• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PRINSIP-PRINSIP HUKUM TENTANG KEWAJIBAN

D. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Dalam harta kekayaaan yang tidak terpisah (harta syirkah) yang merupakan harta kekayaan tambahan karena usaha bersama suami istri selama perkawinan, menjadi milik bersama dari suami istri untuk kepentingan bersama. Karena itu apabila ikatan perkawinan putus, maka harta ini yang dibagi antara suami istri.

Perceraian dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata merupakan putusnya suatu perkawinan dengan putusan Hakim atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu berdasarkan alasan-alasan yang sah yang disebut dalam undang-undang ini.

Dalam hal suami istri tidak dapat hidup bersama lagi, Pasal 233 KUHPerdata, memberi kemungkinan kepada mereka untuk menuntut perpisahan meja dan ranjang (echscheiding van tavel en bed). Penuntutan perpisahan meja dan ranjang ini dapat juga dilakukan atas sepakat suami istri dengan syarat bahwa perkawinannya telah berlangsung selama dua tahun (Pasal 236 KUHPerdata), sedang kata sepakat suami istri untuk bercerai dilarang (Pasal 208 KUHPerdata). Cara ini baik, karena kesempatan untuk berdamai kembali selalu masih terbuka dan kedua belah pihak msaih terikat oleh perkawinan. Keadaan ini hampir sama dengan thalaq yang dapat dicabut kembali (thalaq raj’i) dalam Hukum Islam, karena ada kemungkinan rujuk selama masih dalam ‘iddah dan perkawinan belum putus sebelum habis ‘iddah.

49

Perpisahan meja dan ranjang ini mempunyai akibat bahwa suami istri dibebaskan dari kewajiban untuk bertempat tinggal bersama sedang perkawinan antara suami istri tidak dibubarkan (Pasal 242 KUHPerdata). Kecuali itu mengakibatkan juga perpisahan harta kekayaan antara suami dan istri (Pasal 243 KUHPerdata), karenanya pengusahaan suami atas harta kekayaan istri dipertangguhkan dan istri berkuasa mengurus sendiri harta kekayaannya, karena ia telah mempunyai kebebasannya terhadap harta kekayaannya (Pasal 244 KUHPerdata).

Apabila perpisahan meja dan ranjang ini sudah berlangsung lima tahun, maka menurut Pasal 200 KUHPerdata salah satu pihak boleh memohon kepada Hakim supaya perkawinan itu diputus dengan perceraian. Menurut Pasal 201 KUHPerdata permohonan tersebut harus ditolak apabila pihak yang lain tidak menghadap di muka sidang meskipun sudah dipanggil secara sah sebanyak tiga kali dalam tiga bulan.

Setelah terjadinya perceraian menurut Pasal 225 KUHPerdata, apabila pihak suami atau istri atas kemenangan siapa perceraian itu dinyatakan, tidak mempunyai penghasilan yang cukup guna membelanjai nafkahnya, maka Pengadilan Negeri boleh menentukan sejumlah uang tunjangan untuk itu dari harta kekayaan pihak lain.

Terhadap anak-anak yang belum dewasa, menurut Pasal 229 KUHPerdata, oleh Pengadilan harus ditentukan sekali, kepada siapa dari bekas suami dan bekas istri anak-anak itu harus turut. Apabila yang diserahi anak itu tidak mampu memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak, maka menurut Pasal 230

KUHPerdata, Hakim dapat menentukan sejumlah uang yang harus diberikan oleh pihak lain untuk turut membayar biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak tadi.

Dalam hal kekuasaan orangtua terhadap anak setelah terjadinya perceraian dalam Pasal 300 KUHPerdata disebutkan bahwa kecuali jika terjadi pelepasan dan atau berlaku ketentuan-ketentuan mengenai pisah meja dan ranjang, si ayah sendiri yang melakukan kekuasaan itu. Selanjutnya ditentukan bahwa bila si ayah dalam keadaan tidak mungkin untuk melakukan kekuasaan orangtua, kekuasaan itu dilakukan oleh si ibu, kecuali dalam hal adanya pisah meja dan ranjang. Pada ayat (2) disebutkan pula bila si ibu ini juga tidak dapat atau tidak berwenang, maka oleh Pengadilan Negeri diangkat seorang wali sesuai dengan Pasal 359.

Ketentuan Pasal 300 KUHPerdata tersebut diatas dimaksudkan karena ada kekhawatiran bahwa tidak ada persesuian antara ayah dan ibu dalam hal kekuasaan orangtua, sehingga pihak ketiga, hakimlah yang harus turut campur.50

50

Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata Barat/BW,

BAB III

SIKAP HAKIM DALAM PUTUSAN PERKARA TENTANG KEWAJIBAN PEMELIHARAAN DAN NAFKAH ANAK

A. Penentuan Tanggung Jawab Terhadap Pemeliharaan dan Nafkah Anak di Pengadilan Agama Binjai Jika Terjadi Perceraian

Pengadilan Agama Binjai merupakan salah satu dari badan peradilan di Indonesia, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya (Pasal 2 ayat (1) Undang- undang Nomor 14 tahun 1970). Kewenangan Peradilan Agama yang diatur dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, menyatakan, “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang bergama Islam dalam bidang : a). perkawinan, b). kewarisan, c).wasiat, d).hibah, e).wakaf, f). zakat, g).infaq, h).shaddaqah, dan i).ekonomi syari’ah”.

Pengadilan Agama Binjai sebagai pengadilan tingkat pertama ialah pengadilan yang bertindak menerima, memeriksa dan memutus setiap permohonan atau gugatan pada tahap paling awal dan paling bawah. Pengadilan Agama Binjai bertindak sebagai peradilan sehari-hari menerima dan memutus atau mengadili segala perkara sesuai dengan kewenangannya yang diajukan masyarakat pencari keadilan. Semua jenis perkara harus terlebih dahulu melalui Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama. Terhadap semua jenis perkara yang diajukan, Pengadilan Agama dilarang menolak untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih apapun. Sesuai ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo.

Pasal 56 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, yang menyatakan, “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memerisa dan memutusnya”.

Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari pejabat Pengadilan Agama Binjai diketahui apabila terjadi perceraian antara suami istri maka biasanya anak akan mengikuti ibu (bekas Istri).

Dalam penuntutan biaya hidup bagi anak biasanya ibu yang akan bertindak mengajukan tuntutan terhadap bapak (bekas suami) apabila bekas suaminya tidak memenuhi kewajibannya dalam pemberian nafkah hidup bagi anak yang berada dalam asuhannya.

Tuntutan yang dilakukan oleh ibu (bekas istri) tidak hanya mengenai pemenuhan terhadap biaya hidup dan pendidikan anak, namun juga menyangkut masalah pemeliharaan anak. Hal seperti ini yang dilakukan oleh Pengadilan Agama dalam beberapa putusan yang menyangkut masalah hadhanah (pemeliharaan anak), maka setelah bercerai dan diputuskan bahwa anak ikut dengan ibunya, maka bekas suaminya akan diberikan hukuman (kewajiban) untuk memberikan nafkah dan biaya pendidikan dan pemeliharaan anak tersebut.

Pengadilan Agama Binjai dalam menyelesaikan kasus-kasus hadhanah dan tanggung jawab nafkah anak cenderung melimpahkan tanggung jawab pemeliharaan anak kepada ibu kandungnya dan kepada pihak bapak dibebani

tanggung jawab untuk memenuhi segala biaya pemeliharaan dan pendidikan anak sehingga anak tersebut dapat berdiri sendiri.

Dari data yang diperoleh pada Pengadilan Agama Binjai, perkara pemeliharaan anak yang diajukan oleh istri sebagai ibu dari anaknya agar ia ditetapkan sebagai pemegang hak pemeliharaan terhadap anaknya yang belum mumayyiz. Penyelesaian perkara tersebut oleh istri untuk menggugat suaminya ke Pengadilan Agama Binjai dilakukan melalui dua cara, pertama diajukan dalam bentuk rekonvensi dalam perkara permohonan ikrar talak yang diajukan oleh suami terhadap istrinya, dan kedua diajukan oleh istri dengan menggabungkan (komulasi) dengan perkara gugatan cerai oleh istri kepada suaminya.51

1. pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua belas) tahun adalah hak ibunya

Menurut ketentuan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 105, bahwa batasan umur anak dianggap mumayyiz adalah 12 (duabelas) tahun, sesuai ketentuan bahwa dalam hal terjadinya perceraian :

2. pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.

Masalah hadhanah merupakan hal yang sangat penting untuk dilaksanakan, oleh karena itu orang yang melaksanakan hadhanah itu haruslah mempunyai kecakapan dan kecukupan serta perlu adanya syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi, diantaranya :

1. berakal sehat, orang yang tidak sehat akalnya tidak diperkenankan merawat anak,

2. sudah dewasa, anak kecil tidak diperkenankan menjadi hadhanah sebab ia sendiri masih membutuhkan perawatan orang lain

51

3. mempunyai kemampuan dan keahlian, oleh karenanya orang yang rabun matanya atau tuna netra, punya penyakit menular, usia lanjut dan mempunyai tabiat suka marah kepada anak-anak meskipun kerabat anak kecil itu sendiri dilarang menjadi orang ynag melaksanakan hadhanah.

4. amanah dan berbudi luhur, orang yang curang tidak aman bagi anak yang diasuhnya, bukan tidak jarang seoranga ank meniru orang yang curang dalam hidupnya.

5. beragama Islam, para ulama Mazhab berbeda tentang ini, mazhab Imamiyah dan Syafe’I tidak memperkenankan seorang kafir mengasuh anak-anak yang bergama Islam, sedangkan mazhab lain tidak mensyaratkan hal itu. Demikian juga para ahli Hukum Islam di kalangan Hanafi berpendapat bahwa kemurtadan wanita atau laki-laki pengasuh menggugurkan hak asuhnya.

6. ibunya belum kawin lagi, jika ibu si anak yang diasuh itu kawin dengan laki- laki lain, maka hak hadhanah yang ada padanya menjadi gugur.

7. merdeka atau bukan budak. Seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan majikannya yang sulit ditinggalkannya.52

Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak ditentukan bahwa anak terlantar adalah anak yang karena sesuatu, orang tuanya melalaikan kewajibannya, sehingga kebutuhan anak tidak terpenuhi dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun social. Setiap anak yang belum dewasa, mempunyai hak untuk dipelihara secara baik. Mereka memerlukan pengawasan, penjagaan, bimbingan, arahan serta pendidikan dari orangtua atau pihak lain apabila orangtua sudah tidak ada lagi.

Selanjutnya dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu pada Pasal 1 ayat (15) menyebutkan bahwa anak korban perlakuan salah dan penelantaran berhak atas perlindungan khusus. Oleh karena itu anak korban perceraian termasuk anak bermasalah harus mendapat perlindungan khusus.

52

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan Agama, (Jakarta : Pustaka Bangsa Press, 2003), hlm. 80

Kemudian dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang terdapat dalam Pasal 41 menyebutkan :

1. baik Ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak- anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai pengusaan anak-anak pengadilan memberi keputusannya.

2. bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu bilamana Bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat mentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

Tanggung jawab orang tua terhadap anak juga diatur dalam Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 26, sebagai berikut :

1. orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : a. mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak

b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya, dan

c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

2. dalam hal orangtua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-undangan yang berlaku.

Seperti yang diketahui sifat daripada suatu Undang-undang bersifat secara universal dan unifikasi, artinya Undang-undang tersebut berlaku terhadap seluruh penduduk Republik Indonesia, meskipun di dalam sistem Hukum Perdata masih dibedakan golongan-golongan penduduk Indonesia. Tetapi produk dari suatu Undang-undang Indonesia setelah merdeka berlaku secara nasional, tidak adanya penggolongan penduduk tertentu, seperti golongan Bumi Putera, golongan Timur Asing. Oleh karena itu setiap Warga Negara Indonesia harus tunduk terhadap ketentuan Perundang-undangan tersebut seperti yang diatur dalam Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 26.

Dalam perlindungan anak pasca perceraian tidak hanya sebatas telah terpenuhinya ketentuan Undang-undang. Sepanjang orangtua yang telah bercerai dengan sadar dan beritikad baik mau menjalankan kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang ada, masalah yang ditimbulkan oleh perceraian, terutama masalah anak, akan dapat diminimalkan. Mungkin ada anggapan bahwa dengan telah terpenuhinya kebutuhan fisik anak maka masalah perlindungan anak sudah selesai. Tetapi tidak sesederhana itu, sebab dalam kenyataanya walaupun telah ada putusan yang mewajibkan ayah membiayai pemeliharaan anaknya di belakang hari ayah tersebut tidak perduli lagi dengan kewajibannya. Oleh sebab itu perlu dipikirkan bagaimana upaya untuk mengoptimalkan perlindungan anak pasca perceraian orangtua, yang terutama sekali dengan mengadakan peninjauan kembali terhadap konsep kekusaan orangtua yang bersifat tunggal, serta menegaskan sanksi bagi ayah yang melalaikan kewajiban membiayai pemeliharaan anaknya. Kalau ibu yang telah diserahi hak pemeliharaan anak ternyata melalaikan kewajibannya maka hukuman baginya adalah mencabut hak pemeliharaan anak atau hak perwalian tersebut melalui permohonan dari pihak yang merasa keberatan dengan tindakan ibu tersebut kepada Pengadilan Agama.53

53

Berdasarkan hasil penelitian pada Pengadilan Agama Binjai

Sesuai dengan makna dan rumusan Undang-undang, bahwa untuk menentukan hak perwalian, hak pemeliharaan anak yang harus diperhatikan adalah demi kepentingan hukum anaknya. Jadi hakim harus benar-benar memperhatikan apabila anak tersebut dipelihara oleh ibunya atau bapaknya mempunyai jaminan kehidupan social dan kesejahteraan yang lebih baik.

Disadari bahwa masalah perceraian adalah masalah menyangkut perselisihan antar suami istri, sehingga dalam hal ini sering terjadi penanganan kepentingan suami istri yang lebih diutamakan bukan kepentingan anak, kepentingan anak seolah-olah menjadi nomor dua atau hal yang skunder dalam penyelesaian kasus perceraian. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan tidak adanya jaminan Undang-undang mengenai pemeliharaan anak pasca perceraian orangtua. Demikian halnya putusan pengadilan yang sulit dilaksanakan karena tidak ada sanksi bagi orangtua (khususnya ayah) yang melalaikan kewajibannya. Apalagi sampai diajukan di persidangan. Oleh karena itu jika sudah ditentukan dalam suatu putusan pengadilan untuk membiayai penghidupan anaknya, orangtua berkewajiban melaksanakan putusan tersebut. Jika melalaikan kewajibannya, maka hartanya yang akan dieksekusi untuk menbiayai kehidupan anaknya.

Anak sesungguhnya merupakan potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya. Dengan melihat dari dimensi ini dapat disadari dibahu anak selaku generasi penerus adalah berat. Untuk dapat memikul beban tanggung jawab tersebut maka anak perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara wajar, baik fisik, mental dan spiritual.

Namun keadaan yang tumbuh akibat perceraian telah mengakibatkan penelantaran terhadap anak, sehingga anak kehilangan kesempatan yang berkualitas untuk dapat mengaktualisasikan diri, dan akibat yang lebih jauh adalah amanat yang dibebankan kepada anak sebagai generasi penerus tidak dapat diwujudkan kelak. Seharusnya meskipun perceraian memang harus terjadi, hal

tersebut tidak boleh merugikan anak, prinsipnya adalah semua kebutuhan anak harus tetap diberikan sebagaimana dalam keluarga utuh.

Karena keterbatasan kemampuan anak dan ketidakmatangan fisik dan mentalnya, anak belum dapat melindungi diri sendiri dan terhadapnya belum dapat dituntut suatu kewajiban atau tanggung jawab melainkan ia baru memiliki suatu hak yaitu perlindungan, yang pemenuhannya merupakan kewajiban bersama dari keluarga, masyarakat, dan negara. Dan perlindungan anak tersebut menjadi tanggung jawab keluarga dimana anak lahir, dipelihara dan dibesarkan.

Salah satu asas yang termuat dalam konvensi hak-hak anak yang menyebutkan bahwa anak berhak untuk tumbuh dan dibesarkan dalam suasana penuh kasih sayang dan rasa aman sedapat mungkin berada dibawah asuhan serta tanggung jawab orangtuanya sendiri. Dalam Pasal 45, Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan :

1. kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik- baiknya.

2. kewajiban orangtua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orangtua putus.

Dari kedua pernyataan tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa anak yang dilahirkan dalam suatu perkawinan harus dipelihara, diasuh dan dididik oleh orangtuanya dalam keluarga yang utuh.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 45 ini memang belum ada diatur aturan pemerintahannya. Suatu Undang-undang seharusnya dapat dilakukan jika sudah ada Peraturan Pemerintahnya. Seringkali dalam prakteknya pemerintah lalai untuk membuat Peraturan Pemerintahnya.

Tetapi dalam menyelesaikan suatu perkara, seorang hakim tidak boleh berdalih, dengan alasan tidak ada hukum yang mengatur tentang hal itu. Oleh karena itulah seorang hakim harus menemukan dan menentukan hukumnya. Kaedah-kaedah hukum yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan ini disaring mana yang dapat dijadikan suatu hukum yang hidup dan harus dilaksanakan.

Sepanjang sebuah perkawinan tidak putus ditengah jalan karena perceraian, implementasi pemeliharaan dan perlindungan anak hampir tidak menjadi masalah. Jika perkawinan sudah tidak dapat dipertahankan lagi sehingga jalan satu-satunya adalah solusi perceraian, saat itu timbullah masalah karena sudah tidak ada kesepakatan lagi mengenai pemeliharaan dan pengasuhan anak. Bahkan tidak jarang anak menjadi persengketaan diantara suami istri. Anak akan menjadi objek rebutan antara suami istri. Masing-masing pihak menganggap bahwa merekalah yang lebih berhak untuk memelihara anak.

Masalah pemeliharaan anak lebih baik diserahkan kepada istri, karena mereka lebih mengetahui keadaan dan perkembangan anak, sementara suami lebih banyak waktunya untuk bekerja di luar rumah. Walaupun demikian ada juga bapak (bekas suami) yang menginginkan anak tetap dipeliharanya olehnya. Bahkan apabila ia gagal memperolehnya ada yang mengambil sikap untuk tidak membiayai kehidupan anak-anak, walaupun ia tahu bahwa merupakan kewajibannya untuk menanggung biaya hidup anak.

Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 memang tidak secara tegas menyebutkan siapa yang harus memelihara anak apabila terjadi perceraian antara suami istri. Di dalam Pasal 41 Undang-undang tersebut hanya dijelaskan

kedua orangtua wajib emelihara dan mendidik anak. Apabila terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak, keputusan akan ditetapkan oleh pengadilan. Tidak ditetapkan suatu ketegasan mengenai siapa yang seharusnya memelihara anak setelah terjadinya perceraian dapat menyebabkan timbulnya perselisihan antara bekas suami istri mengenai pemeliharaan anak. Anak akan menjadi objek rebutan antara kedua orangtua.

Pemeliharaan anak bukan hanya sekedar mencukupi makan minum saja, akan tetapi lebih berat lagi yaitu orangtua harus membina anaknya agar menjadi manusia yang berguna. Karena itu tidak benar jika salah satu dari orangtua menganggap ia yang lebih berhak memelihara anak hanya dengan melihat kemampuannya untuk mencukupi kebutuhan anak dari segi materilnya saja. Hak memelihara dan mendidik seorang anak diutamakan kepada ibunya karena kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya lebih mendalam.

Mengenai tanggung jawab biaya nafkah anak setelah terjadinya perceraian dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dapat juga ditemukan dalam Pasal 149 huruf (d) yang mengatur bahwa bilamana perkawinan putus karena thalaq, maka bekas suami wajib memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

Dalam pasal 156 Kompilasi Hukum Islam juga disebutkan : Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah :

a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantigan oleh : 1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu,

2. ayah;

4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan,

5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu, 6. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

b. anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya

c. apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula

d. semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun)

e. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d)

f. pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

Jika diperhatikan dalam pasal 24 huruf (b) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 78 huruf (b) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, kewajiban memberi biaya nafkah anak tersebut tidak hanya setelah terjadinya perceraian, akan tetapi juga dapat ditentukan selama proses perceraian berlangsung. Ketentuan tersebut mengatur bahwa selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat dan tergugat, pengadilan dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.

Jika diperhatikan ketentuan-ketentuan yang tersebut di atas, prinsip hukum yang mengatur tentang kewajiban biaya nafkah anak setelah terjadinya perceraian pada hakikatnya membebankan kewajiban biaya nafkah pada orangtua laki-laki.

Oleh karenanya, Majelis Hakim Pengadilan Agama dalam memeriksa dan mengadili perkara terikat dengan prinsip hukum tersebut dengan pertimbangan

demi kepentingan si anak yang disesuaikan dengan kemampuan si ayah. Akan tetapi pada dasarnya Majelis Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara

Dokumen terkait