• Tidak ada hasil yang ditemukan

Muhammadiyah sejak kelahirannya hingga saat ini memang tidak berkecimpung dalam politik praktis atau politik kekuasaan sebagai pilihan ijtihad yang dibenarkan oleh agama. Menurut riwayat yang ditulis KH RH Hadjid, murid dan sahabat Kyai Ahmad Dahlan, tahun 1918 dalam rapat tahunan di Yigyakarta sempat oleh Agus Salim diusulkan agar Muhammadiyah menjadi partai politik seperti Sarekat Islam. Diketahui Kyai Haji Ahmad Dahlan waktu itu terdaftar di Sarekat Islam dan juga Boedi Oetomo, sebagai wujud memperluas arena pergaulan dan berkiprah untuk menguatkan Muhammadiyah yang masih perlu dukungan dan kerjasama pihak lain. Namun, waktu itu melalui penjelasan panjang lebar mengenai hakikat Islam dan perjuangan Muhammadiyah Kyai Dahlan menolak usulan Agus Salim itu. Agar tidak menjadi perdebatan, dikisahkan sempat Kyai Dahlan tampak tidak berkenan hingga mengetuk palu cukup keras waktu itu.

Kisah tersebut menunjukkan Kyai Dahlan secara sadar memang tidak memperuntukkan Muhammadiyah sebagai partai politik atau pergerakan politik praktis. Kebetulan saat itu ada saluran pergerakan politik bagi umat Islam yaitu Sarekat Islam, sehingga terwadahi artikulasinya. Namun juga di belakang hari menjadi masalah, sehingga setelah Sarekat Islam tahun 1926 menerapkan disiplin tidak merangkap, maka pimpinan dan orang-orang Muhammadiyah kemudian lebih memilih Muhammadiyah ketimbang Sareket Islam.

Peristiwa tersebut tidak menunjukkan arti larangan rangkap jabatan dengan partai politik dalam Muhammadiyah saat ini tidak sejalan dengan sikap Kyai Dahlan waktu itu aktif di Sarekat Islam. Kebijakan Muhammadiyah saat ini berdasarkan kepentingan dan keputusan organisasi atas berbagai pertimbangan kemaslahan Muhammadiyah sebagi bentuk penerapan Khittah yang juga ditetapkan oleh Muktamar dan Tanwir, sehingga merupakan sikap resmi organisasi. Tentu dalam hal kebijakan tidak harus sama dengan masa awal Muhammadiyah, karena berbeda situasi dan kondisi.

Pelajaran lain yang juga penting dari relasi Muhammadiyah dan Sarekat Islam itu mennjukkan, pelarangan rangkap itu justru dilakukan oleh partai politik terhadap Muhammadiyah dan bukan sebaliknya. Karenanya tidak lantas mengandung pengertian jika Muhammadiyah saat ini menerapkan larangan rangkap jabatan dengan partai politik maka akan sama nasibnya dengan Sarekat Islam yang menjadi kecil dan ditinggalkan orang. Kenyataan justru menunjukkan Muhammadiyah sudah puluhan tahun menerapkan larangan rangkap jabatan ternyata tetap besar dan stabil, bukan sebaliknya. Lebih dari itu karena larangan rangkap jabatan itu merupakan keputusa organisasi dan bukan hasil orang perorang maka semestinya ditepati jika ingin berorganisasi secara benar. Jika Muhammadiyah akan bernasib buruk dan jatuh gara-gara larangan rangkap jabatan tentu tidak akan dilakukan dan dipertahankan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah dari periode ke periode.

Pengalaman Muhammadiyah dan Sarekat Islam di masa Kyai Dahlan juga memberikan sisi lain sebagai pelajaran. Menurut Dr Nurcholish Madjid, Muhammadiyah dan Sarekat Islam itu dulu berpacu seperti terlibat dalam peperangan dan pertempuran. Karena kehebatan tokohnya HOS Tjokroaminoto yang karismatik dan daya tarik politik, Sarekat Islam pada awalnya maju pesat dan memperoleh dukungan luas umat Islam. Muhammadiyah yang dipimpin oleh sosok yang tenang tetapi pembaru sejati, kelihatan lambat dan awalnya memperoleh penentangan. Namun sejarah menunjukkan, akhirnya nasib berbalik Muhammadiyah menjadi organisasi yang besar dan Sarekat Islam menjadi tertinggal. Ibaratnya, "Muhammadiyah awalnya kalah dalam pertempuran, tetapi kemudian memenangkan perang", ujar Nurcholish di hadapan forum Pengajian Ramadhan tahun 1987 di Gedung PP Muhammadiyah lama di Yogyakarta.

Karenanya mengenai hubungan Muhammadiyah dengan politik khususnya politik praktis perlu diletakkan secara proporsional, jangan disederhanakan. Apakah dengan demikian lantas Muhammadiyah menjadi mundur? Ternyata tidaklah sesederhana itu. Apakah kemudian Muhammadiyah harus menjadi alergi atau anti politik? Tentunya juga tidak. Muhammadiyah sebagaimana Khittah Denpasar justru memandang perjuangan politik praktis itu penting dan mulia, tetapi salurannya harus melalui partai politik. Partai politik itu tentu berada di luar Muhammadiyah dan tidak berhimpitan dengan Muhammadiyah, itulah sikap resmi Muhammadiyah yang harus dihormati dan diikuti oleh seluruh anggotanya tanpa kecuali.

Muhammadiyah memberi jalan keluar yang elegan, bahwa para anggota Muhammadiyah dipersilakan menempuhnya melalui partai politik. Partai politik itu berada di luar organisasi Muhammadiyah. Ke depan tentu perlu didorong dan dibina secara terorganisasi kepada para kader Muhammadiyah yang berminat dan memikiki kapasitas untuk berkiprah di politik praktis, sehingga mereka berkualitas dan beintegritas tinggi selaku politisi yang membawa misi gerakan. Jika ada yang ingin mendirikan partai politik juga dipersilakan sejauh mampu dan tidak mengatasnamakan Muhammadiyah. Muhammadiyah sampai saat ini setelah pengalaman di Masyumi dan Parmusi memang tidak "memliki" maupun mendirikan partai politik, maka sikap ini harus menjadi acuan seluruh institusi dan anggota Muhammadiyah dengan sikap hormat dan positif. Jika ada anggota Muhammadiyah yang ingin mendirikan dan memiliki partai politi dipersilakan dengan bebas, namun bukan partai politiknya Muhammadiyah.

Secara kelembagaan, meski Muhammadiyah tidak berpolitik praktis dan tidak memiliki hubungan afiliasi, Muhammadiyah dapat membangun komunikasi dengan kekuatan politik dan pihak mana pun sesuai prinsip dan kepribadiannya. Apakah hubungan itu dekat atau jauh sangat relatif, jangan hariah. Jika hendak membangun kedekatan yang sama juga tak masalah, yang penting jangan sampai berhimpitan dan berperilaku sama dengan partai politik. Membangun kedekatan yang sama juga harus benar-benar berhubungan sama baiknya dengan semua pihak, janga berhubungan dekat

dengan satu pihak, tetapi menjauh dari pihak lain. Semuanya jangan karena interes personal tapi demi organisasi.

Muhammadiyah dapat memperjuangkan kepentingan politik yang bersifat strategis seperti menyangkut kebijakan-kebijakan pemerintah yang jika dibiarkan akan merugikan persyarikatan, umat, dan bangsa. Fungsi tersebut dijalankan melalui lobi dan komunikasi yang baik, harus tetap terukur dan ditempuh dengan mengindahkan posisi Muhammadiyah sebgai ormas, serta sejalan dengan cara dan Kepribadian Muhammadiyah. Muhammadiyah jangan sampai dibawa dan dikelola mirip partai politik, sehingga kesehariannya yang dibahas dan dilakukan menyerupai kegiatan partai politik. Jangan sampai irama gerak Muhammadiyah layaknya partai politik.

Bagi kader Muhammadiyah yang aktif berpolitik-praktis, tentu harus bersungguh- sungguh dan mengindahkan akhlaq politik yang Islami, serta bersedia membawa misi Muhammadiyah. Jangan berpolitik serba instan dan menerabas, apalagi dengan menghalalkan segala cara. Berjuang di dunia politik praktis itu sama mulia dan strategis, namun jangan menganggap semuanya gampang dan seolah serba indah. Karenanya diperlukan kader politik Muhammadiyah yang berkomitmen dan berintegirtas kuat serta didukung profesionalitas dan keseriusan yang tinggi. Kaum muda Muhammadiyah yang berpolitik praktis juga harus memiliki idealisme yang kokoh. Jika berhasil jangan bersikap seperti "kacang lupa kulit" karena mengangap kesuksesannya itu hanya hasil dari perjuangan diri semata. Tidak jarang terdapat aktivis Muhammadiyah di dunia politik setelah sukses merasa lebih hebat, sehingga kurang menghargai perjuangan dakwah Muhammadiyah. Muhammadiyah jangan selalu dinilai minor atau negatif karena ukuran kesukses gerakan Islam ini hanya ditakar dari sudut politik.

Adapun mengenai jabatan dalam pemerintahan seperti posisi Menteri dan sebagainya juga jangan cenderung disederhakan. Dalam periode tertentu terdapat Menteri atau jabatan penting dalam pemerintahan, sementara dalam periode lain tidak memperolehnya. Kondisi seperti itu tidak perlu terlalu dirisaukan seolah Muhammadiyah luar biasa ketika memperolehnya, sebaliknya jatuh diri ketika tak meraihnya. Menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah, jabatan dalam Kabinet itu sesungguhnya bukan jalur atau jatahnya organisasi kemasyarakatan, tetapi jatah partai politik. Kalaupun organisasi mendapatkannya karena faktor atau kondisi situasional, tidak selamanya dan merupakan keniscayaan. Jangankan organisasi kemasyarakatan, bahkan banyak partai politik juga tidak memperolehnya tergantung pada pertarungan atau kompetisi politik yang berlangsung. Karena itu soal jabatan dalam pemerintahan itu hendaknya diletakkan dalam porsi yang wajar bagi Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyaakatan. Kalaupun harus mengkhtiarkannya hendaklah ditempuh secara elegan, bermartabat, cerdas, dan tidak terlalu memaksakan diri melebihi takaran yang mengoyak prinsip, idealisme, dan keberadaan organisasi. Hidup itu penuh dinamika dan perjuangan yang tidak linier, yang mesti ditempuh dengan ikhtiar tetapi juga mengikuti hukum pasang-surut, tidak perlu merasa kehilangan segalanya ketika tak memperoleh posisi dalam pemerintahan. Muhammadiyah masih memiliki banyak hal yang selama ini menjadi kekuatan dirinya yang harus terus dirawat dan dikembangkan.

Dokumen terkait