• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LATAR BELAKANG MUNCULNYA POLITIK APARTHEID DI

B. Bidang Ekonomi

Undang-undang lain di mana rakyat Afrika Selatan sangat dirugikan oleh perundang-undangan yang semakin restriktif (bersifat membatasi) sejak tahun 1948, yakni bidang ekonomi. Diskriminasi hukum terhadap orang Afrika sebagai pekerja bukan sesuatu yang baru di Afrika Selatan. Sejak tahun 1926, disahkan sebuah “Undang-Undang Pelarangan Kulit Berwarna” yang menghambat orang Afrika untuk memegang pekerjaan ahli di bidang pertambangan. Tahun 1953

dikeluarkan Native Labour (Settlement of Diputies Act) yang menetapkan Native Labour Office sebagai penguasa tertinggi dalam penyelesaian sengketa-sengketa industri yang melibatkan tenaga kerja kulit hitam dan melarang pemogokan kulit hitam. Tiga tahun kemudian, pada tahun 1956, Menteri Tenaga Kerja mendapat wewenang di bawah Industrial Conciliation Act (Undang-Undang Konsiliasi Industri) dan Native Building Workers Act (1951) untuk menetapkan kelas pekerjaan tertentu bagi kelompok ras tertentu. Sejak undang-undang tersebut berlaku, ditambah dengan prasangka yang sudah berlangsung lama serta regulasi-regulasi (peraturan) serikat kerja, keputusan itu telah berkembang menjadi jaringan restriksi (pembatasan) yang kompleks yang melarang orang Afrika mengerjakan hampir setiap pekerjaan yang diklasifikasikan sebagai “pekerjaan ahli”. Namun, sebagian restriksi ini dibatasi oleh sesuatu yang janggal. Misalnya, seorang Afrika bisa membuat tembok yang akan dicat, tetapi ia tidak bisa mengecatnya kecuali mengecat bangunan di pedesaan atau di salah satu kota yang khusus ditempati orang Afrika. Di wilayah Transvaal seorang pekerja Afrika boleh menyetir truk daging hingga ukuran berat tertentu, tidak boleh lebih (membawa truk bermuatan berat, karena alasan tertentu, merupakan pekerjaan yang dipertuntukkan bagi kaum kulit putih)92.

Tujuan yang sama diwujudkan dengan cara lain yakni dengan menciptakan kondisi yang hampir mustahil bagi orang Afrika untuk mengikuti pendidikan sehingga menghalangi mereka mendapatkan berbagai keahlian. Akibatnya, sedikit sekali persentase pekerja ahli di Afrika Selatan yang non kulit

putih yakni orang Afrika, Kulit Berwarna atau Asia (khusus orang-orang kulit berwarna, masih diperbolehkan melakukan pekerjaan ahli), meskipun kelompok-kelompok ini mempunyai jumlah yang jauh lebih besar dibanding jumlah orang kulit putih yaitu empat berbanding satu. Hal ini mengakibatkan adanya perbedaan upah antara pekerja-pekerja non ahli (tidak terampil) dan pekerja-pekerja ahli (terampil). Para pekerja non ahli mendapat upah yang sangat rendah bila dibandingkan dengan para pekerja ahli. Kondisi inilah yang menyebabkan tidak adanya kemajuan ekonomi bagi orang Afrika.

Di daerah kulit putih, pria kulit hitam hampir-hampir hanya bisa melakukan pekerjaan non ahli atau semi ahli. Di dalam pekerjaan yang ia masuki, ia sama sekali tidak bisa bekerja secara efektif untuk meningkatkan upah atau kondisinya. Sejak tahun 1953 orang Afrika belum diijinkan untuk memasuki serikat perdagangan, suatu cara lebih jauh untuk menghalangi mereka menguasai berbagai keahlian. Undang-undang Konsiliasi Industri tahun 1965 juga melarang pembentukkan baru serikat-serikat pekerja campuran putih dan non putih dan dalam serikat-serikat pekerja campuran yang sudah ada, orang-orang non putih dipaksa untuk menyelenggarakan pertemuan terpisah dan hanya orang kulit putih saja yang menempati posisi eksekutif. Selain itu, dalam Undang-Undang Regulasi Tenaga Kerja Pribumi tahun 1911, seorang Afrika dianggap melakukan pelanggaran kriminal bila tidak mematuhi perintah bos atau mandornya atau bahkan bisa keluar dari pekerjaannya. Undang-undang ini, serta masih banyak undang-undang lainnya yang diberlakukan selama beberapa tahun terakhir membuat orang Afrika tidak berdaya secara ekonomi. Jadi, tidak heran bila

melihat tingkat upah yang rendah dan posisi mereka yang kurang bagus dalam pekerjaan.

Orang Afrika, selama hampir satu abad menjadi tenaga kerja terbesar dalam tambang-tambang emas dan intan, yang memberi sumbangan terbesar bagi Afrika Selatan. Namun, pada tahun 1962 rata-rata upah tunai seorang pekerja tambang Afrika hanya sekitar $207 per tahun dengan makanan, perumahan, perhatian medis, dan pasokan pakaian telah disediakan gratis. Untuk pekerjaan rumah tangga di daerah perkotaan, para pembantu Afrika hanya memperoleh $16 hingga $32 per bulan, makanan dan akomodasi disediakan. Sedangkan di daerah-daerah pedalaman, upah masih lebih rendah. Jhon Nkosi, seorang jurnalis Afrika ketika menulis dalam majalah Star Johannesburg pada bulan Oktober 1963, memberikan contoh seorang pembantu tua di suatu daerah pedesaan dengan pendapatan $5.60 sebulan yang meminta kenaikan upah. Setelah pembantu tersebut memperlihatkan semua tanggungjawabnya dalam pekerjaan rumah tangganya dan ketidakcukupan upahnya, majikannya sepakat untuk menambah gajinya $1.40 sehingga menjadi $793.

Kondisi-kondisi di wilayah perkotaan pun tidak jauh lebih baik. Gaji bulanan seorang pekerja Afrika di sebuah industri bangunan di Pretoria rata-rata $40 pada tahun 1952. Ini berarti bahwa ia hanya menerima antara seperlima dan seperenam dari gaji yang diterima tukang kayu, tukang batu, tukang ledeng, dan tukang cat, yang semuanya merupakan pekerjaan yang diperuntukkan secara khusus bagi orang-orang kulit hitam di kawasan-kawasan putih di kota tersebut.

Gaji orang Afrika tidak hanya rendah, tetapi jika memperhitungkan naiknya biaya hidup, daya belinya pun semakin kecil dan posisinya dibanding pekerja kulit putih semakin buruk. Para propagandis pemerintah Afrika Selatan menyatakan bahwa standar kehidupan orang Afrika di Afrika Selatan adalah yang tertinggi di benua itu. Tetapi para pengkritik menjawab bahwa mengingat fakta Afrika Selatan sejauh ini adalah wilayah terkaya di benua Afrika, sangat aneh bila para pekerja Afrika tidak mendapat keuntungan dari kekayaan negara tersebut, atau dari asosiasi mereka yang sudah lama dengan peradaban barat. Para pengkritik tersebut juga merujuk pada laporan-laporan seperti laporan The Council For Social And Industrial Research No.172 dan investigasi yang lebih baru oleh South African Institute of Race Relations yang menunjukkan bahwa separuh dari keluarga-keluarga Afrika yang tinggal di pusat-pusat perkotaan hidup di bawah garis kemiskinan, yakni dalam kondisi sangat membutuhkan94. Angka-angka medis mendukung temuan-temuan Council tersebut. Insiden penyakit gizi buruk di bagian-bagian Afrika Selatan sangat tinggi. Tingkat kematian anak-anak Afrika antara usia satu dan empat tahun, tiga belas kali lebih banyak daripada anak-anak kulit putih pada kelompok usia yang sama.

Pada tahun 1962, petugas medis di Port Elizabeth melaporkan bahwa di Rumah Sakit Livingstone sendiri, rata-rata anak non kulit putih yang meninggal karena gizi buruk setiap bulannya mencapai lima puluh orang. Selama tahun 1962, di antara kasus-kasus tuberkulosis baru yang dilaporkan terdapat 1,261 orang kulit putih dan 53,801 orang Afrika, yang berarti angka kejadiannya 39.6 per 100.000

bagi orang kulit putih dan 473.6 per 100.000, 12 kali lebih besar bagi orang Afrika. Ketika mengaitkan insiden penyakit dengan kemiskinan dan kondisi perumahan yang buruk, petugas medis di Pretoria mengatakan: “Kondisi ekonomi seperti saat ini memaksa banyak orang bekerja hingga mereka benar-benar mati.”

Bagaimana dengan situasi di daerah luar kota? Para pelancong yang melintasi wilayah-wilayah reserve95 khususnya daerah Transkei, daerah pertama yang baru saja ditangani oleh Pemerintah bagi penduduk Bantu, akan segera menyaksikan keindahan pemandangan dan penampilan yang baik dari penduduknya, dan publikasi-publikasi yang disponsori pemerintah berbicara dengan penuh semangat tentang “penampilan fisik yang bahagia dari orang-orang yang menikmati kebebasan hidup” dan “kehidupan mereka yang bebas dan damai di gubung-gubuk kecilnya.” Tetapi mereka yang melihat dari dekat akan menjumpai pemandangan yang berbeda. Ketika Rand Daily Mail melakukan penelitian pada tahun 1962 terhadap beberapa daerah reserve yang dilanda kekeringan, mereka menemukan bahwa insiden pellagra (penyakit kusta) dan penyakit-penyakit defisiensi lainnya semakin meningkat, dan bahwa ratusan penduduk berada dalam ambang kelaparan96.

Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah yang mendiskriminasikan orang-orang kulit hitam dalam bidang ekonomi mengakibatkan kehidupan ekonomi rakyat Afrika Selatan tidak mengalami kemajuan. Hal ini disebabkan oleh adanya diskriminasi terhadap orang

95 Reserve adalah daerah-daerah khusus yang disediakan untuk ditempati ras tertentu (dalam konteks apartheidreserve adalah daerah-daerah yang khusus ditempati oleh kulit hitam). Lihat lampiran VI, foto 3, hlm. 178.

kulit hitam yang menetapkan bahwa orang kulit hitam hanya boleh melakukan pekerjaan non terampil atau dengan kata lain mereka hanya dijadikan sebagai pekerja-pekerja kasar misalnya sebagai buruh. Akibatnya, upah yang diperoleh sangat rendah dan tidak cukup untuk membiayai kehidupan mereka. Dengan demikian, kondisi ekonomi seperti ini menyebabkan mereka hidup dalam kemiskinan.