• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV WEWENANG BADAN KOORDINASI PENANAMAN

A. Bentuk Penyimpangan pada Pelaksanaan Perizinan

Berkembangnya berbagai kawasan dapat peningkatan di bidang investasi, khususnya sarana dan penunjangnya mendorong adanya pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penanaman modal atau investasi oleh asing , meliputi:

1. Pelanggaran terhadap izin prinsip

Izin prinsip adalah izin yang wajib dimiliki dalam memulai kegiatan usaha baik dalam kegiatan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA). Kegiatan yang mencakup memulai usaha adapun sebagai berikut:

a. Pendirian usaha baru baru, baik dalam rangka PMDN maupun PMA; b. Perubahan status menjadi PMA, sebagai akibat dari masuknya modal asing

dalam kepemilikan seluruh/sebagian modal perseroan dalam badan hukum, atau

c. Perubahan status menjadi PMDN, sebagai akibat dari terjadinya perubahan kepemilikan modal perseroan yang sebelumnya terdapat modal asing, menjadi seluruhnya modal dalam negeri.

Terdapat beberapa jenis izin prinsip, sebagaimana yang diuraikan di bawah ini:

a. Izin prinsip baru, yakni izin pertama kali sebelum memulai kegiatan usaha; b. Izin prinsip perluasan, yakni izin sebelum melakukan kegiatan ekspansi

perusahaan;

c. Izin prinsip perubahan, yakni izin sebelum melakukan perubahan rencana investasi atau realisasinya;

d. Izin prinsip penggabungan (merger), yakni izin sebelum melakukan penggabungan dua perusahaan atau lebih84

Masa berlaku izin prinsip sama dengan jangka waktu penyelesaian proyek yang ditetapkan dalam izin prinsip. Jangka waktu tersebut diberikan satu sampai lima tahun tergantung karakteristik bidang usahanya. Apabila jangka waktu tersebut yang ditetapkan dalam izin prinsip telah habis masa berlakunya dan proyek tersebut belum selesai, maka perusahaan tidak dapat mengajukan permohonan perizinan dan non perizinan lainnya. Sehingga apabila perusahaan belum menyelesaikan proyek sesuai dalam izin prinsip, perusahaan wajib mengajukan perpanjangan jangka waktu penyelesaian proyek selambat-lambatnya 30 hari kerja sebelum berakhirnya jangka waktu penyelesaian proyek yang ditetapkan dalam izin prinsip tersebut.

Jangka waktu penyelesaian proyek dalam izin prinsip yang telah habis masa berlakunya dan perusahaan tidak memperpanjang atau terlambat dalam mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu penyelesaian proyek tersebut, maka perusahaan akan dikenakan sanksi administrasi berupa surat peringatan dan ditindaklanjuti oleh BKPM mengenai proyek yang tidak

84 http://hukumpenanamanmodal.com/pengaturan-izin-prinsip-dan-izin-investasi-terbaru-tahun-2015/ (diakses pada tanggal 7 Maret 2016)

diselesaikan tepat waktu. Lebih lanjut, apabila hasil dari tindak lanjut tersebut perusahaan tidak dapat menyelesaikan proyek sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dan terlambat dalam memperpanjang jangka waktu penyelesaian proyek tersebut maka yang dapat dilakukan perusahaan adalah mengajukan permohonan izin prinsip baru, seperti diatur dalam Perka 14/2015, apabila perpanjangan waktu penyelesaian proyek diajukan setelah berakhirnya masa berlaku jangka waktu penyelesaian proyek maka permohonan perpanjangan tersebut tidak dapat diproses dan wajib mengajukan permohonan izin prinsip baru. Penyebab izin-izin prinsip penanaman modal terancam dibatalkan, sebagian karena masa berlakunya sudah habis, dan sebagian lagi lantaran tidak menyampaikan LKPM. Sehingga sesuai dengan UUPM dan Perka BKPM Nomor 3 Tahun 2012 telah diatur jenis sanksi dan tata cara pemberian sanksi oleh BKPM.85

Apabila telah dibatalkannya izin prinsip penanaman modal, dan perusahaan tersebut masih menjalankan kegiatan usaha maka hal tersebut merupakan tindakan pelanggaran hukum. Setiap penanam modal berkewajiban membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal sesuai UUPM. Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) adalah laporan secara berkala mengenai perkembangan kegiatan perusahaan dan kendala yang dihadapi penanam modal. LKPM ditujukan untuk memantau realisasi investasi dan produksi. LKPM mencakup kegiatan penanaman modal yang dilakukan perusahaan di setiap lokasi dan bidang usaha investasi, kecuali bidang usaha perdagangan. Bagi perusahaan

yang melakukan kegiatan penanaman modal di bidang usaha perdagangan, LKPM cukup berdasarkan lokasi yang telah dinyatakan pada Izin Prinsip.

Perusahaaan yang telah mendapat Pendaftaran Penanaman Modal dan/atau Izin Prinsip Penanaman Modal dan/atau persetujuan penanaman modal dan/atau Izin Usaha wajib menyampaikan LKPM secara berkala lepada kepala BKPM melalui Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal, Kepala PDPPM, dan Kepala PDKPM.

Kewajiban menyampaikan LKPM menjadi setiap 3 (tiga) bulanan atau triwulan dalam tahap pembangunan, yaitu:

1. LKPM Triwulan I untuk periode pelaporan Januari-Maret, disampaikan paling lambat 5 April tahun bersangkutan;

2. LKPM Triwulan II untuk periode pelaporan April-Juni, disampaikan paling lambat 5 Juli tahun bersangkutan;

3. LKPM Triwulan III untuk periode pelaporan Juli-September, disampaikan paling lambat 5 Oktober tahun bersangkutan;

4. LKPM Triwulan IV untuk periode pelaporan Oktober-Desember, disampaikan paling lambat 5 Januari tahun berikutnya.

Bagi perusahaan yang telah memiliki Izin Usaha menjadi enam bulanan atau semester, yaitu:

1. LKPM Semester I untuk periode pelaporan Januari-Juni, disampaikan akhir bulan Juli tahun bersangkutan;

2. LKPM Semester II untuk periode pelaporan Juli-Desember, disampaikan pada akhir Januari tahun berikutnya.

Penyampaian LKPM dapat dilakukan melalui beberapa cara:

1. Mengisi aplikasi on-line melalui Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi secara Elektronik (SPIPISE) ;

2. Menyampaikan hardcopy secara langsung kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal dan kepada PDPPM provinsi serta PDKPM Kabupaten/Kota dimana proyek penanaman modal berlokasi, atau;

3. Via email ke alamat lkpm@bkpm.go.id.

Apabila perusahaan tidak menyampaikan kewajiban menyampaikan LKPM maka sesuai ketentuan dapat dikenakan sanksi administratif di antaranya pencabutan ijin kegiatan atau fasilitas penanaman modal.

Tata cara penyampaian LKPM tersebut diatur dalam Perka BKPM No. 3 Tahun 2012 sebagai perubahan dari Perka BKPM No. 13 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal86.

2. Penyelundupan hukum

Berkaitan dengan penyelundupan hukum ini dapat dijelaskan bahwa keberadaan investasi asing di Indonesia merupakan salah satu dampak dari pesatnya pembangunan di berbagai bidang di Indonesia. Pemerintah Indonesia menempatkan penanaman modal asing pada prioritas tertinggi. Salah satu pengaruh langsung di bidang pertanahan, yang berupa kebutuhan tanah untuk pembangunan fisik yang semakin meningkat.

Bagi bangsa Indonesia, setiap usaha pembangunan diharapkan dapat memberikan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tujuan ini merupakan dasar

pembangunan ekonomi yang telah dituangkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Selanjutnya, tujuan ini ditindaklanjuti dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan UUPA. Salah satu asas dalam UUPA adalah asas kebangsaan. Berdasarkan asas ini, hanya Warga Negara Indonesia (WNI) yang diperkenankan untuk mempunyai hubungan sepenuhnya dengan tanah. Hal ini berarti bahwa hubungan WNA dengan tanah dibatasi, yakni hanya diberi kemungkinan untuk mempunyai Hak Pakai (HP) atau Hak Sewa.

Pemberian HP kepada WNA seyogyanya dapat memberikan kenyamanan bagi WNA yang menguasai tanah di Indonesia terlebih lagi pada masa yang akan datang, mobilitas WNA yang masuk ke Indonesia semakin bertambah. Mobilitas tersebut dipengaruhi oleh adanya kemajuan di berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, telekomunikasi, jaringan transportasi, dan lain-lain akan membuat arus informasi semakin mudah dan lancar mengalir antar individu dan/atau kelompok. Batas geografis dan negara tidak lagi signifikan.

Kondisi tersebut di atas membutuhkan adanya perangkat peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin kepastian hukum bagi WNA yang menguasai tanah di Indonesia peraturan dimaksud seyogyanya dapat mengimbangi pesatnya perkembangan kebutuhan hukum dalam praktik. Berkaitan dengan hal kepastian hak atas tanah dimaksud saat ini telah ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, di antaranya adalah: Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan HP. PP Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat

Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia Penerbitan kedua PP ini mengandung arti positif karena pengaturan tentang HP merupakan landasan yuridis bagi penguasaan tanah oleh WNA di Indonesia Pada tingkat Menteri/Kepala Badan Pertanahan Nasional, telah pula diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (PMNA/KBPN) No. 7 Tahun 1996 Jo. PMNA/KBPN No. 8 Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing.

Peraturan di atas pada dasarnya merupakan salah satu kebijakan publik karena merupakan produk dari legislatif dan eksekutif Sebagai suatu kebijakan, selain penetapan kebijakan, maka yang penting juga adalah implementasinya (pelaksanaan kebijakan jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan itu sendiri). Oleh karena itu, aparat pelaksana diharapkan dapat menerjemahkan kebijakan itu ke dalam tindakan yang nyata.

Praktiknya, kebijakan pemberian HP kepada WNA diindikasikan tidak dapat dilaksanakan secara efektif di Indonesia. WNA justru melakukan praktek-praktek penguasaan tanah melalui cara yang tidak sesuai dengan ketentuan UUPA. WNA memperoleh tanah dengan melakukan praktek penyelundupan hukum, yakni dengan cara pemindahan hak melalui sewa maupun dalam bentuk

pemilikan hak atas tanah yang menggunakan “kedok” atas nama WNI. Kedua cara ini telah marak dimanfaatkan oleh WNA dalam memperoleh hak atas tanah di beberapa tempat. Di Indonesia, perolehan tanah dengan cara terselubung tersebut biasanya diikuti dengan peruntukkan tanahnya berupa pembangunan fisik bangunan. Praktek seperti itu dapat disebut sebagai suatu model kerjasama

pemanfaatan tanah antara WNA dengan WNI. Model-model kerjasama yang telah dipraktekkan oleh masyarakat adalah model pinjam nama dan sistem kontrak/sewa tanah. Sedangkan model yang diatur menurut ketentuan UUPA dan peraturan pelaksanaannya adalah pemberian HP kepada WNA baik HP di atas tanah negara maupun HP di atas tanah Hak Milik.

Praktek kerjasama pemanfaatan tanah antara WNA dengan penduduk lokal tersebut akan memberikan dampak terhadap keberlanjutan sistem kehidupan masyarakat. Hal ini karena ketika terdapat pihak yang akan masuk untuk menanamkan modalnya di Indonesia, sesungguhnya masyarakat telah masuk ke dalam perangkap untuk saling bertikai. Masyarakat sangat mudah berseteru dengan sanak saudaranya hanya karena perbedaan pendapat dalam pengalihan tanah warisan. Selain itu, kemudahan masuknya arus modal ke Indonesia sering dilakukan dengan cara mempermainkan hukum, bertabrakan dengan kebijakan pusat, memperkosa hak-hak komunitas, hak adat, tata nilai dan tata kultur yang berlaku di Indonesia.

B. Faktor Pemicu Terjadinya Penyimpangan dalam Pelaksanaan Perizinan

Dokumen terkait