Cakraningrat IV bupati Madura (Barat) adalah ipar Pakubuwono II namun membenci pemerintahan Kartasura yang dianggapnya bobrok. Ia menawarkan diri membantu VOC asalkan dibantu lepas dari Kartasura. VOC menerima tawaran itu.
Pada tanggal 24 November 1741, Cakraningrat IV melaporkan kemenangan pasukannya di Jawa Timur pada Kompeni. Pasukannya telah menguasai sepenuhnya Sedayu, Gresik, Lamongan dan Tuban. 25 November, pengepungan panjang terhadap jepara juga berhasil diakhiri. Kekalahan pasukan gabungan Mataram-Cina terjadi di mana- mana. Tinggal Tegal yang masih dikepung pasukan Jawa-Cina. Beberapa orang Bupati yang sebelumnya melawan Kompeni menyatakan menyerah. Namun Bupati Grobogan, Tumenggung Martopuro dan Bupati Pati, Tumenggung Mangunoneng tidak menyerah.
49
Daradjati,op.cit.h.185-187, Remelink, h.321 50
Sartono Kartodirjo,pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900,PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2000, h.225. Hembing,op.cit.h.152
51
Patih Notokusumo dan Kapiten Sepanjang juga terdesak dan mundur dalam pertempuran di Semarang. Ia menulis surat pada Sunan di Kartasura tentang kondisi di Semarang dan meminta petunjuk dari Sunan.
Menghadapi situasi tersebut, Sunan kemudian menggelar pertemuan dengan para pejabat keraton untuk membahas situasi terakhir yang menimpa pasukan Mataram dan Pasukan Cina. Hadir dalam pertemuan tersebut; Tumenggung Pringgalaya, Pangeran Mangkubumi, Pangeran Ngabehi, Pangeran Hadiwijoyo, dan Tumenggung Mangkuyudo. Sunan
Pakubuwono II membuka pertemuan dengan mengungkapkan
kekhawatirannya terhadap kekalahan perang pasukan koalisi Mataram-Cina di Semarang dan Jawa Timur, sunan juga menyatakan keinginannya untuk berhenti melawan VOC.
Pangeran Mangkubumi tidak setuju dengan keinginan Sunan. Menurutnya kekalahan di Semarang belum bisa dijadikan alasan untuk mengubah tekad mengusir Belanda dari tanah Jawa. Kekalahan tersebut bisa jadi hanya sementara. Sebagai adik Sunan, Mangkubumi mengingatkan, sebagai seorang raja kurang baik kalau kata-katanya tidak bisa dipegang, sekali mengucapkan janji, hendaknya jangan bergeser dari kata-kata yang pernah diucapkan. Kalau ini dilakukan akan menurunkan wibawa Sunan.
Sebaliknya Tumenggung Pringgalaya mendukung gagasan Sunan untuk menghentikan perlawanan terhadap VOC. Alasanya, persenjataan pasukan gabungan Jawa-Cina kalah jauh dibandingkan VOC. Menurutnya, kalau perang ini tetap dilanjutkan akan membawa kerugian yang lebih besar bagi Mataram Kartasura.
Lain lagi pendapat Tumenggung Mangkuyuda, menurutnya mataram sedang menghadapi dua musuh. Musuh yang paling utama adalah Kompeni. Tentara Mataram dan laskar Cina sudah berusaha melawannya, namun kenyataannya berbeda dari harapan, Kartasura untuk smentara mengalami kekalahan. Sedangkan musuh kedua adalah Raden Mas Said, Pangeran Buminoto, Pangeran Pamot, dan Raden Wiramenggala. Ia
mengusulkan agar Sunan sementara melupakan dulu musuh besarnya, yakni Kompeni, dan lebih fokus menghadapi musuh yang kedua tersebut, mumpung kekuatannya belum besar. Perlawanan terhadap Kompeni bisa diteruskan kelak ketika masalah para pangeran yang membelot sudah bisa diatasi.52
Sunan tetap berpegang pada tekadnya mengakhiri konfrontasi dengan VOC. Pakubuwono II menyesal telah memusuhi VOC yang kini unggul setelah dibantu Madura. Sunan bersama ibunya lalu menghubungi VOC dan memohon pengampunan. VOC dengan beberapa syarat menerima kembali Pakubuwono II yang kemudian dimanfaatkan untuk membantu melawan pemberontakan yang masih berkobar. Perdamaian pun dijalin. Kapten Baron von Hohendorff tiba di Kartasura bulan Maret 1742 sebagai wakil VOC menandatangani perjanjian damai dengan Pakubuwono II.
Sunan Kuning
Perubahan keputusan Sunan Paku Buwono II membuat para pemberontak dan orang Jawa yang membenci Kompeni sakit hati. Sunan dianggap sebagai pengkhianat yang tidak layak memimpin orang Jawa. Sejak Januari 1742 gosip sudah sampai di Semarang bahwa Singseh (Tan Sinko), pemimpin orang Cina Jawa, dan Ngabehi Martapura dari Grobogan, yang setidaknya dengan ijin diam-diam dari Patih Notokusumo mendukung pemberontak Cina sejak awal, berniat mengangkat Mas Garendi (putra Pangeran Tepasana) menjadi raja.
Martapura dan Singseh mendapat sekutu baru yang juga sudah terkenal, Mangunoneng, mantan Bupati Pati. Tapi baru pada awal April 1742 Kumpeni menerima informasi yang pasti bahwa Mas Garendi telah diangkat sebagai Sunan oleh para pemberontak. Dan pada saat itu
52
situasinya sudah tidak dapat dikendalikan lagi.53 Raden Mas Garendi adalah cucu Amangkurat III yang baru berusia 12 tahun, ia bersama keluarganya diasingkan oleh VOC pada tahun 1708. Setelah diangkat menjadi Raja ia bergelar Amangkurat V alias Sunan Kuning.54 Mayoritas pemberontak kini bukan lagi kaum Cina, melainkan orang-orang Jawa anti VOC, yang semakin banyak bergabung.
Pada awal Februari, Mangunoneng dan Singseh berhasil merebut Kudus dan Pati, memukul mundur Citrasoma dari Japara, Arya Jayasentika dari Kudus, Wirasastra dari Demak dan komisaris Sunan, Ngabehi Sutawijaya yang dikirim untuk mengepung dan mengalahkan mereka dengan bantuan pasukan tambahan dari Blora, Warung, Sela dan Grobogan. Pasukan dari Grobogan tidak pernah muncul sebab Martapura dari Grobogan sudah bergabung dengan para pemberontak sementara Blora, Warung dan Sela diserang oleh Dipasana dari Tuban dengan pasukan Maduranya dan penduduknya diceraiberaikan. Citrasoma, Arya Jayasentika dan putranya, Ngabehi Jayawikrama dari Juwana mundur ke Mayong di kabupaten Japara, sementara Wirasastra mundur ke Demak. Pada akhir Februari, Wirasastra melaporkan bahwa para pemberontak telah merebut seluruh area di sebelah timur dan timur laut Demak dan bahwa dia tidak akan mampu bertahan tanpa pertolongan Kumpeni.
Sementara Verijsel, pemimpin Kompeni Semarang masih ragu-ragu bagaimana menafsirkan situasi baru ini, Sunan tidak punya keraguan lagi. Perang melawan Kumpeni berubah menjadi pemberontakan melawan dirinya. Tekanan dan ancaman pada istana Kartasura semakin kuat dari orang Madura di Blora dan Jipang, dan sekarang ancaman dari pemberontak Cina dengan sekutu Jawanya di Kudus, Pati, Demak dan Grobogan, belum lagi pemberontak Cina yang ada di Kedu.
53
Remelink, Op.cit. h. 155 54
Tumenggung Tirtawiguna dikirim ke Semarang bersama dengan mantan Bupati Japara, Adipati Citrasoma, ayah dari bupati Japara yang sekarang dan Tumenggung Suradipura. Tirtawiguna mendapat kekuasaan penuh untuk melaksanakan perundingan. Atas nama Sunan ia meminta dikirim garnisun Kompeni untuk melindungi Keraton dari ancaman pemberontak.
Tirtawiguna berusaha memberi kesan kepada Verijsel tentang betapa seriusnya situasi ini dan bahwa ancaman terhadap kedudukan Sunan tidak main-main. Jika tidak mendapat garnisun baru, Sunan akan dengan mudah kehilangan kekuasaannya yang masih tersisa dan akan muncul kesan bahwa Kumpeni tidak mau mendukungnya dan itu akan menjadi alasan kuat bagi semua orang Jawa yang belum berpihak pada pemberontak dan sedang menanti-nanti siapa yang menang untuk menarik semua dukungan aktif mereka terhadap Sunan.
Verijsel merasa dia sebaiknya tidak menolak permintaan ini sebab jika dipenuhi maka semua keraguan yang ada di antara Sunan dan Kumpeni akan lenyap dan mencegah intrik-intrik Singseh dan pasukan Jawanya. Dan yang paling penting, Kumpeni bisa menempatkan mata-mata untuk mencari tahu rahasia-rahasia kraton. Maka pada tanggal 14 Maret 1742, Kapten Joan Andries Baron van Hohendorff, yang sudah sering ke kraton dan katanya dihormati oleh Sunan dan pembesar kraton lainnya, berangkat ke Kartasura sebagai utusan Kompeni melindungi Sunan. Dia dibantu oleh Ensign Ferdinand Carel Hoogwits, sementara Balthazar Toutlemonde, yang tahu sedikit bahasa Jawa, menjadi penterjemah dan sekretaris. Selain membawa pembantu, mereka juga pergi bersama seorang kopral dan enam prajurit untuk menambah gengsi rombongan.
Mereka dilarang keras untuk terlibat dalam negosiasi apapun. Kedatangan mereka hanya untuk menentramkan Sunan dan mencari informasi: tentang orang Madura, tentang orang Cina, dan terutama tentang Notokusumo. Apakah Notokusumo punya kontak dengan orang Cina atau Mas Brahim dan apakah Sunan benar-benar mempercayainya?
Mereka harus mencari informasi dari para pembantu dan terutama dari para wanita, yang seringkali menjadi cara terbaik untuk mendapatkan informasi dari kabinet rahasia raja. Seberapa besar pengaruh Ratu Amangkurat terhadap putranya? Siapa selir kesayangan Sunan? Mereka diberi dana untuk digunakan sebagai suap jika diperlukan, tapi penggunaannya harus hati-hati dan dipertanggungJawabkan dengan teliti. Mereka tidak boleh percaya kepada para menteri karena diragukan kesetiaannya pada Kompeni.
Dengan instruksi seperti itu, Van Hohendorff tiba pada tanggal 17 Maret 1742 di Kartasura. Dia disambut dengan kemegahan yang melampaui ukuran rombongannya dan setelah melewati kerumunan dari beberapa ribu orang Jawa dia menyeberangi Paseban dan masuk kraton. Sunan tampaknya sangat lega dengan kedatangannya, bahkan merasa cukup aman untuk mengirimkan pasukan yang masih tersisa untuk menyerang para pemberontak. Arya Pringgalaya dikirim pada tanggal 21 Maret bersama dengan Raden Arya Malayakusuma, dan tiga Tumenggung: Mangunnagara, Wiraguna dan Singaranu membawa pasukan sebanyak 2.500 orang untuk menyerang Grobogan.
Keesokan harinya Notokusumo dan putranya, Raden Arya Wiryadiningrat, membawa pasukan yang lebih kecil ke Semarang untuk menyerang para pemberontak di Demak. Dan para bupati Kedu akhirnya dikirim kembali ke wilayah mereka untuk menghadang pemberontak Cina yang masih ada di sana.
Sunan mempercayakan dirinya sepenuhnya kepada Van Hohendorff, yang diperbolehkan mengunjunginya siang malam tanpa perlu melapor kepada para pembesar kraton. Dia bahkan menghadiahi Van Hohendorff dengan sebuah pedang Jawa berlapis emas dan memintanya untuk mengenakan pedang itu sebagai tanda rasa hormat dan menggunakannya jika perlu.
Pringgalaya bergerak cepat ke Grobogan, dan pada awal April dia berhasil mengalahkan sebagian pasukan Ngabehi Martapura. Pada hari Jumat 6 April 1742 atau 29 Muharam, Alip 1667, di Pati para pemberontak secara resmi mengangkat Mas Garendi menjadi Sunan Amangkurat. Sementara Mangunoneng diangkat menjadi patih.