• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan Hukum Perburuhan / Ketenagakerjaan

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM PRO (Halaman 84-88)

BAB IV ANALISIS KEABSAHAN PHK BERDASARKAN KESALAHAN

4.1. Keabsahan Kesalahan Berat Yang Diatur Dalam PKB

4.1.1. Berdasarkan Hukum Perburuhan / Ketenagakerjaan

Sebagaimana telah diuraian pada bab sebelumnya, salah satu jenis alasan terjadinya PHK adalah karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat. Dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 disebutkan bahwa pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh, tanpa melalui penetapan LPPHI dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat. Pekerja/buruh dikategorikan melakukan kesalahan berat apabila123 :

a. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan.

b. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan.

c. Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja.

d. Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja.

e. Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja.

f. Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

g. Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan.

h. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja.

i. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan Negara.

j. Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

PHK yang dilakukan oleh pengusaha tersebut tersebut harus didukung dengan bukti bahwa pekerja/buruh tertangkap tangan, ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan, atau ada bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

Apabila diperhatikan substansi dari materi PHK atas kesalahan berat dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut pada dasarnya diambil dari Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.Kep-150/Men/2000 tentang Penyelesaian PHK dan Penetapan Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan.124 Perbedaannya adalah PHK atas kesalahan berat dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 dapat dilakukan oleh pengusaha secara langsung, sedangkan menurut Kepmenaker PHK yang dilakukan pengusaha harus terlebih dahulu mendapat izin dari panitia daerah/pusat.

Menurut Kepmenaker No.Kep-150/Men/2000, pengusaha dapat diberikan izin untuk melakukan PHK apabila pekerja/buruh melakukan kesalahan seperti125: a. Penipuan, pencurian dan penggelapan barang / uang milik pengusaha

atau milik teman sekerja atau milik teman pengusaha.

b. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan pengusaha atau kepentingan Negara.

c. Mabok, minum - minuman keras yang memabokkan, madat, memakai obat bius atau menyalahgunakan obat - obatan terlarang atau obat - obatan perangsang lainnya yang dilarang oleh peraturan perundang -

124 Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep-150/Men/2000 merupakan peraturan pelaksanaan Undang –Undang No.12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.

125 Pasal 18 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. Kep-150/Men/2000 tentang Penyelesaian PHK dan Penetapan Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan.

Universitas Indonesia

undangan, di tempat kerja, dan di tempat - tempat yang ditetapkan perusahaan.

d. Melakukan perbuatan asusila atau melakukan perjudian di tempat kerja. e. Menyerang, mengintimidasi atau menipu pengusaha atau teman sekerja

dan memperdagangkan barang terlarang baik dalam lingkungan perusahaan maupun diluar lingkungan perusahaan.

f. Menganiaya, mengancam secara phisyk atau mental, menghina secara kasar pengusaha atau keluarga pengusaha atau teman sekerja.

g. Membujuk pengusaha atau teman sekerja untuk melakukan sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau kesusilaan serta peraturan perundangan yang berlaku.

h. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan atau mencemarkan nama baik pengusaha dan atau keluarga pengusaha yang seharusnya dirahasiakn kecuali untuk kepentingan negara.

i. Hal - hal lain yang diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama.

Dalam perkembangan pemberlakuannya, PHK atas kesalahan berat, sebagaimana diatur Undang-Undang Ketenagakerjaan, oleh Mahkamah Konstitusi RI dinyatakan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan PHK atas kesalahan berat dalam Pasal 158 Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut bersifat diskriminatif secara hukum. Dikatakan demikian karena perbuatan kesalahan berat dimaksud adalah masuk dalam kualifikasi perbuatan tindak pidana yang menurut Pasal 170 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tidak perlu mengikuti proses penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, melainkan pengusaha dapat melakukan PHK secara langsung.

Dengan demikian ketentuan ini telah melanggar prinsip pembuktian, terutama asas praduga tak bersalah dan kesamaan di depan hukum sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945, karena pasal 158 memberikan kewenangan pada pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat tanpa due process of law melalui putusan pengadilan

yang independen dan imparsial, melainkan cukup hanya dengan keputusan pengusaha yang didukung oleh bukti-bukti yang tidak perlu diuji keabsahannya menurut hukum acara yang berlaku. Seharusnya penilaian penilaian bersalah atau tidaknya seorang pekerja/buruh yang diduga melakukan kesalahan berat (yang menyangkut tindak pidana) menjadi kewenangan pengadilan bukan menjadi kewenangan pengusaha.

Di lain pihak, Pasal 160 menentukan secara berbeda, yaitu buruh/pekerja yang ditahan oleh pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana tetapi bukan atas pengaduan pengusaha, diperlakukan sesuai dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang sampai bulan keenam masih memperoleh sebagian dari hak-haknya sebagai buruh, dan apabila pengadilan menyatakan buruh/pekerja yang bersangkutan tidak bersalah, pengusaha wajib mempekerjakan kembali buruh/pekerja tersebut. Hal tersebut dipandang sebagai perlakuan yang diskriminatif atau berbeda di dalam hukum yang bertentangan dengan UUD 1945, dan ketentuan Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, sehingga Pasal 158 oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dengan demikian semenjak Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pasal 158 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah inkonstitusional, dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, maka pengusaha tidak dapat lagi secara langsung mem-PHK pekerja/buruhnya. Hal ini dasarkan pada asas presumption of innocence atau asas praduga tidak bersalah. Oleh karena itu, pengusaha baru dapat mem-PHK pekerja/buruh yang diduga melakukan kesalahan berat tersebut apabila terhadapnya telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Hal ini juga ditegaskan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui Surat Edaran No.SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Hak Uji Materil Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang–Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa, pasal 158 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tidak berlaku sepanjang belum ada putusan pengadilan

Universitas Indonesia

pidana yang telah berkekuatan hukum tetap terhadap kesalahan berat yang akan dijadikan dasar hukum PHK.126

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kesalahan berat yang terdapat dalam pasal 158 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah berlaku atau dapat dijadikan dasar untuk mem-PHK seorang pekerja/buruh apabila terhadapnya telah ada putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap dari pengadilan dalam daerah hukum yang bersangkutan. Oleh sebab itu, PHK yang dilakukan oleh pemberi kerja/pengusaha yang didasarkan pada kesalahan berat sebagaimana diatur dalam PKB, yang terhadapnya belum ada putusan pengadilan pidana yang berkekuatan hukum tetap, maka PHK tersebut adalah tidak sah secara hukum. Dikatakan demikian, karena PHK tersebut telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diuraikan pada alinea terdahulu.127

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM PRO (Halaman 84-88)

Dokumen terkait