• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran perempuan di bidang sosial budaya dipengaruhi oleh sistem kemasyarakatan yang ada dalam suatu komunitas budaya tertentu. Sistem tersebut tercipta karena adanya hubungan untuk hidup berkelompok. Dalam kehidupan berkelompok, kontak sosial sangat diperlukan oleh semua manusia sebab hanya dengan hidup bersama, potensi-potensi yang ada pada diri manusia dapat menuju pembentukan kepribadian. Kontak sosial itu diperlukan secara terus menerus dan mengikuti proses yang sesuai dengan pola yang telah dimiliki sejak lama.

Dalam kehidupan masyarakat, pada umumnya perempuan tidak banyak berarti selain peran reproduksi yang menonjol. Nilai-nilai sosial, baik bersumber dari ajaran agama maupun dari tradisi, dapat menjadi faktor yang meminggirkan perempuan. Perempuan dapat terkonstruksi secara sosial sebagai makhluk yang tunduk, loyal, lembut, pasrah, dan mengabdi, serta sebagai tempat yang dianggap sesuai untuk perempuan adalah rumah, peran yang harus diemban dan tidak boleh ditinggalkan

252Budi Shanti, Kuota Perempuan Parlemen: Jalan Menuju Kesetaraan Politik, dalam Jurnal Perempuan Nomor 19, 2001, h. 38.

90

adalah mengurus urusan-urusan rumah tangga.254 Pengingkaran terhadap watak dan posisi seperti itu dianggap sebagai perbuatan melawan takdir. Sebaliknya, dapat terjadi rekonstruksi pemikiran keagamaan atau redefinisi nilai-nilai sosial di masyarakat sehingga terbangun suatu sistem nilai yang adil ketika perempuan dan laki-laki sama-sama diakui memiliki kehendak, otonomi atas tubuhnya sendiri, dan independen si serta determinasi dalam pengambilan keputusan.

Bagaimana menempatkan posisi perempuan di masyarakat juga dapat dilihat dari simbol-simbol yang terbangun, namun sistem simbol yang terkait dengan perempuan ternyata sangat rumit sehingga tidak dapat ditarik dengan segera ke dalam suatu kesimpulan tunggal. Ada kontradiksi simbolik atau dinamika simbolisasi perempuan yang penting untuk dicermati. Secara simbolik, sebenarnya perempuan mendapatkan tempat yang sangat terhormat dalam imajinasi orang Indonesia. Misalnya, bumi nusantara yang membentang dari Sabang sampai Merauke selain disebut tanah air, sering dijuluki Ibu Pertiwi. Masyarakat pedesaan di Jawa misalnya, mempunyai mitos tentang Dewi Sri sebagai Dewi Padi lambang kesuburan tanah pertanian. Jadi, dapat dikatakan tanah negeri dimaknai sebagai entitas yang bersifat feminim dan negeri yang tegak di atasnya pun juga dicitrakan sebagai memiliki watak feminim, yaitu melindung, merawat, dan memakmurkan.255

Perempuan tidak dapat berkembang menurut keinginannya, karena ada pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, yaitu perempuan berada dalam sektor domestik sedangkan laki-laki pada sektor publik. Masalah pembagian peran secara seksual atau secara jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan merupakan sebuah lembaga kemasyarakatan yang tertua dan terkuat. Umurnya sudah ribuan tahun yaitu semenjak adanya manusia di dunia sampai sekarang masih bertahan. Pembagian tersebut menurut Arief Budiman, perempuan berada di sekitar rumah tangga, dengan tugas utama melahirkan dan membesarkan anak-anaknya, melayani suami dan anak-anak supaya rumah tangganya tenteram. Perempuan adalah sosok yang harus dihormati oleh anak sebelum ayah, dan menjadi faktor kunci untuk memberi predikat tentang perilaku anak, apakah anak tersebut akan menjadi seorang anak yang berbakti atau durhaka. Perempuan juga mendapatkan gelar terhormat di ranah domestik sebagai “ratu rumah tangga”. Sedangkan laki-laki berada dalam sektor publik atau di luar rumah untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Namun sejalan dengan perkembangan peradaban manusia, terjadi pergeseran peran pada laki-laki dan perempuan dalam melakukan kegiatan kehidupannya.256

Konsep di atas masih terjadi sampai saat ini, di mana kehidupan perempuan masih berputar di sekitar kehidupan rumah tangganya, yaitu pada ranah domestik, dan tujuan perempuan seakan-akan hanyalah untuk menikah dan membentuk keluarga. Dalam keadaan demikian itu, wanita jadi tergantung kepada laki-laki secara ekonomis, karena pekerjaannya yang dilakukan di rumah tangganya tidak mempunyai nilai tukar, tidak punya nilai pasar atau tidak menghasilkan nilai uang. Menurut Keppi Sukaesih,

254Muhajir Darwin, Negara dan Perempuan: Reorintasi Kebijakan Publik (Yogyakarta: Media Wacana, 2005), h. 67.

255Muhajir Darwin, Negara dan Perempuan...h. 70.

91

dalam hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan ditinjau dari hubungan kekuasaan, dapat dilihat pada siapa yang melakukan pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu, siapa menguasai pekerjaan, dan siapa menentukan untuk melakukan pekerjaan.257

Peningkatan peran perempuan dalam mewujudkan manusia seutuhnya pada pembangunan adalah, dengan menunjukkan kemampuan dan menambah kemauan, menambah fasilitas serta kemudahan pada perempuan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam mengasuh, membina, mendidik, dan membesarkan anak, sehingga berwatak, berkepribadian dan berkelakuan serta bertindak sebagai manusia seutuhnya.258

Berdasarkan pengamatan dan analisa, Maftuhah Hasan membedakan kelompok perempuan dalam kategori-kategori sebagai berikut: (1) kelompok perempuan yang sudah memiliki kemampuan dan kemauan serta fasilitas, kesempatan dan sarana yang cukup bagi perannya, jumlah kelompok ini sangat kecil; (2) kelompok yang sudah memiliki kemampuan terbatas, karena hasil pendidikan atau kedudukannya, namun masih memerlukan motivasi untuk mempertinggi kemauan kerjanya. Kemungkinan masih besar memerlukan tambahan fasilitas, kesempatan dan sarana, jumlah kelompok ini cukup besar; (3) kelompok perempuan yang tidak atau kurang memiliki kemampuan serta fasilitas, kesempatan, dan sarana untuk melaksanakan tugasnya, sebagian besar dari mereka semi buta huruf atau buta huruf, dan mereka menderita kekurangan, kemiskinan, keterbelakangan dan ketidaktahuan dalam hidupnya, jumlah kelompok ini lebih dari 50% dari jumlah perempuan Indonesia.259

Upaya untuk meningkatkan kualitas dan perempuan dalam segala aspek kehidupan memang tidak sederhana, karena aneka ragam latar belakang ada istiadat, budaya, agama, pendidikan, dan dengan kepentingan, aspirasi dan tingkat perkembangan yang berbeda-beda, serta harapan dan tuntutan baru yang makin berkembang sesuai dengan kemajuan yang dicapai pembangan yang terus meningkat dan penuh dinamika.

Cara pandang inilah yang kemudian menjadikan kaum perempuan sadar akan hak-haknya untuk lebih berperan dalam masyarakat. Dalam lingkup internasional, setelah melalui perjuangan panjang, akhirnya pada konvensi Hak Azasi Manusia tahun 1993 di Wina turut mendorong agar dunia harus melibatkan kaum perempuan untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan politik, sipil, ekonomi, sosial dan budaya mulai pada tingkat lokal sampai internasional. Kekerasan berbasis gender harus dihilangkan dengan memperhatikan hak dan martabat kaum perempuan dalam berbagai aspeknya, khususnya dalam bidang sosial budaya.

257Keppi Sukaesih, “Wanita dalam Perkebunan Rakyat: Hubungan Kekuasaan Pria-Wanita dalam Perkebunan Tebu” dalam Kajian Pria-Wanita dalam Pembangunan, Penyunting Ihromi O, (Jakarta: Yayasan Obor, 1995), h. 90.

258Maftuhah Yusuf, Perempuan, Agama dan Pembangunan (Yogyakarta: Lembaga Studi Inovasi Pendidikan, 2000), h. 121.

92

Oleh karena itu, melalui Deklarasi Beijing 1955 menempatkan perempuan berada pada 12 bidang kritis yang kemudian menjadi Platform untuk membangun, seperti kemiskinan, pendidikan, korban konflik bersenjata, kekerasan, ekonomi, lingkungan hidup sampai pada hak anak perempuan. Perjuangan dari Deklarasi Beijing tersebut ternyata telah menghasilkan sebuah kebijakan strategis sebagai aksi secara global yang mau tidak mau harus diikuti oleh setiap negara. Tindaklanjutnya disepakati melalui Millenium Development Goals (MDGs) 2015. Kebijakan strategis global yang mampu menetapkan 7 tujuan global yang diantaranya memasukkan sebagai prioritas pembangunan. Tujuan global (Millenium Development Goals) yang ditandatangani pada bulan September 2000 oleh 68 negara, termasuk Indonesia, itu terdiri dari: (1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua; (3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) menurunkan angka kematian ibu waktu melahirkan (AKI); (5) peningkatan kesehatan ibu; (6) memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya, dan (7) memastikan kelestarian lingkungan hidup.

Sebagai konsekuensi dari penandatanganan Deklarasi Beijing (Beijing Platform) dan MDGs, pemerintah Indonesia harus memacu dan menjalankan program pembangunan yang berorientasi pada pencapaian tujuan MDGs. Hal ini dapat dilihat melalui kebijakan strategis Pemerintah Indonesia melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 yang isinya mencakup semua tujuan MDGs tersebut. Kebijakan RPJMN tersebut kemudian dijabarkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) di tiap-tiap provinsi dan kabupaten/kota, sehingga terdapat suatu kesinambungan program dari tingkat pusat sampai tingkat daerah kabupaten/kota. Secara khusus untuk program pembangunan yang berkaitan dengan gender dapat ditemukan di semua program sektor pembangunan yang sifatnya diarahkan kepada pengoptimalisasian fungsi koordinasi antar sektor dalam menjalankan program.

Namun demikian, status perempuan dalam kehidupan sosial dalam banyak hal masih mengalami diskriminasi haruslah diakui. Kondisi ini terkait erat dengan masih kuatnya nilai-nilai ketidakpercayaan terhadap perempuan, di mana perempuan kurang memperoleh akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan pengambilan keputusan dan aspek lainnya. Keadaan ini menciptakan permasalahan tersendiri dalam upaya pemberdayaan perempuan, di mana diharapkan perempuan memiliki peranan yang lebih kuat dalam proses pembangunan. Kurangnya keikutsertaan perempuan dalam memberikan kontribusi terhadap program pembangunan menyebabkan kesenjangan yang ada terus saja terjadi. Oleh karena itu, pemberdayaan terhadap 3 (tiga) elemen penting yaitu secara individu (perempuan), kelembagaan (sosial budaya) dan sistem (aturan) yang mendukung eksistensi dan aktualisasi kemampuan diri perempuan Indonesia adalah sesuatu yang sangat mendesak.

Peran perempuan di bidang sosial budaya dipengaruhi oleh sistem kemasyarakatan yang ada dalam suatu komunitas budaya tertentu. Sistem tersebut tercipta karena adanya hubungan untuk hidup berkelompok. Dalam kehidupan berkelompok, kontak sosial sangat diperlukan oleh semua manusia sebab hanya dengan hidup bersama, potensi-potensi yang ada pada diri manusia dapat menuju pembentukan kepribadian. Kontak sosial itu diperlukan secara terus menerus dan mengikuti proses yang sesuai dengan pola yang telah dimiliki sejak lama.

93

Dalam kehidupan masyarakat, pada umumnya perempuan tidak banyak berarti selain peran reproduksi yang menonjol. Nilai-nilai sosial, baik bersumber dari ajaran agama maupun dari tradisi, dapat menjadi faktor yang meminggirkan perempuan. Perempuan dapat terkonstruksi secara sosial sebagai makhluk yang tunduk, loyal, lembut, pasrah, dan mengabdi, serta sebagai tempat yang dianggap sesuai untuk perempuan adalah rumah, peran yang harus diemban dan tidak boleh ditinggalkan adalah mengurus urusan-urusan rumah tangga.260 Pengingkaran terhadap watak dan posisi seperti itu dianggap sebagai perbuatan melawan takdir. Sebaliknya, dapat terjadi rekonstruksi pemikiran keagamaan atau redefinisi nilai-nilai sosial di masyarakat sehingga terbangun suatu sistem nilai yang adil ketika perempuan dan laki-laki sama-sama diakui memiliki kehendak, otonomi atas tubuhnya sendiri, dan independensi serta determinasi dalam pengambilan keputusan.

Bagaimana menempatkan posisi perempuan di masyarakat juga dapat dilihat dari simbol-simbol yang terbangun, namun sistem simbol yang terkait dengan perempuan ternyata sangat rumit sehingga tidak dapat ditarik dengan segera ke dalam suatu kesimpulan tunggal. Ada kontradiksi simbolik atau dinamika simbolisasi perempuan yang penting untuk dicermati. Secara simbolik, sebenarnya perempuan mendapatkan tempat yang sangat terhormat dalam imajinasi orang Indonesia. Misalnya, bumi nusantara yang membentang dari Sabang sampai Merauke selain disebut tanah air, sering dijuluki Ibu Pertiwi. Masyarakat pedesaan di Jawa misalnya, mempunyai mitos tentang Dewi Sri sebagai Dewi Padi lambang kesuburan tanah pertanian. Jadi, dapat dikatakan tanah negeri dimaknai sebagai entitas yang bersifat feminim dan negeri yang tegak di atasnya pun juga dicitrakan sebagai memiliki watak feminim, yaitu melindung, merawat, dan memakmurkan.261

Perempuan tidak dapat berkembang menurut keinginannya, karena ada pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, yaitu perempuan berada dalam sektor domestik sedangkan laki-laki pada sektor publik. Masalah pembagian peran secara seksual atau secara jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan merupakan sebuah lembaga kemasyarakatan yang tertua dan terkuat. Umurnya sudah ribuan tahun yaitu semenjak adanya manusia di dunia sampai sekarang masih bertahan. Pembagian tersebut menurut Arief Budiman, perempuan berada di sekitar rumahtangga, dengan tugas utama melahirkan dan membesarkan anak-anaknya, melayani suami dan anak-anak supaya rumahtangganya tenteram. Perempuan adalah sosok yang harus dihormati oleh anak sebelum ayah, dan menjadi faktor kunci untuk memberi predikat tentang perilaku anak, apakah anak tersebut akan menjadi seorang anak yang berbakti atau durhaka. Perempuan juga mendapatkan gelar terhormat di ranah domestik sebagai “ratu rumahtangga”. Sedangkan laki-laki berada dalam sektor publik atau di luar rumah untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Namun sejalan dengan perkembangan peradaban manusia, terjadi pergeseran peran pada laki-laki dan perempuan dalam melakukan kegiatan kehidupannya.262

260Muhajir Darwin, Negara dan Perempuan: Reorintasi Kebijakan Publik (Yogyakarta: Media Wacana, 2005), h. 67.

261Muhajir Darwin, Negara dan Perempuan...h. 70.

94

Konsep di atas masih terjadi sampai saat ini, di mana kehidupan perempuan masih berputar di sekitar kehidupan rumahtangganya, yaitu pada ranah domestik, dan tujuan perempuan seakan-akan hanyalah untuk menikah dan membentuk keluarga. Dalam keadaan demikian itu, wanita jadi tergantung kepada laki-laki secara ekonomis, karena pekerjaannya yang dilakukan di rumahtangganya tidak mempunyai nilai tukar, tidak punya nilai pasar atau tidak menghasilkan nilai uang. Menurut Keppi Sukaesih, dalam hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan ditinjau dari hubungan kekuasaan, dapat dlihat pada siapa yang melakukan pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu, siapa menguasai pekerjaan, dan siapa menentukan untuk melakukan pekerjaan.263

Peningkatan peran perempuan dalam mewujudkan manusia seutuhnya pada pembangunan adalah, dengan menunjukkan kemampuan dan menambah kemauan, menambah fasilitas serta kemudahan pada perempuan untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya dalam mengasuh, membina, mendidik, dan membesarkan anak, sehingga berwatak, berkepribadian dan berkelakuan serta bertindak sebagai manusia seutuhnya.264

Berdasarkan pengamatan dan analisa, Maftuhah Hasan membedakan kelompok perempuan dalam kategori-kategori sebagai berikut: (1) kelompok perempuan yang sudah memiliki kemampuan dan kemauan serta fasilitas, kesempatan dan sarana yang cukup bagi perannya, jumlah kelompok ini sangat kecil; (2) kelompok yang sudah memiliki kemampuan terbatas, karena hasil pendidikan atau kedudukannya, namun masih memerlukan motivasi untuk mempertinggi kemauan kerjanya. Kemungkinan masih besar memerlukan tambahan fasilitas, kesempatan dan sarana, jumlah kelompok ini cukup besar; (3) kelompok perempuan yang tidak atau kurang memiliki kemampuan serta fasilitas, kesempatan, dan sarana untuk melaksanakan tugasnya, sebagian besar dari mereka semi buta huruf atau buta huruf, dan mereka menderita kekurangan, kemiskinan, keterbelakangan dan ketidaktahuan dalam hidupnya, jumlah kelompok ini lebih dari 50% dari jumlah perempuan Indonesia.265

Upaya untuk meningkatkan kualitas dan perempuan dalam segala aspek kehidupan memang tidak sederhana, karena aneka ragam latar belakang ada istiadat, budaya, agama, pendidikan, dan dengan kepentingan, aspirasi dan tingkat perkembangan yang berbeda-beda, serta harapan dan tuntutan baru yang makin berkembang sesuai dengan kemajuan yang dicapai pembangan yang terus meningkat dan penuh dinamika.

Cara pandang inilah yang kemudian menjadikan kaum perempuan sadar akan hak-haknya untuk lebih berperan dalam masyarakat. Dalam lingkup internasional, setelah melalui perjuangan panjang, akhirnya pada konvensi Hak Azasi Manusia tahun 1993 di Wina turut mendorong agar dunia harus melibatkan kaum perempuan untuk

263Keppi Sukaesih, “Wanita dalam Perkebunan Rakyat: Hubungan Kekuasaan Pria-Wanita dalam Perkebunan Tebu” dalam Kajian Pria-Wanita dalam Pembangunan, Penyunting Ihromi O, (Jakarta: Yayasan Obor, 1995), h. 90.

264Maftuhah Yusuf, Perempuan, Agama dan Pembangunan (Yogyakarta: Lembaga Studi Inovasi Pendidikan, 2000), h. 121.

95

berpartisipasi penuh dalam kehidupan politik, sipil, ekonomi, sosial dan budaya mulai pada tingkat lokal sampai internasional. Kekerasan berbasis gender harus dihilangkan dengan memperhatikan hak dan martabat kaum perempuan dalam berbagai aspeknya, khususnya dalam bidang sosial budaya.

Oleh karena itu, melalui Deklarasi Beijing 1955 menempatkan perempuan berada pada 12 bidang kritis yang kemudian menjadi Platform untuk membangun, seperti kemiskinan, pendidikan, korban konflik bersenjata, kekerasan, ekonomi, lingkungan hidup sampai pada hak anak perempuan. Perjuangan dari Dekralasi Beijing tersebut ternyata telah menghasilkan sebuah kebijakan strategis sebagai aksi secara global yang mau tidak mau harus diikuti oleh setiap negara. Tindaklanjutnya disepakati melalui Millenium Development Goals (MDGs) 2015. Kebijakan strategis global yang mampu menetapkan 7 tujuan global yang diantaranya memasukkan sebagai prioritas pembangunan. Tujuan global (Millenium Development Goals)yang ditandatangani pada bulan September 2000 oleh 68 negara, termasuk Indonesia, itu terdiri dari: (1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua; (3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) menurunkan angka kematian ibu waktu melahirkan (AKI); (5) peningkatan kesehatan ibu; (6) memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya, dan (7) memastikan kelestarian lingkungan hidup.

Sebagai konsekuensi dari penandatanganan Deklarasi Beijing (Beijing Platform) dan MDGs, pemerintah Indonesia harus memacu dan menjalankan program pembangunan yang berorientasi pada pencapaian tujuan MDGs. Hal ini dapat dilihat melalui kebijakan strategis Pemerintah Indonesia melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 yang isinya mencakup semua tujuan MDGs tersebut. Kebijakan RPJMN tersebut kemudian dijabarkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) di tiap-tiap provinsi dan kabupaten/kota, sehingga terdapat suatu kesinambungan program dari tingkat pusat sampai tingkat daerah kabupaten/kota. Secara khusus untuk program pembangunan yang berkaitan dengan gender dapat ditemukan di semua program sektor pembangunan yang sifatnya diarahkan kepada pengoptimalisasian fungsi koordinasi antar sektor dalam menjalankan program.

Namun demikian, status perempuan dalam kehidupan sosial dalam banyak hal masih mengalami diskriminasi haruslah diakui. Kondisi ini terkait erat dengan masih kuatnya nilai-nilai ketidakpercayaan terhadap perempuan, di mana perempuan kurang memperoleh akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan pengambilan keputusan dan aspek lainnya. Keadaan ini menciptakan permasalahan tersendiri dalam upaya pemberdayaan perempuan, di mana diharapkan perempuan memiliki peranan yang lebih kuat dalam proses pembangunan. Kurangnya keikutsertaan perempuan dalam memberikan kontribusi terhadap program pembangunan menyebabkan kesenjangan yang ada terus saja terjadi. Oleh karen itu, pemberdayaan terhadap 3 (tiga) elemen penting yaitu secara individu (perempuan), kelembagaan (sosial budaya) dan sistem (aturan) yang mendukung eksistensi dan aktualisasi kemampuan diri perempuan Indonesia adalah sesuatu yang sangat mendesak.

96