• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PERTENTANGAN SOEKARNO-HATTA TERHADAP KEBIJAKAN POLITIK INDONESIA (1956-1965)

4.3 Bidang Sosial Budaya

Kebijakan pemerintahan masa Soekarno di bidang Sosial Budaya adalah kebijakan yang diberlakukan terhadap Etnis tionghoa, kebijakan ini ada yang bersifat diskriminasi dan juga ada yang bersifat menghormati kaum tionghoa. Dikeluarkannya PP no. 10 tahun 1959 (lihat lampiran 8) merupakan bentuk diskriminasi terhadap Etnis Tionghoa, dimana etnis Tionghoa dilarang berdagang didaerah pedesaan. Hal ini menimbulkan keresahan dipihak Tionghoa dan banyak terjadi pergolakan khususnya di daerah Jawa barat. (Yusuf 2004:1-2; Coopel 1994:76-77; Setiono 2003:791-795).

Kebijakan ini tentu saja mendapat tentangan dari berbagai pihak tak terkecuali pemerintah RRC yang selama ini banyak mendukung pemerintah Soekarno. Bahkan banyak surat-surat kabar di RRC yang melancarkan aksi anti-Indonesia. Mengutip yang dikatakan oleh etnis tionghoa Setiono (2003:567) mengungkapkan bahwa “lebih baik mati dari pada hidup dilarang berdagang”. Kata-kata seperti ini hampir seluruhnya didengungkan oleh sebagian besar etnis Tionghoa yang hidup di daerah-daerah.

Pada tanggal 17 Agustus 1963 dicetuskan manifesto kebudayaan oleh kelompok yang tetap mendukung demokrasi dan martabat manusia. Isi dari manifesto kebudayaan tersebut mengungkapkan bahwa kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia dan tetap berpegang pada Pancasila sebagai Falsafah kebudayaan mereka. Manifes ini juga mendapat tentangan dari seniman-seniman yang tergabung dalam Lekra

(Wadah Seni Bentukan PKI) termasuk diantaranya adalah Pramudya Ananta Toer.

Orang komunis menganut paham bahwa dalam kebudayaan “politik adalah panglima”, dan segala kreativitas seniman hendak ditundukkan kebawah kaki politik. Pramudya dan kawan-kawannya dalam lekra mencoba menjual konsepsi seni realisme sosial, yang harus menyatukan cita-cita perjuangan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan kreativitas seni mereka. Begitu kejinya cara orang-orang komunis ini menghantam mereka yang menolak konsep “politik adalah panglima”, hingga dengan tak jemu-jemunya mereka mengutuk seniman-seniman bukan komunis sebagai kontra revolusioner, antek imperialis, anti-manipol, dan sebagainya (Lubis 1988). Kegiatan tokoh-tokoh Lekra ini telah ikut memanaskan suhu politik, dan aksi-aksi mereka telah berkembang jadi aksi-aksi teror terhadap para budayawan yang bukan komunis.

BAB V PENUTUP

Kesimpulan

Pertentangan Soekarno-Hatta merupakan pembelajaran yang baik bagi pemerintahan yang ada saat ini. Dengan menggali pemikiran-pemikiran kedua Founding Fathers diharapkan nantinya dapat memberikan nilai lebih pada skripsi ini.

Soekarno yang Jawa dan Bung Hatta yang luar Jawa itu, perbedaan pandangan sebenarnya telah terlihat apalagi ditambah dengan alam lingkungan yang membentuknya. Soekarno dibentuk oleh pendidikan dalam negeri sedangkan Bung Hatta banyak memperoleh pendidikan di Barat, sehingga dalam memandang kebijakan pemerintah kolonial Belanda mengalami perbedaan.

Sejarah Pertentangan Soekarno-Hatta diawali semenjak keduanya aktif melawan pemerintahan Kolonial Belanda. Perbedaan pandangan keduanya terjadi terus-menerus sampai keduanya memegang pemerintahan.

Pertentangan pertama Soekarno-Hatta terjadi ketika keduanya melakukan perang “urat syaraf” yaitu dengan mengirimkan tulisan yang di tujukan kepada pemerintahan kolonial Belanda. Soekarno banyak menulis pada majalah “Suluh Indonesia Muda dan Fikiran Rakyat” antara tahun (1926-1967) yang merupakan saluran Aspirasi dari Partai Nasional Indonesia (PNI). Dalam majalah tersebut Soekarno banyak memberikan dasar-dasar pemikirannya yang radikal dalam

bidang ekonomi, politik dan sosial. Pemikiran Soekarno yang paling mendasar adalah ketika ia menulis dengan judul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.

Bung Hatta meletakkan dasar-dasar pemikirannya dalam majalah “Daulat Rakyat”. Pemikiran Bung Hatta lebih dekat dengan Sosialis, sekaligus lebih mengedepankan perjuangan dengan cara-cara yang kooperatif, majalah dimana Hatta banyak menulis adalah bentukan dari Perhimpunan Indonesia (PI).

Bung Hatta dalam perjuangannya melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda dikenal lebih kooperatif daripada Soekarno, ironi terjadi ketika Soekarno di penjara Sukamiskin berkirim surat kepada Ratu Kerajaan Belanda agar dibebaskan dan diperingan hukumannya. Hal ini membuat banyak pertanyaan mengenai sikap non kooperatifnya Soekarno.

Pemerintahan diantara keduanya terus terjadi pergulatan hebat, terutama dalam pengambilan kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh keduanya. Sebagai contoh adalah ketika Bung Hatta tanpa sepengetahuan atau persetujuan Soekarno mengeluarkan maklumat no. X tahun 1945 yang secara tidak langsung menurunkan wibawa Presiden dimata lembaga-lembaga yang lain. Soekarno pun demikian, dalam mengeluarkan kebijakan sering berlawanan dengan Bung Hatta.

Pertentangan Soekarno Hatta memuncak tatkala keduanya berada dalam pemerintahan. Perbedaan-perbedaan mengenai bentuk negara, jalannya pemerintahan dan pendapat keduanya mengenai revolusi sudah selesai atau belum, tidak dapat mereka selesaikan. Dengan semangat ksatrianya Bung Hatta mundur dari pemerintahan tepatnya tanggal 1 Desember 1956. Ada beberapa alasan mengenai kemunduran diri Bung Hatta (1) Hatta menilai Soekarno sudah

tidak sejalan dengan pemikirannya yang akan lebih memilih kekuasaan otoriter (2) Opsi yang ditegaskan berikutnya adalah keinginan Hatta untuk mengkudeta Soekarno tapi tidak dilakukan karena dapat membahayakan Republik.

Pasca mundurnya Bung Hatta dari pemerintahan Bung Karno makin percaya diri terhadap kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Konsepsi Presiden Soekarno pada tahun 1957 yang menginginkan penggabungan Parpol-parpol dalam suatu pemerintahan banyak ditentang, tetapi hal ini tetap saja dilaksanakan oleh Soekarno.

Sikap otoriter yang ditunjukan oleh Soekarno membawa dampak yang tidak sedikit bagi kebijakan politik Indonesia. Dalam bidang politik Soekarno melakukan banyak perubahan yang fundamental seperti mengangkat KSAD yang baru yaitu A. Yani dengan tidak memandang latar belakang, pangkat, senioritas dan sebagainya serta melakukan pendekatan dengan bangsa-bangsa yang berhaluan komunis. Kedekatannya dengan bangsa yang berhaluan komunis disebabkan karena bangsa Barat yang Liberal tidak banyak mendukung pemerintahannya.

Dijauhinya Soekarno dari Dunia Barat yang dilanjutkan dengan keluarnya Indonesia dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membuat Indonesia tidak mempunyai pilihan lain untuk bergabung dengan blok komunis. Keterasingan Indonesia dari negara Barat menyebabkan timbulnya simpati dari negara-negara blok komunis (Timur) yang lebih mendekatkan diri dengan Indonesia.

Indonesia kemudian melaksanakan politik Mercusuar. Diantaranya adalah dengan membangun Gelanggang olah raga senayan Jakarta (sekarang “Gelora

Bung Karno”) dan pelaksanaan Ganefo (Pekan Olah Raga Bangsa-Bangsa Komunis). Dengan pelaksanaan politik mercusuar tersebut praktis Soekarno telah melenceng dari kebijakan politik Indonesia yang bebas-aktif.

Kebijakan politik penting yang melandasi kehidupan Soekarno pada waktu itu adalah dengan mendekatkan diri dengan RRT (Republik Rakyat Tiongkok) yang kemudian banyak dikenal sebagai Poros Jakarta–Peking. RRT kemudian banyak memberikan bantuan kepada Indonesia baik itu dalam bidang politik maupun ekonomi sebagai wujud hubungan bilateral kedua Negara.

Dibidang Ekonomi Soekarno mulai menerapkan ide-ide mengenai ekonomi komandonya, kendati bertentangan dengan ide tentang perekonomian dengan Bung Hatta pada saat krisis ekonomi Bung Karno selalu meminta pendapat Bung Hatta mengenai cara mengatasinya, tetapi tidak ditanggapi oleh Bung Hatta.

Hal lain yang menjadi sebab penting dalam bidang ekonomi adalah mengenai nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang ada di Indonesia, keduanya saling berbeda pendapat. Hal ini terjadi karena keduanya memiliki latar belakang pendidikan dan lingkungan yang berbeda.

Dalam bidang sosial dan kebudayaan Soekarno pasca mundurnya Hatta mengungkapkan kebijakannya bahwa seni harus sesuai dengan idenya mengenai penggabungan aliran-aliran yang ada dalam seni. Kebijakan ini diambil karena Soekarno tidak menginginkan adanya pemikiran yang berbeda dengan dirinya yang mengganggu jalannya revolusi.

Kebijakan Soekarno selanjutnya ialah dengan melarang terhadap semua kesenian maupun musik yang dianggap keBarat-Baratan. Sebagai contoh adalah pelarangan Grup Musik Koes Ploes yang kemudian memenjarakannya lalu dicekal peredaran kaset maupun piringan hitamnya (Suara Merdeka 9 Januari 2005).

Pertentangan Soekarno Hatta terbukti memberikan dampak yang tidak sedikit bagi kebijakan politik Indonesia baik itu dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Dampak dari pertentangan tersebut setidaknya mengubah perpolitikan Indonesia yang demokratis menjadi otoriter.

Dokumen terkait