• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biodiesel didefinisikan sebagai alkil ester dari asam lemak yang diolah dari sumber trigliserida alami terbarukan melalui proses esterifikasi transesterifikasi dan digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel. Secara kimiawi biodiesel merupakan turunan lipid dari golongan monoalkil ester dengan panjang rantai karbon 12-20 (Darnoko et al., 2001). Biodiesel dapat berupa minyak kasar atau monoalkil ester asam lemaknya, umumnya merupakan metil ester. Metil ester atau etil ester adalah senyawa yang relatif stabil, cair pada suhu ruang (titik leleh antara 4-18°C), non-korosif, dan titik didihnya rendah.

Keuntungan penggunaan biodiesel diantaranya adalah bahan baku dapat diperbarui (renewable), penggunaan energi lebih efisien, dapat menggantikan bahan bakar diesel dan turunannya dari petroleum, dapat digunakan kebanyakan peralatan diesel dengan tidak perlu modifikasi atau hanya modifikasi kecil, dapat mengurangi emisi/pancaran gas yang menyebabkan pemanasan global, dapat mengurangi emisi udara beracun karena kandungan sulfurnya sangat kecil, memiliki titik nyala yang cukup tinggi sehingga aman dalam penyimpanannya, bersifat biodegradable, cocok untuk lingkungan sensitif, dan mudah digunakan (Knothe, 2006).

Sifat fisika kimia biodiesel hampir mirip dengan bahan bakar diesel, tetapi dalam beberapa hal biodiesel lebih unggul. Bahan bakar fosil memiliki

kandungan sulfur, nitrogen, dan metal yang tinggi yang dapat menyebabkan hujan asam dan efek rumah kaca. Biodiesel tidak mengandung sulfur dan senyawa benzene sehingga lebih ramah lingkungan. Kandungan energi, viskositas dan perubahan fase relatif sama dengan bahan bakar diesel (petroleum). Sebagai suatu bahan bakar yang berpotensi menggantikan petrodiesel, penggunaan biodiesel dapat dilakukan secara murni atau dicampurkan dengan petrodiesel dalam nisbah tertentu, seperti B10, B20, atau B30 yang artinya kadar percampuran metil ester dengan petrodiesel dengan kadar 10%, 20%, dan 30%. Perbandingan sifat fisik antara biodiesel dengan solar (diesel) menurut Hambali et al. (2006), dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Perbandingan sifat fisik biodiesel dan solar

No. Parameter Nilai Biodiesel sawit Biodiesel Jarak pagar Solar (Diesel) 1. Densitas, g/ml (15oC) 0.868 0.879 0.83 2. Viskositas kinematik (Cst) (40oC) 5.3 4.84 5.2 3. Cloud point (oC) 16 5 18 4. Titik nyala (oC) 174 191 70 5. Nilai kalori, LVH (MJ/kg) 37-38 37-38 41 6. Kandungan sulfur (ppm) < 50 < 50 Max 500

7. Bilangan setana 62 51 42

8. Bilangan penyabunan (mg KOH/g)

209.7 198 NA

9. Bilangan Iod (mg I2/g) 45-62 95-107 NA

Salah satu hambatan dalam komersialisasi penggunaan biodiesel adalah biaya operasi yang tinggi. Hal yang memungkinkan pengembangan biodiesel ini adalah aspek ramah lingkungan dan ketersediaan petrodiesel yang makin menipis. Kendala lain dalam penggunaan minyak nabati sebagai biodiesel adalah viskositasnya yang tinggi yakni bisa mencapai 10 kali viskositas minyak diesel. Tingginya viskositas akan mengakibatkan rendahnya atomisasi bahan bakar, pembakaran dari fuel injector, ring carbonization, dan

akumulasi bahan bakar dalam minyak pelumas, namun dappat diatasi dengan proses transesterfikasi (Foglia, et al., 1996).

Kemurnian biodiesel ditentukan oleh kandungan metil esternya. Senyawa-senyawa selain metil ester seperti mono-, di-, trigliserida, dan gliserol dapat menyebabkan penyumbatan pada mesin, sedangkan asam lemak bebas dapat menyebabkan korosi pada mesin. Adanya kandungan mono-, di-, atau trigliserida disebabkan karena proses transesterifikasi tidak berjalan sempurna sehingga produk metil esternya juga belum terbentuk sempurna. Kualitas pembakaran biodiesel ditentukan oleh bilangan setana dan carbon residue. Bilangan setana yang rendah dapat menyebabkan keterlambatan proses pembakaran, sedangkan carbon residue menyatakan kecenderungan pembentukan deposit karbon setelah pembakaran. Deposit karbon ini dapat menyebabkan kerak pada ruang pembakaran (Knothe, 2006).

Menurut Sudradjat (2006), teknologi kimia pembuatan biodiesel adalah rangkaian proses kimia untuk mengubah minyak menjadi biodiesel yang memenuhi standar kualitas. Standar mutu biodiesel Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5. Hal yang kritikal dan perlu dicermati dari aspek teknologi ini adalah menjaga jangan sampai terbentuk keasaman biodiesel yang tinggi, apalagi biodiesel dari minyak jarak yang memiliki rantai karbon dengan ikatan tidak jenuh sehingga mudah teroksidasi dan terbentuk asam lemak bebas. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah menggunakan proses dua tahap yaitu esterifikasi transesterifikasi (estrans).

Menurut Gubitz (1999), jenis minyak yang memiliki tingkat keasaman tinggi seperti minyak jarak, kapuk, dan canola, kurang sesuai jika langsung diproses secara transesterifikasi karena akan terjadi penyabunan. Menurut Canakci & Gerpen (2001), minyak yang akan diproses secara transesterifikasi menggunakan katalis basa, hendaknya memiliki kadar asam lemak bebas (% FFA) sekitar 1-2 %. Keasaman minyak yang tinggi, hendaknya diatasi dengan melakukan proses esterifikasi terlebih dahulu untuk mengkonversi asam lemak bebasnya, agar pada proses transesterifikasi tidak terjadi proses saponifikasi.

Tabel 5. Standar mutu biodiesel Indonesia

Parameter dan Satuannya Batas Nilai Metode Uji Massa jenis (kg/m3, 40°C) 850-890 ASTM D 1298 Viskositas kinematik (40°C, cSt) 2,3-6,0 ASTM D 445 Angka setana Min. 51 ASTM D 613 Titik nyala (°C) Min. 100 ASTM D 93 Titik kabut (°C) Maks. 18 ASTM D 2500 Korosi bilah tembaga (3 jam,

50°C) Maks. No. 3 ASTM D 130 Residu karbon (%-b) Maks. 0,05 ASTM D 4530 Air dan sedimen (%-vol.) Maks. 0,05 ASTM D 2709 Temperatur distilasi 90% (°C) Maks. 360 ASTM D 1160 Abu tersulfatkan (%-b) Maks. 0,02 ASTM D 874 Belerang (mg/kg) Maks. 100 ASTM D 5453 Fosfor (mg/kg) Maks. 10 AOCS Ca 12-55 Angka asam (mg KOH/g) Maks. 0,8 AOCS Ca 3-63 Gliserol bebas (%-b) Maks. 0,02 AOCS Ca 14-56 Gliserol total (%-b) Maks. 0,24 AOCS Ca 14-56 Kadar ester alkil (%-b) Min. 96,5 Dihitung Angka iodium (g I2/100 g) Maks. 115 AOCS Cd 1-25 Uji Halphen Negatif AOCS Cb 1-25 Sumber: SNI Biodiesel 04-7182-2006

Proses pengolahan minyak menjadi metil ester dilakukan baik dengan satu atau dua tahap proses, bergantung pada mutu awal minyak. Minyak yang mengandung asam lemak bebas tinggi dapat dengan efisien dikonversi menjadi esternya melalui beberapa tahap reaksi yang melibatkan katalis asam untuk mengesterifikasi asam lemak bebas menjadi ester dan dilanjutkan dengan reaksi transesterifikasi berkatalis basa yang mengkonversi sisa trigliserida (Canakci & Gerpen, 2001). Jika minyak mempunyai kandungan asam lemak bebas yang rendah, transesterifikasi dapat langsung dilakukan dengan satu tahap (Ambarita, 2002).

Proses esterifikasi pada dasarnya merupakan reaksi antara asam karboksilat (asam lemak bebas) dengan alkohol untuk membentuk ester dan molekul air, dan bersifat reversibel. Proses esterifikasi pada umumnya menggunakan katalis asam seperti H2SO4 dan HCl. Reaksi esterifikasi selain mengeseterifikasi asam lemak bebas, juga mengkonversi trigliserida menjadi metil esternya. Meskipun demikian, kecepatannya lebih rendah dibandingkan dengan transesterifikasi yang menggunakan katalis basa (Haas et al., 2000). Menurut Ozgul & Turkay (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi esterifikasi antara lain adalah jumlah pereaksi, metanol dan asam lemak bebas, waktu reaksi, suhu, konsentrasi katalis, dan kandungan air pada minyak. Reaksi esterifikasi antara asam lemak bebas dengan metanol dapat dilihat pada Gambar 3.

O O HCl

R1 C OH + CH3 OH R1 C OCH3 + H2O Asam lemak metanol katalis Ester air

Gambar 3. Reaksi esterifikasi

Reaksi transesterifikasi merupakan reaksi yang bertujuan untuk mengkonversi trigliserida menjadi metil ester sehingga menurunkan viskositas minyak jarak dan meningkatkan daya pembakaran sehingga dapat digunakan sesuai standar minyak diesel untuk kendaraan bermotor. Proses transesterifikasi mengalami penukaran posisi asam lemak untuk menghasilkan ester baru. Proses transesterifikasi biasanya menggunakan katalis basa seperti KOH atau NaOH, karena reaksinya sangat cepat, sempurna, dan dapat dilakukan pada temperatur yang rendah yaitu 55-60oC (Sonntag, 1982).

Proses transesterifikasi terdiri dari sejumlah reaksi reversibel, dimana trigliserida dikonversi secara bertahap menjadi digliserida, monogliserida, dan akhirnya gliserol. Masing-masing tahap menghasilkan metil ester. Dari proses transesterifikasi, dihasilkan produk berupa campuran metil ester, gliserol, sisa metanol, katalis, sabun, mono-, di-, dan trigliserida. Oleh karena itu perlu

dilakukan aging untuk memisahkan komponen yang tidak diinginkan (Sonntag, 1982).

Trigliserida + R’OH Digliserida + R’COOR1 Digliserida + R’OH Monogliserida + R’COOR2 Monogliserida R’OH Gliserol + R’COOR3

O O H2C O C R1 C H3 O C R1 H2C OH O NaOH O HC O C R2 + 3CH3OH C H3 O C R2 + HC OH O O H2C O C R3 C H3 O C R3 H2C OH

Trigliserida metanol Katalis Metil Ester Gliserol

Gambar 4. Reaksi transesterifikasi

Dokumen terkait