Dikutip dari MARYAM S. 2009. Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh. Unimal Press. LhokseumaweO
Holmes dan Rahe mengkategorikan tingkat stres kedalam empat
katagori. Skor kurang dari 150 sebagai stres minor, skor 150-199
atas 300 tergolong stres mayor/berat. Holmes dan Rahe memperkirakan
bahwa 35 persen individu dengan skor di bawah 150 akan mengalami
sakit atau kecelakaan dalam dua tahun, 51 persen individu dengan skor
antara 150-300 dan mereka dengan skor di atas 300 berpeluang 80%
mengalami sakit atau kecelakaan( Maryam 2009).
Skala Holmes dan Rahe adalah skala yang mengukur penyebab
dan tingkat stres. Didalam skala ini terdapat 36 butir berbagai pengalaman
dalam kehidupan seseorang, yang masing-masing diberi nilai (score)
Nawawi 2011; Maryam 2009). Suatu instrumen (keseluruhan indikator)
dianggap sudah cukup reliabel (reliabilitas konsistensi internal ), bilamana
α ≥0.6 Tingkat stres Holmes dan Rahe nilai reabilitas relatif cukup baik 0.6124 dan validitas 0.006-0.686 (Maryam 2009).
II.2.5. Coping
Coping adalah perilaku yang terlihat dan tersembunyi yang
dilakukan seseorang untuk mengurangi atau menghilangkan ketegangan
psikologi dalam kondisi yang penuh stres. Individu tidak akan membiarkan
efek negatif ini terus terjadi, ia akan melakukan suatu tindakan untuk
mengatasinya (Nawawi 2011)
Tindakan yang diambil individu dinamakan strategi coping. Strategi
coping sering dipengaruhi oleh latar belakang budaya, pengalaman dalam .
menghadapi masalah, faktor lingkungan, kepribadian, konsep diri, faktor
menyelesaikan masalahnya. Dari beberapa pengertian coping dapat
disimpulkan bahwa coping merupakan :
1. Respon perilaku dan fikiran terhadap stres
2. Penggunaan sumber yang ada pada diri individu atau lingkungan
sekitarnya.
3. Pelaksanaannya dilakukan secara sadar oleh individu dan
4. Bertujuan untuk mengurangi atau mengatur konflik-konflik yang timbul
dari diri pribadi dan di luar dirinya (internal or external conflict),
sehingga dapat meningkatkan kehidupan yang lebih baik(Maryam
2009)
Perilaku coping dapat juga dikatakan sebagai transaksi yang
dilakukan individu untuk mengatasi atau mengurangi berbagai tuntutan
(internal dan eksternal) sebagai sesuatu yang membebani dan
mengganggu kelangsungan hidupnya .
(Maryam 2009).
II.2.6. Strategi Coping
Strategi coping bertujuan untuk mengatasi situasi dan tuntutan
yang dirasa menekan, menantang, membebani dan melebihi sumber daya
(resources) yang dimiliki. Sumber daya coping yang dimiliki
mempengaruhi strategi coping. Ada dua jenis mekanisme coping yang
dilakukan individu yaitu coping yang berpusat pada masalah (problem
berpusat pada emosi (emotion focused of coping/palliatif form) (Maryam
2009)
1. Strategi coping berfokus pada masalah. .
Strategi coping berfokus pada masalah adalah suatu tindakan yang
diarahkan kepada pemecahan masalah. Individu akan cenderung
menggunakan perilaku ini bila dirinya menilai masalah yang dihadapinya
masih dapat dikontrol dan dapat diselesaikan. Yang termasuk strategi
coping berfokus pada masalah adalah:
a. Planful problem solving yaitu bereaksi dengan melakukan
usaha- usaha tertentu yang bertujuan untuk mengubah keadaan,
diikuti pendekatan analitis dalam menyelesaikan masalah.
Contohnya seseorang yang melakukan coping planful problem
solving akan bekerja dengan penuh konsentrasi dan perencanaan
yang cukup baik serta mau merubah gaya hidupnya agar masalah
yang dihadapi secara berlahan-lahan dapat terselesaikan.
b. Confrontative coping yaitu bereaksi untuk mengubah keadaan yang
dapat menggambarkan tingkat risiko yang harus diambil. Contohnya
seseorang yang melakukan coping confrontative akan
menyelesaikan masalah dengan melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan aturan yang berlaku walaupun kadang kala
mengalami resiko yang cukup besar.
pihak luar, baik berupa informasi, bantuan nyata, maupun
dukungan emosional. Contohnya seseorang yang melakukan
coping seeking social support akan selalu berusaha menyelesaikan
masalah dengan cara mencari bantuan dari orang lain di luar
keluarga seperti teman, tetangga, pengambil kebijakan dan
profesional, bantuan tersebut bisa berbentuk fisik dan non fisik
(Maryam 2009)
Perilaku coping yang berpusat pada masalah cenderung dilakukan
jika individu merasa bahwa sesuatu yang kontruktif dapat dilakukan
terhadap situasi tersebut atau ia yakin bahwa sumberdaya yang dimiliki
dapat mengubah situasi, contoh penelitian yang dilakukan oleh Ninno et
al. (1998), yakni strategi coping yang digunakan rumah tangga dalam
mengatasi masalah kekurangan pangan akibat banjir besar di Bangladesh
adalah strategi coping berpusat pada masalah yaitu: melakukan pinjaman
dari bank, membeli makanan dengan kredit, mengubah perilaku makan
dan menjual aset yang masih dimiliki .
(Maryam 2009)
2. Strategi coping berfokus pada emosi
.
Strategi coping berfokus pada emosi adalah melakukan
usaha-usaha yang bertujuan untuk memodifikasi fungsi emosi tanpa melakukan
usaha mengubah stressor secara langsung. Yang termasuk strategi
coping berfokus pada emosi adalah:
a. Positive reappraisal (memberi penilaian positif), adalah bereaksi dengan
termasuk melibatkan diri dalam hal-hal yang religius. Contohnya adalah
seseorang yang melakukan coping positive reappraisal akan selalu berfikir
positif dan mengambil hikmahnya atas segala sesuatu yang terjadi dan
tidak pernah menyalahkan orang lain serta bersyukur dengan apa yang
masih dimilikinya
b. Accepting responsibility (penekanan pada tanggung jawab) yaitu
bereaksi dengan menumbuhkan kesadaran akan peran diri dalam
permasalahan yang dihadapi, dan berusaha mendudukkan segala sesuatu
sebagaimana mestinya. Contohnya adalah seseorang yang melakukan
coping accepting responsibility akan menerima segala sesuatu yang
terjadi saat ini sebagai mana mestinya dan mampu menyesuaikan diri
dengan kondisi yang sedang dialaminya
c. Self controlling (pengendalian diri) yaitu bereaksi dengan melakukan
regulasi baik dalam perasaan maupun tindakan. Contohnya adalah
seseorang yang melakukan coping ini untuk penyelesaian masalah akan
selalu berfikir sebelum berbuat sesuatu dan menghindari untuk melakukan
sesuatu tindakan secara tergesa-gesa
d. Distancing (menjaga jarak) agar tidak terbelenggu oleh permasalahan.
Contohnya adalah seseorang yang melakukan coping ini dalam
penyelesaian masalah, terlihat dari sikapnya yang kurang peduli terhadap
persoalan yang sedang dihadapi bahkan mencoba melupakannya
e. Escape avoidance (menghindarkan diri) yaitu menghindar dari masalah
yang dihadapi. Contohnya adalah seseorang yang melakukan coping ini
untuk penyelesaian masalah, terlihat dari sikapnya yang selalu
menghindar dan bahkan sering kali melibatkan diri kedalam perbuatan
yang negatif seperti tidur terlalu lama, minum obat-obatan terlarang dan
tidak mau bersosialisasi dengan orang lain (Maryam 2009)
Perilaku coping yang berpusat pada emosi cenderung dilakukan
bila individu merasa tidak dapat mengubah situasi yang menekan dan
hanya dapat menerima situasi tersebut karena sumberdaya yang dimiliki
tidak mampu mengatasi situasi tersebut, contohnya masih dalam
penelitian yang dilakukan oleh Ninno et al. (1998), yakni strategi coping
yang digunakan rumah tangga dalam mengatasi masalah pangan akibat
banjir besar di Bangladesh berpusat pada emosi adalah pasrah menerima
apa adanya, berdo’a dan mengharapkan bantuan, simpati dan belas
kasihan dari masyarakat dan pemerintah
.
(Maryam 2009)
Jenis coping mana yang akan digunakan dan bagaimana
dampaknya, sangat tergantung pada jenis stres atau masalah yang
dihadapi. Pada situasi yang masih dapat berubah secara konstruktif
(seperti mengalami kelaparan akibat bencana) strategi yang digunakan
adalah problem focused. Pada situasi yang sulit seperti kematian
pasangan, strategi coping yang dipakai adalah emotion focused, karena
diharapkan individu lebih banyak berdo’a, bersabar dan tawakkal.
Keberhasilan atau kegagalan dari coping tersebut akan menentukan .
apakah reaksi terhadap stres akan menurun dan terpenuhinya berbagai
tuntutan yang diharapkan (Maryam 2009).
II.2.7. Sumberdaya Coping
Sumberdaya mengandung dua arti yakni sumber dan daya, yang
bermakna sebagai sumber dari kekuatan, potensi dan kemampuan untuk
mencapai suatu manfaat dan tujuan. Dengan demikian sumberdaya
merupakan alat dan potensi yang digunakan untuk mencapai kebutuhan.
Dalam keluarga sumberdaya terdiri atas:
1. Unsur manusia: jumlah anggota keluarga, umur, jenis kelamin,
hubungan antar anggota dalam keluarga dan hubungan antara keluarga
dengan keluarga lain, dan faktor faktor yang ada pada manusia seperti
pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills) dan minat (intrest).
2. Unsur materi: pendapatan berupa uang atau barang, kekayaan milik
keluarga dapat berupa lahan (pekarangan, kebun, sawah serta rumah
yang dihuni
3. Unsur waktu adalah salah satu sumberdaya, sehingga pemanfaatan
waktu perlu dikelola agar seluruh kegiatan dapat dilaksanakan dengan
tepat sesuai dengan tujuan yang diinginkan (Maryam 2009)
Sumberdaya coping dapat diartikan segala sesuatu yang dimiliki
keluarga baik bersifat fisik dan non fisik untuk membangun perilaku
coping. Sumberdaya coping tersebut bersifat subyektif sehingga perilaku
coping bisa bervariasi pada setiap orang
.
Cara seseorang melakukan strategi coping tergantung pada
sumberdaya yang dimiliki. Adapun sumberdaya tersebut antara lain:
(1) Kondisi kesehatan. WHO (1984) mendefinisikan sehat sebagai status
kenyamanan menyeluruh dari jasmani, mental dan sosial, dan bukan
hanya tidak adanya penyakit atau kecacatan. Kesehatan mental diartikan
sebagai kemampuan berfikir jernih dan baik, dan kesehatan sosial
memiliki kemampuan untuk berbuat dan mempertahankan hubungan
dengan orang lain. Kesehatan jasmani adalah dimensi sehat yang nyata
dan memiliki fungsi mekanistik tubuh. Kondisi kesehatan sangat
diperlukan agar seseorang dapat melakukan coping dengan baik agar
berbagai permasalahan yang dihadapi dapat diselesaikan dengan baik.
(2) Kepribadian adalah perilaku yang dapat diamati dan mempunyai
ciri-ciri biologi, sosiologi dan moral yang khas baginya yang dapat
membedakannya dari kepribadian yang lain. Pendapat lain menyatakan
bahwa kepribadian adalah ciri, karakteristik, gaya atau sifat-sifat yang
memang khas dikaitkan dengan diri seseorang. Dapat dikatakan bahwa
kepribadian itu bersumber dari bentukan bentukan yang terima dari
lingkungan, misalnya bentukan dari keluarga pada masa kecil dan juga
bawaan sejak lahir misalnya orang tua membiasakan anak untuk
menyelesaikan pekerjaannya sendiri, menyelesaikan setiap permasalahan
bersama-sama, tidak mudah tersinggung/marah dan harus selalu bersikap
optimis (Maryam 2009)
Kepribadian dapat digolongkan menjadi dua yaitu: .
(a) Introvert, adalah orang yang suka memikirkan tentang diri sendiri,
banyak fantasi, lekas merasakan kritik, menahan ekspresi emosi, lekas
tersinggung dalam diskusi, suka membesarkan kesalahannya, analisis
dan kritik terhadap diri sendiri dan pesimis; dan
(b) Ekstrovert, adalah orang yang melihat kenyataan dan keharusan, tidak
lekas merasakan kritikan, ekspresi emosinya spontan, tidak begitu
merasakan kegagalan, tidak banyak mengadakan analisis dan kritik
terhadap diri sendiri, terbuka, suka berbicara dan optimis (Maryam 2009)
(3) Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian
seseorang yang diketahui dalam berhubungan dengan orang lain. Konsep
diri dipelajari melalui kontak sosial dan pengalaman berhubungan dengan
orang lain misalnya orang tua yang menginginkan anak-anaknya tetap
sekolah walaupun dalam keadaan darurat, sehingga berupaya keras
mencarikan sekolah untuk anaknya.
.
(4) Dukungan sosial adalah adanya keterlibatan orang lain dalam
menyelesaikan masalah. Individu melakukan tindakan kooperatif dan
mencari dukungan dari orang lain, karena sumberdaya sosial
menyediakan dukungan emosional, bantuan nyata dan bantuan informasi.
Menurut Cronkite dan Moos (Holahan & Moos, 1987), orang yang
mempunyai cukup sumberdaya sosial cenderung menggunakan strategi
problemfocused coping dan menghindari strategi avoidance coping dalam
(5) Aset ekonomi. Keluarga yang memiliki aset ekonomi akan mudah
dalam mela- kukan coping untuk penyelesaian masalah yang sedang
dihadapi. Namun demikian, tidak berimplikasi terhadap bagaimana
keluarga tersebut dapat menggunakannya (Lazarus & Folkman, 1984).
Menurut Bryant (1990) aset adalah sumberdaya atau kekayaan yang
dimiliki keluarga. Aset akan berperan sebagai alat pemuas kebutuhan.
Oleh karena itu, keluarga yang memiliki banyak aset cenderung lebih
sejahtera jika dibandingkan dengan keluarga yang memilki aset terbatas
(Maryam 2009).
II.2.8. Hubungan Stres Dengan Outcome Stroke
Pengetahuan masyarakat terhadap konsep-konsep ilmiah
menemukan bahwa hubungan antara stres psikologis dan risiko stroke
ada sejak awal lima puluhan, ketika Ecker (1954) menyatakan bahwa
sebelum serangan stroke, pasien sering memiliki masalah emosional.
Segera sebelum stroke ia mungkin menghadapi masalah pribadi yang
berat. Banyak penelitian mencoba untuk mencari hubungan, beberapa
studi menunjukkan bahwa ada hubungan dan lain yang menunjukkan tidak
ada hubungan (Abdelsamee dkk, 2009).
Ada kemungkinan mekanisme yang berbeda dengan stres
psikologis dapat meningkatkan risiko stroke. Mekanisme ini dapat menjadi
kronis (dijelaskan oleh stres terjadi berbulan-bulan sebelum stroke) atau
Stres mengaktivasi simpatik yang cepat dan meningkatkan pelepasan
katekolamin yang menyebabkan perubahan dalam faktor hemodinamik
sistemik. Menyebabkan peningkatan denyut jantung dan tekanan darah.
Pengulangan respon ini dapat mengakibatkan elevasi berkelanjutan dari
tekanan darah (Abdelsamee dkk 2009).
Stres psikologis memainkan peran penting dalam perkembangan
ateroklerosis dan juga telah dikaitkan dengan perkembangan perubahan
aterosklerotik dari arteri karotis, katekolamin disekresikan pada saat stres
mengaktifkan trombosit secara langsung karena membran platelet
mengandung reseptor α2 adrenergik. Aktivasi platelet berulang dengan sekresi platelet–derived growth factor dapat meningkatkan proliferasi otot
polos arteri dalam perkembangkan atheroma. Stres juga meningkatkan
konsentrasi plasma bersama-sama dengan beberapa faktor protrombolitik
dan meningkatnya fungsi platelet yang mungkin merupakan mekanisme
stres psikologis dalam perkembangan formasi plak (Abdelsamee dkk
2009).
Episode singkat stres dapat menimbulkan disfungsi endotel
sementara. Stres berat dan sering dapat menyebabkan disfungsi endotel
yang berkelanjutan merupakan hubungan lebih lanjut antara stres dan
ateroskelosis. Selama aktivasi trombosit dalam respon terhadap stres,
mensekresikan protein trombosit sebagai platelet factor 4 ( PF4 ) dan
B-thromboglobulin (BTG). Aktivasi platelet menyebabkan sekresi protein
platelet dan interaksi platelet dinding pembuluh darah. Jadi aktivasi
trombosit dapat meningkatkan akumulasi trombosit dalam turbulen aliran
darah pada sisi kerusakan arteri dan obstruksi parsial dan ini bisa memicu
iskemik akut (Abdelsamee dkk 2009).
Beberapa penelitian menemukan hubungan stres dengan fatal
stroke. Penjelasan yang mungkin kenapa stres berhubungan dengan fatal
stroke adalah subyek stres menderita stroke yang lebih berat dan lebih
mungkin terjadi komplikasi. Dasar mekanisme biologi masih belum jelas.
Pada keadaan stres dijumpai peningkatan hormon kortisol pada manusia
atau kortikosteron pada tikus. Penelitian pada tikus jantan pada kondisi
iskemik ekspresi Bcl2 selektif meningkat pada daerah peri-infark.
Protoonkogen Bcl2 berperan agar sel tetap hidup dan melindungi sel dari
proses apopptosis dan nekrosis seluler. Pada tikus jantan yang stres
sebelum oklusi arteri serebri ekspresi Bcl2 70% lebih rendah daripada tikus
yang bukan stres setelah iskemik. Berdasarkan penelitian ini apakah
mekanisme ini sama pada manusia belum diketahui. Tetapi peneliti
menyarankan hasil penelitian ini sebagai mekanisme biologi hubungan
II.3. Kerangka Teori
SLEEP
STROKE
Episode singkat stres dapat menimbulkan disfungsi endotel sementara, stres berat dan sering menyebabkan disfungsi endotel dan ateroskelosis
( Abdelsame dkk, 2009)
Tissue Plasminogen Activator ( TPA ) ↓
OUTCOME
STROKE
STRES
Penurunan fungsi endotel di pagi hari (Conde,2007)
Subyek dengan intensitas stres berat resiko fatal stroke hampir dua kali lipat dibandingkan dengan subyek yang tidak stres (Truelsen dkk, 2003)
Sleep Stroke memiliki keparahan klinis yang lebih besar dan fungsional outcome yang lebih buruk (Conde,2007)
Disfungsi
endotel
Aktivasi trombosit dan akumulasi trombosit kerusakan dan obstruksi parsial arteri (Abdelsame dkk, 2009)
Tekanan Darah ↑
Aktivasi
trombosit
( TPA ) terendah di pagi hari (Conde,2007)
Agregasi ↑ pagi hari,
viskositas darah ↓
malam hari (Conde,2007) Stres mengaktivasi simpatik
meningkatkan pelepasan katekolamin perubahan dalam faktor hemodinamik sistemik. Menyebabkan peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. (Abdelsame dkk, 2009)
II.4. Kerangka Konsepsional STROKE OUTCOME SLEEP STROKE (-) SLEEP STROKE ( +) STRESS (+) STRESS (-) SLEEP STROKE (+) SLEEP STROKE (-)
BAB III
METODE PENELITIAN
III.1. Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di ruang rawat inap Rumah Sakit Haji Adam
Malik Medan dan rumah sakit-rumah sakit jejaring Departemen Neurologi
lainnya dari tanggal 22 Juli s/d 30 November 2014.
III.2. Subyek Penelitian
III.2.1. Populasi sasaran
Semua pasien stroke yang dirawat diruang rawat inap di RSUP Haji
Adam Malik Medan dan rumah sakit-rumah sakit jejaring Departemen
Neurologi lainnya.
III.2.2. Populasi terjangkau
Semua pasien stroke yang dirawat di RSUP Haji Adam Malik
Medan dan rumah sakit-rumah sakit jejaring Departemen Neurologi
lainnya yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan menurut metode
sampling non random secara konsekutif dari tanggal 22 Juli s/d 31
III.2.3. Besar sampel
Ukuran sampel dihitung menurut rumus analitis kategorik tidak
berpasangan (Dahlan, 2010; Madiyono dkk, 2011)
n = (Zα√Po.Qo +Zβ√Pa.Qa)
(Po-Pa)
2
2
Zα = nilai baku alfa berdasarkan nilai yang telah
ditentukan (α = 0,05) Zα2
Zβ = nilai baku beta berdasarkan nilai yang telah = 1,96
ditentukan (β = 0,10) Zβ
Po = perkiraan prevalensi penderita stroke tahun 2006→ 0,408 = 1,282
Qo = (1-Po) → 0,592
Pa = perkiraan prevalensi penderita stroke yang dirawat di
RSUP HAM tahun 2012 (0,595)
Po-Pa = selisih proporsi yang dianggap bermakna → 0.15
Qa = (1-Pa) = 0.405 n = (1.96√(0.408)(0.592) + 1.282√(0.595)(0.405) (0,15) 2 n = 50,7 2
III.2.4.Kriteria Inklusi
1. Semua pasien stroke yang dirawat di ruang rawat inap Neurologi
RSUP H. Adam Malik Medan yang ditegakkan dengan anamnese,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologi dan Head CT-scan.
2. Memberikan persetujuan ikut penelitian
III.2.5. Kriteria Eksklusi
1. Pasien stroke berulang.
III.3. Batasan Operasional
1. Stroke adalah suatu episode disfungsi neurologis akut yang diduga
disebabkan oleh iskemik atau hemoragik, menetap ≥ 24 jam atau
sampai kematian, tetapi tanpa bukti yang cukup untuk
diklasifikasikan (Sacco dkk, 2013).
2. Stroke iskemik adalah suatu episode disfungsi neurologik yang
disebabkan infark serebral fokal, infark spinal atau infark retina
(Sacco, 2013).
3. Klasifikasi Stroke Iskemik berdasarkan kriteria kelompok peneliti
TOAST :
a. Aterosklerosis Arteri Besar
Gejala klinik dan penemuan imejing otak yang signifikan
(>50%) stenosis atau oklusi arteri besar di otak atau cabang
Gambaran CT sken otak MRI menunjukkan adanya infark di
kortikal, serebellum, batang otak, atau subkortikal yang
berdiameter lebih dari 1,5 mm dan potensinya berasal dari
aterosklerosis arteri besar.
b. Kardioembolisme
Oklusi arteri disebabkan oleh embolus dari jantung.
c. Oklusi Arteri Kecil
Sering disebut juga infark lakunar, dimana pasien harus
mempunyai satu gejala klinis sindrom lakunar dan tidak
mempunyai gejala gangguan disfungsi kortikal serebral.
Pasien biasanya mempunyai gambaran CT Sken/MRI otak
normal atau infark lakunar dengan diameter < 1,5 mm di
daerah batang otak atau subkortikal.
4. Stroke hemoragik primer terdiri dari perdarahan intraserebral (PIS)
dan perdarahan subarakhnoid (PSA). Definisi stroke yang
disebabkan PIS adalah tanda klinis disfungsi neurologis yang
berkembang cepat yang berhubungan dengan pengumpulan darah
fokal di dalam parenkim otak atau sistem ventrikuler yang tidak
disebabkan oleh trauma. Sedangkan definisi stroke yang
disebabkan PSA adalah disfungsi neurologik yang berkembang
cepat dan atau nyeri kepala oleh karena perdarahan pada ruang
otak dan medulla spinalis), yang tidak disebabkan trauma (Sacco,
2013).
5. Faktor resiko stroke adalah berbagai faktor-faktor yang
dipertimbangkan sebagai risiko yang kuat terhadap timbulnya
stroke. Faktor risiko timbulnya stroke : (Sjahrir, 2003 ; Nasution,
2007). Informasi mengenai faktor resiko pengobatan diperoleh dari
pasien atau pengasuh, keluarga dan medical record. Faktor resiko
didefinisikan sebagai berikut: hipertensi (tekanan darah sistolik
lebih dari 160 mmHg, tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg,
laporan dari pasien, atau penggunaan antihipertensi obat untuk
mengobatinya), diabetes mellitus (kadar glukosa darah puasa lebih
dari 120 mg/dl, laporan diri pasien, atau penggunaan obat
antidiabetes), hiperlipidemia (kolesterol lebih dari 200 atau
tryglicerid lebih dari 150, laporan dari pasien, atau penggunaan
obat hipolipidemik), merokok kebiasaan (perokok saat ini), atrial
fibrilasi (dilaporkan riwayat kronis atau paroksismal AF, atau
dilaporkan selama di rumah sakit) (Conde dkk 2007).
6. Sleep stroke adalah stroke dengan gejala klinis yang muncul
selama waktu tidur malam. Sisanya dianggap Wake up Stroke
(WS) (Spengos dkk,2005).
7. Stres adalah keadaan atau situasi yang rumit dan dinilai sebagai
melampui sumber daya yang dimiliki individu untuk mengatasinya
(Maryam 2009).
8.
9.
Life event adalah peristiwa-peristiwa dalam kehidupan yang
menjadi stresor dan dapat mempengaruhi individu pada suatu
waktu, diukur dengan skala Holmes dan Rahe (Muhwezi 2007).
Tingkat stres berdasarkan skala Holmes dan Rahe, variabel ini
menggunakan skala Ordinal.
10. Onset stres adalah jangka waktu terjadinya stres sampai terjadinya
stroke. Onset dibagi menjadi 1 mgg dan 6 bulan (Abdelsame dkk
2009).
Skor kurang dari 150 sebagai stres
minor, skor 150-199 tergolong stres ringan, skor 200-299 tergolong
stres sedang dan skor di atas 300 tergolong stres mayor/berat
(Maryam 2009).
11. Outcome atau keluaran fungsional yang terdiri dari impairment,
disabilitas dan handicap pada pasien stroke, dapat digunakan
beberapa penilaian yang mempergunakan skala atau skor. Skala
penilaian yang dipakai pada penelitian ini adalah modified Rankin
Scale (Misbach 2011).
12. Fase akut stroke adalah jangka waktu antara awal mula serangan
stroke yang berlangsung sampai 1 minggu (Misbach 2011).
13. Fase subakut stroke adalah jangka waktu serangan stroke yang
14. Stroke berulang didefinisikan sebagai adanya defisit neurologis
akut yang baru dengan gejala berlangsung > 24 jam yang terjadi
setelah kejadian stroke awal (Coull dkk 2004).
III.4. Instrumen Penelitian
1. Computed Tomography Scan (CT Scan) kepala. CT scan yang
digunakan adalah X-Ray CT System, merk Hitachi seri W 450.
Pembacaan hasil CT scan dilakukan oleh seorang ahli radiologi.
2. Skala Holmes dan Rahe. Skala Holmes dan Rahe adalah skala
yang mengukur penyebab dan tingkat stres. Didalam skala ini
terdapat 36 butir berbagai pengalaman dalam kehidupan
seseorang, yang masing-masing diberi nilai (score). Variabel ini
menggunakan skala Ordinal.
3. Modified Rankin Scale. Modified Rankin Scale mengukur tingkat
ketergantungan, baik mental maupun adaptasi fisik yang
digabungkan dengan defisit neurologis. Skala ini terdiri dari dari 0-6,
dimana 1-2 berarti outcome baik dan 3-5 berarti outcome buruk, 6
berarti meninggal (Jood 2008).
Skor kurang dari 150 sebagai stres
minor, skor 150-199 tergolong stres ringan, skor 200-299 tergolong