• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Hapusnya Perjanjian.

Menurut R. Setiawan, suatu perjanjian dapat hapus karena:

a. Para pihak menentukan berlakunya perjanjian untuk jangka waktu tertentu.

b. Undang-undang menentukan batas waktu berlakunya suatu perjanjian (Pasal 1066 ayat 3 KUHPerdata).

c. Salah satu pihak meninggal dunia.

d. Salah satu pihak (hal ini terjadi bila salah satu pihak lalai melaksanakan prestasinya maka pihak yang lain dengan sangat terpaksa memutuskan perjanjian secara sepihak) atau kedua belah pihak menyatakan menghentikan perjanjian.

e. Karena putusan hakim.

f. Tujuan perjanjian telah dicapai dengan kata lain dilaksanakannya objek perjanjian atau prestasi.

g. Dengan persetujuan para pihak.

Dengan demikian maka menurut penulis, pembedaan cara hapusnya perikatan dengan perjanjian tidaklah terlalu penting karena cara

38

berakhirnya perikatan yang tertulis dalam Pasal 1381 KUHPerdata merupakan cara-cara yang ditunjuk oleh pembentuk undang-undang.39 2. Tentang hapusnya perikatan-perikatan dalam perjanjian

Buku III 3 dari KUHPerdata berkepala “Pemusnahan perjanjian” dan pasal pertama yaitu Pasal 1381 menyebutkan sepuluh macam cara pemusnahan perjanjian, yaitu:

Ke 1 : karena pembayaran;

Ke 2 : karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan; Ke 3 : karena pembaharuan hutang;

Ke 4 : karena perjumpaan hutang dan kompensasi; Ke 5 : karena percampuran hutang;

Ke 6 : karena pembebasan hutang;

Ke 7 : karena musnahnya barang yang terhutang; Ke 8 : karena kebatalan atau pembatalan;

Ke 9 : karena berlakunya syarat-batal; Ke 10 : karena kadaluwarsa (verjaring).

Pembayaran

Hal ini adalah yang paling penting, oleh karena mengenai betul-betul pelaksanaan perjanjian. Maka hal pembayaran ini oleh KUHPerdata diatur dalam tidak kurang dari 22 Pasal (Pasal-pasal 1382 s/d 1403).

Pasal-pasal 1382, 1383, dan 1384 menentukan siapa yang dapat melakukan pembayaran secara sah, yaitu

39

1. Menurut Pasal 1382 :

a. si pihak-berwajib sendiri atau seorang yang menanggung hutangnya (borg),

b. seorang lain yang melakukan pembayaran “atas nama” dan untuk membebaskan “pihak –berwajib”.

2. Menurut Pasal 1383 :

Apabila kewajiban si berwajib berupa melakukan perbuatan tertentu, pelaksanaanoleh orang lain hanya dapat dengan izin pihak berhak; 3. Menurut Pasal 1384 :

Apabila kewajiban si berwajib berupa menyerahkan suatu barang kepada pihak-berhak, maka ada dua syarat untuk pembayaran, yaitu: ke 1 pihak-berwajib harus sendiri mempunyai hak-milik atas barang itu, ke 2 ia harus pada umumnya diperbolehkan oleh Hukum untuk melakukan perbuatan-hukum secara sah.

Pasal-pasal 1385, 1386 dan 1387 KUHPerdata menyebutkan syarat-syarat bagi pihak yang menerima pembayaran, yaitu menurut Pasal 1385 ayat 1.

Ke 1 pihak berdiri-sendiri,

Ke 2 seorang yang mendapat kuasa dari pihak-berhak,

Ke 3 seorang yang dikuasakan oleh Hakim atau oleh undang-undang.

Pasal-pasal ini pun saya rasa, tidak ada halangan untuk diberlakukan dalam Hukum Adat.

Begitu pula Pasal-pasal berikutnya dari KUHPerdata mengenai: a. Objek pembayaran (Pasal-pasal 1389 s/d 1392),

b. Tempat pelaksanaan perjanjian (Pasal 1393),

c. Pembuktian-pembayaran (Pasal-pasal 1394 s/d 1399),

d. Subrogasi atau penggantian pihak-berhak (Pasal-pasal 1400 s/d 1403).

Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan

Hal ini diatur dalam pasal-pasal 1404 s/d 1412 KUHPerdata dan dalam pasal-pasal 809 s/d 812 Reglement Burgerlijke Rechtvordering (RV).

Pernyataan sedia membayar dari pihak-berwajib adalah salah satu usaha untuk menghindarkan kesulitan, apabila pelaksanaan perjanjian dihalang-halangi oleh pihak-berhak.

Pokok dari peraturan KUHPerdata tentang penawaran pembayaran ini terletak pada Pasal 1404 ayat 2 KUHPerdata yang mengatakan, kalau pernyataan sedia membayar ini telah di-ikuti dengan suatu penitipan barang secara yang ditetapkan pula oleh undang-undang, maka bebaslah pihak berwajib dari kewajibannya, dan dianggap seolah-olah telah terjadi suatu pembayaran yang sah.

Begitu juga mengenai pembaharuan-hutang, perjumpaan-hutang dan percampuran-hutang (pasal-pasal 1413 s/d 1437 KUHPerdata).

Pembebasan hutang

Perikatan-perikatan yang termaksud dalam suatu perjanjian berdasar pada pokoknya atas suatu kesuka-relaan kedua belah pihak untuk mengadakan perikatan-perikatan itu. Maka kalau suatu pihak-berhak kemudian dengan sukarela berniat membebaskan pihak lain dari suatu perikatan, ini pada hakekatnya tidak boleh dihalang-halangi.

Hanya saja, oleh karena adalah luar biasa, kalau seorang pihak-berhak tidak lagi menghendaki pelaksanaan suatu perjanjian, maka adalah layak penentuan dalam Pasal 1438 KUHPerdata, bahwa pembebasan hutang tidak boleh dikira-kirakan saja (voorondersteld), melainkan harus dibuktikan.

Pembuktian ini tentunya dapat secara yang biasa menurut undang-undang Pasal 1439 KUHPerdata menentukan tentang hal ini, bahwa pengembalian surat tanda-hutang oleh pihak-berhak kepada pihak-berwajib, membuktikan, bahwa ada pembebasan hutang, juga terhadap para kawan-debitur yang turut tanggung-menanggung.

Pasal 1440 dan Pasal 1442 KUHPERDATA mengenai hal adanya beberapa debitur, yang tanggung-menanggung atau hal adanya seorang penanggung (borg). Kalau seorang penanggung membayar kepada kreditur dengan maksud untuk hanya dibebaskan dari penanggungan saja, maka ini tidak diperbolehkan oleh Pasal 1443 KUHPerdata yang menentukan, bahwa kalau ini terjadi, pembayaran itu dikurangkan dari jumlah hutang.

Pasal 1441 KUHPerdata menentukan, pengembalian barang yang digadaikan kepada pemilik barang, tidak dapat menimbulkan pengiraan (vermoeden), bahwa hutang yang diteguhkan dengan pemberian gadai (pand) itu, dibebaskan.

Musnahnya barang yang terhutang

Ini diatur dalam Pasal-pasal 1444 dan 1445 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1444

“Jika barang tertentu yang menjadi bahan persetujuan, musnah tak lagi dapat diperdagangkan atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka haruslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya si berhutang, dan sebelum ia lalai menyerahkannya.”

Pasal 1445

“Jika barang yang terhutang, diluar salahnya si berhutang musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, maka si berhutang jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti-rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan member hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang menghitungkan padanya, saya rasa Hukum Adat dapat menerima peraturan KUHPERDATA ini.”

Kebatalan atau pembatalan perjanjian

Ada suatu pembatalan mutlak (absolute nietigheid), apabila suatu perjanjian harus dianggap batal, meskipun tidak diminta oleh suatu pihak. Dan perjanjian seperti ini dianggap tidak ada sejak semula dan terhadap siapapun juga.

Batal mutlak adalah suatu perjanjian, yang diadakan tanpa mengindahkan cara (vorm) yang secara mutlak dikehendaki oleh undang-undang, misalnya suatu penghibahan menurut KUHPerdata yang tidak dilakukan oleh akta-notaris 1682 KUHPerdata

Pembatalanlain adalah hak mutlak (relatif) yaitu hanya terjadi jika diminta oleh orang-orang tertentu dan hanya berlaku terhadap orang-orang tertentu itu.

Pembatalan tak mutlak ini dapat dibagi menjadi dua macam:

Ke-1 : pembatalan atas kekuatan sendiri (nietig serta van rechtswegenietig), maka para Hakim diminta supaya menyatakan batal, misalnya dalam hal perjanjian yang diadakan oleh seorang yang belum dewasa (lihat pasal 1446 KUHPerdata )

Ke- 2 : pembatalan belaka oleh Hakim (vernitigbaar), yang putusannya harus berbunyi: membatalkan, misalnya dalam hal perjanjian yang terbentuk secara paksaan, kekeliruan atau penipuan (lihat pasal 1449 KUHPerdata )

Perbedaan yang nyata diadakan oleh KUHPerdata antara dua macam pembatalan ini dapat dilihat dari kata-kata yang terpakai dalam Pasal 1446 dan Pasal 1449 KUHPerdata Pasal 1446 mengatakan, bahwa perjanjian yang dimaksudkan di situ, dapat dinyatakan batal atas suatu tuntutan; dan tuntutan ini dapat dilakukan secara gugatan atau dalam suatu perlawanan (exceptie). Dalam Pasal 1449 dikatakan, bahwa perjanjian yang dimaksudkan disitu, hanya dapat dibatalkan atas suatu gugatan (rechtsvordering).

Sedang Pasal 1450 KUHPerdata mengatakan, bahwa pembatalan perjanjian, yang berdasar atas hal merugikan suatu pihak, tidak selalu diperbolehkan, melainkan hanya dalam hal-hal yang ditentukan dan diatur dalam peraturan khusus. Pasal-pasal lain dari KUHPerdata tentang pembatalan perjanjian, yaitu Pasal-Pasal 1447, 1448, 1450 s/d 1456.

Daluwarsa atau lampau waktu (verjaring)

Burgerlijk wetboek mengenal dua macam daluwarsa selaku cara melepaskan diri dari suatu perikatan, yaitu:

Ke-1 lampau-waktu selama 30 tahun segala perikatan tentu yang disebutkan dalam undang-undang.

Ke-2 lampau-waktu pendek dalam beberapa macam perhubungan-hukum tertentu yang disebutkan dalam undang-undang.

Alasan untuk mengadakan peraturan semacam ini ialah untuk melenyapkan keadaan keragu-raguan dalam suatu hubungan-hukum, dan juga berhubung dengan hal, bahwa apabila selama tiga puluh tahun tidak ada persoalan apa-apa dan baru sesudah lampau waktu yang panjang itu dimajukan soal siapakah yang sebenarnya ada berhak atau berkewajiban, maka sukar sekali untuk mendapatkan bukti-bukti yang jitu guna menegakkan atau merobohkan hak-hak atau kewajiban-kewajiban itu dan yang dapat dipercaya ketepatannya. 40

40

Dokumen terkait