• Tidak ada hasil yang ditemukan

BENTUK TINDAKAN DISKRESI DALAM PROSES PENYIDIKAN DI KEPOLISIAN

2.1 Bentuk Diskresi Dalam Proses penyidikan

Rangkain tindakan penyidikan adalah segala tindakan atas nama hukum yang dilakukan oleh kepolisian , mulai dari pengaduhan,pemanggilan,pemeriksaan,penangkapn ,penahanan, penyitaan dan tindakan – tindakan lain yang diatur dalam ketentuan hukum, atau peraturan perundang – undangan yang berlaku. Hingga proses penyidikan itu dinyatakan selesai. Anggota Reserse Kepolisian Resort Besar Surabaya mempunyai tugas pokok dalam menangani kasus- kasus tindak pidana dengan proses penyidikan :

1. Penyelidikan.

Berawal dari adanya info masyarakat dan diduga adanya tempat atau orang pelaku tindak pidana. Sebelumnya pihak kepolisian melakukan kerjasama atau koordinasi dalam mengungkap kasus.

2. Penindakan.

Apabila ditemukan bukti adanya tindak pidana, maka polisi langsung melakukan proses penindakan di TKP, dengan melakukan Penggeledahan, Penyitan BB, dan Penangkapan17.

Penggeledahan ada 2 macam yaitu penggeledahan rumah dan penggeledahan badan.Menurut ketentuan Pasal 1 butir 17 KUHAP penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya, untuk melakukan tindakan

17

pemeriksaan dan atau penyitaan ada atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

Serta menurut ketentuan Pasal 1 butir 18 KUHAP penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawa serta, untuk disita. Dalam keadaan biasa di dalam melakukan penggeledahan penyidik haruslah mendapat ijin dari ketua pengadilan, adanya saksi, serta membuat berita acara.Penyitaan menurut ketentuan Pasal 1 butir 16 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.

Sesungguhnya penyitaan berkaitan erat dengan penggeledahan pada suatu tempat oleh penyidik biasanya diikuti oleh penyitaan, apabila diketemukan suatu benda, surat, dan sebagainya yang diperlukan untuk pembuktian di sidang pengadilan nanti.18Pengertian penangkapan menurut ketentuan Pasal 1 butir 20 KUHAP adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

18 ibid

Perintah penangkapan tersebut tidak boleh dilakukan sewenang-wenang, tetapi harus dilakukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana, Dengan kata lain untuk menentukan seseorang itu sebagai tersangka atau bukan tersangka, terlebih dahulu penyidik kewajiban secara mutlak untuk mengetahui dan menguasai semua peraturan hukum yang berlaku, baru menentukan seseorang sebagai pelaku tindak pidana. Dengan demikian singkronisasi aturan hukum yang dapat dijalankan dengan baik dan benar dan seseorang yang diduga kuat sebagai orang yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan hukum pidana atau ketentuan peraturan pidana itu tidak salah lagi19

Dalam tugas tersebut, para anggota dilengkapi dengan surat perintah tugas, geledah, sita, penangkapan,penyidikan. Para pelaku tindak pidana akan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu dilakukannya proses penyidikan dengan dibuatnya BAP saksi dan tersangka serta dilakukan Tes BB jika adanya barang bukti.20

Adapun tata cara /prosedur penyidikan yang dilakukan oleh penyidik terhadap tersangka adalah sebagai berikut ;

Tersangka dan saksi- saksi di BAP ( berita acara pemeriksan ) yaitu:surat perintah tugas, surat perintah geledah, surat perintah sita, surat

19

Hartono,Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana,Sinar Grafika, Jakarta hal.166-167 20

perintah tangkap, surat perintah ket saksi, surat perintah ket saksi ahli, surat perintah ket tersangka,dll);

Barang bukti dikirim ke labfor Jatim, jika hasil positif maka tersangka ditahan;

Melengkapi penyidikan ( berita acara yang berkaitan degan penyidikan : surat perintah tugas penyelidikan dan surat perintah tugas penyidikan);

Tugas polisi sebagai penyidik dalam sistem peradilan pidana menempatkannya dalam jajaran paling depan, sehingga polisi dituntut untuk bisa menyeleksi atau memilah-milah perkara mana yang pantas untuk diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Banyak hal yang harus dipenuhi atau dilakukan dalam proses penyidikan perkara pidana terutama oleh penyidik polri maupun penyidik lainya (PPNS) dalam menangani perkara pidana dibutuhkan itu antara lain ;

1. Kecermatan dan ketepatan setiap membuat dokumen yang berkaitan dengan perkara yang ditangani.

2. Hati-hati dengan teknologi modern, apabila kita dapat menggunakanya akan berakibat rusaknya dokumen yang dibuat, teknologi modern hanyalah alat bantu yang mempermudah untuk melakukan pekerjaan yang kita inginkan, harus kita ingat mindset-nya tetap ada pada pertanggung-jawaban manusia yang diberi kesempurnaan, tetapi tergantung manusia itu sendiri mau diarahkan ke mana teknologi modern itu.

3. Memahami dengan benar kebutuhan hukum yang harus diterapkan, bukan sekedar memenuhi kebutuhan peraturan perundang – undangan belaka. 4. Hati- hati setiap membuat BAP, baik terhadap berita acara karena

tindakanya,karena dengan kesalahan kecil dalm penyidika dapat berakibat fatal dan bisa mematahkan proses hukum yang seharusnya tidak perlu terjadi.

5. Obyek hukum ( tersangka ) bukan harus dijadikan sasaran legalitas operasionalnya hukum, tetapi tersangka jug mempunyai hak-hak hukum, yang harus dihargai oleh siapapun, jangan samapi seseorang tersangka

yang hanya karena melakukan tindakan hukum ( melaksanakan hak dan keawiban-nya ) yang sebenarnya bukan melawan hukum,tetapi harus dipersalahkan karena berlandaskan hukum yang pembuatanya juga sarat dengan kepentingan lain,sehingga tidak jarang seseorang tersangka yang seharusnya hanya berurusan dengan persoalan hukum yang benar,harus berhadapan dengan hukum yang diciptakan karena kepentingan atau sebuah kospirasi yang berlatar belakang.21

Pemberian diskresi kepada pada hakekatnya bertentangan dengan negara yang didasarkan pada hukum. Diskresi ini menghilangkan kepastian terhadap apa yang akan terjadi. Tetapi suatu tatanan dalam masyarakat yang sama sekali dilandaskan pada hukum juga merupakan suatu ideal yang tidak akan dapat dicapai. Di sini dikehendaki, bahwa semua hal dan tindakan diatur oleh peraturan yang jelas dan tegas, suatu keadaan yang tidak dapat dicapai.

Dengan dimilikinya kekuasaan diskresi oleh polisi maka polisi memiliki kekuasaan yang besar karena polisi dapat mengambil keputusan dimana keputusannya bisa diluar ketentuan perundang-undangan, akan tetapi dibenarkan atau diperbolehkan oleh hukum.

Asas yang melandasi penggunaan wewenang kepolisian disamping asas diskresi masih ada asas lain seperti rechtmatigheid dan plichtmatigheid. Asas rechtmatigheid, yakni sahnya setiap tindakan kepolisian harus selalu berdasarkan undang – undang, plichtmatingheid adalah demi kepentingan umum kepolisian berwenang untuk mengambil tindakan – tindakan yang dianggap perlu

21

PENYIDIKAN SEBAGAI BENTUK KEWENANGAN KEPOLISIAN DALAM PENEGAKAN HUKUM _ Ferli Hidayat.htm

sesuaidengan kewajiban dan tanggung jawabnya, dan asas diskresi, yakni wewenang bertindak atas dasar penilaianya sendiri.22

Sekalipun polisi dalam melakukan diskresi terkesan melawan hukum, namun hal itu merupakan jalan keluar yang memang diberikan oleh hukum kepada polisi guna memberikan efisiensi dan efektifitas demi kepentingan umum yang lebih besar, selanjutnya diskresi memang tidak seharusnya dihilangkan.

Bagaimanapun juga diskresi oleh polisi terkadang merupakan jalan keluar yang diambil akan tetapi sedikit menyimpang dari aturan hukum yang telah ditetapkan. Namun, justru diskresi inilah merupakan jalan keluar yang cukup membantu polisi sehingga permasalahan menjadi lebih efektif dan efisien.

Tentunya polisi tidak begitu saja mengambil inisiatif melakukan diskresi dengan alasan agar mudah, melainkan diskresi itu sendiri terdapat dasar yang membolehkan untuk dilakukannya diskresi oleh polisi menurut hukum. Peraturan perundangan yang menjadi dasar diskresi oleh polisi itu adalah:

1. Undang-Undang Nomer 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP)

Pasal 5:

(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 4. a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang:

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.

22

2. Mencari keterangan dan barang bukti.

3. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.

4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. b. Atas perintah penyidik dapat dilakukan tindakan berupa:

1.Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.

2.Pemeriksaan dan penyitaan surat.

3.Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

4. Membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik. 5.Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil

pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik.

Pasal 7:

(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang:

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.

b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian. c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda

pengenal diri tersangka.

d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat. f. Mngambil sidik jari dan memotret seseorang.

g. Memanggil seseorang untuk didengar diperiksa sebagai tersangka atau saksi.

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.

i. Mengadakan penghentian penyidikan.

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat (1) huruf a.

(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.

Dalam ketentuan pasal 5 dan pasal 7 UU No. 8 tahun 1981 disebutkan bahwa: ”Setiap pejabat kepolisian yang berkualifikasi menyelidik dan menyidik dalam rangka melakasanakan tugas dibidang peradilan pidana karena kewajibannya diberi wewenang oleh undang-undang”. Mengingat wewenang kepolisian untuk melakukan tindakan-tindakan kepolisian tidak mungkin diatur secar terperinci maka dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) angka 4 dan Pasal 7 ayat (1) huruf j dinyatakan bahwa “polisi berwenang karena kewajibannya melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab”

Dan didalam proses penyidikan itu ada serangkain kegiatan yang dikatakan sebagai tindakan diskresi dalam proses penyidikan yaitu, melakukan penangkapan terhadap tersangka dengan memenentukan macam – macam kegiatan dan besarnya anggaran yang diperlukan sesuai dengan tingkat kesulitan penanganan perkara pidana atau melaksanakan upaya paksa berupa tindakan yang melumpuhkan, bisa dikatakan proses diskresi yang muncul pada proses penyidikan

Bentuk nyata tindakan diskresi kepolisian dalam proses penyidikan, ketika penyidik melakukan penangkapan terhadap tersangka namun tersangka berupaya melakukan perlawanan dengan menggunakan sebjata tajam atau senjata api sehingga penyidik dituntut untuk mampu segera menggambil keputusan untuk melumpuhkan tersangka dengan

sehingga perlawanan tersangka tidak membahayakan jiwa petugas maupun masyarakat lain.

Apakah setiap proses penyidikan tersebut bisa dikatak tindakan diskresi padahal ada hal yang dikatakan salah satunya atas tindakan proses penyidikan yang dalam hal penangkapan dengan melakukan upaya paksa atau tindaka melumpukan yang contoh faktanya bisa dikatakan “tembak Ditempat” apakah tindakan itu mempengaruhi HAM.

Dalam proses penyidikan penangkapan yang menitik beratkan pada tindakan tembak ditempat guna melumpuhkan dalam keadaan memaksa ( Overmacht ), pasal 48 KUHP mementukan bahwa tiada boleh seseorang dihukum, bila ia melakukan sesuatu perbuatan pidana karena terdesak oleh keadaan memaksa.

Berhubungan dengan itu dalam rangka perbuatan melawan hukum, maka perbuatan seseorang tidaklah melawan hukum ,bila ia melakukan perbuatanya tersebut karena terdesak oleh keadaan memaksa23

Dalam menjalankan tugasnya, polisi Indonesia diminta untuk menjunjung tinggi HAM, jadi tidak hanya “ menjunjung HAM ”. Perintah hukum untuk dimasukkan ke dalam beberapa pasal dari UU Kepolisian ( UU No. 2 tahun 2002 ),:

a. “ Kepolisian Negara RI bertujuan untuk menjamin tertib dan tegaknya ukum serta terbinanya ketentraman masyarakat guna mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negri,terselengaranya fungsi pertahanan keamanan

23

Negara,dan tercapainya tujuan nasional dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”

b. “ Memelihara keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hudup dari gangguan ketertiban dan / bencana termasuk memberikan perlindungan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”

c. “ Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Pejabat Kepolisian RI senantiasa bertindak berdasarkan noorma hukum dan mengindahkan norma agama,kesopanan,kesusilaan,serta menjunjung tinggi hak asasi manusia”24

Dengan demikian tindakan lain ini seperti tindakan penyidik berupa diskresi kepolisian boleh diambil penyidik selama masih dalam jalur yang telah ditentukan oleh hukum itu sendiri. Berdasarkan pada Pasal 7 ayat (1) tersebut polisi dapat mengambil tindakan lain pada saat penyidikan selain yang telah disebutkan pada aturan perundang-undangan tersebut selama demi kepentingan tugas-tugas kepolisian, sekalipun polisi telah diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk mengambil tindakan lain tersebut tetap saja polisi harus bisa untuk mempertanggungjawabkan atas segala tindakan dan keputusan yang telah diambil didalam melaksanakan tugasnya.

Hal demikian dimaksudkan agar polisi tidak menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya, mengingat kewenangan untuk melakukan tindakan lain oleh polisi pada saat penyidikan tersebut demikian luasnya.

24

Diskresi kepolisian merupakan tindakan yang dibenarkan oleh undang-undang sesuai dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l dan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2).

Pasal 16 ayat (1) huruf l: Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.

Pasal 18 ayat (1) dan (2):

(1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

(2) Melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Maksud dari bertindak menurut penilaiannya sendiri adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolsian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum. Sehingga hal tersebut dapat dijadikan landasan bagi diskresi kepolisian.

Secara operasional, perundang-undangan pidana mempunyai kedudukan strategis terhadap sistem peradilan pidana, sebab hal tersebut memberikan definisi tentang perbuatan-perbuatan apa yang dirumuskan sebagai tindak pidana, mengendalikan usaha-usaha pemerintah untuk memberantas kejahatan dan memidana si pelaku, memberikan batasan tentang pidana yang dapat diterapkan untuk setiap kejahatan. Dengan perkataan lain perundang-undangan pidana menciptakan legislated environment yang

mengatur segala prosedur dan tata cara yang harus dipatuhi dalam berbagai peringkat sistem peradilan pidana

Dalam usaha untuk menegakkan hukum pidana telah disepakati bahwa tidak bisa hanya memperhatikan hukum pidana yang akan ditegakkan itu secara normatif yuridis semata-mata tanpa memperhatikan hubungannya dengan masyarakat, karena apabila menegakkan hukum pidana hanya melihat hukum atau normanya saja sudah dapat dipastikan tujuan sistem peradilan pidana akan sulit dicapai.

Disitulah letak fleksibilitas sistem penyidikan, serta harus pula dipikirkan tentang pembinaan dari sistem penyidikan, serta perlu dipikirkan juga mengenai pembinaan diri tersangka pelanggar hukum itu dalam kerangka tujuan sistem peradilan pidana yang lebih luas. Dalam hal pemikiran ini pulalah selektifitas perkara dimungkinkan terjadinya pada setiap pentahapan proses. Sehubungan dengan hal itu polisi yang berada pada jajaran terdepan dalam sistem penyidikan mempunyai kekuasaan untuk mengadakan seleksi penyidikan, begitupun unsur komponen lainnya.

Pekerjaan kepolisian sesungguhnya juga tidak jauh dari pekerjaan mengadili. Sebab memberikan penafsiran terhadap hukum pidana pada saat berhadapan dengan orang-orang tertentu yang melakukan pelanggaran hukum termasuk pekerjaan mengadili juga.

Dengan demikian norma-norma sosial yang ada dalam masyarakat seperti sikap yang berakar pada masyarakat Indonesia pada umumnya berupa persatuan-kesatuan, gotong royong, toleransi, pemaaf, suka damai, rukun, tenggang rasa, norma-norma yang dianut merupakan landasan pula bagi pertimbangan Polisi dalam menegakkan hukum melalui sarana diskresi ini.

2.2 Faktor Penyebab Ter jadinya Diskr esi Dalam Pr oses Penyidikan

Dalam hal penyidikan terjadinya diskresi bukanlah hal yang asing lagi di kalangan polisi. Karena pelaksanaan dari wewenang diskresi yang dimiliki oleh polisi pada saat penyidikan seringkali dilakukan ketika polisi dihadapkan pada masalah-masalah yang diproses, menuntut untuk diselesaikan dengan segera dan sebagainya. Manfaat dari adanya diskresi ini menjadikan pelaksanaan kerja dari polisi menjadi lebih efisien dan efektif, hal ini mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh polisi didalam lembaganya. Sekalipun hanya wewenang diskresi namun ternyata diskresi ini besar sekali pengaruhnya didalam komponen sistem penyidikan lainnya.

Diskresi sendiri ada pada saat penyidikan terdapat faktor-faktor yang melatar belakanginya. Dalam melakukan proses penyidikan, para penyidik dari SatReskrim Polwiltabes seringkali didukung oleh faktor-faktor tertentu yang terjadi dilapangan.

faktor itu berasal dari Polwiltabes sendiri . Demikian juga dalam pelaksanaan dari wewenang diskresi oleh polisi pada saat penyidikan di Polwiltabes juga terdapat dukungan .Beberapa faktor yang penyidik dalam

menggunakan wewenang diskresinya pada saat penyidikan tindak pidana di Polwiltabes adalah:

Substansi undang yang memadai.Adanya substansi undang-undang sampai saat ini ternyata telah dapat memberikan dukungan secara tidak langsung, karena substansi yang tercantum dalam undang - undang yang tercantum didalamnya mengenai wewenang penyidik, klasifikasi pelaku serta hal lain yang dianggap oleh penyidik telah dapat mengakomodir segala kebutuhan dalam penyidikan Dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang. Kepolisian Negara Republik Indonesia telah mencantumkan kewenangan diskresi, sekalipun tidak mengatur secara rinci tapi setidaknya telah bisa mengatur dan menjembatani permasalahan yang ada di masyarakat.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan penulis di Polwiltabes Surabaya pada wawancara hari Jumat 25 Mei 2012 dengan Iptu Soekris Trihartono Unit Harda dikatakan yang ditentukan oleh undang- undang nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisian Negara republic Indonesia pasal 18 ayat (2) yaitu keadaan yang sangat perlu serta tugas pokok kepolisian kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai amanah undang-undang yaitu polri selaku pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Sehingga batasan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan dapat dengan mudah untuk dipahami. Begitu pula tentang aturan diskresi, sekalipun hanya termuat dalan 2 pasal saja yaitu dalam pasal

16 dan 18 Undang-UndangNomor 2 tahun 2002 akan tetapi telah menyebutkan dengan jelas bahwa polisi diperbolehkan oleh undang-undang untuk melakukan diskresi pada tugas-tugasnya, tentunya dengan catatan harus mengingat dan melihat situasi dan kondisi yang terjadi dilapangan.

Hal yang demikian dapat mempengaruhi dalam setiap sikap dan tindakan dalam mempergunakan wewenang diskresi yang dimilikinya. Peran dan kedudukan polisi sebagai seorang penyidik telah memberikan wewenang pada polisi tersebut untuk melakukan diskresi sesuai yang telah diatur oleh undang-undang sehingga petugas penyidik tersebut dapat mempergunakan diskresi dalam melaksanakan tugasnya.

Hal ini juga dapat menjadi faktor diskresi, karena penyidik tersebut memang telah memiliki wewenang untuk melakukan diskresi.Demikian juga pada saat penyidikan, karena masyarakat mempunyai perandalam memberikan informasi yang dibutuhkan oleh polisi.

Apabila informasi yang dimiliki polisi sedikit maka pertimbangan untuk melakukan diskresi juga malah memakan waktu yang lebih lama. Selain hal itu, setiap tindakan polisi yang berupa diskresi ditangkap oleh masyarakat sebagai suatu tindakan yang buruk. Masyarakat menganggap diskresi sebagai suatu tindakan penyimpangan hukum yang salah.

Secara garis besar, Diskresi Kepolisian berakibat pada diperbolehkannya seorang Polisi untuk memilih peran (pemeliharaan ketertiban, penegakkan hukum ), taktik (penegakkan undang-undang lalu lintas dengan patroli atau menjaga disuatu tempat), dan tujuan.

Faktor mengenai diskresi Kepolisian terdapat dalam pasal 18 Undang-undang Kepolisian Nomor 2 tahun 2002, yang berbunyi :

(1) Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dlam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kedisiplinan seperti ini secara krusial mempengaruhi keberhasilan Polisi sebagai jawabannya Penegakkan Hukum juga ditemukan dalam kekusaan pada awalnya model yang diterapkan Polisi Amerika menerapkan kekuasaan untuk memberi perintah bawahannya

Sedangkan diskresi dalam beberapa tipe organisasi, diskresi hanya diperbolehkan berdasarkan pada kepangkatan yang melakukan penegakkan hukum. Petugas Kepolisian yang berpangkat rendah yang melakukan tugas rutin seringkali menerapkan Diskresi dalam pelaksanaan tugasnya. Misalnya dalam melakukan penahanan (suatu aspek penting yang sering diteliti) Black (1980) La Fave (1965), dan Reiss (1971) mencatat bahwa keturunan, umur, jenis kelamin tersangka sangat mempengaruhi keputusan untuk menahan atau membebaskan.

Adapun faktor dari petugas penyidiknya sendiri, Petugas polisi mempunyai kedudukan dan status yang sangat beranekaragam, tentu saja kedudukan yang demikian ini akan menempatkan polisi pada peran yang berbeda-beda dengan polisi pada lingkup tugas yang lainnya.

Hal yang demikian dapat mempengaruhi dalam setiap sikap dan tindakan dalam mempergunakan wewenang diskresi yang dimilikinya. Peran dan kedudukan polisi sebagai seorang penyidik telah memberikan wewenang pada polisi tersebut untuk melakukan diskresi sesuai yangtelah diatur oleh undang-undang sehingga petugas penyidik tersebut dapat mempergunakan diskresi dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini juga dapat menjadi faktor pendorong diskresi, karena penyidik tersebut memang telah memiliki wewenang untuk melakukan diskresi.

Penelitian-penelitian lain memperlihatkan bahwa situasi dan faktor-faktor interactive memainkan peranan besar dalam keputusan Polisi.. Kira-kira seperempat dari Pejabat Polisi tersebut tidak melakukan penahanan

Dokumen terkait