemerintah dalam menangani tekanan upah buruh sangat krusial, di satu sisi pemerintah berkewajiban menyediakan sistem pengaman atau jaring sosial yang efektif untuk menjamin tidak ada buruh yang "terjatuh" dan diabaikan hak-hak hidup layaknya, disisi lain pemerintah harus realistis bahwa akibat krisis dan sebab yang lain yang lebih bersifat struktural dan kultural, bagi sebagian pengusaha situasi yang dihadapi masih belum kondusif untuk memberikan balas jasa pekerjaan yang layak.

Hal yang dapat dilakukan pemerintah adalah terus mendorong dialog yang cerdas antara pihak buruh dan pengusaha untuk mencapai konsensus dalam penetapan upah buruh. Pemerintah juga "memiliki kewajiban moral" untuk menyediakan acuan normatif dalam penetapan upah layak yang berbasis empiris serta memperoleh pengakuan sepenuhnya dari pihak buruh dan pengusaha.

Selain itu pemberian bantuan hukum bagi golongan masyarakat kurang mampu yang berperkara di pengadilan terus dilanjutkan. Kegiatan tersebut dilakukan

dengan menyediakan pelayanan bantuan hukum melalui pemanfaatan dana APBN yang disalurkan melalui pengadilan negeri setempat. Saat ini juga terus diselenggarakan pemberian bantuan konseling dan pendampingan bagi perempuan korban kekerasan.

E. Pihak-pihak yang dikatagorikan sebagai Pemerintah Yang

Dokumen terkait