• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III WUJUD KEPEMIMPINAN NABI SULAIMAN AS

B. Kriteria Kepemimpinan Nabi Sulaiman

4. Berbudi Luhur

Kemudian yang menjadi ayat terkait budi luhur Nabi Sulaiman dalam memerintahkan kerajaan beliau adalah dalam Q.S. al-Anbiya’/ 21: 78-79, sebagaimana Allah swt. berfirman:





























































Terjemahnya:

‚Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu. Maka, kami telah memahamkannya kepada Sulaiman dan kepada masing-masing mereka telah kami berikan hukum serta ilmu.‛40

Ayat diatas menjelaskan bahwa: kisah Daud dan Sulaiman sewaktu mereka menjatuhkan keputusan tentang tanaman petani yang dirusak oleh kambing-kambing kerkeliaran pada malam hari. Allah memperhatikan dan mengamati keputusan yang diberikan oleh Daud dan Suaiman bersama para pengikutnya.41

Ahli-ahli tafsir menjelaskan dua orang laki-laki datang kepada Daud. Yang seorang adalah pemilik tanaman yang dirusak oleh kambing-kambing milik lelaki yang satunya. Pada waktu itu Sulaiman berada dekat ayahnya Daud. Pemilik tanaman berkata:‛Kambing milik orang itu berkeliaran pada suatu malam dan telah merusak tanamanku.‛ Mendengar pengaduan pemilik tanaman

40Kementerian Agama RI, Al-Qur‘a>n dan Terjemahnya (Cet. X; Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2013),h. 504.

itu, akhirnya Daud memutuskan supaya pemilik tanaman mengambil semua kambing yang merusak tanamannya. Daud memandang keputusan itu sudah seimbang, karena harga kambng-kambing itu sama denga kerugian yang diderita pemilik tanaman akibat tanamannya dirusak.

Hasbiy ash- Shiddieqy dalam kitab tafsirnya menuturkan bahwa tatkala sulaiman yang mendengar keputusan itu, spontan beliau mengajukan usul yang dipandangnya lebih baik dari pada keputusan Daud dan lebih maslahat bagi mereka berdua.‛lebih baik kambing diberikan kepada pemilik tanaman untuk dimanfaatkan air susunya dan bulunya, sedangkan tanaman yang telah rusak diberikan kepada pemilik kambing untuk dirawat dengan baik. Setelah tanaman kembali seperti semula sewaktu belum dirusak, maka pada tahun berikutnya masing-masing mengambil kembali harta mereka. Mendengar usulan anaknya itu, Daud pun mencabut keputusannya dan membenarkan pandangan Sulaiman.42Dan hal ini selaras dalam riwayat yang dituturkan al-Baihaqi dalam kitab tafsir al-Baya>n tentang kebijaksaan beliau dalam mengambil suatu keputusan hukum. 43

Dalam Kita Maqa>yi>s al-Lu>gah Kata (نامكحي) yahkuma>n dipahami oleh banyak ulama dalam arti menetapkan hukum atau mencegah kezaliman.44 Yakni masing-masing menetapkan hukum. Ini dilukiskan oleh sementara ulama bahwa nabi Daud as. dalam majelis hukumnya menetapkan bahwa pemilik kambing harus memberikan kambingnya kepada pemilik kebun sebagai ganti rugi. Nabi Sulaiman setelah mengetahui ketetapan itu, berkata seandainya aku yang

42Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsi>r al-Qur‘a>nul Maji>d an-Nu>r, h. 2631.

43Abu> T{ayyib Muhammad S{adi>q kha>na Ibn Hasan Ibn ‘Ali Ibn Lat{ifatullah Husaini Bukha>ri al-Qinu>n, Fath al-Baya>n fi Maqa>s{id al-Qur’a>n jilid (Beirut: al-Maktabah al-Misriyyah wal an-Naisabu>ri, 1412), h. 352.

44Ahmad bin Faris bin Zakariyyah, Mu‘jam Maqa>yis al-Lu>gah (Da>r al-Fikr, 1979 M), h. 91.

menjadi hakim, aku akan menetapkan bahwa pemiliknya kambing hanya akan memberikan untuk sementara waktu kambingnya kepada pemilik kebun guna mereka mengambil manfaatnya seperti anaknya yang lahir, serta susu, dan bulunya yang diperkirakan senilai dengan tanaman yang dirusak oleh kambing-kambing itu. Tetapi kepemilikan manfaat kambing-kambing-kambing-kambing itu hanya sampai tumbuhnya kembali pepohonan mereka yang dirusak kambing.

M. Quraish Shihab memaparkan bahwa ada juga yang berpendapat bahwa kata

(نامكحي)

yahkuma>n bukan berarti masing-masing menetapkan hukum, tetapi dalam arti mereka berdua berdiskusi untuk menetapkan hukum. Nabi Daud, berpendapat seperti di atas dan Nabi Sulaiman karena diberi pemahaman yang lebih mantap oleh Allah swt., maka Nabi Daud berpendapat seperti yang diuraikan di atas juga yaitu mengikuti pendapat nabi Sulaiman Dengan demikian, keputusan yang keluar hanya satu keputusan, bukan dua keputusan yang berbeda, walaupun pada mulanya demikian, namun, setelah mereka sepakat untuk menetapkan ganti rugi bagi pemilik kebun, mereka berbeda dalam pemberian ganti rugi.45

Lanjut beliau memaparkan bahwa betapapun, yang jelas ayat diatas mengisyaratkan perbedaan pendapat dua orang nabi yang juga adalah antara ayah dan anak yang berijtihad menyangkut satu kasus. Allah swt. menganugerahkan kepada sang anak pemahaman yang mantap, sebagaimana dipahami dari kata (

اهانمهف

)fahhamna>ha, sehingga sang ayah mengakui kejituannya dan menarik pendapat setelah membenarkan pendapat anaknya. Hal ini tentu saja menggembirakan sang ayah dan merupakan anugerah tersendiri karenanya,

45 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’a>n, Volume VIII, h. 96.

seperti dimaklumi, semua orang berbangga apabila anaknya lebih utama dan menonjol dari dirinya sendiri.46

Pendapat Nabi Sulaiman, berkat pemahaman yang telah dianugerahkan Allah kepada beliau merupakan lebih tepat karena pandangan Nabi Daud yang menetapkan ganti rugi hanya mewujudkan keadilan semata, sedang pendapat nabi Sulaiman adalah keadilan plus pembinaan dan pembangunan.47 Disamping itu, ganti rugi yang dikemukakan oleh nabi Sulaiman as. tidak mengakibatkan hilangnya modal pemilik kambing itu karena kambingnya akan kembali kepadanya setelah beberapa lama.

Kasus diatas membuktikan bahwa dua orang hakim yang menghadapi kasus sama bisa berbeda keputusan karena perbedaan tingkat pemahaman. Yang terpuji adalah yang lebih dalam pemahamannya terhadap kasus, petunjuk teks, jiwa ajaran, dan kondisi sosial budaya yang dihadapi. Karena itu, bagi seorang hakim, sekedar keinginan berlaku adil dan pengetahuan hukum saja belum cukup, tetapi semua itu harus disertai pula dengan apa yang diistilahkan oleh al-Qur’an dengan hikmah yaitu kemampuan penerapan sehingga kemaslahatan dapat diraih dan atau kemudharatan dapat ditampik.48

Dokumen terkait