• Tidak ada hasil yang ditemukan

pas buatmu, pasti kukabari.” Si Om bohong!

Resti menelan ludah. Ia teringat orang tuanya di kota kecil sana. Wajah cantik Resti terpampang di poster-poster film, menghebohkan kota kelahirannya. Maka, ayah ibunya bercerita tak kunjung habis kepada setiap orang.

Tapi, itu adalah film tiga tahun yang lalu. Resti hanya membintangi dua film lepas dan tiga kali muncul dalam sinetron. Sesudah itu, tak tahu mengapa Resti tak diperlukan lagi.

Resti sempat jadi bintang iklan sebuah krim penghalus wajah. Sayang, iklannya tak berhasil mendongkrak penjualan. Maka, kontrak tak diperpanjang lagi. Sejak itu, benar-benar tak ada job! Kalaupun ada tawaran kecil, honornya tak seberapa. Mutu cerita dan peranannya pun benar-benar memuakkan!

Resti stres sekali bila orang tuanya bertanya kepadanya,”Kapan kau main film lagi, Nak? Semua orang sudah bertanya terus.”

Ulu hatinya nyeri seperti tertusuk tombak. Kapan? Kapan?

Pukul sepuluh pagi. Di meja teras sudah tersedia segelas teh tawar dan setangkap roti diolesi coklat. Jatah tiap kamar.

Ia duduk di sofa kecil sebelah meja itu, mulai menggigit rotinya. Dua lelaki Timur Tengah berjalan melewatinya. Mereka melirik Resti, tersenyum dan berkedip nakal. Resti membalas sengit tatapan mereka, tanda tak suka.

Resti masuk kembali ke kamar, menarik pakaian dari koper, lalu mandi. Di tengah gemercik air pancur, terngiang-ngiang komentar pesaingnya, ”Kalau sudah tak laku, ganti kerjaan lain saja!“ Duh! Sakitnya bukan main!

Sesudah mandi dan berdandan, Resti berjalan kaki tanpa tujuan di tepi jalan Raya Puncak. Ia hanya ingin berusaha memadamkan kegelisahan hatinya.

Pedagang asongan menjajakan suvenir. Penjual sayuran berteriak dari lapaknya menawarkan sayuran segar. Beberapa tukang gemblong berusaha membujuk sambil mengikutinya, “Buatan Bu Juju asli, enak!” Semuanya buram karena Resti sibuk dengan hiruk-pikuk hatinya sendiri.

Sampailah ia di depan sebuah tanjakan. Rupanya ini tempat yang ditunjukkan Swara subuh tadi.

Dibacanya pelan-pelan papan nama itu. Lalu, Resti berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan tanjakan itu. Ada biara!

Resti langsung mundur, berbalik arah. Bukan! Tempatku adalah di depan kamera besar dengan lampu-lampu sorot menyinariku disertai teriakan riuh para penggemar. Itulah duniaku! Bukan tempat berdoa yang sunyi sepi begini.

Di mulut gang, dia berdiri dengan pikiran kosong. Aku harus apa? Uang sudah tinggal sedikit. Masih

belum bayar kamar kos di Jakarta. Belum lagi untuk kebutuhan-kebutuhan lain.

Begitu tiba kembali di kamar, Resti menelan sebutir tablet lagi. Ia kembali menjadi sehelai asap . Menjauhi tubuhnya yang berada di bawah selimut tebal. Terbang lagi lewat celah sempit di atas jendela, melintasi taman ayunan tadi, melewati pucuk-pucuk cemara, bunga-bunga mawar, menuju jalan raya di mana tadi pagi dia berjalan.

Aneh, ia seperti terhisap kuat ke arah biara tadi. Swara ada di sampingnya, namun tak bicara apa pun. Di depan pintu gereja, Resti diam terpaku dan menggigil kedinginan. Ia menengok ke arah Swara.

“Swara, aku merasa ada kedamaian di ruangan ini,” kata Resti.

“Ya... tinggalkanlah dunia gemerlapmu. Kau carilah jalan hidup yang damai. Tak usah berpikir tentang ketenaran dan harta melimpah seperti yang kau kejar selama ini, ” jawab Swara.

Swara hinggap di atas atap berbentuk tanduk kerbau. Resti ikut hinggap. Dari sana ia menyaksikan kendaraan lalu-lalang di jalan raya. Rasanya nyaman sekali menjadi asap seperti ini. Ringan... melayang bebas ... dan bisa melihat apa saja dari ketinggian tanpa batas.

“Waktumu habis! Pulanglah!”

Ziutt...! Resti sudah berada di dalam raganya di atas kasur.

***

Resti memandangi lukisan seorang pria, berambut panjang, mengenakan baju putih panjang menutupi seluruh tubuhnya. Wajahnya, sinar matanya... terlihat begitu teduh dan dalam.

“Dia hidup 2000 tahun yang lalu. Di hati-Nya hanya ada cinta kasih. Ia mengadakan perjamuan malam terakhir dengan dua belas murid-Nya. Esok harinya, Ia mendapat siksaan sangat mengerikan. Dicambuki habis-habisan, kepala-Nya dimahkotai duri. Kaki dan telapak tangan-Nya dipaku, lalu Ia disalibkan sampai mati. Dia bangkit pada hari ketiga.... Aku ingin mengenal-Nya,“ pikirnya.

***

Niat Resti telah bulat. Diketuknya pintu tetangga di sebelah kontrakannya. Pak Yohanes, ketua lingkungan, membuka pintu.

“Pak, aku ingin mengenal Dia. Aku ingin ikut Dia,” pinta Resti.

Pria paruh baya itu tersenyum teduh. “Tentu Anakku. Kau tak akan menyesal mengikuti Dia.”

***

“Swara! Aku sudah tak membutuhkan pil ini lagi.” Malam itu, Resti membuang pil-pil kecil itu ke lubang air di kamar mandinya. Kemudian ia merebahkan tubuhnya dengan rapi, memejamkan matanya tanpa bantuan obat lagi. Hatinya telah damai mencari cara hidup yang baru.

RESENSI

Judul Buku : Katolik Itu Apa ? Penulis : Franz Magnis-Suseno Penerbit : Kanisius, 2017 Isi : 214 halaman

SEMULA, isi buku ini diduga akan membuat kening berkerut. Bingung memahami kajian- kajian filosofis, penuh dengan istilah-istilah teologis yang tinggi. Bagaimana tidak, karena penulisnya adalah seorang Profesor Doktor ahli filsafat, teologi, dan teori politik yang telah menulis banyak buku filsafat.

Namun, ternyata buku ini sepertinya sengaja dirancang oleh Romo Magnis- seorang rohaniwan dan budayawan- agar dapat dipahami oleh awam dan pihak non- Katolik, dengan bahasa populer yang mudah dimengerti.

Uraiannya cukup rinci, mendalam, serta menarik. Misalnya, tentang keseluruhan sosok Katolik, bagaimana ciri khasnya dan sejarahnya. Tentang Yesus Kristus dan Tritunggal, Kitab Suci, latar belakang terbentuknya Konsili Nikea, Konsili Vatikan I dan II, sikap Gereja

terhadap ideologi- ideologi besar dan terhadap Pancasila, pandangan baru tentang teori evolusi Darwin, adakah Syariah Kristiani, tantangan- tantangan Gereja pada abad 21, perihal akhir zaman, dan banyak lagi topik yang menarik.

Romo Magnis berpesan, bahwa buku ini bukanlah buku resmi Gereja Katolik dan bukan buku ilmiah. Buku ini ditulis berdasarkan pemahaman intuitif serta penghayatan beliau terhadap Gereja Katolik hingga saat ini. Ekatanaya

Dokumen terkait