BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL YUKIGUNI DAN
2.2. Biografi Pengarang
Yasunari Kawabata (1899-1972) adalah seorang novelis Jepang terkemuka yang memenangkan Hadiah Nobel dalam sastra untuk mencontohkan pikiran Jepang dalam tulisan-tulisannya. Novel Yukiguni karya Yasunari Kawabata ini mampu menjelmakan keindahan kebudayaan dan mitologi di Jepang, sehingga selayaknyalah novel ini mampu meraih penghargan Nobel Sastra karena dianggap sebagai master piece.
Yasunari Kawabata lahir pada tanggal 14 Juni 1899 di daerah Konohana, Osaka. Dilahirkan dalam sebuah keluarga yang sejahtera. Merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Ayahnya adalah seorang dokter terkemuka tetapi sangat
mencintai kesusastraan, yang bernama Eikichi. Minat ayahnya akan sastra turun kepada Kawabata.
Pada saat usia dua tahun, Kawabata kehilangan ayahnya. Ayahnya meninggal karena mengidap penyakit TBC. Setahun kemudian Kawabata menjadi anak yatim piatu karena disusul dengan kematian ibunya. Hal ini mengakibatkan Kawabata harus tinggal bersama kakek dan neneknya di daerah Mishima tepatnya di desa Toyohana, Osaka. Namun malang tak bisa dihindari, pada 1906 ketika kawabata berusia 7 tahun, kakek dan nenek Kawabata juga meninggal dunia.
Maka kemudian Kawabata kini tinggal bersama kakek dari ibunya. Kakeknya tuna netra sehingga kawabata melewati masa kanak-kanak dengan mengalami kesulitan dan tidak selayaknya dilalui oleh anak seusia dirinya. Kawabata mempunyai seorang kakak perempuan yang diasuh oleh seorang bibinya. Akan tetapi kakak perempuannya itu yang hanya sekali dijumpainya setelah kematian orang tua mereka, meninggal dunia ketika Kawabata berusia 10 tahun (Juli 1909), dan disusul dengan kematian kakeknya ketika ia berusia 15 tahun (Mei 1914).
Kematian kelurga Kawabata mengurangi masa kecilnya yang normal. Kawabata sering mengatakan bahwa dia belajar kesepian tanpa akar sejak awal. Sehingga dalam kehidupannya Kawabata menggambarkan dirinya sebagai anak tanpa rumah atau keluarga.
Setelah kehilangan semua sanak keluarga dekatnya, ia pindah dengan keluarga ibunya (Keluarga Kuroda). Namun, pada Januari 1916, ia pindah ke sebuah asrama dekat SMP yang hingga saat itu harus didatanginya bolak-balik dengan kereta
api. Setelah lulus dari SMP pada Mei 1917, persis sebelum ulang tahunnya yang ke- 18, ia pindah ke Tokyo, dan berharap untuk lulus ujian masuk Dai-ichi Koto-gakko' (Sekolah Menengah Atas Nomor Satu), yang berada di bawah asuhan langsung Universitas Kekaisaran Tokyo. Kawabata berhasil lulus dalam ujian itu pada tahun yang sama dan kemudian masuk ke Fakultas Sastra Inggris. Pada Juli 1920 Kawabata lulus dari Sekolah Menengah Atas dan memulai pendidikannya di Universitas Kekaisaran Tokyo pada bulan yang sama.
Kemudian Kawabata melanjutkan kuliah di jurusan Sastra Inggris dan minatnya pada dunia sastra juga semakin besar. Sementara masih menjadi mahasiswa, Kawabata menghidupkan kembali majalah sastra Universitas Tokyo, "Shin-shicho" (Arus Pemikiran Baru) yang telah mati lebih dari empat tahun. Di situ ia menerbitkan cerita pendeknya yang pertama, "Shokonsai Ikkei" ("Suasana pada suatu pemanggilan arwah"), sebuah karya yang hingga kini masih diakui nilai sastranya.
Lalu Kawabata pindah jurusan ke Sastra Jepang. Bersama teman-temann kuliahnya, Kawabata sering mendiskusikan karya-karya pengarang besar seperti Kikushikan Akutagawa Ryunosuke dan sastrawan besar lainnya. Ketika kuliah, ia beralih jurusan ke Sastra Jepang dan menulis skripsi yang berjudul, "Sejarah singkat novel-novel Jepang". Hingga pada akhirnya Kawabata lulus pada Maret tahun 1924.
Pada Oktober 1924, bersama Kataoka Teeppei, Yokomitshu Riichi, dan sejumlah penulis muda lainnya memulai sebuah jurnal sastra baru Bungei Jidai (Zaman Artistik). Jurnal ini adalah reaksi terhadap aliran sastra Jepang yang lama dan
mapan, khususnya aliran naturalis, sementara pada saat yang sama juga bertentangan dengan sastra kaum buruh atau aliran komunis atau sosialis. Ini adalah gerakan seni untuk seni, yang dipengaruhi oleh Kubuisme Eropa, eksperionisme, dan gaya modernis lainnya, yang disebut dengan Shinkankaku-ha, namun sering kali keliru karena ditafsirkan sebagai neo-imperionisme. Istilah Shinkankakuha yang digunakan Kawabata dan Yokomitsu untuk menggambarkan filsafatnya, tidak dimaksudkan sebagai versi baru atau pemulihan dari Imperionisme, dimana gerakan mereka dipusatkan pada upaya memberikan impresi baru atau, lebih tepatnya sensasi baru dalam penulisan sastra.
Kawabata mulai mendapatkan pengakuan dengan sejumlah cerita pendek tidak lama setelah ia lulus, dan memperoleh kemasyhuran dengan Izu no Odoriko (Gadis Penari dari Izu) pada 1926, yaitu sebuah cerita yang menjelajahi erotisisme orang muda yang sedang berkembang. Kebanyakan karyanya di kemudian hari menjelajahi tema-tema serupa. Kemudian setelah berakhirnya Perang Dunia II, suksesnya berlanjut dengan novel-novel seperti Seribu Bangau (sebuah cerita tentang cinta yang bernasib malang), Suara Gunung, Rumah Perawan, Kecantikan dan Kesedihan dan Ibu Kota Lama.
Buku yang ia sendiri anggap sebagai karyanya yang terbaik adalah Empu Go (1951), yaitu sebuah kontras yang tajam dengan karya-karyanya yang lainnya. Yang mengisahkan setengah fiksi tentang sebuah pertandingan besar Go pada tahun 1938. Karya ini benar-benar dilaporkannya dalam kelompok surat kabar Mainichi. Ini adalah permainan terakhir dari karier Empu Shusai, dan ia dikalahkan oleh penantang mudanya, dan meninggal sekitar setahun kemudian. Meskipun pada
permukaannya cerita ini mengharukan, sebagai penceritaan kembali mengenai sebuah perjuangan puncak oleh sejumlah pembaca kisah ini dianggap sebagai paralel simbolis dari kekalahan Jepang pada Perang Duania II. Sehingga Kawabata merupakan kekuatan pendorong di balik penerjemahan sastra Jepang ke dalam bahasa Inggris dan bahasa-bahasa barat lainnya.
Salah satu novelnya yang paling terkenal adalah Yukiguni ( Daerah Salju )yang dimulai pada 1934, dan pertama kali diterbitkan secara bertahap sejak 1935 hingga 1937. Daerah Salju adalah sebuah cerita yang gamblang mengenai sebuah hubungan cinta antara seorang penulis amatir dari Tokyo dengan seorang geisha desa, yang berlangsung di sebuah kota dengan sumber air panas yang jauh di sebelah barat dari pegunungan Alpen Jepang. Novel ini memantapkan Kawabata sebagai salah satu pengarang terkemuka Jepang dan langsung menjadi sebuah klasik, yang digambarkan oleh Edward G. Seindensticker, yang merupakan adikarya Kawabata.
Pada tahun 1968 Kawabata pergi ke Stockholm untuk menerima hadiah nobel bidang kesusastraan atas hasil karyanya yang utama, yaitu Yukiguni ( Daerah Salju ). Di dalam pidatonya ketika menerima nobel tersebut, Kawabata mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang yang menerjemahkan bukunya ke dalam bahasa Inggris sehingga ia bisa mendapatkan hadiah nobel tersebut. Kawabata juga mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap tindakan bunuh diri walaupun dalam karya-karyanya ada juga yang menceritakan mengenai orang yang bunuh diri karena masalah yang berat dan persaan yang bersalah. Akan tetapi hadiah nobel diterimanya justru ketika ia sudah lama tidak menulis karya kreatif yang baru.
Namun pada kenyataannya Kawabata tidak memegang setia perkataannya tersebut, karena Kawabata sendiri juga meninggal akibat bunuh diri tepatnya pada tanggal 16 April 1972 dengan meracuni dirinya dengan gas. Banyak anggapan yang muncul mengenai kematian Kawabata karena tidak meninggalkan catatan apapun, dan karena ia tidak pernah membahasnya secara sungguh-sungguh dalam tulisan- tulisannya, sehinnga apa yang menjai motif bunuh dirinya tetap tidak jelas. Seperti pohon pisang, setelah berbuah harus ditebang, daripada pembusukan, begitulah Kawabata mengakhiri nyawanya sendiri.