• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.10 berikut ini.

Gambar 4.10 Sampah Berupa Kulit Buah yang Ditinggalkan Pengunjung

Kontak dengan benda-benda yang terkontaminasi seperti kulit buah yang dibuang turis, tas yang diambil dari wisatawan dan membongkar tempat sampah yang terdapat di kawasan penelitian dapat mengambil peran dalam penularan penyakit (Woodford et al, 2002; Dellatore, 2007). Aktivitas ketika orangutan mengutip sampah berupa kulit buah yang ditinggalkan pengunjung lalu memakannya dapat dilihat pada

Gambar 4.11 Induk Wati (Pesek) Mengutip Sisa Kulit Buah yang Ditinggalkan Pengunjung

Sumber pakan orangutan di Bukit Lawang dapat berasal dari alam, feeding platform/ Tempat Pemberian Makan (TPM), sampah ataupun dari orang lain seperti guide dan pengunjung. Keragaman sumber pakannya adapat dilihat dari Table 4.4 berikut:

Tabel 4.4 Persentase Sumber Pakan Anak Orangutan di PPOS Bukit Lawang

Sumber Pakan Sumi Wati

Pakan Alam 57,14% 85,82%

Pakan Feeding Platform/ TPM 34,48% 8,04%

Pakan dari Orang 3% 6%

Pakan Sampah 6,90% 1%

Sumber pakan tertinggi yang didapatkan anak orangutan Sumi adalah yang berasal dari alam yaitu 57,14%, diikuti dengan pakan dari platform yaitu 34,48% dan pakan sampah yaitu 7,14%, sedangkan untuk pakan dari orang adalah 3%. Untuk Wati, sumber pakan tertinggi adalah pakan dari alam yaitu 85,82%, diikuti pakan dari feeding platform yaitu 8,04%, pakan dari orang yaitu 6%. Pakan dari sampah untuk Wati adalah 1%.

Berdasarkan uji Mann-Whitney, didapat hasil berupa tidak adanya perbedaan (P = 0,058) untuk pemilihan pakan dari platform dan pemilihan pemilihan pakan dari orang (P = 0,035) serta pemilihan pakan dari sampah (P = 0,438). Sedangkan untuk pemilihan pakan dari alam didapat perbedaan yang sangat nyata (P = 0,000).

Mendominasinya pemilihan pakan dari alam seperti yang terlihat pada tabel di atas mungkin disebabkan tingginya tingkat produksi buah di hutan pada awal penelitian (Oktober sampai Desember 2009). Hal ini menyebabkan orangutan cenderung jarang datang ke feeding platform. Selain buah, pakan dari alam juga dapat berupa semua material yang terdapat dan tersedia di alam dan dapat dimakan oleh individu orangutan seperti hewan, air ataupun tanah. Kemampuan orangutan eks- rehabilitasi yang terdapat di Bukit Lawang untuk memahami adanya sumber pakan di luar feeding platform ditunjukkan dengan tingginya penggunaan sumber pakan alami yang terdapat di alam. Kemampuan orangutan dalam memahami ketersediaan sumber pakan dijelaskan oleh Rijksen (1978) sebagai bentuk belajar orangutan dan menunjukkan bahwa orangutan adalah kera yang mempunyai kecerdasan tinggi.

Pakan dari feeding platform yang didapat untuk Wati dan Sumi juga cukup tinggi. Tingginya persentase tersebut mungkin disebabkan karena induk kedua anak orangutan ini sering mengunjungi feeding platform saat aktivitas makan dilakukan. Buah yang diberikan selama aktivitas feeding dapat berupa pisang (Musa sp.), nenas (Ananas comosus) dan pepaya (Carica papaya). Selain buah, susu juga diberikan pada saat feeding time. Aktivitas pemberian makan di feeding platform dapat dilihat pada

Gambar 4.12 berikut ini.

Gambar 4.12 Aktivitas Makan Orangutan di Platform/ TPM oleh Petugas

Tingginya persentase Sumi untuk pemilihan pakan feeding platform mungkin disebabkan karena belum mampunya ia mencari pakan sendiri karena masih tergolong

bayi. Wati sudah mampu mencari pakan sendiri dengan jarak yang tidak jauh dari jangkauan sang induk, bahkan lebih sering berada di pohon pakan yang sama. Pada anak yang berumur lebih tua akan mencari makanannya sendiri yang jaraknya agak jauh dari induknya, walaupun terkadang masih dalam jarak pandang induknya (Lubis, 1995). Ditambahkan oleh Galdikas (1986), bahwa semakin berkembang umur anak maka akan semakin sering anak mengambil makanan seperti daun dan buah dari lingkungan di sekitarnya.

Selain dari feeding platform dan alam, sumber pakan orangutan juga bisa berasal dari orang, misalnya pengunjung ataupun guide selama aktivitas tracking berlangsung. Untuk penerimaan pakan dari orang persentase Sumi adalah 3% dan Wati 6%. Ketika aktivitas tracking berlangsung, pengunjung dapat berada pada jarak yang sangat dekat dengan orangutan bahkan dapat memberikan makan secara langsung. Makanan yang diberikan dapat berupa jeruk (Citrus sp.), pisang (Musa sp.), semangka (Citrulus vulgaris), markisa (Passiflora sp.) ataupun nenas (Ananas comosus). Rendahnya persentase Sumi dalam menerima pakan dari orang (pengunjung atau guide) dimungkinkan karena ia selalu berada dalam gendongan induknya. Usianya yang masih di bawah 1 tahun juga menyebabkan ia senantiasa lebih dilindungi oleh sang induk dan sedikit takut dengan manusia. Hal ini sangat berbeda dengan Wati yang sudah berani menerima pakan dari orang di sekitar PPOS Bukit Lawang. Wati yang sudah berusia 4 tahun lebih mandiri dan tidak lagi digendong oleh induknya sehingga aktivitasnya lebih tinggi. Tingginya aktivitas ini juga mempengaruhi kebutuhannya akan kalori, sehingga interaksinya dengan manusia berupa menerima pemberian makan dimungkinkan juga disebabkan oleh kebutuhannya akan makanan. Proses pemberian makan oleh guide kepada orangutan dapat dilihat pada Gambar 4.13 berikut ini.

Gambar 4.13 Pemberian Pakan untuk Orangutan oleh Manusia (Pengunjung/

Guide)

Menurut Yuliarta (2008), pada saat orangutan tidak mudah untuk dijumpai pada saat pencarian, pemandu wisata memanggil orangutan dengan menirukan long calls orangutan jantan. Cara ini dilakukan untuk memanggil dan menarik perhatian orangutan, dan cara ini sering berhasil. Sebagian besar dari pemandu wisata juga menggunakan buah ataupun makanan lain yang mereka bawa untuk memancing orangutan mendekati wisatawan.

Meskipun dilarang menyentuh, memberi pakan, atau mengganggu orangutan, praktek-praktek tersebut selalu saja terjadi (Singleton dan Aprianto, 2001) dan masih terus terjadi di hutan demi kepuasan para wisatawan. Ditambahkan lagi oleh Dellatore (2007), banyak operator wisata membawa ransel penuh buah ke dalam hutan yang kemudian diberikan kepada orangutan.

Selain sumber pakan yang sudah disebutkan di atas, anak orangutan di Bukit Lawang juga memakan sisa makanan yang ditinggalkan pengunjung di sekitar areal hutan seperti kulit buah. Ranjer seringkali mengingatkan pengunjung dan guide agar tidak meninggalkan sampah di hutan, baik organik maupun anorganik. Persentase Wati untuk sumber pakan sampah adalah 1%, berbeda dengan Sumi yang persentasenya adalah 7,14%. Hal ini mungkin disebabkan induk Sumi sering mengutip sisa makanan yang ditinggalkan pengunjung lalu memakannya ataupun memberikannya pada Sumi, keadaan ini jelas dapat menggangu kesehatannya.

Sedangkan untuk Wati, aktivitas makan dari sampah kemungkinan disebabkan meniru sikap induknya yang juga mengambil pakan dari sampah. Pemilihan pakan sampah yang dilakukan orangutan dapat dilihat pada Gambar 4.14 berikut ini.

Gambar 4.14 Pemilihan Pakan Sampah oleh Orangutan

Menurut Rumapea (2009), aktivitas manusia di dalam kawasan populasi orangutan Bukit Lawang menghasilkan sampah berupa sisa-sisa kulit buah yang digunakan induk orangutan sebagai sumber pakan. Sisa kulit buah tersebut merupakan sisa makanan pengunjung ataupun sisa buah yang diberikan kepada orangutan baik individu induk orangutan maupun orangutan lain dimana daging buah telah dimakan dan kulitnya dibuang, akan tetapi beberapa saat setelah melakukan beberapa aktivitas (bergerak, istirahat, sosial dan bersarang) kulit buah dimakan kembali oleh individu induk orangutan.

4.2.3 Perilaku Sosial

Aktivitas sosial anak orangutan dapat dilakukan dengan sang induk, orangutan lain, pengunjung, ataupun dengan individu lain seperti Macaca fascicularis dan Hylobates lar. Interaksi sosial yang terjadi antara sesama orangutan ataupun individu lain biasanya berupa sosial bermain, sosial mengutui ataupun sosial agonistik. Data perilaku sosial anak orangutan yang teramati selama penelitian dapat dilihat dari tabel berikut ini:

Tabel 4.5 Persentase Perilaku Sosial Anak Orangutan di PPOS Bukit Lawang

Perilaku Sosial Sumi Wati

Sosial dengan Induk 83,33% 42,88%

Sosial dengan OU lain 11,33% 53,42%

Sosial dengan Individu Lain 0% 3%

Sosial Pengunjung 1% 0,37%

Keterangan:

OU : Orangutan

Dari Tabel di atas dapat diketahui bahwa aktivitas sosial anak orangutan paling banyak dilakukan dengan induk dan orangutan lain. Sumi yang masih bayi lebih banyak berinteraksi dengan induknya (83,33%). Persentase interaksi Wati dengan induknya juga cukup tinggi yaitu 42,88%. Berdasarkan uji Mann-Whitney sosial dengan induk Sumi dan Wati maka tidak terdapat perbedaan (P = 0,009). Interaksi sosial anatara anak dan induk orangutan dapat dilihat pada Gambar 4.15 berikut ini.

Gambar 4.15 Interaksi Sosial antara Anak-Induk Orangutan

Menurut Van Schaik (2006), dalam kenyataannya, hubungan antara induk dan anak orangutan sungguh-sungguh jauh lebih lama dan lebih erat daripada semua mamalia lain di dunia. Koordinasi antara induk dan anak orangutan adalah sangat baik, di mana sang induk yang memegang peran utama dan mengantisipasi semua gerakan anaknya. Dengan bertambahnya usia anak, ia akan bergerak semakin jauh dari induknya, terutama apabila pegangan pada induknya akan mengganggu sang induk, seperti ketika ia sedang makan dan terutama ketika ia sedang membuat sarang. Persentase sosial dengan orangutan lain untuk Sumi adalah 11,33% dan 53,42% untuk

Wati, dengan hasil uji Mann-Whitney terdapat perbedaan nyata antara keduanya (P = 0,002). Interaksi sosial antara sesama orangutan dapat dilihat pada Gambar 4.16 berikut ini.

Gambar 4.16 Interaksi Sosial dengan Pasangan Induk-Anak Orangutan Lain

Selain dengan induk dan orangutan lain, Wati juga berinteraksi dengan individu lain (3%), seperti dengan kera (Macaca fascicularis), owa (Hylobates lar) ataupun kedih (Presbytis thomasii) walaupun tidak sering. Sedangkan Sumi yang masih bayi belum melakukan interaksi dengan individu lain, namun karena seringnya sang induk berinteraksi dengan pengunjung dan datang ke TPM, menyebabkan Sumi sesekali juga melakukan sedikit interaksi kecil dengan petugas, misalnya menerima pakan. Interaksi sosial dengan individu lain dapat dilihat ada Gambar 4.17 berikut ini.

Sebenarnya tidak ada pola hubungan sosial baku untuk kera ini, jika di dasarkan pada kondisi lingkungan tempat hidupnya. Jika ada pola umum atau pola dasar dalam berbagai bentuk organisasi sosial Pongidae, maka pola ini lebih bersifat sebagai suatu masyarakat terbuka yang beranggotakan siapa saja yang ada di dalam kisaran distribusi jenis ini, di mana individu-individunya maelakukan sosialisasi karena dalam kondisi yang ada, inilah yang paling mudah dilakukan (Goodall, 1983).

Persentase interaksi sosial dengan pengunjung untuk Wati adalah 0,37% dan Sumi 1%. Berdasarkan uji Mann-Whitney maka tidak terdapat perbedaan untuk aktivitas dengan individu lain (P = 0,073) dan sosial dengan pengunjung (P = 0,630). Orangutan semiliar seperti yang terdapat di Bukit Lawang, seringkali terlibat interaksi dengan manusia, misalnya pengunjung, guide, petugas ataupun penduduk yang memiliki ladang di sekitar kawasan Bukit Lawang. Hal ini sangat berbeda dengan orangutan liar yang sangat menghindari manusia. Sebenarnya, hal ini tidak baik untuk kelangsungan hidup orangutan karena dikhawatirkan terjadi transmisi parasit dari manusia ke orangutan ataupun sebaliknya.

Orangutan sangat rentan terhadap organisme patogen dari manusia, dan transmisi infeksi parasit memang telah terjadi (Chitwood 1970; Hegner 1928; Orihel 1970; Ott- Joslin 1993). Sumber penting dari paparan parasit kepada kera besar peliharaan, bekas peliharaan ataupun kelompok bebas adalah wisatawan, peneliti, pemandu, penjaga, penjaga hewan, dan dapat juga disengaja oleh kontak langsung dengan manusia seperti dari penduduk desa, pemburu gelap atau dari penebang kayu (Woodford et al, 2002). Interaksi sosial antara orangutan dengan manusia dapat dilihat pada Gambar 4.18 berikut ini.

Gambar 4.18 Interaksi Sosial Orangutan dengan Manusia/ Pengunjung (Rumapea & Yuliarta, 2008)

Wisatawan oleh sifatnya yang asing untuk daerah setempat, dapat membawa sejumlah patogen asing dimana orangutan ataupun penduduk sekitar tidak memiliki kekebalan terhadap patogen tersebut (Adams et al, 2001). Ditambahkan oleh Wolfe et al (1998) & Quammen (2007), kontak sosial antara dua spesies yang berbeda oleh manusia, dapat menyebabkan penularan penyakit kepada spesies yang tidak memiliki tingkat kekebalan.

Selain makan dan bergerak, aktivitas yang dominan dilakukan orangutan adalah istirahat. Istirahat dapat dilakukan di sarang, di pohon ataupun di tanah. Spesifikasi aktivitas istirahat untuk anak orangutan di PPOS Bukit Lawang dapat dilihat pada Tabel 4.6 berikut ini:

Tabel 4.6 Perilaku Istirahat Anak Orangutan di PPOS Bukit Lawang

Spesifikasi Istirahat Sumi Wati

Di Sarang 80,04% 72,76%

Di Pohon 19,96% 25%

Di Tanah 0 2,59%

Di Substrat Lain 0 0

Aktivitas istirahat yang paling banyak dilakukan Sumi adalah istirahat di dalam sarang yaitu 80,04% dan istirahat di pohon yaitu 19,96%, sedangkan aktivitas istirahat yang banyak dilakukan Wati adalah istirahat di sarang yaitu 72,76%, diikuti istirahat di pohon yaitu 25% dan istirahat di tanah yaitu 2,59%. Berdasarkan uji Mann-Whitney tidak terdapat perbedaan untuk istirahat di pohon terhadap Sumi dan Wati (P = 0,383) dan istirahat di pohon (P = 0,558), istirahat di substrat lain (P = 1,000). Perbedaan nyata didapat untuk istirahat di tanah. Selain istirahat di sarang induk, terkadang Wati juga beristirahat di sarang yang ia buat sendiri. Sarang yang ia buat selalu berjarak dekat dengan induk ataupun sarang induk. Sedangkan Sumi yang masih tergolong bayi belum mampu membuat sarang sendiri. Aktivitas istirahat di sarang dapat dilihat pada Gambar 4.19 di bawah ini.

Gambar 4.19 Aktivitas Istirahat di Sarang

Aktivitas istirahat dipengaruhi oleh meningkatnya suhu dan menurunnya kelembaban pada siang hari, sehingga orangutan menjadi kurang aktif dan biasa melakukan istirahat dengan membangun sarang (Mackinnon, 1972). Aktivitas ini sering dilakukan baik setelah pindah dari satu pohon ke pohon lain, maupun setelah makan bahkan dalam melakukan aktivitas makan adakalanya diselingi dengan istirahat (Galdikas, 1986). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, individu target sering istirahat setelah makan dengan atau tanpa membuat sarang siang. Aktivitas istirahat di pohon dapat dilihat pada Gambar 4.20 berikut ini.

Gambar 4.20 Aktivitas Istirahat di Pohon

Wati yang sudah mencapai taraf usia kanak-kanak memilki aktivitas istirahat yang lebih beragam jika dibandingkan dengan Sumi. Dari semua aktivitas istirahat, istirahat di tanah sebenarnya sangat berbahaya bagi anak orangutan. Selain ancaman parasit yang dapat berpengaruh buruk bagi kesehatannya, ancaman dari predator seperti Panthera tigris sumatrae juga patut diwaspadai. Menurut Van Schaik (2006), tempat hidup orangutan sumatera adalah menjauhi lantai hutan, mereka tidak akan mudah menjadi sasaran parasit, banyak cacing usus dan protozoa masuk melalui tinja atau tanah yang telah terkena tinja. Untuk lebih jelasnya mengenai istirahat di tanah yang dilakukan orangutan dapat dilihat pada Gambar 4.21 di bawah ini.

Gambar 4.21 Aktivitas Istirahat di Tanah

Perilaku dan pola yang diajarkan manusia pada orangutan selama dalam pemeliharaan merupakan pembentukkan mental pada diri orangutan seperti yang diinginkan manusia. Selain itu, jatah makanan rutin yang diberikan manusia selama proses rehabilitasi diduga dapat mempengaruhi tingginya aktivitas istirahat (Meijard et al, 2001).

BAB 5

Dokumen terkait